Menghadapi Era Perang Dagang
A
A
A
Sintong Arfiyansyah
Pegawai Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan
PEMBICARAAN terkait Perang Dagang berlangsung tiada henti. Perang ini menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global terjun dari angka 3,9 % menjadi 3,7 % pada 2019. Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) pun menjadi ajang terkini yang berada dalam bayang-bayang adu strategi dalam perdagangan internasional yang tak pernah tuntas ini. Topik ini menjadi agenda yang paling di tunggu-tunggu mengalahkan agenda lain terkait konflik Rusia-Ukraina, pembangunan yang berkelanjutan dan perubahan iklim dunia.
Semua mata dunia tertuju kepada dua aktor utama yaitu Presiden China, Xi Jinping dan Presiden AS, Donald Trump. Keduanya bertemu dalam sebuah acara krusial bertajuk “Saturday Crucial Dinner” di Buenos Aires, Argentina, untuk menentukan masa depan ekonomi dunia. Dikutip dari Reuters, keduanya sepakat untuk tidak menambah tarif impor. Trump setuju untuk tidak menambah tarif impor 25% yang sedianya ditunjuk untuk barang asal China senilai USD200 miliar pada 1 Januari 2019. Sementara itu, Pemerintah China juga akhirnya meloloskan persetujuan regulasi akusisi NXP Semikonduktor oleh Perusahaan Qualcomm Inc yang sebelumnya gagal mencapai kesepakatan.
Kesepakatan kedua pemimpin negara raksasa ekonomi ini diproyeksi akan berpengaruh global baik secara ekonomi maupun masa depan harga saham dan kebijakan masing-masing negara di dunia. Meskipun demikian, banyak ekonom yang meyakini bahwa efek kesepakatan ini tidak akan berdampak instan. Saling gempur strategi serta kebijakan akan masih terus berlangsung hingga salah satu menyerah. AS dan China masih menunggu kesepakatan dagang baru yang mencakup transfer teknologi, properti intelektual, tarif, pencurian siber dan pertanian. Apabila kesepakatan ini tidak tercapai dalam 90 hari ke depan, maka AS akan tetap menambah tarif dari 10% menjadi 25% untuk barang-barang China.
Dampaknya bagi Negara Berkembang
Era Perang Dagang muncul di awal 2018. Aktor utamanya adalah Amerika Serikat. Mungkin slogan Make America Great Again ala Donald Trump adalah faktor penting dalam lahirnya perang dagang ini. Trump melihat ekonomi AS mulai tertatih akibat pertumbuhan ekonomi sang kompetitor yang pesat. AS mengalami defisit neraca perdagangan akibat membanjirnya barang-barang impor China ke negeri mereka.
China berkembang sangat ganas dan menggurita menguasai perdagangan dunia selama satu dekade terakhir. Kuatnya ekonomi China didorong oleh fondasi ekonomi yang kokoh serta iklim kompetisi masyarakatnya untuk meningkatkan kekuatan finansial. Kombinasi keduanya mampu menggerakkan ekonomi China secara serempak. China perlahan menggeser negara-negara maju lainnya dan akhirnya berada di level yang sama dengan kekuatan ekonomi terbesar saat ini yaitu Amerika Serikat.
Melihat hal tersebut, AS tidak tinggal diam. Donald Trump mengumumkan niatnya untuk mengenakan tarif sebesar USD50 miliar untuk barang-barang China pada 22 Maret 2018. Untuk memperkuat kekuatan, AS meningkatkan bunga Bank Sentral guna menggiring modal pulang ke kampung halaman. Negeri ini juga gemar mengajukan kasus persengketaan dagang kepada WTO (World Trade Organization) untuk memenangkan sengketa atau sekadar memberikan efek gentar negara pesaing untuk menerapkan strategi balasan. Mereka juga meluncurkan kebijakan pemangkasan pajak untuk meningkatkan aktivitas ekonomi AS yang sebelumnya mengalami stagnasi.
China melakukan berbagai cara untuk menghentikan strategi AS. Mereka membalas berbagai kebijakan AS ini dengan memberlakukan tarif kepada produk-produk impor AS. Pemerintah China memperkuat prosedur bea cukai, menetapkan aturan baru dan menaikkan ongkos bagi perusahaan asing yang beroperasi di wilayahnya. China juga perlahan berusaha mengisolasi AS dengan membuat jaringan perdagangan ke negara-negara Eropa, Asia dan Amerika Latin. China bahkan dituduh menurunkan nilai mata uang Yuan untuk meningkatkan ekspor mereka meskipun akhirnya tuduhan ini tidak terbukti.
Saling melempar strategi membuat aktivitas ekonomi dunia terhambat. Pertumbuhan ekonomi dunia pun mengalami penurunan proyeksi pada 2018 dan 2019. Kedua negara raksasa pelaku perang dagang terus melakukan berbagai strategi untuk menangkis serangan kebijakan lawannya. Akibatnya investor mulai khawatir dengan pertumbuhan ekonomi global. Dana yang tertanam di negara-negara berkembang lambat laun mulai melarikan diri dan ditanamkan kepada negara maju yang dianggap mempunyai kestabilan keuangan yang baik. Pelarian ini membuat negara-negara berkembang yang sangat bergantung dengan investasi negara maju limbung. Satu demi satu negara berkembang tumbang dimulai dari Venezuela, Argentina, Turki hingga Afrika Selatan. Cadangan devisa mereka terkuras habis hingga mata uang mereka terpuruk. Ketergantungan yang tinggi terhadap ekonomi negara-negara maju menjadi bumerang bagi para negara berkembang.
Menimbang Strategi Indonesia
Indonesia harus ulet menghadapi perang dagang ini. Walaupun Indonesia tidak bernasib sama dengan negara yang telah tumbang, Indonesia harus tetap waspada. Sebagai penyandang predikat negara berkembang serta ketergantungan yang cukup tinggi oleh dana investasi asing, Indonesia adalah negara yang tidak kebal guncangan. Meskipun rupiah sudah mulai bergerak menguat dibanding mata uang asing lainnya, pergerakan kreatif harus tetap dilaksanakan mengingat perang dagang diproyeksi bakal terus berlangsung lama dan bergerak dinamis meskipun kesepakatan terbaru dalam KTT G20 menunjukkan penurunan tensi.
Mengkaji nasib negara-negara berkembang dalam menghadapi perang dagang serta ketergantungan dengan negara maju, pemerintah perlu mencoba memanfaatkan momentum baru. Kementerian Keuangan mendorong kerja sama antara negara di wilayah selatan untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Indonesia berkomitmen untuk menandatangani kerja sama Selatan-selatan Triangular atau South-south Triangular Cooperation. Kerja sama ini melibatkan pasar antarnegara Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan. Kerja sama yang tergolong baru ini berbentuk perdagangan, manajemen pembangunan, dan manajemen fiskal.
Ibarat peribahasa satu lidi akan mudah patah tetapi ratusan sapu lidi akan sulit patah, langkah Indonesia ini adalah langkah yang menarik. Kebersamaan akan menciptakan kekuatan baru mengarungi era perang dagang. Kita dapat berkaca kepada sebuah teori ekonomi yaitu Teori Ketergantungan (Dependency Theory). Teori ini menyatakan bahwa negara berkembang sulit bertransformasi menjadi negara maju karena terdominasi secara politik dan ekonomi oleh negara maju. Untuk itu negara berkembang harus mempunyai strategi menghindari ketergantungan. Salah satu caranya adalah membentuk poros perdagangan baru dengan negara berkembang yang lain.
Asalkan tidak merugikan neraca perdagangan dan dibarengi dengan pergerakan aktif peningkatan ekspor serta penyerapan tenaga kerja, ekspansi kerja sama dengan negara senasib dapat memperkukuh perdagangan Indonesia. Toh, mereka juga sebetulnya merupakan pasar potensial untuk menjalankan perdagangan. Afrika kaya dengan minyak bumi dan Amerika Selatan kaya dengan produk manufaktur serta pertambangan.
Negara-negara berkembang dapat perlahan-lahan menciptakan arus perdagangan baru dan membentuk perdagangan yang bebas dari intrik. Berbeda jauh dengan perang dagang saat ini yang penuh dengan kelicikan dan intrik, ekosistem sehat dan kompetitif dalam pasar perdagangan baru akan sangat menguntungkan bagi semua pihak. Apabila mampu dengan baik, terobosan ini dapat semakin memperkuat posisi Indonesia dan meminimalkan efek era perang dagang.
Pegawai Ditjen Perbendaharaan, Kementerian Keuangan
PEMBICARAAN terkait Perang Dagang berlangsung tiada henti. Perang ini menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global terjun dari angka 3,9 % menjadi 3,7 % pada 2019. Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) pun menjadi ajang terkini yang berada dalam bayang-bayang adu strategi dalam perdagangan internasional yang tak pernah tuntas ini. Topik ini menjadi agenda yang paling di tunggu-tunggu mengalahkan agenda lain terkait konflik Rusia-Ukraina, pembangunan yang berkelanjutan dan perubahan iklim dunia.
Semua mata dunia tertuju kepada dua aktor utama yaitu Presiden China, Xi Jinping dan Presiden AS, Donald Trump. Keduanya bertemu dalam sebuah acara krusial bertajuk “Saturday Crucial Dinner” di Buenos Aires, Argentina, untuk menentukan masa depan ekonomi dunia. Dikutip dari Reuters, keduanya sepakat untuk tidak menambah tarif impor. Trump setuju untuk tidak menambah tarif impor 25% yang sedianya ditunjuk untuk barang asal China senilai USD200 miliar pada 1 Januari 2019. Sementara itu, Pemerintah China juga akhirnya meloloskan persetujuan regulasi akusisi NXP Semikonduktor oleh Perusahaan Qualcomm Inc yang sebelumnya gagal mencapai kesepakatan.
Kesepakatan kedua pemimpin negara raksasa ekonomi ini diproyeksi akan berpengaruh global baik secara ekonomi maupun masa depan harga saham dan kebijakan masing-masing negara di dunia. Meskipun demikian, banyak ekonom yang meyakini bahwa efek kesepakatan ini tidak akan berdampak instan. Saling gempur strategi serta kebijakan akan masih terus berlangsung hingga salah satu menyerah. AS dan China masih menunggu kesepakatan dagang baru yang mencakup transfer teknologi, properti intelektual, tarif, pencurian siber dan pertanian. Apabila kesepakatan ini tidak tercapai dalam 90 hari ke depan, maka AS akan tetap menambah tarif dari 10% menjadi 25% untuk barang-barang China.
Dampaknya bagi Negara Berkembang
Era Perang Dagang muncul di awal 2018. Aktor utamanya adalah Amerika Serikat. Mungkin slogan Make America Great Again ala Donald Trump adalah faktor penting dalam lahirnya perang dagang ini. Trump melihat ekonomi AS mulai tertatih akibat pertumbuhan ekonomi sang kompetitor yang pesat. AS mengalami defisit neraca perdagangan akibat membanjirnya barang-barang impor China ke negeri mereka.
China berkembang sangat ganas dan menggurita menguasai perdagangan dunia selama satu dekade terakhir. Kuatnya ekonomi China didorong oleh fondasi ekonomi yang kokoh serta iklim kompetisi masyarakatnya untuk meningkatkan kekuatan finansial. Kombinasi keduanya mampu menggerakkan ekonomi China secara serempak. China perlahan menggeser negara-negara maju lainnya dan akhirnya berada di level yang sama dengan kekuatan ekonomi terbesar saat ini yaitu Amerika Serikat.
Melihat hal tersebut, AS tidak tinggal diam. Donald Trump mengumumkan niatnya untuk mengenakan tarif sebesar USD50 miliar untuk barang-barang China pada 22 Maret 2018. Untuk memperkuat kekuatan, AS meningkatkan bunga Bank Sentral guna menggiring modal pulang ke kampung halaman. Negeri ini juga gemar mengajukan kasus persengketaan dagang kepada WTO (World Trade Organization) untuk memenangkan sengketa atau sekadar memberikan efek gentar negara pesaing untuk menerapkan strategi balasan. Mereka juga meluncurkan kebijakan pemangkasan pajak untuk meningkatkan aktivitas ekonomi AS yang sebelumnya mengalami stagnasi.
China melakukan berbagai cara untuk menghentikan strategi AS. Mereka membalas berbagai kebijakan AS ini dengan memberlakukan tarif kepada produk-produk impor AS. Pemerintah China memperkuat prosedur bea cukai, menetapkan aturan baru dan menaikkan ongkos bagi perusahaan asing yang beroperasi di wilayahnya. China juga perlahan berusaha mengisolasi AS dengan membuat jaringan perdagangan ke negara-negara Eropa, Asia dan Amerika Latin. China bahkan dituduh menurunkan nilai mata uang Yuan untuk meningkatkan ekspor mereka meskipun akhirnya tuduhan ini tidak terbukti.
Saling melempar strategi membuat aktivitas ekonomi dunia terhambat. Pertumbuhan ekonomi dunia pun mengalami penurunan proyeksi pada 2018 dan 2019. Kedua negara raksasa pelaku perang dagang terus melakukan berbagai strategi untuk menangkis serangan kebijakan lawannya. Akibatnya investor mulai khawatir dengan pertumbuhan ekonomi global. Dana yang tertanam di negara-negara berkembang lambat laun mulai melarikan diri dan ditanamkan kepada negara maju yang dianggap mempunyai kestabilan keuangan yang baik. Pelarian ini membuat negara-negara berkembang yang sangat bergantung dengan investasi negara maju limbung. Satu demi satu negara berkembang tumbang dimulai dari Venezuela, Argentina, Turki hingga Afrika Selatan. Cadangan devisa mereka terkuras habis hingga mata uang mereka terpuruk. Ketergantungan yang tinggi terhadap ekonomi negara-negara maju menjadi bumerang bagi para negara berkembang.
Menimbang Strategi Indonesia
Indonesia harus ulet menghadapi perang dagang ini. Walaupun Indonesia tidak bernasib sama dengan negara yang telah tumbang, Indonesia harus tetap waspada. Sebagai penyandang predikat negara berkembang serta ketergantungan yang cukup tinggi oleh dana investasi asing, Indonesia adalah negara yang tidak kebal guncangan. Meskipun rupiah sudah mulai bergerak menguat dibanding mata uang asing lainnya, pergerakan kreatif harus tetap dilaksanakan mengingat perang dagang diproyeksi bakal terus berlangsung lama dan bergerak dinamis meskipun kesepakatan terbaru dalam KTT G20 menunjukkan penurunan tensi.
Mengkaji nasib negara-negara berkembang dalam menghadapi perang dagang serta ketergantungan dengan negara maju, pemerintah perlu mencoba memanfaatkan momentum baru. Kementerian Keuangan mendorong kerja sama antara negara di wilayah selatan untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Indonesia berkomitmen untuk menandatangani kerja sama Selatan-selatan Triangular atau South-south Triangular Cooperation. Kerja sama ini melibatkan pasar antarnegara Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Selatan. Kerja sama yang tergolong baru ini berbentuk perdagangan, manajemen pembangunan, dan manajemen fiskal.
Ibarat peribahasa satu lidi akan mudah patah tetapi ratusan sapu lidi akan sulit patah, langkah Indonesia ini adalah langkah yang menarik. Kebersamaan akan menciptakan kekuatan baru mengarungi era perang dagang. Kita dapat berkaca kepada sebuah teori ekonomi yaitu Teori Ketergantungan (Dependency Theory). Teori ini menyatakan bahwa negara berkembang sulit bertransformasi menjadi negara maju karena terdominasi secara politik dan ekonomi oleh negara maju. Untuk itu negara berkembang harus mempunyai strategi menghindari ketergantungan. Salah satu caranya adalah membentuk poros perdagangan baru dengan negara berkembang yang lain.
Asalkan tidak merugikan neraca perdagangan dan dibarengi dengan pergerakan aktif peningkatan ekspor serta penyerapan tenaga kerja, ekspansi kerja sama dengan negara senasib dapat memperkukuh perdagangan Indonesia. Toh, mereka juga sebetulnya merupakan pasar potensial untuk menjalankan perdagangan. Afrika kaya dengan minyak bumi dan Amerika Selatan kaya dengan produk manufaktur serta pertambangan.
Negara-negara berkembang dapat perlahan-lahan menciptakan arus perdagangan baru dan membentuk perdagangan yang bebas dari intrik. Berbeda jauh dengan perang dagang saat ini yang penuh dengan kelicikan dan intrik, ekosistem sehat dan kompetitif dalam pasar perdagangan baru akan sangat menguntungkan bagi semua pihak. Apabila mampu dengan baik, terobosan ini dapat semakin memperkuat posisi Indonesia dan meminimalkan efek era perang dagang.
(whb)