Menanti Kampanye Pilpres Berkualitas
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia
SUDAH dua bulan lebih kampanye Pilpres 2019 berlangsung. Namun, perdebatan berkelas menyangkut kepentingan rakyat belum juga menyeruak ke permukaan. Alih-alih memaparkan visi-misi berkualitas, dua kandidat calon presiden (capres) malah terjebak pada idiom politik peyoratif yang saling menegasi. Nyaris tak ada narasi penting substansial yang menyehatkan nalar publik.
Tudingan ekonomi kebodohan (economic stupidity ), politisi sontoloyo, tampang Boyolali, hingga politik genderuwo, pengap menjejali ruang publik berbarengan dengan polusi politik di level pendukung yang saling menghujat. Mungkin saja diksi bernada peyoratif itu diniatkan untuk menarasikan kondisi politik sesuai selera kandidat, tapi publik menangkap pesan lain karena bahasa politiknya bernada merendahkan.
Kampanye pilpres sejatinya mulia karena bertujuan menyehatkan logika politik publik sebagai instrumen edukasi dengan paparan program kerja jangka panjang. Karenanya, kampanye harus mampu meyakinkan publik untuk terlibat secara sukarela dalam kontestasi elektoral. Bukan sebaliknya, malah membuat jenuh yang berimplikasi pada meningkatnya swing voter yang masih gamang menentukan sikap politik.
Visi-misi Jokowi dan Ma’ruf Amin dengan narasi besar "Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju" mestinya didentumkan ke ruang publik politis dengan bahasa penuh kerakyatan. Begitu pun visi-misi Prabowo dan Sandiaga Uno tentang "Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia" harusnya diinternalisasi dalam frasa politik keseharian di setiap menyapa basis konstituen di bawah.
Sejauh ini daya tangkap publik terhadap visi-misi kandidat masih jauh panggang dari api. Publik malah lebih populer dengan diksi politik yang terkesan tak memuliakan akal sehat itu. Seakan pilpres bukan panggung terhormat negarawan dengan gagasan besar tentang Indonesia di masa depan.
Isu Substansial
Jika dikuliti utuh, diksi peyoratif, seperti genderuwo dan ekonomi kebodohan, substansinya serupa sindiran sekaligus saling klaim soal kondisi ekonomi bangsa saat ini. Sebagai penantang, Prabowo-Sandi mengumbar isu ekonomi yang dikesankan sekarat, rapuh, dan praktik monopoli kekayaan oleh segelintir elite. Jokowi dituding gagal memproteksi sektor riil kehidupan rakyat.
Sejak awal Prabowo-Sandi agresif menyerang titik lemah Jokowi di bidang ekonomi karena kepuasan publik rendah dibandingkan sektor lain seperti infrastruktur dan pelayanan publik. Keduanya aktif berbagi peran. Prabowo menyasar isu ekonomi makro yang mengesankan bangsa ini dikuasai asing. Sementara Sandi fokus di level mikro memainkan isu ekonomi dapur emak-emak mulai dari tempe setipis kartu ATM hingga harga komoditas pasar yang melambung tinggi tak terjangkau.
Jokowi klimaks karena kerap diserang badai isu. Akhirnya, Jokowi mengadopsi strategi bermain sepak bola total football ala Barcelona dengan filosofi menyerang sebagai pertahanan terbaik. Genderuwo atau sontoloyo adalah upaya bertahan sekaligus serangan balik mematikan bagi Prabowo-Sandi yang dinilai hanya menebar ketakutan tak berdasar tanpa data.
Mestinya perdebatan digeser pada level jauh lebih substansial soal isu-isu perekonomian bangsa di masa depan. Bukan malah terjebak perang istilah tak ilmiah. Kualitas isunya harus lebih ditonjolkan dari sekadar hal artifisial dangkal tak mendalam. Kampanye pilpres sejatinya mendahulukan kualitas isu ketimbang gimmick politik pinggiran karena panggung politik saat ini telanjur diklaim lebih terhormat.
Pertanyaan kemudian apa betul kondisi ekonomi sedang tak stabil atau sedang menanjak pesat. Termasuk soal kondisi ekonomi emak-emak yang dinilai lagi oleng. Harus ada kehati-hatian mengungkap fakta, bukan terjebak pada generalisasi umum yang mengambang. Jangan sampai kondisi satu pasar digeneralisasikan sebagai gambaran pasar lain yang kondisinya berbeda. Di situlah pentingnya data akurat mesti disodorkan kandidat, bukan saling klaim tak jelas.
Di luar itu, mestinya ada isu lain yang disodorkan ke permukaan, misalnya soal bagaimana skenario melunasi utang, "takdir" kenaikan BBM, melemahnya nilai tukar rupiah, serta isu di bidang hukum, sosial, dan politik. Sebab siapa pun presidennya, Indonesia akan dihadapkan pada situasi ketergantungan utang serta kondisi BBM dan posisi rupiah dalam kepungan kekuatan ekonomi global.
Membumikan Visi-Misi Capres
Pippa Norris (2000) mendefinisikan kampanye sebagai proses komunikasi politik individu yang menjadi kontestan guna mengomunikasikan program kerja yang ditawarkan kepada publik. Visi-misi yang merupakan implementasi program kerja kandidat mesti disosialisasikan dalam rentang waktu kampanye yang masih tersisa.
Dalam visi-misi Jokowi dan Ma’ruf Amin tertulis sembilan hal penting, yakni meningkatkan kualitas manusia Indonesia, struktur ekonomi produktif berdaya saing, pembangunan merata dan berkeadilan, mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, kemajuan budaya, penegakan sistem hukum bebas korupsi, perlindungan bagi segenap bangsa, pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya, serta sinergi pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan.
Dalam mukadimah visi-misi dijelaskan bahwa selama berkuasa Jokowi berhasil melakukan banyak hal terutama pembangunan yang tak lagi Jawa Sentris, keberpihakan pada 40 persen rakyat lapisan bawah dengan ragam bantuan dan pembangunan lapangan kerja, dan mengurangi angka kemiskinan yang hanya tersisa 9,82 persen. Keberhasilan ini tentu akan dilanjutkan pada periode kedua Jokowi andai terpilih kembali sebagai presiden.
Sementara itu, visi-misi Prabowo dan Sandi memprioritaskan pada empat sektor strategis, yakni bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, politik, hukum dan hankam, serta budaya dan lingkungan yang kemudian diterjemahkan dalam sejumlah program aksi lapangan.
Dalam bidang ekonomi, Prabowo-Sandi bertekad menyelenggarakan politik pembangunan yang prorakyat, membangun kembali industri strategis, meningkatkan kesejahteraan petani, revitalisasi pasar tradisional, dan menghentikan kebocoran negara. Sedangkan di sektor kesejahteraan memastikan seluruh rakyat mendapatkan jaminan sosial, pemenuhan hak dasar fakir miskin, anak telantar, lansia, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lain.
Di sektor budaya dan lingkungan, prioritas Prabowo Sandi mengatasi perubahan iklim global, memperjuangkan hak-hak pekerja seni, menghukum berat perusahaan yang terlibat pembalakan liar, serta merevitalisasi usaha pelestarian lingkungan berbasis kearifan lokal. Kemudian bidang politik, hukum, dan hankam berupaya mewujudkan penegakan hukum tanpa tebang pilih, reformasi birokrasi, mencegah praktik korupsi birokrasi, serta mewujudkan politik luar negeri berbas aktif yang disegani dunia.
Harus jujur diakui, snapshot visi-misi mentereng kedua kandidat di atas tidak banyak diketahui publik. Seakan ada jurang lebar antara cita-cita elite dengan rakyat di bawah. Tentu persoalan gap ini harus segera diantisipasi untuk menciptakan pilpres berkualitas, bukan semata seremonial pemilu lima tahunan tanpa makna.
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia
SUDAH dua bulan lebih kampanye Pilpres 2019 berlangsung. Namun, perdebatan berkelas menyangkut kepentingan rakyat belum juga menyeruak ke permukaan. Alih-alih memaparkan visi-misi berkualitas, dua kandidat calon presiden (capres) malah terjebak pada idiom politik peyoratif yang saling menegasi. Nyaris tak ada narasi penting substansial yang menyehatkan nalar publik.
Tudingan ekonomi kebodohan (economic stupidity ), politisi sontoloyo, tampang Boyolali, hingga politik genderuwo, pengap menjejali ruang publik berbarengan dengan polusi politik di level pendukung yang saling menghujat. Mungkin saja diksi bernada peyoratif itu diniatkan untuk menarasikan kondisi politik sesuai selera kandidat, tapi publik menangkap pesan lain karena bahasa politiknya bernada merendahkan.
Kampanye pilpres sejatinya mulia karena bertujuan menyehatkan logika politik publik sebagai instrumen edukasi dengan paparan program kerja jangka panjang. Karenanya, kampanye harus mampu meyakinkan publik untuk terlibat secara sukarela dalam kontestasi elektoral. Bukan sebaliknya, malah membuat jenuh yang berimplikasi pada meningkatnya swing voter yang masih gamang menentukan sikap politik.
Visi-misi Jokowi dan Ma’ruf Amin dengan narasi besar "Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju" mestinya didentumkan ke ruang publik politis dengan bahasa penuh kerakyatan. Begitu pun visi-misi Prabowo dan Sandiaga Uno tentang "Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia" harusnya diinternalisasi dalam frasa politik keseharian di setiap menyapa basis konstituen di bawah.
Sejauh ini daya tangkap publik terhadap visi-misi kandidat masih jauh panggang dari api. Publik malah lebih populer dengan diksi politik yang terkesan tak memuliakan akal sehat itu. Seakan pilpres bukan panggung terhormat negarawan dengan gagasan besar tentang Indonesia di masa depan.
Isu Substansial
Jika dikuliti utuh, diksi peyoratif, seperti genderuwo dan ekonomi kebodohan, substansinya serupa sindiran sekaligus saling klaim soal kondisi ekonomi bangsa saat ini. Sebagai penantang, Prabowo-Sandi mengumbar isu ekonomi yang dikesankan sekarat, rapuh, dan praktik monopoli kekayaan oleh segelintir elite. Jokowi dituding gagal memproteksi sektor riil kehidupan rakyat.
Sejak awal Prabowo-Sandi agresif menyerang titik lemah Jokowi di bidang ekonomi karena kepuasan publik rendah dibandingkan sektor lain seperti infrastruktur dan pelayanan publik. Keduanya aktif berbagi peran. Prabowo menyasar isu ekonomi makro yang mengesankan bangsa ini dikuasai asing. Sementara Sandi fokus di level mikro memainkan isu ekonomi dapur emak-emak mulai dari tempe setipis kartu ATM hingga harga komoditas pasar yang melambung tinggi tak terjangkau.
Jokowi klimaks karena kerap diserang badai isu. Akhirnya, Jokowi mengadopsi strategi bermain sepak bola total football ala Barcelona dengan filosofi menyerang sebagai pertahanan terbaik. Genderuwo atau sontoloyo adalah upaya bertahan sekaligus serangan balik mematikan bagi Prabowo-Sandi yang dinilai hanya menebar ketakutan tak berdasar tanpa data.
Mestinya perdebatan digeser pada level jauh lebih substansial soal isu-isu perekonomian bangsa di masa depan. Bukan malah terjebak perang istilah tak ilmiah. Kualitas isunya harus lebih ditonjolkan dari sekadar hal artifisial dangkal tak mendalam. Kampanye pilpres sejatinya mendahulukan kualitas isu ketimbang gimmick politik pinggiran karena panggung politik saat ini telanjur diklaim lebih terhormat.
Pertanyaan kemudian apa betul kondisi ekonomi sedang tak stabil atau sedang menanjak pesat. Termasuk soal kondisi ekonomi emak-emak yang dinilai lagi oleng. Harus ada kehati-hatian mengungkap fakta, bukan terjebak pada generalisasi umum yang mengambang. Jangan sampai kondisi satu pasar digeneralisasikan sebagai gambaran pasar lain yang kondisinya berbeda. Di situlah pentingnya data akurat mesti disodorkan kandidat, bukan saling klaim tak jelas.
Di luar itu, mestinya ada isu lain yang disodorkan ke permukaan, misalnya soal bagaimana skenario melunasi utang, "takdir" kenaikan BBM, melemahnya nilai tukar rupiah, serta isu di bidang hukum, sosial, dan politik. Sebab siapa pun presidennya, Indonesia akan dihadapkan pada situasi ketergantungan utang serta kondisi BBM dan posisi rupiah dalam kepungan kekuatan ekonomi global.
Membumikan Visi-Misi Capres
Pippa Norris (2000) mendefinisikan kampanye sebagai proses komunikasi politik individu yang menjadi kontestan guna mengomunikasikan program kerja yang ditawarkan kepada publik. Visi-misi yang merupakan implementasi program kerja kandidat mesti disosialisasikan dalam rentang waktu kampanye yang masih tersisa.
Dalam visi-misi Jokowi dan Ma’ruf Amin tertulis sembilan hal penting, yakni meningkatkan kualitas manusia Indonesia, struktur ekonomi produktif berdaya saing, pembangunan merata dan berkeadilan, mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, kemajuan budaya, penegakan sistem hukum bebas korupsi, perlindungan bagi segenap bangsa, pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya, serta sinergi pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan.
Dalam mukadimah visi-misi dijelaskan bahwa selama berkuasa Jokowi berhasil melakukan banyak hal terutama pembangunan yang tak lagi Jawa Sentris, keberpihakan pada 40 persen rakyat lapisan bawah dengan ragam bantuan dan pembangunan lapangan kerja, dan mengurangi angka kemiskinan yang hanya tersisa 9,82 persen. Keberhasilan ini tentu akan dilanjutkan pada periode kedua Jokowi andai terpilih kembali sebagai presiden.
Sementara itu, visi-misi Prabowo dan Sandi memprioritaskan pada empat sektor strategis, yakni bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, politik, hukum dan hankam, serta budaya dan lingkungan yang kemudian diterjemahkan dalam sejumlah program aksi lapangan.
Dalam bidang ekonomi, Prabowo-Sandi bertekad menyelenggarakan politik pembangunan yang prorakyat, membangun kembali industri strategis, meningkatkan kesejahteraan petani, revitalisasi pasar tradisional, dan menghentikan kebocoran negara. Sedangkan di sektor kesejahteraan memastikan seluruh rakyat mendapatkan jaminan sosial, pemenuhan hak dasar fakir miskin, anak telantar, lansia, penyandang disabilitas, dan kelompok rentan lain.
Di sektor budaya dan lingkungan, prioritas Prabowo Sandi mengatasi perubahan iklim global, memperjuangkan hak-hak pekerja seni, menghukum berat perusahaan yang terlibat pembalakan liar, serta merevitalisasi usaha pelestarian lingkungan berbasis kearifan lokal. Kemudian bidang politik, hukum, dan hankam berupaya mewujudkan penegakan hukum tanpa tebang pilih, reformasi birokrasi, mencegah praktik korupsi birokrasi, serta mewujudkan politik luar negeri berbas aktif yang disegani dunia.
Harus jujur diakui, snapshot visi-misi mentereng kedua kandidat di atas tidak banyak diketahui publik. Seakan ada jurang lebar antara cita-cita elite dengan rakyat di bawah. Tentu persoalan gap ini harus segera diantisipasi untuk menciptakan pilpres berkualitas, bukan semata seremonial pemilu lima tahunan tanpa makna.
(pur)