Simalakama Bernama Guru Honorer
A
A
A
Mohammad Nasih
Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Karakter di Rumah Perkaderan Monâsh Institute Semarang
DI ANTARA tujuan utama bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu sistem pendidikan yang baik dan sesuai menjadi sebuah kebutuhan dasar. Guru termasuk bagian terpenting dalam sistem pendidikan. Terutama pada tingkat dasar dan menengah, keberadaan guru bisa dikatakan merupakan sebuah keniscayaan. Pada tingkat ini bisa dikatakan bahwa para peserta didik secara umum belum memiliki kemampuan dan kesadaran yang cukup untuk belajar secara mandiri. Terlebih lagi dalam konteks untuk membangun karakter dan melakukan "rekayasa mentalitas". Karena itu guru sangat diperlukan untuk tidak hanya mengajari, tetapi juga mendidik yang di dalamnya terdapat unsur motivasi, pengarahan, penguatan, perintah, larangan, dan sebagainya.
Untuk bisa melakukan semuanya itu diperlukan guru dengan kualitas yang tidak tanggung-tanggung. Prinsip bahwa "engkau hanya bisa memberikan sesuatu yang engkau miliki" berlaku pada peran sebagai guru. Karena itu mereka haruslah pribadi-pribadi unggul dalam fisik, mental, dan spiritual. Itu sebabnya dalam budaya Jawa muncul ujaran bahwa guru adalah orang yang harus bisa digugu (dipercaya apa yang dikatakan) dan ditiru (dianut seluruh perilakunya).
Namun sistem rekrutmen guru telah menyebabkan sebagian besar guru "cacat sejak lahir". Dengan kata lain kualitas guru tidak sesuai dengan standar minimal yang seharusnya dimiliki untuk bisa menjadi pendidik yang efektif, apalagi efisien. Implikasinya tentu saja sangat tampak pada kualitas pendidikan yang indikator utamanya bisa dinilai dari kualitas SDM yang dihasilkan. Sering muncul kritik, termasuk dari pejabat-pejabat tinggi negara sendiri, bahwa kualitas SDM anak bangsa Indonesia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan SDM anak bangsa lain. Itulah yang sering dijadikan sebagai alasan untuk membayar mahal SDM dari luar negeri karena mereka dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi walaupun kenyataannya tidak selalu demikian. Itu pun dihasilkan dalam rentang waktu yang lama.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kualitas guru di Indonesia secara umum tidak hanya di bawah standar, tetapi bisa juga dikatakan sangat memprihatinkan. Dalam beberapa kasus, dua atau lebih faktornya membentuk lingkaran setan atau logika ayam-telur yang tidak ketahuan mana yang sesungguhnya ada terlebih dulu dan menyebabkan faktor lainnya muncul dan harus segara diputus.
Pertama , penghasilan dan jaminan kesejahteraan guru sangat tidak memadai. Secara umum, masyarakat Indonesia belum memberikan penghargaan yang tinggi pada ilmu pengetahuan. Banyak di antara mereka yang lebih percaya pada tahayul dan khurafat. Seorang dukun yang bahkan dalam aspek penampilan pun tidak meyakinkan justru lebih dihargai dan dihormati daripada guru.
Kedua , apresiasi negara, terutama pemerintah, terhadap profesi guru masih sangat rendah. Kesejahteraan mereka tidak diperhatikan dengan baik. Gaji guru rendah sehingga penghasilan mereka lebih rendah daripada penghasilan profesi-profesi lain. Belum ada kebijakan dan program yang benar-benar revolusioner untuk meningkatkan kualitas guru. Bahkan untuk menemukan solusi problematika dalam dunia para guru pun belum terjadi. Akhirnya guru bahkan dipandang sebagai bagian dari persoalan. UU tentang Guru dan Dosen memang telah meningkatkan kesejahteraan sebagian guru, tetapi juga belum terlalu signifikan jika dibandingkan profesi-profesi yang lain sehingga profesi guru masih kalah pamor daripada profesi-profesi lain.
Kedua faktor di atas menyebabkan guru menjadi profesi yang kurang membanggakan. Guru di sekolah tidak seperti pendidik di perguruan tinggi atau kiai yang memiliki status sosial yang tinggi. Karena itu kebanggaan menjadi guru bisa dikatakan tidak ada. Akibatnya harus diakui bahwa sebagian guru mengajar dengan tidak sepenuh hati dan tidak memiliki semangat yang sangat kuat untuk mengoptimalkan proses pendidikan untuk benar-benar menghasilkan peserta didik yang mengalami perkembangan kualitas secara signifikan. Padahal unsur yang terpenting untuk membangkitkan semangat belajar adalah motivasi. Tentu saja motivasi tidak mungkin keluar dari guru yang tidak sepenuh hati menjalani profesi sebagai pendidik.
Ketiga , input SDM di fakultas-fakultas keguruan dan kependidikan bukanlah SDM berkualitas terbaik. SDM berkualitas terbaik umumnya masih mengincar fakultas kedokteran, hukum, ekonomi, dan teknik. Yang masuk di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, karena itu, adalah mereka yang secara umum berkualitas jauh di bawah sehingga tentu saja kompetensi mereka bukanlah yang tertinggi. Agar menghasilkan SDM yang lebih baik, tentu saja diperlukan pendidik-pendidik dengan kualitas terbaik. Untuk itu dalam sebuah sistem pendidikan yang dikelola negara, diperlukan kebijakan yang bisa membuat SDM-SDM terbaik tertarik menjadi pendidik. Masalahnya memang tidak melulu soal kesejahteraan. Namun masalah kesejahteraan ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai contoh konkret, Finlandia dianggap sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia karena SDM guru diambil dari hanya 10 lulusan terbaik universitas. Adapun di Indonesia biasanya justru para guru adalah mereka yang tidak memiliki harapan untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan yang memberikan UMR sekalipun. Mengapa lulusan terbaik di Finlandia mau, bahkan ingin menjadi guru? Hampir bisa dipastikan bahwa guru merupakan profesi dengan jaminan hidup terbaik.
Keempat , fasilitas untuk guru masih sangat minim. Mendidik di lembaga pendidikan dasar dan menengah sesungguhnya justru memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Namun hal itu biasanya dianggap remeh. Ini adalah masa pembangunan karakter yang sangat menentukan kualitas SDM pada masa selanjutnya. Karena itu diperlukan pendidik-pendidik yang selalu meningkatkan kualitas diri dengan pendidikan lanjutan. Guru membutuhkan peningkatan profesionalitas sebagai pendidik dengan banyak menambah pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kualitas dalam mengajar dan mendidik. Tanpa fasilitas yang memadai, tentu tidak bisa berharap guru akan mengalami peningkatan kualitas.
Karena sebab-sebab di atas, permasalahan tuntutan untuk menjadikan guru honorer sebagai PNS memang ibarat buah simalakama dilihat dari berbagai aspek, bukan hanya soal masalah kemampuan finansial negara, tetapi juga soal kualitas mereka. Jika semua diangkat menjadi PNS dan menjadi guru-guru permanen, kualitas pendidikan kita sesungguhnya sedang dipertaruhkan. Sebab memang tidak semuanya memiliki kualifikasi yang cukup untuk menjadi guru. Jika hanya yang memenuhi kualifikasi saja diangkat, hampir bisa dipastikan lebih banyak yang terlewat dan ini akan menyebabkan permasalahan politik berikutnya.
Yang diperlukan adalah keberanian untuk memutus lingkaran setan yang terjadi itu. Tidak ada jalan lain selain memulai jalan baru untuk membuat dunia pendidikan menjadi dunia yang sangat menarik bagi siapa pun SDM terbaik. Untuk memulai ini tentu saja bukan sesuatu yang mudah. Pokok permasalahan guru sebagaimana telah diurai di atas harus diselesaikan dengan langkah-langkah strategis negara. Di antara yang saat ini sesungguhnya mudah dilakukan adalah memberikan beasiswa kepada SDM-SDM terbaik untuk dipastikan menjadi guru. Sejak awal mereka harus melakukan komitmen kesediaan untuk menjadi guru dengan kualifikasi yang ditentukan. Beasiswa Bidik Misi misalnya bisa dialokasikan untuk program ini. Hanya lulusan SMU terbaik yang bisa mendapatkan beasiswa Bidik Misi. Yang ditekankan adalah prestasinya, bukan miskinnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pembangun Karakter di Rumah Perkaderan Monâsh Institute Semarang
DI ANTARA tujuan utama bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu sistem pendidikan yang baik dan sesuai menjadi sebuah kebutuhan dasar. Guru termasuk bagian terpenting dalam sistem pendidikan. Terutama pada tingkat dasar dan menengah, keberadaan guru bisa dikatakan merupakan sebuah keniscayaan. Pada tingkat ini bisa dikatakan bahwa para peserta didik secara umum belum memiliki kemampuan dan kesadaran yang cukup untuk belajar secara mandiri. Terlebih lagi dalam konteks untuk membangun karakter dan melakukan "rekayasa mentalitas". Karena itu guru sangat diperlukan untuk tidak hanya mengajari, tetapi juga mendidik yang di dalamnya terdapat unsur motivasi, pengarahan, penguatan, perintah, larangan, dan sebagainya.
Untuk bisa melakukan semuanya itu diperlukan guru dengan kualitas yang tidak tanggung-tanggung. Prinsip bahwa "engkau hanya bisa memberikan sesuatu yang engkau miliki" berlaku pada peran sebagai guru. Karena itu mereka haruslah pribadi-pribadi unggul dalam fisik, mental, dan spiritual. Itu sebabnya dalam budaya Jawa muncul ujaran bahwa guru adalah orang yang harus bisa digugu (dipercaya apa yang dikatakan) dan ditiru (dianut seluruh perilakunya).
Namun sistem rekrutmen guru telah menyebabkan sebagian besar guru "cacat sejak lahir". Dengan kata lain kualitas guru tidak sesuai dengan standar minimal yang seharusnya dimiliki untuk bisa menjadi pendidik yang efektif, apalagi efisien. Implikasinya tentu saja sangat tampak pada kualitas pendidikan yang indikator utamanya bisa dinilai dari kualitas SDM yang dihasilkan. Sering muncul kritik, termasuk dari pejabat-pejabat tinggi negara sendiri, bahwa kualitas SDM anak bangsa Indonesia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan SDM anak bangsa lain. Itulah yang sering dijadikan sebagai alasan untuk membayar mahal SDM dari luar negeri karena mereka dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi walaupun kenyataannya tidak selalu demikian. Itu pun dihasilkan dalam rentang waktu yang lama.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kualitas guru di Indonesia secara umum tidak hanya di bawah standar, tetapi bisa juga dikatakan sangat memprihatinkan. Dalam beberapa kasus, dua atau lebih faktornya membentuk lingkaran setan atau logika ayam-telur yang tidak ketahuan mana yang sesungguhnya ada terlebih dulu dan menyebabkan faktor lainnya muncul dan harus segara diputus.
Pertama , penghasilan dan jaminan kesejahteraan guru sangat tidak memadai. Secara umum, masyarakat Indonesia belum memberikan penghargaan yang tinggi pada ilmu pengetahuan. Banyak di antara mereka yang lebih percaya pada tahayul dan khurafat. Seorang dukun yang bahkan dalam aspek penampilan pun tidak meyakinkan justru lebih dihargai dan dihormati daripada guru.
Kedua , apresiasi negara, terutama pemerintah, terhadap profesi guru masih sangat rendah. Kesejahteraan mereka tidak diperhatikan dengan baik. Gaji guru rendah sehingga penghasilan mereka lebih rendah daripada penghasilan profesi-profesi lain. Belum ada kebijakan dan program yang benar-benar revolusioner untuk meningkatkan kualitas guru. Bahkan untuk menemukan solusi problematika dalam dunia para guru pun belum terjadi. Akhirnya guru bahkan dipandang sebagai bagian dari persoalan. UU tentang Guru dan Dosen memang telah meningkatkan kesejahteraan sebagian guru, tetapi juga belum terlalu signifikan jika dibandingkan profesi-profesi yang lain sehingga profesi guru masih kalah pamor daripada profesi-profesi lain.
Kedua faktor di atas menyebabkan guru menjadi profesi yang kurang membanggakan. Guru di sekolah tidak seperti pendidik di perguruan tinggi atau kiai yang memiliki status sosial yang tinggi. Karena itu kebanggaan menjadi guru bisa dikatakan tidak ada. Akibatnya harus diakui bahwa sebagian guru mengajar dengan tidak sepenuh hati dan tidak memiliki semangat yang sangat kuat untuk mengoptimalkan proses pendidikan untuk benar-benar menghasilkan peserta didik yang mengalami perkembangan kualitas secara signifikan. Padahal unsur yang terpenting untuk membangkitkan semangat belajar adalah motivasi. Tentu saja motivasi tidak mungkin keluar dari guru yang tidak sepenuh hati menjalani profesi sebagai pendidik.
Ketiga , input SDM di fakultas-fakultas keguruan dan kependidikan bukanlah SDM berkualitas terbaik. SDM berkualitas terbaik umumnya masih mengincar fakultas kedokteran, hukum, ekonomi, dan teknik. Yang masuk di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, karena itu, adalah mereka yang secara umum berkualitas jauh di bawah sehingga tentu saja kompetensi mereka bukanlah yang tertinggi. Agar menghasilkan SDM yang lebih baik, tentu saja diperlukan pendidik-pendidik dengan kualitas terbaik. Untuk itu dalam sebuah sistem pendidikan yang dikelola negara, diperlukan kebijakan yang bisa membuat SDM-SDM terbaik tertarik menjadi pendidik. Masalahnya memang tidak melulu soal kesejahteraan. Namun masalah kesejahteraan ini juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai contoh konkret, Finlandia dianggap sebagai negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia karena SDM guru diambil dari hanya 10 lulusan terbaik universitas. Adapun di Indonesia biasanya justru para guru adalah mereka yang tidak memiliki harapan untuk bisa bekerja di perusahaan-perusahaan yang memberikan UMR sekalipun. Mengapa lulusan terbaik di Finlandia mau, bahkan ingin menjadi guru? Hampir bisa dipastikan bahwa guru merupakan profesi dengan jaminan hidup terbaik.
Keempat , fasilitas untuk guru masih sangat minim. Mendidik di lembaga pendidikan dasar dan menengah sesungguhnya justru memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Namun hal itu biasanya dianggap remeh. Ini adalah masa pembangunan karakter yang sangat menentukan kualitas SDM pada masa selanjutnya. Karena itu diperlukan pendidik-pendidik yang selalu meningkatkan kualitas diri dengan pendidikan lanjutan. Guru membutuhkan peningkatan profesionalitas sebagai pendidik dengan banyak menambah pengetahuan dan keterampilan untuk memperbaiki kualitas dalam mengajar dan mendidik. Tanpa fasilitas yang memadai, tentu tidak bisa berharap guru akan mengalami peningkatan kualitas.
Karena sebab-sebab di atas, permasalahan tuntutan untuk menjadikan guru honorer sebagai PNS memang ibarat buah simalakama dilihat dari berbagai aspek, bukan hanya soal masalah kemampuan finansial negara, tetapi juga soal kualitas mereka. Jika semua diangkat menjadi PNS dan menjadi guru-guru permanen, kualitas pendidikan kita sesungguhnya sedang dipertaruhkan. Sebab memang tidak semuanya memiliki kualifikasi yang cukup untuk menjadi guru. Jika hanya yang memenuhi kualifikasi saja diangkat, hampir bisa dipastikan lebih banyak yang terlewat dan ini akan menyebabkan permasalahan politik berikutnya.
Yang diperlukan adalah keberanian untuk memutus lingkaran setan yang terjadi itu. Tidak ada jalan lain selain memulai jalan baru untuk membuat dunia pendidikan menjadi dunia yang sangat menarik bagi siapa pun SDM terbaik. Untuk memulai ini tentu saja bukan sesuatu yang mudah. Pokok permasalahan guru sebagaimana telah diurai di atas harus diselesaikan dengan langkah-langkah strategis negara. Di antara yang saat ini sesungguhnya mudah dilakukan adalah memberikan beasiswa kepada SDM-SDM terbaik untuk dipastikan menjadi guru. Sejak awal mereka harus melakukan komitmen kesediaan untuk menjadi guru dengan kualifikasi yang ditentukan. Beasiswa Bidik Misi misalnya bisa dialokasikan untuk program ini. Hanya lulusan SMU terbaik yang bisa mendapatkan beasiswa Bidik Misi. Yang ditekankan adalah prestasinya, bukan miskinnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(pur)