Tantangan Ganda Politik Anak Muda
A
A
A
Rahmat Petuguran
Dosen Universitas Negeri Semarang,
Penulis Buku Politik Bahasa Penguasa (2016)
DENGAN keunggulan sosial dan rasionalnya, anak muda akan menjadi pemain penting dalam Pemilu 2019. Jumlah yang besar akan membuat mereka menjadi aktor determinasinya sangat diperhitungkan. Namun, anak-anak muda juga mengalami dua kendala serius dalam mengaktualisasikan aspirasi politiknya.
Secara demografis, anak-anak muda adalah kelompok paling diuntungkan oleh kondisi sosial saat ini. Mereka menjadi generasi paling siap menyambut perubahan disruptif di berbagai bidang kehidupan. Selain itu, menurut Notter dan Grant (2015), mereka memiliki empat kecakapan personal paling relevan dengan kondisi saat ini, yaitu kecakapan digital, pikiran terbuka, fleksibel, dan cepat.
Dalam bidang politik, tampak bahwa anak-anak muda juga mulai menemukan momentum politik yang menguntungkan. Selain berdirinya partai politik anak muda, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai-partai lain juga mulai akomodatif menerima anak muda. Tidak sedikit anak-anak muda berusia kurang dari 35 tahun yang menempati posisi strategis, baik di pengurus pusat maupun daerah.
Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2019 memberi ruang politik jauh lebih besar bagi anak-anak muda. Meski belum menduduki posisi sentral, mereka tidak lagi ditempatkan sebagai pemain cadangan. Oleh karena itu, jika ada pengamat politik yang meramalkan bahwa kaum muda akan menjadi penentu arah politik 2019, rasanya tidak berlebihan. Arena politik sedang bergerak seperti arena dalam kehidupan ekonomi, lebih terbuka terhadap anak muda.
Meski secara sosial mendapat keuntungan, ada dua tantangan akan ditemui anak muda dalam mengekspresikan aspirasi politiknya. Dua tantangan ini akan menentukan, apakah anak muda akan naik ke panggung utama atau tetap berada di lapis kedua.
Dua Tantangan
Kendala pertama berkaitan dengan jarak antara ide dan persoalan aktual di masyarakat. Harus diakui, anak-anak muda cenderung berpikir idealis. Mereka berusaha memperjuangkan kondisi ideal yang terpatri dalam pikiran agar bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata. Asumsi-asumsi utopis kerap dipelihara, betapa pun rendah feasibilitasnya.
Kondisi demikian bisa terjadi karena anak-anak muda memiliki energi dan waktu melimpah. Energi dan waktu itu membuat mereka merasa selalu punya kesempatan mewujudkan kondisi ideal, bagaimana pun caranya. Mengutip ucapan Napoleon Bonaparte, anak-anak muda berpikir, “Kalau tidak menemukan jalan ke tujuan, kita akan membuatnya”.
Keyakinan ini juga berkaitan dengan cara anak-anak muda memahami realitas. Sebagai kaum terdidik tumbuh pada era keterbukaan informasi, anak-anak muda terbiasa belajar dari buku dan referensi lain. Mereka belajar ide-ide besar dari berbagai sumber pustaka. Adapun sumber pustaka merupakan karya pemikiran yang cenderung simplikatif, menyederhanakan persoalan aktual di masyarakat. Oleh karena itu, anak-anak muda cenderung mengasumsikan bahwa persoalan kebangsaan juga sesederhana referensi yang dibacanya.
Jika kondisi demikian terjadi, anak muda akan mengalami kegagapan ketika menghadapi persoalan sesungguhnya. Sebab persoalan aktual di masyarakat benar-benar kompleks karena melibatkan aneka variabel yang tidak teramalkan sebelumnya. Jika mengandalkan konsep-konsep ideal, anak-anak muda justru akan mengalami stagnasi.
Kondisi itulah perlu disikapi anak muda dengan memperluas jam terbang menggauli dan menyelesaikan masalah aktual di masyarakat. Selain menjaga momentum dengan mengaktualisasikan diri di media, mereka juga perlu membangun jejaring advokasi yang konkret. Toh, masih banyak ketidakadilan masyarakat yang memerlukan keberpihakan anak-anak muda. Konflik agraria, ketidakadilan hukum, dan perebutan sumber daya alam antara masyarakat adat dan korporasi, bisa menjadi “laboratorium sosial” untuk menajamkan visi politik mereka.Tantangan kedua berkaitan dengan iklim politik Indonesia yang cenderung oligarkis. Sebagian besar partai di Indonesia masih berkultur konservatif dengan mengandalkan ketokohan sebagai kekuatan utama. Ciri-ciri sebagai partai modern yang berbasis kader hanya dimiliki satu atau dua partai.
Partai besar, seperti PDI Perjuangan, Gerindra, NasDem, dan Demokrat, akan tetap mengandalkan ketokohan ketua umumnya hingga beberapa tahun ke depan. Partai Golkar, PPP, Hanura, dan PKB, juga akan tetap mempertahankan tokoh-tokoh lama sebagai patron. Bahkan, meskipun baru, Partai Berkarya telah menunjukkan ciri sebagai partai berbasis tokoh. Keberlangsungan partai itu akan sangat ditentukan Hutomo Manda Putra dan “saudara secendananya”. Dengan kondisi demikian, akan sulit bagi anak-anak muda cemerlang untuk tampil dalam pusat kebijakan partai.
Oligarki partai merupakan realitas politik yang cenderung tidak menyehatkan demokrasi. Sistem ini akan membuat demokrasi mengalami stagnasi gagasan. Sirkulasi ide tidak berjalan karena didominasi oleh tokoh yang corak berpikir dan kebijakannya itu-itu saja. Alih-alih menjadi lembaga trengginas karena aliran gagasan yang deras, partai akan menjadi renta karena gagasan politik yang diusung tidak lagi relevan dengan kondisi aktual pemilih.
Studi menunjukkan kelembagaan partai politik berubah dari format organisasi ke format korporasi dan kini menjadi keluarga. Ketika bercorak organisasi partai politik menemukan bentuk idealnya karena menempatkan anggota sebagai pilar terpenting. Hubungan anggota, pengurus, dan pimpinan terjalin relatif sehat sehingga akomodatif terhadap berbagai gagasan. Kondisi ini lazim didapati pada partai-partai yang berkontestasi pada pemilu 1955 dan 1999.
Partai berubah menjadi korporasi ketika “dibajak” oleh para pengusaha. Nalar korporasi yang mengutamakan keuntungan finansial menjadi dominan di sini. Modal finansial menjadi modal paling diperhitungkan, mengalahkan kecakapan sosial dan intelektual. Setelah itu, kini partai-partai tampak berubah menjadi keluarga. Ini terlihat dari distribusi jabatan kepengurusan yang didominasi oleh beberapa keluarga.
Oligarki menjadi kendala serius bagi anak-anak muda. Kelompok usia yang bergairah dan semangat melakukan kebaruan ini justru bisa frustrasi karena gagasan segarnya dibatasi kepentingan klan. Oleh karena itu, agar anak-anak muda memiliki ruang aktualisasi, oligarki harus diruntuhkan dengan dua cara. Pertama, dengan merombak kultur partai. Kedua, membentuk partai baru yang lebih akomodatif terhadap gagasan kaum muda.
Ujian Waktu
Dalam peta politik Indonesia kini, PSI bisa dibilang memiliki sikap progresif paling cocok dengan semangat politik kaum muda. Partai ini ditengarai memiliki sejumlah modal sosial yang bisa mengantarkannya menjadi pemain baru yang diperhitungkan pada Pemilu 2019.
Pertama, secara harfiah, partai ini benar-benar dikelola oleh anak-anak muda di bawah 40 tahun. Kondisi ini membuatnya bisa membaca karakter psikososial anak muda secara persis. Sebab ketika mereka membicarakan anak-anak muda, mereka membicarakan dirinya sendiri.
Sudut pandang ini memberi keuntungan melimpah karena bisa menjadi jembatan berkomunikasi dengan anak muda menjadi lebih “nyambung.” Kedua, partai ini memiliki sikap jelas dalam menghadapi isu-isu fundamental kebangsaan. Dalam menyikapi korupsi, PSI relatif tegas dan frontal menyampaikan penolakan. Sikap ini tentu saja mereka miliki karena tidak memiliki beban sejarah apa pun. Sebagai partai baru, mereka tidak memiliki satu kader pun yang sedang atau pernah terjerat korupsi. Sikap tegas juga cenderung ditunjukkan ketika menyikapi isu intoleransi.
Meski memiliki dua keuntungan di atas, tentu saja PSI tidak akan dengan sendirinya menjadi pilihan tunggal anak-anak muda. Ia harus menguji dirinya sendiri dalam berbagai kesempatan. Oleh karena itu, para pegiatnya harus memanfaatkan berbagai momentum selama masa kampanye agar kedekatan psikologisnya dengan anak muda tetap terjaga.
Sebagaimana dirumuskan sejumlah ahli, anak-anak muda memiliki sejumlah kekhasan berhavorial. Pertama, kecenderungan mendobrak standar lama dengan menawarkan standar baru yang lebih rasional. Kedua, lebih optimistis memandang masa depan. Ketiga, fleksibel menghadapi berbagai kemungkinan. Asal memiliki kecocokan dalam tiga aspek tersebut, PSI atau partai mana pun bisa menjadi rumah besar bagi anak-anak muda. Kita tunggu, biar waktu yang akan menguji.
Dosen Universitas Negeri Semarang,
Penulis Buku Politik Bahasa Penguasa (2016)
DENGAN keunggulan sosial dan rasionalnya, anak muda akan menjadi pemain penting dalam Pemilu 2019. Jumlah yang besar akan membuat mereka menjadi aktor determinasinya sangat diperhitungkan. Namun, anak-anak muda juga mengalami dua kendala serius dalam mengaktualisasikan aspirasi politiknya.
Secara demografis, anak-anak muda adalah kelompok paling diuntungkan oleh kondisi sosial saat ini. Mereka menjadi generasi paling siap menyambut perubahan disruptif di berbagai bidang kehidupan. Selain itu, menurut Notter dan Grant (2015), mereka memiliki empat kecakapan personal paling relevan dengan kondisi saat ini, yaitu kecakapan digital, pikiran terbuka, fleksibel, dan cepat.
Dalam bidang politik, tampak bahwa anak-anak muda juga mulai menemukan momentum politik yang menguntungkan. Selain berdirinya partai politik anak muda, seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai-partai lain juga mulai akomodatif menerima anak muda. Tidak sedikit anak-anak muda berusia kurang dari 35 tahun yang menempati posisi strategis, baik di pengurus pusat maupun daerah.
Jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2019 memberi ruang politik jauh lebih besar bagi anak-anak muda. Meski belum menduduki posisi sentral, mereka tidak lagi ditempatkan sebagai pemain cadangan. Oleh karena itu, jika ada pengamat politik yang meramalkan bahwa kaum muda akan menjadi penentu arah politik 2019, rasanya tidak berlebihan. Arena politik sedang bergerak seperti arena dalam kehidupan ekonomi, lebih terbuka terhadap anak muda.
Meski secara sosial mendapat keuntungan, ada dua tantangan akan ditemui anak muda dalam mengekspresikan aspirasi politiknya. Dua tantangan ini akan menentukan, apakah anak muda akan naik ke panggung utama atau tetap berada di lapis kedua.
Dua Tantangan
Kendala pertama berkaitan dengan jarak antara ide dan persoalan aktual di masyarakat. Harus diakui, anak-anak muda cenderung berpikir idealis. Mereka berusaha memperjuangkan kondisi ideal yang terpatri dalam pikiran agar bisa diwujudkan dalam kehidupan nyata. Asumsi-asumsi utopis kerap dipelihara, betapa pun rendah feasibilitasnya.
Kondisi demikian bisa terjadi karena anak-anak muda memiliki energi dan waktu melimpah. Energi dan waktu itu membuat mereka merasa selalu punya kesempatan mewujudkan kondisi ideal, bagaimana pun caranya. Mengutip ucapan Napoleon Bonaparte, anak-anak muda berpikir, “Kalau tidak menemukan jalan ke tujuan, kita akan membuatnya”.
Keyakinan ini juga berkaitan dengan cara anak-anak muda memahami realitas. Sebagai kaum terdidik tumbuh pada era keterbukaan informasi, anak-anak muda terbiasa belajar dari buku dan referensi lain. Mereka belajar ide-ide besar dari berbagai sumber pustaka. Adapun sumber pustaka merupakan karya pemikiran yang cenderung simplikatif, menyederhanakan persoalan aktual di masyarakat. Oleh karena itu, anak-anak muda cenderung mengasumsikan bahwa persoalan kebangsaan juga sesederhana referensi yang dibacanya.
Jika kondisi demikian terjadi, anak muda akan mengalami kegagapan ketika menghadapi persoalan sesungguhnya. Sebab persoalan aktual di masyarakat benar-benar kompleks karena melibatkan aneka variabel yang tidak teramalkan sebelumnya. Jika mengandalkan konsep-konsep ideal, anak-anak muda justru akan mengalami stagnasi.
Kondisi itulah perlu disikapi anak muda dengan memperluas jam terbang menggauli dan menyelesaikan masalah aktual di masyarakat. Selain menjaga momentum dengan mengaktualisasikan diri di media, mereka juga perlu membangun jejaring advokasi yang konkret. Toh, masih banyak ketidakadilan masyarakat yang memerlukan keberpihakan anak-anak muda. Konflik agraria, ketidakadilan hukum, dan perebutan sumber daya alam antara masyarakat adat dan korporasi, bisa menjadi “laboratorium sosial” untuk menajamkan visi politik mereka.Tantangan kedua berkaitan dengan iklim politik Indonesia yang cenderung oligarkis. Sebagian besar partai di Indonesia masih berkultur konservatif dengan mengandalkan ketokohan sebagai kekuatan utama. Ciri-ciri sebagai partai modern yang berbasis kader hanya dimiliki satu atau dua partai.
Partai besar, seperti PDI Perjuangan, Gerindra, NasDem, dan Demokrat, akan tetap mengandalkan ketokohan ketua umumnya hingga beberapa tahun ke depan. Partai Golkar, PPP, Hanura, dan PKB, juga akan tetap mempertahankan tokoh-tokoh lama sebagai patron. Bahkan, meskipun baru, Partai Berkarya telah menunjukkan ciri sebagai partai berbasis tokoh. Keberlangsungan partai itu akan sangat ditentukan Hutomo Manda Putra dan “saudara secendananya”. Dengan kondisi demikian, akan sulit bagi anak-anak muda cemerlang untuk tampil dalam pusat kebijakan partai.
Oligarki partai merupakan realitas politik yang cenderung tidak menyehatkan demokrasi. Sistem ini akan membuat demokrasi mengalami stagnasi gagasan. Sirkulasi ide tidak berjalan karena didominasi oleh tokoh yang corak berpikir dan kebijakannya itu-itu saja. Alih-alih menjadi lembaga trengginas karena aliran gagasan yang deras, partai akan menjadi renta karena gagasan politik yang diusung tidak lagi relevan dengan kondisi aktual pemilih.
Studi menunjukkan kelembagaan partai politik berubah dari format organisasi ke format korporasi dan kini menjadi keluarga. Ketika bercorak organisasi partai politik menemukan bentuk idealnya karena menempatkan anggota sebagai pilar terpenting. Hubungan anggota, pengurus, dan pimpinan terjalin relatif sehat sehingga akomodatif terhadap berbagai gagasan. Kondisi ini lazim didapati pada partai-partai yang berkontestasi pada pemilu 1955 dan 1999.
Partai berubah menjadi korporasi ketika “dibajak” oleh para pengusaha. Nalar korporasi yang mengutamakan keuntungan finansial menjadi dominan di sini. Modal finansial menjadi modal paling diperhitungkan, mengalahkan kecakapan sosial dan intelektual. Setelah itu, kini partai-partai tampak berubah menjadi keluarga. Ini terlihat dari distribusi jabatan kepengurusan yang didominasi oleh beberapa keluarga.
Oligarki menjadi kendala serius bagi anak-anak muda. Kelompok usia yang bergairah dan semangat melakukan kebaruan ini justru bisa frustrasi karena gagasan segarnya dibatasi kepentingan klan. Oleh karena itu, agar anak-anak muda memiliki ruang aktualisasi, oligarki harus diruntuhkan dengan dua cara. Pertama, dengan merombak kultur partai. Kedua, membentuk partai baru yang lebih akomodatif terhadap gagasan kaum muda.
Ujian Waktu
Dalam peta politik Indonesia kini, PSI bisa dibilang memiliki sikap progresif paling cocok dengan semangat politik kaum muda. Partai ini ditengarai memiliki sejumlah modal sosial yang bisa mengantarkannya menjadi pemain baru yang diperhitungkan pada Pemilu 2019.
Pertama, secara harfiah, partai ini benar-benar dikelola oleh anak-anak muda di bawah 40 tahun. Kondisi ini membuatnya bisa membaca karakter psikososial anak muda secara persis. Sebab ketika mereka membicarakan anak-anak muda, mereka membicarakan dirinya sendiri.
Sudut pandang ini memberi keuntungan melimpah karena bisa menjadi jembatan berkomunikasi dengan anak muda menjadi lebih “nyambung.” Kedua, partai ini memiliki sikap jelas dalam menghadapi isu-isu fundamental kebangsaan. Dalam menyikapi korupsi, PSI relatif tegas dan frontal menyampaikan penolakan. Sikap ini tentu saja mereka miliki karena tidak memiliki beban sejarah apa pun. Sebagai partai baru, mereka tidak memiliki satu kader pun yang sedang atau pernah terjerat korupsi. Sikap tegas juga cenderung ditunjukkan ketika menyikapi isu intoleransi.
Meski memiliki dua keuntungan di atas, tentu saja PSI tidak akan dengan sendirinya menjadi pilihan tunggal anak-anak muda. Ia harus menguji dirinya sendiri dalam berbagai kesempatan. Oleh karena itu, para pegiatnya harus memanfaatkan berbagai momentum selama masa kampanye agar kedekatan psikologisnya dengan anak muda tetap terjaga.
Sebagaimana dirumuskan sejumlah ahli, anak-anak muda memiliki sejumlah kekhasan berhavorial. Pertama, kecenderungan mendobrak standar lama dengan menawarkan standar baru yang lebih rasional. Kedua, lebih optimistis memandang masa depan. Ketiga, fleksibel menghadapi berbagai kemungkinan. Asal memiliki kecocokan dalam tiga aspek tersebut, PSI atau partai mana pun bisa menjadi rumah besar bagi anak-anak muda. Kita tunggu, biar waktu yang akan menguji.
(kri)