Pemilu Asimetris untuk Indonesia

Jum'at, 23 November 2018 - 07:39 WIB
Pemilu Asimetris untuk...
Pemilu Asimetris untuk Indonesia
A A A
Muhammad Saleh
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

INDONESIA me­rupa­kan negara yang me­miliki tingkat ke­ma­je­muk­an ma­sya­ra­kat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang sangat kompleks. Negara ini bukan saja multietnis, juga men­jadi medan pertarungan pe­nga­ruh multi­men­tal dan ideologi.Clifford Geertz me­lukis­kan Indo­nesia se­bagai se­jumlah "bangsa" dengan ukur­an, ma­kna, dan karakter yang ber­beda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang ber­sifat historis, ideologis, religius, atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struk­tur ekonomis dan politis bersama (Hardiman: 2011).Kemajemukan yang ada di Indonesia tidak hanya ada pada ranah sosial, ekonomi, budaya, etnik, melainkan juga pada ra­nah politik. Konstruksi otono­mi daerah dalam konstitusi me­ne­gas­kan bahwa eksistensi daerah-daerah di dalam negara kesatuan tak hanya bersifat sebagai pem­bagian wilayah secara adminis­tratif belaka, melainkan juga di­ikuti dengan adanya pemberian hak kepada daerah untuk meng­atur dan mengurus sendiri urus­an pe­me­rintahannya melalui oto-no­mi.Wujud konkret dari oto­nomi daerah negara kesatu­an, yaitu adanya pembagian urus­an antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai­mana amanat Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945.

Problem Pilkada dan PemiluKendati secara simbolik pilkada dan pemilu itu telah menggambarkan hadirnya oto­nomi daerah di bidang politik, tetapi secara hakiki otonomi itu sesungguhnya belum terwujud. Kondisi itu ter­cermin dalam pe­nyeleng­gara­an pilkada serentak tiga gelom­bang (2015, 2017, dan 2018) serta pada wajah Pemilu Serentak 2019. Sejumlah per­soalan pada pilkada serentak yang masih terjadi yaitu per­tama, problem sengketa hasil.Sebagai gambaran Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 13 perkara sengketa pilkada dari Papua. Itu artinya seluruh daerah di Papua mengajukan gugatan sengketa ke MK. Ada­pun dari Aceh ada dua gugatan sengketa pilkada. Sebagai per­soalan di Papua, yaitu dugaan kecurangan dalam mekanisme pemberian suara sistem noken atau perwakilan kepala suku.Kedua, sentralisasi yang terjadi di tubuh parpol. Tidak bisa dipungkiri bahwa partai politik di Indonesia masih bergantung pada sosok-sosok tertentu di tingkat pusat. Tidak hanya itu, hampir semua ke­putusan strategis parpol diken­dalikan oleh orang-orang yang berada di lingkaran elite parpol. Hal tersebut dapat dilihat ham­pir di seluruh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) parpol-parpol, khu­sus­nya dalam penentuan kan­didat, seperti pemilihan kepala daerah. Tidak hanya di AD/ART partai, UU Pilkada pun ikut mem­perkuat ketidakoton­om­an parpol di daerah.Ketiga, tingginya intervensi terhadap penyelenggaraan pil­kada. Intervensi-intervensi para elite parpol di tingkat pusat sangat mendominasi sehingga sebisa mungkin visi besar parpol harus disalurkan di daerah-da­erah. Hal itu di­lakukan lantaran setelah pe­nyelenggaraan pil­kada seren­tak itu, pada 2019 pun akan di­ikuti dengan penyelenggaraan pemilu serentak. Maka isu-isu lokal sehubungan dengan oto­n­omi daerah untuk dika­m­panye­kan selama pilkada dan pemilu tidak akan berkembang men­jadi isu kampanye.Keempat, pilkada tiga ge­lom­bang masih berbiaya ting­gi. Hal ini disebabkan pilkada belum total bersamaan. Semen­tara per­soalan lain pada pemilu serentak ada pada kualitas penyelenggaraan pemilu dan kualitas hasil pemilu akan cen­derung rendah karena mana­jerial penyelenggaraan pe­milu serentak sangat kompleks dan rumit.

Pemilu Asimetris
Dalam rangka melakukan penataan serta perbaikan kua­litas demokrasi yang subs­tan­tif, maka perlu penguatan demo­krasi lokal dan nasional. Hal yang bisa dilakukan dengan menggagas pemilu asimetris. Pemilu asimetris dapat dilaku­kan dengan menghadirkan de­mokrasi substantif di daerah, tetapi tetap menghargai ke­be­ragaman dan keunikan yang dimiliki. Salah satu caranya de­ngan membuka peluang ke­hadiran partai politik lokal di Indonesia sebagai sarana pen­yaluran aspirasi masyarakat lokal.Untuk memastikan kedudukan partai politik lokal terlaksana secara kukuh, maka diperlukan pembagian model pemilu lokal untuk memilih gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD ka­bupaten/kota dengan meng­gunakan partai politik lokal.Sementara pemilu nasional untuk memilih presiden be­ser­ta wakil presiden, DPR meng­guna­kan partai politik yang bersifat nasional. Khusus DPD melalui jalur perseorangan. Dengan de­mikian, kehadiran partai politik lokal menjadi re­le­van dengan gagasan pe­nye­leng­garaan pe­milu lokal dan nasional. Desain ini merupa­kan salah satu bagian dari ga­gasan pemilu asimetris untuk Indonesia.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0794 seconds (0.1#10.140)