Pemilu Asimetris untuk Indonesia
A
A
A
Muhammad Saleh
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
INDONESIA merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang sangat kompleks. Negara ini bukan saja multietnis, juga menjadi medan pertarungan pengaruh multimental dan ideologi.Clifford Geertz melukiskan Indonesia sebagai sejumlah "bangsa" dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius, atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama (Hardiman: 2011).Kemajemukan yang ada di Indonesia tidak hanya ada pada ranah sosial, ekonomi, budaya, etnik, melainkan juga pada ranah politik. Konstruksi otonomi daerah dalam konstitusi menegaskan bahwa eksistensi daerah-daerah di dalam negara kesatuan tak hanya bersifat sebagai pembagian wilayah secara administratif belaka, melainkan juga diikuti dengan adanya pemberian hak kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya melalui oto-nomi.Wujud konkret dari otonomi daerah negara kesatuan, yaitu adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945.
Problem Pilkada dan PemiluKendati secara simbolik pilkada dan pemilu itu telah menggambarkan hadirnya otonomi daerah di bidang politik, tetapi secara hakiki otonomi itu sesungguhnya belum terwujud. Kondisi itu tercermin dalam penyelenggaraan pilkada serentak tiga gelombang (2015, 2017, dan 2018) serta pada wajah Pemilu Serentak 2019. Sejumlah persoalan pada pilkada serentak yang masih terjadi yaitu pertama, problem sengketa hasil.Sebagai gambaran Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 13 perkara sengketa pilkada dari Papua. Itu artinya seluruh daerah di Papua mengajukan gugatan sengketa ke MK. Adapun dari Aceh ada dua gugatan sengketa pilkada. Sebagai persoalan di Papua, yaitu dugaan kecurangan dalam mekanisme pemberian suara sistem noken atau perwakilan kepala suku.Kedua, sentralisasi yang terjadi di tubuh parpol. Tidak bisa dipungkiri bahwa partai politik di Indonesia masih bergantung pada sosok-sosok tertentu di tingkat pusat. Tidak hanya itu, hampir semua keputusan strategis parpol dikendalikan oleh orang-orang yang berada di lingkaran elite parpol. Hal tersebut dapat dilihat hampir di seluruh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) parpol-parpol, khususnya dalam penentuan kandidat, seperti pemilihan kepala daerah. Tidak hanya di AD/ART partai, UU Pilkada pun ikut memperkuat ketidakotonoman parpol di daerah.Ketiga, tingginya intervensi terhadap penyelenggaraan pilkada. Intervensi-intervensi para elite parpol di tingkat pusat sangat mendominasi sehingga sebisa mungkin visi besar parpol harus disalurkan di daerah-daerah. Hal itu dilakukan lantaran setelah penyelenggaraan pilkada serentak itu, pada 2019 pun akan diikuti dengan penyelenggaraan pemilu serentak. Maka isu-isu lokal sehubungan dengan otonomi daerah untuk dikampanyekan selama pilkada dan pemilu tidak akan berkembang menjadi isu kampanye.Keempat, pilkada tiga gelombang masih berbiaya tinggi. Hal ini disebabkan pilkada belum total bersamaan. Sementara persoalan lain pada pemilu serentak ada pada kualitas penyelenggaraan pemilu dan kualitas hasil pemilu akan cenderung rendah karena manajerial penyelenggaraan pemilu serentak sangat kompleks dan rumit.
Pemilu Asimetris
Dalam rangka melakukan penataan serta perbaikan kualitas demokrasi yang substantif, maka perlu penguatan demokrasi lokal dan nasional. Hal yang bisa dilakukan dengan menggagas pemilu asimetris. Pemilu asimetris dapat dilakukan dengan menghadirkan demokrasi substantif di daerah, tetapi tetap menghargai keberagaman dan keunikan yang dimiliki. Salah satu caranya dengan membuka peluang kehadiran partai politik lokal di Indonesia sebagai sarana penyaluran aspirasi masyarakat lokal.Untuk memastikan kedudukan partai politik lokal terlaksana secara kukuh, maka diperlukan pembagian model pemilu lokal untuk memilih gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan partai politik lokal.Sementara pemilu nasional untuk memilih presiden beserta wakil presiden, DPR menggunakan partai politik yang bersifat nasional. Khusus DPD melalui jalur perseorangan. Dengan demikian, kehadiran partai politik lokal menjadi relevan dengan gagasan penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional. Desain ini merupakan salah satu bagian dari gagasan pemilu asimetris untuk Indonesia.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
INDONESIA merupakan negara yang memiliki tingkat kemajemukan masyarakat yang sangat tinggi dan tingkat pluralitas sosial yang sangat kompleks. Negara ini bukan saja multietnis, juga menjadi medan pertarungan pengaruh multimental dan ideologi.Clifford Geertz melukiskan Indonesia sebagai sejumlah "bangsa" dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius, atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis bersama (Hardiman: 2011).Kemajemukan yang ada di Indonesia tidak hanya ada pada ranah sosial, ekonomi, budaya, etnik, melainkan juga pada ranah politik. Konstruksi otonomi daerah dalam konstitusi menegaskan bahwa eksistensi daerah-daerah di dalam negara kesatuan tak hanya bersifat sebagai pembagian wilayah secara administratif belaka, melainkan juga diikuti dengan adanya pemberian hak kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya melalui oto-nomi.Wujud konkret dari otonomi daerah negara kesatuan, yaitu adanya pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagaimana amanat Pasal 18 ayat (5) UUD NRI 1945.
Problem Pilkada dan PemiluKendati secara simbolik pilkada dan pemilu itu telah menggambarkan hadirnya otonomi daerah di bidang politik, tetapi secara hakiki otonomi itu sesungguhnya belum terwujud. Kondisi itu tercermin dalam penyelenggaraan pilkada serentak tiga gelombang (2015, 2017, dan 2018) serta pada wajah Pemilu Serentak 2019. Sejumlah persoalan pada pilkada serentak yang masih terjadi yaitu pertama, problem sengketa hasil.Sebagai gambaran Mahkamah Konstitusi (MK) menerima 13 perkara sengketa pilkada dari Papua. Itu artinya seluruh daerah di Papua mengajukan gugatan sengketa ke MK. Adapun dari Aceh ada dua gugatan sengketa pilkada. Sebagai persoalan di Papua, yaitu dugaan kecurangan dalam mekanisme pemberian suara sistem noken atau perwakilan kepala suku.Kedua, sentralisasi yang terjadi di tubuh parpol. Tidak bisa dipungkiri bahwa partai politik di Indonesia masih bergantung pada sosok-sosok tertentu di tingkat pusat. Tidak hanya itu, hampir semua keputusan strategis parpol dikendalikan oleh orang-orang yang berada di lingkaran elite parpol. Hal tersebut dapat dilihat hampir di seluruh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) parpol-parpol, khususnya dalam penentuan kandidat, seperti pemilihan kepala daerah. Tidak hanya di AD/ART partai, UU Pilkada pun ikut memperkuat ketidakotonoman parpol di daerah.Ketiga, tingginya intervensi terhadap penyelenggaraan pilkada. Intervensi-intervensi para elite parpol di tingkat pusat sangat mendominasi sehingga sebisa mungkin visi besar parpol harus disalurkan di daerah-daerah. Hal itu dilakukan lantaran setelah penyelenggaraan pilkada serentak itu, pada 2019 pun akan diikuti dengan penyelenggaraan pemilu serentak. Maka isu-isu lokal sehubungan dengan otonomi daerah untuk dikampanyekan selama pilkada dan pemilu tidak akan berkembang menjadi isu kampanye.Keempat, pilkada tiga gelombang masih berbiaya tinggi. Hal ini disebabkan pilkada belum total bersamaan. Sementara persoalan lain pada pemilu serentak ada pada kualitas penyelenggaraan pemilu dan kualitas hasil pemilu akan cenderung rendah karena manajerial penyelenggaraan pemilu serentak sangat kompleks dan rumit.
Pemilu Asimetris
Dalam rangka melakukan penataan serta perbaikan kualitas demokrasi yang substantif, maka perlu penguatan demokrasi lokal dan nasional. Hal yang bisa dilakukan dengan menggagas pemilu asimetris. Pemilu asimetris dapat dilakukan dengan menghadirkan demokrasi substantif di daerah, tetapi tetap menghargai keberagaman dan keunikan yang dimiliki. Salah satu caranya dengan membuka peluang kehadiran partai politik lokal di Indonesia sebagai sarana penyaluran aspirasi masyarakat lokal.Untuk memastikan kedudukan partai politik lokal terlaksana secara kukuh, maka diperlukan pembagian model pemilu lokal untuk memilih gubernur, bupati, wali kota, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan menggunakan partai politik lokal.Sementara pemilu nasional untuk memilih presiden beserta wakil presiden, DPR menggunakan partai politik yang bersifat nasional. Khusus DPD melalui jalur perseorangan. Dengan demikian, kehadiran partai politik lokal menjadi relevan dengan gagasan penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional. Desain ini merupakan salah satu bagian dari gagasan pemilu asimetris untuk Indonesia.
(maf)