Kecerdasan Emosi dan Fenomena Anarkistis

Kamis, 22 November 2018 - 08:18 WIB
Kecerdasan Emosi dan Fenomena Anarkistis
Kecerdasan Emosi dan Fenomena Anarkistis
A A A
Yulina Eva RianyPakar Pendidikan Keluarga Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud, Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB

SEMAKIN maraknya kasus amoral, anarki, dan sadisme yang terjadi di Tanah Air, seperti kasus pembunuhan satu keluarga, termasuk suami istri dan dua orang anak di Bekasi oleh anggota keluarga korban sendiri (12/11/2018), ataupun pembunuhan anak di bawah umur di Cibinong oleh remaja tetangga rumah (2/5/2018) menggambarkan semakin tingginya tingkat penyimpangan norma yang terjadi di masyarakat kita.
Faktor penyebab terjadinya tindakan kekerasan dan kasus amoral tersebut disebabkan oleh rasa sakit hati pelaku tindak kekerasan terhadap korban. Rendahnya kontrol diri dalam pengendalian emosi dipercaya dapat menjadi faktor dorongan bagi seseorang untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Goleman (1995) dalam Emotional Intelligence menyatakan bahwa setiap individu terlahir memiliki kemampuan dalam mengelola emosinya. Kemampuan dalam pengelolaan tekanan emosi inilah yang merupakan faktor penentu keberhasilan proses adaptasi seseorang terhadap berbagai tekanan yang berasal dari lingkungannya, termasuk tekanan dan permasalahan sosial. Karena itu, Goleman meyakini bahwa kapasitas seorang individu untuk mengendalikan tekanan emosinya adalah salah satu penentu terbesar kesuksesan seseorang di masa depan.

Akan tetapi, berbagai penelitian di dunia menunjukkan bahwa kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosinya sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan interaksi sehari-hari serta pengasuhan yang diterima oleh seseorang lingkungan tempat di mana dia bersosialisasi (Chang, Schwartz, Dodge, & McBride-Chang, 2003; Debra, Donnah, & Anthony, 2015; Kotaman, 2016).

Kecerdasan Emosi dan Interaksi SosialKecerdasan emosi seseorang sangat dipengaruhi oleh interaksi sehari-hari dengan lingkungan sekitar. Seseorang mungkin dilahirkan dengan potensi kecerdasan emosional yang tinggi. Namun, pengalaman pelecehan emosional yang diterimanya sehari-hari dan kelalaian orang tua dapat berdampak negatif terhadap perkembangan emosional seseorang tersebut (Debra, Donnah, & Anthony, 2015).Interaksi sosial yang keras, penuh tekanan baik secara fisik maupun psikis yang diterima dari lingkungan sekitar terbukti secara langsung dapat memiliki pengaruh buruk terhadap kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi. Potensi kecerdasan emosi seseorang yang tinggi akan perlahan tergerus sebagai upaya penyesuaian terhadap lingkungan sekitar yang penuh dengan tekanan sebagai sebuah reaksi adaptasi. Interaksi sosial dengan lingkungan yang keras dipercaya sebagai faktor penyebab seseorang menjadi pribadi yang pemarah, temperamen, dan penuh tekanan psikologis sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan hingga pada akhirnya berakhir pada tindakan anarki.
Hal inilah yang dialami oleh HS, pemuda yang telah menghilangkan nyawa empat orang anggota keluarga sekaligus sepupunya sendiri di Bekasi (13/11/2018). Kerasnya tekanan sosial yang disebabkan oleh penghinaan yang terjadi secara terus-menerus akibat kegagalan pelaku mendapatkan pekerjaan perlahan menggerus kemampuannya dalam mengendalikan emosi. Reaksi luapan kemarahan HS terhadap korban merupakan bentuk adaptasi psikologisnya terhadap perlakuan yang dia terima. Akan tetapi, rendahnya kapasitas kecerdasan emosi HS menuntunnya menjadi pribadi yang tidak mampu bersikap proporsional dalam mengekspresikan kemarahannya. Akibatnya, HS menjelma menjadi seseorang yang sadis, beringas dan tidak memiliki rasa kemanusiaan ketika berhadapan dengan kuatnya tekanan emosi yang diterimanya dari korban.

Dampak Pengasuhan

Pengasuhan orang tua yang keras, terbiasa menggunakan hukuman fisik dan psikis sebagai media hukuman juga terbukti secara langsung dapat memiliki pengaruh buruk terhadap kemampuan seorang anak dalam mengendalikan emosi. Pengalaman ini tentu akan berpengaruh pada sikap dan kepribadian seseorang tersebut hingga berusia dewasa.

Kehilangan rasa empati dan kehilangan kemampuan pengendalian luapan emosi saat usia dewasa dipercaya merupakan dampak dari berbagai perilaku orang tua yang selalu mengekspresikan kemarahan secara berlebihan kepada anak ketika mereka masih berusia dini. Selain itu, perlakuan orang tua yang tidak mau melihat anaknya memiliki rasa takut atau marah dengan menerapkan berbagai tindakan kejam, menggunakan kritik, atau hukuman untuk membuat anak mereka tidak menampilkan rasa takut atau marah dipercaya sebagai salah satu penyebab hilangnya kemampuan anak dalam mengekspresikan emosi mereka dengan benar, termasuk kemampuan mereka untuk menunjukkan empati.

Pengalaman inilah yang sehari-hari dialami oleh RI, remaja berusia 15 tahun pembunuh Grace (6) di Cibinong. Pengalaman kesehariannya yang selalu menerima cacian dan makian terhadap berbagai sikapnya dari orang tua dan lingkungan sekitarnya menggerus kapasitas kecerdasan emosinya hingga menjadi pribadi yang "kebal" dan tidak memiliki empati terhadap lingkungan. Selain itu, sikap dan perilaku orang tua yang selalu menyepelekan rasa takut dan marah RI sehari-hari diprediksi sebagai salah satu penyebab ketidakmampuannya untuk mengekspresikan kemarahannya secara proporsional. Bahkan, RI tidak dapat membedakan ekspresi sikap emosi peduli, empati, marah, maupun melecehkan sehingga ketika ibu korban bermaksud menunjukkan kepeduliannya dengan menasihati pelaku kekerasan untuk berangkat sekolah, RI menganggap hal tersebut adalah sikap pelecehan.
Selain itu, pengalaman menyaksikan berbagai tindakan sadisme dan anarkis baik secara langsung maupun media (TV, cetak, online ) diyakini sebagai hal lain pemicu terjadinya kegagalan dalam pengendalian emosi yang berujung pada berbagai tindakan anarkistis. Terlebih lagi apabila tayangan sadisme tersebut telah terbiasa dikonsumsi sejak seseorang berusia anak-anak. Kemampuan individu dalam pengendalian emosi yang dibarengi dengan pengalaman menyaksikan tayangan anarkistis menjadi sebuah integrasi yang kuat untuk membentuk pribadi seseorang menjadi keji.
Hasil penelitian Schore (2001) menunjukkan bahwa konsumsi tayangan sadistis dapat meningkatkan produksi hormon stres (kortisol). Hormon kortisol yang diproduksi secara simultan akan menimbulkan efek negatif bagi perkembangan otak yang berkaitan dengan fungsi kontrol emosi dan jantung. Setiap kali individu terstimulasi untuk mengingat tayangan kekerasan, hormon kortisol akan terbentuk secara berlebihan. Hal ini akan berefek pada stimulasi peningkatan stres (cemas, merasa tertekan, sedih, dan jantung berdebar). Dalam jangka panjang, fungsi pengendalian emosi seseorang akan terganggu dan menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam pengendalian emosi.
Biasanya, orang terdekatlah yang biasanya menjadi korban akan kegagalan dalam upaya pengendalian luapan emosi dan tindakan kekerasan tersebut. Hal ini disebabkan karena interaksi intensif yang pada umumnya terjadi adalah bersama orang terdekat—baik anggota keluarga maupun tetangga. Alhasil, kemungkinan orang terdekat menerima sasaran tindakan anarkistis lebih besar dibanding orang lain di luar keluarga.
Karena itu, tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi belakangan ini hendaknya menjadi pengingat bagi kita semua untuk senantiasa mawas diri dalam menjaga dan memperbaiki pola pengasuhan dan pola komunikasi dalam keluarga kita masing-masing. Bagaimanapun kita harus bisa mengoptimalkan keluarga sebagai instrumen stabilisator maupun motivator yang efektif bagi para anggotanya.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5976 seconds (0.1#10.140)