PPATK Temukan 42.433 Transaksi Mencurigakan
A
A
A
JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapatkan temuan menarik terkait Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM).
Dari laporan yang masuk selama Januari hingga September 2018, ditemukan adanya 44 orang pihak terlapor perorangan berlatar ulama, pendeta, pimpinan organisasi, dan kelompok keagamaan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan.
Menariknya, jumlah tersebut lebih banyak dengan mereka yang berlatar pengurus partai politik sebanyak 18 terlapor dan pengurus LSM atau organisasi tidak berbadan hukum lainnya yang mencapai 10 terlapor. Secara keseluruhan, berdasar laporan yang masuk dari 384 perusahaan jasa keuangan (PJK) sepanjang periode tersebut, LTKM tercatat 42.433 transaksi.
”Ya kalau dilihat dari profil tentu sensitif, karena mereka menggunakan rekening pribadi untuk urusan-urusan keagamaan seperti menerima sumbangan. Ini berlaku untuk agama mana saja ya,” ujar Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae di Jakarta.
Namun, PPATK menggariskan bahwa meski ada banyak laporan yang masuk, oknumpe muka agama dimaksud tidak serta-merta menyalahgunakan wewenangnya atau melakukan tindak pidana, karena masih membutuhkan analisis dan pemeriksaan.
“Itulah sebabnya menjadi menyimpang profilnya. Kalau nama lembaga yang dipakai, tentu nggak masalah, ya. Tapi itu jangan diartikan pasti bermasalah,” jelas Dian. Dia menandaskan, untuk yayasan keagamaan yang sudah cukup besar, biasanya sudah menggunakan rekening yayasan.
Namun, ada kalanya pemuka agama yang dengan alasan lebih sederhana memilih menggunakan rekening pribadi untuk menerima dana umat.” Hal itu tercatat menyimpang dari profil. Katakanlah saya ustad, kemudian saya menerima sumbangan, otomatis profil saya menyimpang. Padahal mungkin itu sumbangan umat yang masuk, bukan terus disalahgunakan,” ujar Dian.
Secara umum, berdasarkan data yang dianalisis dari sisi jumlah jenis pekerjaan terlapor perorangan, pegawai swasta menduduki peringkat pertama pihak terlapor yang terindikasi melakukan transaksi keuangan mencurigakan.
Dari total 43.433 transaksi keuangan mencurigakan, pegawai swasta yang tercatat melakukan transaksi keuangan mencurigakan ada 14.836. Posisi selanjutnya ditempati pengusaha/wiraswasta sebanyak 8.984 orang, dan PNS (termasuk pensiunan) sebanyak 4.131 orang.
Selanjutnya, ibu rumah tangga (3.251); pedagang (2.264); pelajar/mahasiswa (1.773); pejabat lembaga legislatif dan pemerintah (1.160); TNI/ Polri (termasuk pensiunan) (994); pegawai BI/BUMN/ BUMD (termasuk pensiunan) (970); profesional dan konsultan (842); pengajar dan dosen (261); buruh, pembantu rumah tangga, dan tenaga keamanan (172); petani dan nelayan (149); dan pegawai bank (108).
Dian menjelaskan, transaksi mencurigakan bisa muncul apabila ada transaksi yang tidak sesuai dengan profil. Dicontohkan, seorang pegawai dengan pendapatan Rp30 juta, tetapi kerap menerima pemasukan rutin per bulan Rp300 juta. Karena itu, oknum PNS tersebut patut masuk LTKM.
“Itu menyimpang dari profil. Terus pola transaksi, mungkin sering ada tunai atau di tempattempat tertentu,” ungkap Dian.
Pengamat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Burhanuddin Muhtadi mengatakan, PPATK perlu menindaklanjuti aliran dana mencurigakan, apalagi jika kemudian terbukti merugikan negara.
Dalam pandangannya, selama ini hasil temuan PPATK selama ini belum menjadi prioritas dalam membongkar kasus korupsi di Indonesia. “Sangat disayangkan, padahal laporan analisis PPATK menjadi bukti yang sangat baik untuk dibawa ke pengadilan, sebagai landasan bagi penegak hukum untuk membuka kasus korupsi,” ujar dia.
Burhanuddin pun mengusulkan agar pemerintah membuat regulasi pembatasan transaksi tunai. Dalam pandangannya, selain bisa menghemat biaya pencetakan uang, langkah tersebut bisa menciptakan transparansi sistem keuangan di masyarakat.
Pendanaan Terorisme
PPATK juga mengungkapkan bahwa pendanaan terorisme menunjukkan penurunan. Namun meski menurun, pendanaan terorisme tersebut masih terus terjadi di berbagai negara dan berpotensi di Indonesia. Kendati demikian, PPTAK akan terus memberi perhatian, apalagi pendanaan teroris di Indonesia cukup sulit dideteksi.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menuturkan, salah satu penyebab pendanaan terorisme sulit dideteksi karena dana berasal dari aktivitas bisnis yang kecil dan biasanya orang yang memberi tidak sadar telah membantu pendanaan terorisme.
”Misalnya, mohon maaf ya ada suatu kelompok agama, nyumbang terus mereka ini bisa saja dia nggak tahu. Kemudian digunakan sebagian untuk oknum yang melawan hukum, kita harus hati-hati karena ada juga memang yang benar sumbangannya untuk kegiatan positif,” ungkap Badaruddin.
Dian Ediana menambahkan, indikasi pendanaan terorisme menurun sejalan dengan kondisi Timur Tengah. Kendati demikian, dia menegaskan bahwa PPATK tidak menyurutkan kewaspadaan, diantaranya dengan melakukan pertukaran informasi data dengan negara lain, seperti Malaysia.
“Nggak bisa dikatakan misalnya ISIS sudah kalah, nggak bisa, masih ada kegiatan-kegiatan tertentu. Yang sifat nya pembiayaan terorisme tidak perlu mahal, bikin bom murah, apalagi pola terorisme bisa nabrakin kendaraan, kemudian masalah inisiatif pribadi, lonewolf. Kalau orang percaya sesuatu benar bisa melakukan apa saja,” ungkap Dian.
Dia menegaskan, selama masih ada pihak-pihak yang men junjung tinggi ideologi radikal maka aktivitas terorisme masih berpotensi terjadi.
Apalagi, pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel juga memicu peningkatan aktivitas tersebut.
“Sejauh kita masih ada berurusan dengan masalah ideologi atau politik, itu masalah terorisme potensinya gede. ISIS bisa jadi kalah, ideologinya kalah nggak? Palestina sudah lama berhenti terorisme, sekarang dengan pengakuan Amerika, Yerusalem menjadi ibu kota Israel bisa ada kebang kitan itu. Yang tadinya tidak radikal, menjadi radikal lagi, potensi itu ada,” katanya. (Binti Mufarida)
Dari laporan yang masuk selama Januari hingga September 2018, ditemukan adanya 44 orang pihak terlapor perorangan berlatar ulama, pendeta, pimpinan organisasi, dan kelompok keagamaan yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan.
Menariknya, jumlah tersebut lebih banyak dengan mereka yang berlatar pengurus partai politik sebanyak 18 terlapor dan pengurus LSM atau organisasi tidak berbadan hukum lainnya yang mencapai 10 terlapor. Secara keseluruhan, berdasar laporan yang masuk dari 384 perusahaan jasa keuangan (PJK) sepanjang periode tersebut, LTKM tercatat 42.433 transaksi.
”Ya kalau dilihat dari profil tentu sensitif, karena mereka menggunakan rekening pribadi untuk urusan-urusan keagamaan seperti menerima sumbangan. Ini berlaku untuk agama mana saja ya,” ujar Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae di Jakarta.
Namun, PPATK menggariskan bahwa meski ada banyak laporan yang masuk, oknumpe muka agama dimaksud tidak serta-merta menyalahgunakan wewenangnya atau melakukan tindak pidana, karena masih membutuhkan analisis dan pemeriksaan.
“Itulah sebabnya menjadi menyimpang profilnya. Kalau nama lembaga yang dipakai, tentu nggak masalah, ya. Tapi itu jangan diartikan pasti bermasalah,” jelas Dian. Dia menandaskan, untuk yayasan keagamaan yang sudah cukup besar, biasanya sudah menggunakan rekening yayasan.
Namun, ada kalanya pemuka agama yang dengan alasan lebih sederhana memilih menggunakan rekening pribadi untuk menerima dana umat.” Hal itu tercatat menyimpang dari profil. Katakanlah saya ustad, kemudian saya menerima sumbangan, otomatis profil saya menyimpang. Padahal mungkin itu sumbangan umat yang masuk, bukan terus disalahgunakan,” ujar Dian.
Secara umum, berdasarkan data yang dianalisis dari sisi jumlah jenis pekerjaan terlapor perorangan, pegawai swasta menduduki peringkat pertama pihak terlapor yang terindikasi melakukan transaksi keuangan mencurigakan.
Dari total 43.433 transaksi keuangan mencurigakan, pegawai swasta yang tercatat melakukan transaksi keuangan mencurigakan ada 14.836. Posisi selanjutnya ditempati pengusaha/wiraswasta sebanyak 8.984 orang, dan PNS (termasuk pensiunan) sebanyak 4.131 orang.
Selanjutnya, ibu rumah tangga (3.251); pedagang (2.264); pelajar/mahasiswa (1.773); pejabat lembaga legislatif dan pemerintah (1.160); TNI/ Polri (termasuk pensiunan) (994); pegawai BI/BUMN/ BUMD (termasuk pensiunan) (970); profesional dan konsultan (842); pengajar dan dosen (261); buruh, pembantu rumah tangga, dan tenaga keamanan (172); petani dan nelayan (149); dan pegawai bank (108).
Dian menjelaskan, transaksi mencurigakan bisa muncul apabila ada transaksi yang tidak sesuai dengan profil. Dicontohkan, seorang pegawai dengan pendapatan Rp30 juta, tetapi kerap menerima pemasukan rutin per bulan Rp300 juta. Karena itu, oknum PNS tersebut patut masuk LTKM.
“Itu menyimpang dari profil. Terus pola transaksi, mungkin sering ada tunai atau di tempattempat tertentu,” ungkap Dian.
Pengamat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Burhanuddin Muhtadi mengatakan, PPATK perlu menindaklanjuti aliran dana mencurigakan, apalagi jika kemudian terbukti merugikan negara.
Dalam pandangannya, selama ini hasil temuan PPATK selama ini belum menjadi prioritas dalam membongkar kasus korupsi di Indonesia. “Sangat disayangkan, padahal laporan analisis PPATK menjadi bukti yang sangat baik untuk dibawa ke pengadilan, sebagai landasan bagi penegak hukum untuk membuka kasus korupsi,” ujar dia.
Burhanuddin pun mengusulkan agar pemerintah membuat regulasi pembatasan transaksi tunai. Dalam pandangannya, selain bisa menghemat biaya pencetakan uang, langkah tersebut bisa menciptakan transparansi sistem keuangan di masyarakat.
Pendanaan Terorisme
PPATK juga mengungkapkan bahwa pendanaan terorisme menunjukkan penurunan. Namun meski menurun, pendanaan terorisme tersebut masih terus terjadi di berbagai negara dan berpotensi di Indonesia. Kendati demikian, PPTAK akan terus memberi perhatian, apalagi pendanaan teroris di Indonesia cukup sulit dideteksi.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menuturkan, salah satu penyebab pendanaan terorisme sulit dideteksi karena dana berasal dari aktivitas bisnis yang kecil dan biasanya orang yang memberi tidak sadar telah membantu pendanaan terorisme.
”Misalnya, mohon maaf ya ada suatu kelompok agama, nyumbang terus mereka ini bisa saja dia nggak tahu. Kemudian digunakan sebagian untuk oknum yang melawan hukum, kita harus hati-hati karena ada juga memang yang benar sumbangannya untuk kegiatan positif,” ungkap Badaruddin.
Dian Ediana menambahkan, indikasi pendanaan terorisme menurun sejalan dengan kondisi Timur Tengah. Kendati demikian, dia menegaskan bahwa PPATK tidak menyurutkan kewaspadaan, diantaranya dengan melakukan pertukaran informasi data dengan negara lain, seperti Malaysia.
“Nggak bisa dikatakan misalnya ISIS sudah kalah, nggak bisa, masih ada kegiatan-kegiatan tertentu. Yang sifat nya pembiayaan terorisme tidak perlu mahal, bikin bom murah, apalagi pola terorisme bisa nabrakin kendaraan, kemudian masalah inisiatif pribadi, lonewolf. Kalau orang percaya sesuatu benar bisa melakukan apa saja,” ungkap Dian.
Dia menegaskan, selama masih ada pihak-pihak yang men junjung tinggi ideologi radikal maka aktivitas terorisme masih berpotensi terjadi.
Apalagi, pengakuan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel juga memicu peningkatan aktivitas tersebut.
“Sejauh kita masih ada berurusan dengan masalah ideologi atau politik, itu masalah terorisme potensinya gede. ISIS bisa jadi kalah, ideologinya kalah nggak? Palestina sudah lama berhenti terorisme, sekarang dengan pengakuan Amerika, Yerusalem menjadi ibu kota Israel bisa ada kebang kitan itu. Yang tadinya tidak radikal, menjadi radikal lagi, potensi itu ada,” katanya. (Binti Mufarida)
(nfl)