Berdakwah dengan Meneladani Muhammad SAW

Rabu, 21 November 2018 - 06:23 WIB
Berdakwah dengan Meneladani Muhammad SAW
Berdakwah dengan Meneladani Muhammad SAW
A A A
Sholahuddin

Peneliti The Muhsin Ali Foundation,

Kepala Madrasah Aliyah NU Al-mustaqim Jepara

MENINGKATNYA intoleransi beragama, terutama intoleransi guru-guru agama di sekolah negeri merupakan problem dan ancaman serius bagi dunia pendidikan dan dunia dakwah Islam secara lebih umum. Di samping problem tersebut, juga terjadi ketegangan (tension) antara agama dan budaya. Hal ini bisa dilihat dalam kasus perusakan sedekah laut yang dilakukan di Pantai Pandansimo, Bantul, Yogyakarta, beberapa pekan lalu.

Dalam konteks di atas, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW perlu diarahkan untuk bagaimana kita bisa meneladani Rasulullah Muhammad SAW dalam berdakwah. Secara etimologis, menurut para ahli bahasa, dakwah berakar kata da’a-yad’u-da’watan, artinya “mengajak” atau “menyeru”. Secara terminologi, dakwah adalah mengajak atau menyeru manusia agar menempuh kehidupan ini di jalan Allah SWT, berdasarkan ayat Alquran: “Serulah oleh kalian (umat manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka secara baik-baik...” (QS. An-Nahl:125).

Di era milenial ini, dakwah dengan meneladani Muhammad SAW menjadi sangat relevan, era post truth. Karena hoaks dan kebohongan merajalela di media sosial, meneladani akhlak Muhammad SAW menjadi keniscayaan, tidak hanya bagi umat Islam, tapi bagi semua umat beragama. Karena Muhammad adalah nabi yang diutus dengan sifat rahmatan lil alamin yang membawa rahmat bagi semesta alam.

Di beberapa media elektronik, program dakwah Islam diagendakan hampir setiap hari. Pagi menjelang subuh, kita juga dengan mudah menyebutkan nama-nama juru dakwah yang tampil di layar kaca kita. Tetapi, berita ini tidak berbanding lurus dengan realitas sosial empiris yang terjadi di masyarakat, ketimpangan sosial, korupsi, kejahatan seksual, dan lain.

Berbagai peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diadakan di musala, pondok pesantren, madrasah, masjid, dan lainnya, menjadi penanda akan syiarnya bulan Rabi’il Awwal. Peringatan tersebut tidaklah hanya peringatan yang kosong makna, karena historiografi maulid diwarnai dengan aspek ideologis, politik, dan juga kebudayaan. Umat Islam harus mampu menangkap berbagai macam pelajaran dari untaian syair yang dibaca pada peringatan maulid nabi. Pelajaran tersebut tidak hanya dipahami, tetapi juga diimplementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Apa yang dibaca pada Maulid Nabi adalah historiografi Muhammad SAW dan bagaimana beliau membangun peradaban yang kemudian menjadi teladan bagi umat. Beberapa aspek yang dibaca dalam maulid, misalkan, Nabi Muhammad menggunakan jalan dialog dan cara nonkekerasan dalam berdakwah. Hal ini terwujud dalam larangan nabi membunuh wanita, anak kecil, dan orang yang sudah menyerah, dalam pelbagai pertempuran dengan orang-orang kafir. Inilah etika yang telah diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Dakwah bil hal adalah dakwah dengan tindakan (action), dakwah ini menjadi titik tekan kesuksesan Nabi Muhammad SAW sehingga agama Islam tersebar ke jazirah Arab secara keseluruhan. Dakwah bil hal dilakukan bersamaan dengan dakwah secara terang-terangan.

Banyak cacian dan cemoohan terhadap Nabi Muhammad SAW untuk menjatuhkan nama baiknya dan mengucilkannya dari bangsa Arab. Mereka mengatakan bahwa nabi adalah tukang cerita, dukun ramal, pembohong, dan bahkan orang gila. Tidak hanya cemoohan, nabi dan para sahabat juga mendapatkan perlakuan kasar serta kekerasan. Kekerasan dilakukan dengan melempar batu dan kotoran kepada nabi.

Substansi Dakwah

Dalam buku-buku sejarah peradaban Islam ada beberapa substansi dakwah yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW yang relevan dilaksanakan pada era milenial. Di antara substansi dakwah nabi adalah satu: memperbaiki akhlak masyarakat Mekkah yang ketika itu mengalami dekadensi moral dengan tumbuh suburnya kebiasaan-kebiasaan jahiliah, seperti berjudi, minum khamr, dan lainnya. Memperbaiki akhlak masyarakat menemukan momentumnya pada era milenial ini, tawuran pelajar, pelecehan seksual, korupsi, dan lainnya yang masih masif perlu dijadikan sebagai sasaran dakwah.




Kedua: rasul meluruskan cara menyembah Tuhan, karena agama mereka menyembah patung-patung. Agama Islam mengajak kepada mereka untuk menyembah Allah Yang Esa dan mengajak mereka meninggalkan kemusyrikan. Puncaknya adalah pada peristiwa fathu makkah (terbukanya kota Mekkah). Ketiga: Nabi Muhammad SAW membawa dan menegakkan ajaran persamaan (equality) antara laki-laki dan perempuan. Perempuan yang pada era jahiliah dianggap sebagai barang komoditas dan aib bagi keluarga diangkat derajatnya oleh Rasulullah SAW. Pada masa jahiliah dikenal dengan istilah wa’dul banat (mengubur bayi perempuan hidup-hidup).




Keempat: Nabi mengubah kebiasaan bertaklid kepada nenek moyang dan meluruskan segala adat istiadat, kepercayaan, dan upacara-upacara ritual, yang melenceng dari agama Islam. Dalam khazanah ilmu fikih, kita mengenal istilah syar’u man qablana (syariat-syariat umat sebelum kita). Dari sana kita mengetahui bahwa ada akar-akar ritual dalam Islam yang diambilkan dari ritual terdahulu.

Contoh yang gamblang adalah ritual haji. Ritual ibadah haji ini adalah ritual dalam menapak tilas apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim dan putranya Ismail serta Ibu Hajar. Ritual ini pada masa jahiliah diberikan tambahan sesaji dan berhala yang ada di sekitar Kakbah. Rasulullah SAW datang dan membersihkan ritual haji dari paganisme dan mengembalikan haji kepada tuntunan yang murni.

Tantangan

Tantangan dakwah di era milenial ini semakin kompleks, selain karena banyaknya alat teknologi untuk berdakwah, kita juga dihadapkan pada munculnya ustaz-selebriti yang tidak memiliki kedalaman keilmuan agama (Islam) namun berani menyampaikan berbagai hal tentang agama. Cukup berbekal keterampilan percaya diri di depan kamera dan kemasyhuran karena sudah menjadi artis. Hal ini menjadikan hasil dakwahnya kontraproduktif. Berkaca dari hal di atas, kiai dan ustaz di pondok pesantren yang memiliki kedalaman keilmuan agama (Islam) perlu didorong secara kontinu supaya bisa memberikan ceramah keagamaan dan pencerahan lewat media-media dakwah yang tersedia sedemikian banyak. Kepada mereka diharapkan muncul ceramah keagamaan yang teduh, adem, terbuka, dan toleran kepada penganut agama lain.

Mereka yang sudah teruji keilmuan dan peranannya di pesantren, penting untuk diberikan pembekalan dan training atau workshop bagaimana membuat konten dakwah yang inklusif dan toleran. Karena dakwah yang diteladankan nabi adalah dakwah senantiasa menjunjung tinggi akhlaqul karimah (karakter yang baik), bukan dakwah merendahkan, mengusir, dan eksklusif.

Salah satu contoh dai sukses adalah KH Taqiyuddin yang mampu memproduksi konten-konten dakwah berupa video pendek di media sosial, WhatsApp, Youtube, Instagram, Facebook, dan nya. Konten dakwah Gus Taqi juga bervariasi mulai dari ilmu tasawuf hingga memotivasi kalangan generasi milenial untuk berkarya dan optimistis menatap masa depan. Jika “Gus Taqi” lain bermunculan dari berbagai pesantren, madrasah, dan lembaga keagamaan Islam yang lainnya, kita berharap Indonesia akan menjadi negara yang toleran, inklusif, dan menghargai keberagaman.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6918 seconds (0.1#10.140)