Catatan dari Hasil Pemilu Sela AS

Rabu, 21 November 2018 - 07:37 WIB
Catatan dari Hasil Pemilu...
Catatan dari Hasil Pemilu Sela AS
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

SEBULAN lalu masyarakat Amerika Serikat (AS) melaksanakan hak mereka untuk memilih anggota Parlemen (House of Representatives) dan anggota Senat dalam pemilu sela. Hasilnya, kubu Demokrat sukses merebut dominasi kursi di Parlemen sementara kubu Republikan menguasai kursi Senat.

Apa hikmah yang bisa kita pelajari dari pemilu sela di AS dan manfaatnya untuk kita yang juga akan segera melakukan pemilihan presiden dan anggota parlemen dalam waktu yang bersamaan?

Pertama, hasil pemilu sela AS membantah tesis bahwa para pendukung Presiden Donald Trump dan kubu Republikan adalah orang yang tidak terpelajar, miskin, tinggal di perdesaan dan mereka yang mudah termakan hoaks. Tesis ini sempat beredar di media sosial di Indonesia dan kemudian menghubung-hubungkan dengan pemilu yang sedang kita jalani.

Pendukung Donald Trump dan Partai Republikan memang lebih besar di wilayah perdesaan (rural), tetapi bukan berarti hal itu karena penduduk perdesaan “kurang pintar” sebab pendukung kubu Demokrat juga tidak sedikit di wilayah perdesaan. Pernyataan seperti itu saya pikir merendahkan dan menyepelekan masyarakat perdesaan dan potensi yang belum terangkat dari sana.

Kubu Republikan dari hasil pemilu sela kemarin memenangkan 59 kursi dari 68 kursi Parlemen yang masuk dalam kategori perdesaan dan 91 dari 111 di wilayah campuran desa dan kota (urban). Di pihak Demokrat, mereka meraih 74 dari 76 kursi Parlemen yang ada di wilayah kota.

Kubu Republikan yang memenangkan suara di wilayah perdesaan memilih untuk mengangkat isu-isu tradisional seperti antiaborsi, anti-LGBT, antimigran, dan sebagainya. Sangat tidak mungkin apabila kemudian kubu Republikan harus mengganti isu-isunya ketika berkampanye di wilayah perkotaan karena hal ini akan menimbulkan inkonsistensi yang membingungkan pemilih, terutama mereka yang sudah menetapkan pilihan.

Kedua, pemilu sela yang lalu juga mempertajam perbedaan ideologis di antara kedua partai. Biasanya dalam pemilu sela ada sebagian dari kedua kubu yang bersikap moderat. Tidak terlalu liberal dan tidak terlalu konservatif.

Dalam pemilu sela kemarin, hampir semua anggota Parlemen adalah mereka yang mengusung isu-isu yang ekstrem di kedua kubu partai. Adam Bonica, seorang profesor di Stanford University, mengatakan biasanya terdapat kursi-kursi di mana kandidat dengan visi yang moderat mewarnai kursi Parlemen sejak tahun 1980-an. Hal ini tidak terjadi pada pemilu sela kemarin.

Dari kubu Republikan mereka membawa isu antimigran dalam kampanye mereka, sementara dari kubu Demokrat mereka mengusung isu pengendalian senjata. Kedua tema ini adalah basis atau jangkar yang meninggikan elektabilitas masing-masing partai.

Akibat dari pembelahan yang makin tajam di masyarakat, masing-masing kubu dapat menggunakan kekuasaan yang dipegangnya untuk saling menyerang. Demokrat yang saat ini menguasai mayoritas kursi Parlemen bisa menggunakan kekuasaannya untuk memanggil Presiden Trump melaporkan pajak yang dibayarkannya.

Seperti yang mungkin banyak diketahui, Presiden AS wajib memberitahukan laporan keuangan pajak mereka kepada publik pada saat menjabat. Presiden Trump tidak melakukan hal ini dengan alasan menunggu keputusan dari otoritas pajak yang masih memprosesnya.

Sedangkan Republikan yang makin berkuasa di Senat karena ada penambahan tiga kursi dari periode sebelumnya memiliki kewenangan dalam mengangkat dan memilih pejabat-pejabat publik yang strategis seperti pengangkatan hakim Federal atau persetujuan anggota kabinet yang bekerja untuk Presiden.

Ketiga, walaupun Demokrat menguasai Parlemen dan Republikan menguasai kursi Senat, pemilihan isu rasisme dianggap sebagai strategi yang berhasil menahan kejatuhan Partai Republikan yang lebih dalam. Walaupun Trump selalu menampilkan politik yang frontal dan karenanya seringkali dianggap tidak etis, secara statistik popularitasnya terus bertambah di mata para warga pendukung Partai Republikan, yakni sebesar 3,3%.

Namun, kita juga harus melihat bahwa pemilihan isu rasisme juga yang banyak membuat pendukung kubu Republikan beralih menjadi pendukung Demokrat. Artinya, kita tidak bisa menganggap bahwa isu rasisme secara otomatis memengaruhi orang kulit putih untuk mendukung Trump, tetapi juga harus melihat bahwa isu tersebut juga digunakan oleh Demokrat untuk mendulang suara.

Hal ini misalnya terlihat dari negara-negara bagian yang secara tradisional mendukung Trump seperti Texas, Iowa, dan Florida berubah menjadi mendukung kandidat dari Demokrat. Sementara itu, ada wilayah yang dulu mendukung Demokrat berubah menjadi mendukung Republikan seperti California dan New York.

Apakah arti dari fenomena tersebut? Pemilu adalah kerja-kerja bukan cuma mengambil simpati rakyat, tetapi juga meyakinkan rakyat. Dua sikap itu menurut saya harus ada dalam kualitas partai atau calon legislator yang ingin masuk ke dunia politik.

Mengambil simpati rakyat adalah penting, tetapi juga harus berkualitas dan selektif dalam memilih isu yang akan diangkat. Partai dan calon legislator tidak bisa memilih isu yang akan mendulang simpati sebagian kelompok, tetapi menjauhkan kelompok yang lain satu sama lain. Ini yang disebut politik populisme dalam definisi sederhana saya.

Apa relevansinya untuk Indonesia? Menuju Pemilu 2019 kita harus siap bahwa kedua kubu berusaha mendulang sebanyak mungkin suara. Tampaknya tetap akan muncul isu-isu yang membelah pemilih, tetapi partai dan calon legislator juga harus ingat untuk melakukan kerja-kerja meyakinkan pemilih untuk isu-isu yang tidak populer di mata rakyat seperti misalnya menolak aksi sweeping ormas-ormas, menolak persekusi, melokalisasi prostitusi untuk mengontrol penyakit HIV, dan sebagainya.

Saya rasa itu pelajaran yang bisa diambil dari pemilu sela di AS kemarin. Partai Demokrat misalnya mampu mengirimkan banyak perempuan, bahkan terbanyak dalam sejarah untuk duduk di kursi Parlemen.

Tidak hanya perempuan, pemilu sela kemarin juga memenangkan dua perempuan muslim Ilhan Omar dari Minnesota dan Rashida Tlaib dari Michigan. Jared Poll juga menjadi salah satu gubernur negara bagian yang secara terbuka menyatakan dirinya gay.

Terlepas dari suka atau tidaknya Anda dengan pilihan politik dan sikap hidup para politisi di atas, perjuangan untuk meyakinkan diri mereka untuk dipilih dan tidak sekadar menggoreng isu populis patut dicontoh oleh partai politik dan calon legislator kita.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6090 seconds (0.1#10.140)