Defisit, ICOR, dan Daya Saing

Senin, 19 November 2018 - 07:53 WIB
Defisit, ICOR, dan Daya...
Defisit, ICOR, dan Daya Saing
A A A
Candra Fajri Ananda
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

SETELAH mendengarkan press release terbaru dari BPS, penulis merasa gusar mengapa kita kembali mengalami defisit perdagangan pada Oktober kemarin? Nilai defisit perdagangan kita tidak tanggung-tanggung hingga mencapai USD1,82 miliar.

Padahal sebulan sebelumnya kita berhasil meraih hasil positif meskipun hanya USD0,31 miliar. Sekarang angka defisit kita semakin membengkak menjadi USD5,51 miliar sepanjang Januari–Oktober 2018. Penyebab defisit yang kita alami sebenarnya bukan karena faktor ekspor yang tengah melemah, tetapi lebih pada capaian angka pertumbuhannya saja yang kurang mengimbangi laju kenaikan impor.

Pada Oktober kemarin agregat nilai ekspor kita meningkat sekitar 5,87% (mtm) berbanding dengan nilai kumulatif impor yang tumbuh sekitar 20,6%. Adapun komponen ekspor dan impor yang pertumbuhannya tercatat paling cepat adalah ekspor dan impor migas yang masing-masing tumbuh 15,18% dan 26,97% (mtm). Sementara komponen ekspor dan impor nonmigas masing-masing mendapat kenaikan sebesar 4,99% dan 19,42%.

Pemerintah berusaha menenangkan pasar dengan menekankan bahwa kenaikan impor yang berlangsung secara signifikan ini merupakan konsekuensi ketika kita ingin mengakselerasi tingkat pertumbuhan. Pasalnya sebagian industri kita masih bergantung pada komponen bahan baku dan penolong serta barang modal yang sumbernya berasal dari luar negeri.

Atas dasar fenomena tersebut, neraca ekspor juga terasa cukup penting sebagai penyeimbang, khususnya terkait dengan perannya sebagai sumber devisa dan faktor pendorong penguatan kurs rupiah. Dengan adanya defisit kemarin, kita lagi-lagi mengalami fase “besar pasak daripada tiang”.

Kendati transaksi ekspor dan impor tidak berdampak secara seketika terhadap nilai tukar rupiah, pasar valuta asing biasanya sudah bisa memperkirakan sejauh mana volatilitas rupiah akan mencapai titik-titik kulminasinya. Biasanya sumber-sumber informasi utama yang mereka pergunakan untuk melakukan proyeksi adalah perkembangan neraca perdagangan serta neraca pembayaran.

Dari sisi PDB pengeluaran, peran ekspor sebetulnya juga tergolong penting karena peran pentingnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Nah, selama ini perannya masih terkesan bersembunyi karena tertutupi besarnya nilai impor.

Jika disandingkan dengan indikator makroekonomi lainnya pun tak kalah penting untuk peningkatan produktivitas dan penyerapan tenaga kerja domestik. Oleh karena itu kita perlu menjaga agar peranan ekspor tetap krusial dan tidak kian tertindih dengan ketergantungan impor.

Pembenahan Menyeluruh
Pemerintah belum tampak menyerah untuk memperbaiki kinerja perekonomian nasional. Sepekan yang lalu pemerintah kembali menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi XVI (PKE XVI) yang mengerucut pada 3 aspek yang dinilai cukup penting saat ini, yakni terkait perluasan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), relaksasi daftar negatif investasi (DNI), dan peningkatan devisa hasil ekspor (DHE) hasil sumber daya alam.

Dalam paparan singkatnya, pemerintah sepertinya terlihat cukup pede bahwa langkah yang sekarang ini bisa kian memperkuat persepsi positif atas kinerja perekonomian kita. Apalagi nilai tukar rupiah saat ini sedang terapresiasi secara gradual dalam dua pekan terakhir. Salah satu penyebabnya adalah kucuran modal asing yang masuk (capital inflow) ke Indonesia pada awal November kemarin yang secara agregat mencapai Rp19,9 triliun.

Angka tersebut dihasilkan dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp14,4 triliun dan modal yang mengalir ke bursa saham sebesar Rp5,5 triliun. Persepsi pemodal asing juga masih dalam tataran normatif seiring angka realisasi pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2018 dan inflasi yang tampaknya masih berjalan meyakinkan.

Di luar itu kebijakan Bank Indonesia (BI) yang mengaktifkan skema pasar valas berjangka untuk domestik atau domestic non-deliverable forward (DNDF) per awal November ini bisa dibilang telah berjalan efektif. Skema hedging (lindung nilai kurs mata uang) memang sangat dibutuhkan untuk menjaga agar kondisi psikologis pasar tetap stabil di tengah-tengah volatilitas kurs rupiah dan beban-beban lain atas gejolak perekonomian global.

Para eksportir, importir maupun investor asing lainnya diharapkan tidak lagi waswas terhadap risiko perubahan kurs rupiah yang kadang kala berjalan sangat reaktif. Menanggapi dinamika tersebut, ada baiknya langkah konkret yang diterapkan pemerintah juga bermuatan evaluasi yang bersifat lebih menyeluruh demi mengamankan realisasi atas target-target yang diinginkan.
Pada intinya pergerakan kebijakan harus bisa didesain secara sistematis, efektif, dan efisien mulai dari tahap collecting modal investasi dan pembangunan hingga sinkronisasi dengan jejak-jejak lanjutannya di sektor riil. Jadi kita perlu memastikan bahwa tidak ada tahap-tahap kebijakan pembangunan yang terputus atau tidak selaras.
Penulis memiliki secuil pandangan kritis mengenai beberapa kebijakan yang terkandung di dalam PKE XVI. Pertama, penulis mengapresiasi secara positif kebijakan pemerintah yang menawarkan tax holiday kepada pelaku usaha yang mampu memenuhi kriteria sebagaimana termaktub dalam penjelasan PKE tersebut.

Kriteria-kriteria di dalamnya meliputi usaha yang mampu menjaga keterkaitan antarsektor/lini usaha secara luas dan mendalam, usaha yang dapat memberikan nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, usaha yang bisa memperkenalkan teknologi baru, serta usaha yang memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.

Kebijakan ini penulis nilai sudah sangat tepat dengan tujuan hilirisasi dan efektivitas pengelolaan setiap potensi ekonomi yang kita miliki. Apalagi sasaran sektor usaha yang akan diberikan paket insentif ini juga semakin bervariasi seiring disisipkannya sektor usaha berbasis hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan, serta sektor ekonomi digital dan sektor komponen utama peralatan elektronika/telematika di dalamnya.

Industri pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan kehutanan secara eksisting sangat dibutuhkan untuk memperkuat nilai tambah produk-produk di sektor tersebut. Selain itu menciptakan kepastian pasar bagi para petani yang selama ini relatif terombang-ambing dengan mekanisme pasar.

Adapun insentif untuk komponen utama peralatan elektronika/telematika juga sudah linier dengan dinamika pasar mengingat semakin masifnya jumlah konsumen penikmat kecanggihan teknologi sehingga memang perlu ada langkah determinan untuk menjamin keseimbangan demand dan supply atas komoditas-komoditas tersebut.

Kedua, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam pelaksanaan relaksasi daftar negatif investasi yang memberikan peluang lebih besar bagi investor asing, untuk terlibat lebih dalam pada pengelolaan sektor-sektor usaha yang selama ini “dijaga”. Alasannya karena untuk sementara ini isu nasionalisme ekonomi masih menjadi isu yang sangat sensitif.

Walaupun pemerintah sudah menjelaskan alasan-alasan rasionalnya (misalnya terkait potensi modal, investasi, transfer teknologi, dan sistem daya saing yang lebih baik), tetap saja itu akan berpotensi bermasalah saat kebijakan itu dibenturkan dengan semangat nasionalisme ekonomi yang saat ini tengah dibangun pemerintah dan sangat diidamkan masyarakat.

Pemerintah perlu menjaga isu ini tidak melebar ke mana-mana mengingat kestabilan politik saat ini sangat diperlukan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan Investasi asing masuk ke dalam negeri. Diskursus tentang pro-kontra kebijakan ini berputar pada isu ketenagakerjaan, perkembangan UMKM, pengembangan BUMDes atau perekonomian desa serta eksternalitas negatif terhadap kondisi lingkungan mengingat aturan main dan penegakan hukum masih cukup lemah.

Ketiga, terkait dengan imbauan repatriasi DHE khususnya untuk komoditi hasil sumber daya alam (SDA). Hanya ada sedikit catatan yang dapat penulis berikan yang di antaranya adalah persoalan jaminan keamanan dan keuntungan bagi eksportir yang mau melakukan repatriasi DHE serta strategi agar para eksportir kelas kakap mau terlibat pada tawaran proyek tersebut.

Kita perlu belajar dari upaya repatriasi aset dan kekayaan pada saat berlakunya tax amnesty kemarin di mana hasilnya terlihat kurang optimal jika dirasiokan dengan nilai potensinya. Salah satu kendalanya bisa jadi karena kondisi internal kita yang belum stabil serta khususnya biaya transaksi ekonomi yang tergolong mahal akibat persoalan birokrasi dan tata kelola kelembagaan (governance).

PR ICOR dan Daya Saing
Hingga saat ini kita masih terkendala beberapa soal struktural yang terkait dengan investasi. Garis besar yang penulis amati, semuanya bermula pada tingginya biaya investasi hingga lemahnya daya saing kita untuk penyerapan modal investasi maupun pengelolaan di tingkat output.

Angka incremental capital output ratio (ICOR) bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin kecil angka ICOR, biaya investasi yang harus dikeluarkan semakin minimalis (efisien) untuk menghasilkan output tertentu. Nah, ICOR itu sendiri sangat dipengaruhi ease doing business (kemudahan dalam berbisnis) dan daya saing pasar tenaga kerja.

Skor ICOR yang dimiliki Indonesia saat ini memang sedang menunjukkan perbaikan, yakni sebesar 6,46% (2017) lebih baik dari tahun sebelumnya 6,64%. Tapi angka ICOR dirasakan masih terlalu tinggi karena negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Vietnam, Myanmar, Malaysia, dan Singapura sedang mendekati atau sudah berada di kisaran angka ideal sebesar 3%.

Peringkat Ease of Doing Business (EoDB) dalam hasil survei Bank Dunia juga menurun pada laporan edisi 2019. Kita turun satu tangga dari peringkat ke-72 menjadi ke-73 dunia dari 190 negara. Penyebabnya bukan karena ada indikator yang kinerjanya menurun, melainkan kecepatan perbaikan daya saing kita yang lebih rendah dibandingkan negara-negara lain.

Berkaca pada pengalaman dari beberapa negara lain, strategi penurunan ICOR tidak hanya dengan kemudahan berusaha, tetapi juga perlu menyediakan pilihan (portofolio) pada investor, mau ke sektor riil, industri, ritel atau mau masuk ke sektor keuangan. Dengan demikian calon investor memiliki keleluasaan pengelolaan atas dana yang dikelola.

Selain itu jika pemerintah menginginkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, perlu usaha bersama bagi semua stakeholders mengingat selama ini permasalahan lama seperti koordinasi tumpang tindih dan aturan main sering menjadi momok investasi di negara ini.

Regulasi ketenagakerjaan juga menjadi isu yang berat karena itu yang sering kali menurunkan daya saing investasi kita. Ada kesenjangan yang cukup kentara antara pertumbuhan upah yang rata-rata di angka 8–9% per tahun dengan tingkat produktivitas pekerja yang relatif stagnan di kisaran 3%.

Kondisi itulah yang sering kali membuat banyak calon investor asing yang pada akhirnya lebih memilih negara seperti Vietnam, Myanmar, dan Thailand sebagai negara tujuan investasi dengan dalih produktivitas tenaga kerja yang lebih baik, ongkos produksi yang lebih murah, dan tentunya kapasitas infrastruktur yang lebih memadai.

Dengan demikian, topik defisit neraca perdagangan, angka ICOR, serta daya saing merupakan rangkaian variabel ekonomi yang sangat penting karena posisinya yang saling terkait. Dalam perspektif kebijakan, pemerintah perlu membuat bauran kebijakan (policy mix) yang saling memperkuat. Termasuk membangun hubungan pemerintah pusat dan daerah yang lebih harmonis, terutama pada perizinan dan pajak daerah.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0723 seconds (0.1#10.140)