Memperkuat Peran Auditor dan Pengawas Sekolah

Kamis, 15 November 2018 - 09:01 WIB
Memperkuat Peran Auditor...
Memperkuat Peran Auditor dan Pengawas Sekolah
A A A
Khelmy K Pribadi
Direktur Program MAARIF Institute, Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI

TAHUN 2017, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Disusul pada 7 Juni 2018, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menandatangani Permendikbud RI No 20/2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dalam Satuan Pendidikan Formal. Dua aturan ini merupakan implementasi dari Nawacita atau agenda prioritas pemerintahan Presiden Joko Widodo Nomor 8 yakni tentang penguatan revolusi karakter bangsa melalui budi pekerti dan pendidikan karakter peserta didik sebagai bagian dari revolusi mental. Ada lima nilai dasar dalam aturan tersebut yakni: religiusitas, nasionalisme, mandiri, gotong royong dan integritas. Lahirnya peraturan ini merupakan respons atas pentingnya penguatan pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai dasar bagi anak didik dan masyarakat pada umumnya untuk membentengi ideologi dan identitas bangsa Indonesia dari ancaman intoleransi dan radikalisme pro-kekerasan.

Rentannya Sekolah
Ancaman atas ideologi dan identitas kebangsaan adalah nyata. Sejak sepuluh tahun terakhir, muncul gejala sekolah-sekolah menengah atas negeri menjadi pusat penyemaian intoleransi, eksklusivitas, anti-pancasila, anti-kebinekaan, bahkan kekerasan dalam berbagai bentuknya (Farha Ciciek : 2008; MAARIF Institute : 2011). Penelitian Setara Institute pada 2015 cukup mencengangkan. Pasalnya, 7,6% pelajar di DKI Jakarta dan di Bandung setuju dengan ideologi dan sepak terjang ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah). Riset ini juga mengungkap bahwa 8,5% dari 684 responden pelajar, setuju untuk mengganti dasar negara Pancasila dengan agama tertentu. Pada 2016, Setara Institute menggelar survei toleransi pelajar Indonesia dengan melibatkan 760 responden pelajar SMA negeri di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat. Survei ini menyimpulkan bahwa 35,7% siswa memiliki paham dan pemikiran intoleran, 2,4% menunjukkan sikap intoleran dalam tindakan dan perkataan, serta 0,3% berpotensi menjadi teroris.

Tren ini semakin mengkhawatirkan ketika pada 2017 lalu, survei Wahid Foundation bersama Kementerian Agama RI yang melibatkan tak kurang dari 1.626 pelajar menemukan bahwa 58% responden setuju berdirinya negara Islam di Indonesia dan 60% pelajar bersedia berjihad ke wilayah konflik seperti Poso dan Suriah. Temuan lain survei ini menyebut bahwa 10% responden pelajar mendukung serangan bom Thamrin, dan 6% mendukung ISIS. Pada tahun yang sama (2017), penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mendapati 58,8% responden setuju ideologi radikalisme kekerasan dan 51,1 % intoleran terhadap kelompok yang berbeda agama. Penelitian ini melibatkan 1.522 siswa SMA atau sederajat dan 337 mahasiswa. Sementara itu, survei teranyar dari lembaga yang sama pada Oktober 2018 mengungkap bahwa 50,87% guru memiliki opini intoleransi dan 40,41% memiliki opini radikal.

Dalam beberapa riset kualitatif, membenarkan data-data kuantitatif di atas. Setidaknya ada tiga pintu yang menyebabkan proses penetrasi paham intoleran dan radikalisme pro-kekerasan di Sekolah. Pertama, indoktrinasi yang dilakukan oleh guru mata pelajaran ketika proses belajar-mengajar (Farha Ciciek : 2008; MAARIF Institute : 2011). Kedua, infiltrasi pandangan keagamaan melalui kegiatan ekstrakurikuler (Farha Ciciek : 2008; MAARIF Institute : 2011, 2017). Ketiga, lemahnya artikulasi dan implementasi regulasi tentang kegiatan ekstrakurikuler yang menguatkan kebinekaan (MAARIF Institute : 2017).

Peran Strategis dan Tantangannya
Di tengah ancaman nyata penetrasi paham intoleransi dan radikalisme pro-kekerasan tersebut, sangat penting melihat kembali mekanisme organisasi sekolah di Indonesia. Setidaknya, sekolah memiliki perangkat pengawasan yang melekat yakni auditor dan pengawas sekolah. Auditor dan pengawas sekolah memiliki peran strategis dalam upaya mencegah penyebaran gagasan intoleransi dan radikalisme pro-kekerasan di lingkungan sekolah. Peran strategis auditor mengacu pada Permendikbud Nomor 55 tahun 2015 yang menjelaskan bahwa auditor juga bertugas untuk melakukan pembinaan teknis pengawasan. Pengawasan internal berjenjang ini sangat penting guna pencegahan intoleransi dan radikalisme di kalangan guru dan tenaga kependidikan.

Sementara itu, di tingkat pengawas sekolah. berdasarkan Permendikbud Nomor 6 tahun 2018 dijelaskan bahwa tugas pengawas sekolah adalah mendampingi kepala sekolah. Pendampingan ini terdiri dari supervisi akademik dan supervisi manajerial, termasuk evaluasi dan penilaian sekolah. Pengawasan akademik dan manajerial diandaikan termasuk didalamnya adalah mengawasi mekanisme belajar-mengajar di sekolah—termasuk aktivitas siswa—dan kebijakan manajerial di sekolah. Jika menilik pada tugas di atas, pengawas sekolah memainkan peran yang sangat strategis dalam upaya pencegahan penetrasi kelompok intoleran dan radikalisme pro-kekerasan di sekolah. Akan tetapi, penting juga untuk mengamati proses dan praktik pengawasan yang selama ini sudah berjalan. Termasuk masalah-masalah yang dihadapi dalam praktik pengawasan tersebut.

Penelitian terbaru MAARIF Institute tahun 2018 menemukan bahwa setidaknya ada empat masalah utama; Pertama, rasio jumlah auditor dan pengawas yang tidak sebanding dengan jumlah sekolah yang mesti diawasi, termasuk didalamnya adalah masalah jarak geografis dengan sekolah yang diawasi. Kedua, Terbatasnya pengetahuan tentang intoleransi dan radikalisme pro-kekerasan. Masalah ini akan berdampak pada sikap dan perilaku atas isu intoleransi dan radikalisme. Lebih dari itu, pengawasan terhadap paham dan gerakan intoleransi dan radikalisme di sekolah belum menjadi perhatian utama aktor pendidikan. Ketiga, Pemahaman pengawasan sekolah hanya bersifat audit keuangan, dan belum maksimal pada praktik audit kinerja sebagai bagian dari pengawasan akademik dan manajerial. Keempat, Belum adanya perangkat praktis yang membantu memudahkan kerja-kerja pengawasan khususnya untuk mencegah masuknya paham dan gerakan intoleransi dan radikalisme di sekolah.

Penguatan Kapasitas
Mencermati hal itu, penting untuk mengarusutamakan upaya penguatan kapasitas auditor dan pengawas sekolah. Penguatan kapasitas ini setidaknya ada dalam dua hal; Pertama, penguatan kapasitas pengetahuan tentang ancaman intoleransi dan radikalisme di sekolah. Melalui itu, auditor dan pengawas akan memiliki bekal pengetahuan yang memadai untuk mengenali gejala-gejala intoleransi dan radikalisme di sekolah. Kedua, penguatan ketrampilan pengawasan yang tidak hanya bersifat audit keuangan namun lebih pada audit kinerja, supervisi akademik dan supervisi manajerial sekolah. Sehingga sekolah memiliki ketahanan dalam membentengi sekolah dari ancaman intoleransi dan radikalisme. Ketrampilan pengawasan ini akan lebih baik jika didukung dengan perangkat teknis pengawasan, termasuk diantaranya panduan penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan intoleransi dan radikalisme di sekolah dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk orang tua dan masyarakat.

Ikhtiar inilah yang kini tengah dihelat oleh MAARIF Institute dan Inspektorat Jenderal Kemendikbud RI, khususnya Inspektorat III. Sejak 2011, MAARIF Institute bersama Kemendikbud banyak bekerjasama untuk penguatan di level siswa, guru dan kepala sekolah. Penguatan kapasitas auditor dan pengawas sekolah adalah salah satu upaya penting dan strategis untuk penguatan pendidikan karakter sebagaimana digerakkan oleh Presiden Joko Widodo. Karakter religiusitas, nasionalisme, mandiri, gotong-royong dan integritas adalah identitas bangsa Indonesia yang mesti diperkuat dalam bingkai kebinekaan dan persatuan.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0611 seconds (0.1#10.140)