High Cost, Low Politics

Jum'at, 09 November 2018 - 07:36 WIB
High Cost, Low Politics
High Cost, Low Politics
A A A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

TAK terhitung lagi saya menghadiri forum diskusi politik, baik sebagai pembicara maupun pendengar. Kadang muncul juga rasa jenuh, bosan, dan pesimistis, apakah diskusi itu membawa perubahan ataukah hanya semacam katarsis intelektual?

Dari sekian banyak diskusi itu, salah satu kesan dan simpulan yang terekam adalah politik berbiaya mahal, tetapi hasilnya mengecewakan. Padahal politik adalah sebuah seni, ilmu, dan aktivitas dalam mengelola kekuasaan sebuah negara secara profesional, efisien, dan transparan agar rakyatnya semakin cerdas, sejahtera, dan berkeadaban.

Coba saja googling, tuliskan berapa banyak pejabat negara masuk penjara? Jawabannya fantastis. Hati saya berat untuk menerima dan percaya. Seratus lebih anggota DPR dan DPRD yang masuk penjara karena korupsi. Begitu juga sekian banyak bupati, wali kota, gubernur, komisioner, dan menteri.

Salah satu penyebab korupsi adalah ongkos politik yang amat mahal bagi seseorang untuk menduduki jabatan itu. Jabatan publik di negeri ini bagaikan barang lelang, siapa yang paling berani membayar, mereka yang berhasil duduk di situ. Membayarnya bisa diangsur di depan, sisanya dibayar setelah jabatan dalam genggamannya.

Kepada siapa membayar? Kepada pihak yang memiliki legalitas dan otoritas untuk memperoleh tiket politik. Utamanya adalah parpol dan afiliasinya. Ongkos lainnya adalah untuk membeli suara calon pemilih serta membayar saksi proses perhitungan suara.

Di luar itu semua masih ada bohir yang sengaja berinvestasi untuk memengaruhi pembuatan undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah (PP) yang menguntungkan dan melindungi bisnis mereka. Kesemuanya itu semakin transparan dan para peneliti bahkan memiliki data besaran biaya politik itu.

Kalau berbagai informasi itu betul, berarti para bohir dengan kekuatan uangnya telah berhasil membeli wakil rakyat, parpol, dan punya saham pembuatan UU dan PP untuk melicinkan bisnis mereka. Jadi, jika ada produk UU dan PP yang lebih memihak para bohir, itu bisa dimaklumi karena yang merumuskan memang sejak awal sudah tidak lurus niatnya dan tidak berpihak pada nalar sehat dan kepentingan rakyat banyak.

Lalu seburuk dan sebusuk itukah budaya politik kita? Tentu saja banyak kemajuan yang diraih selama reformasi ini. Namun sulit dimungkiri bahwa dari ongkos politik yang sedemikian mahal ini, baik uang maupun sosial, hasilnya sangat mengecewakan.

Mengurus negara yang sedemikian besar seakan main-main, coba-coba, kebenaran diukur dengan besarnya jumlah suara, tetapi menggusur hikmah dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dalam perwakilan.

Isu mutakhir yang merebak adalah uji coba pemilu dan pileg secara serentak dalam satu paket. Bagi orang desa sangat mungkin akan kebingungan menentukan lima gambar dan nomor yang mesti dicoblos, yaitu pasangan capres-cawapres, DPR pusat, DPD, DPR provinsi, dan DPRD, sementara program sosialisasi tidak berlangsung dengan lancar dan merata.

Bagi para caleg daerah, ada yang tidak berani mempromosikan capres-cawapresnya, takut tidak populer, karena warga dapilnya punya pilihan berbeda dari parpolnya. Bagi caleg, yang penting dirinya lolos ke Senayan, siapa pun presidennya. Artinya tidak semua caleg bersungguh-sungguh mempromosikan sosok capres yang diusung partainya.

Demikianlah, cerita ini bisa diperpanjang lagi. Kita prihatin dengan ongkos politik yang mahal, tetapi hasilnya kurang berkualitas. High cost, low politics.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0730 seconds (0.1#10.140)