Memahami Bencana dalam Perspektif Fikih Kebencanaan
A
A
A
Arif Jamali Muis
Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
PP Muhammadiyah
TERJADINYA bencana beruntun baru-baru ini di Lombok-Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan disusul gempa dan tsunami Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah, menggugah rasa kemanusiaan kita. Donasi dari masyarakat dari berbagai penjuru Nusantara berdatangan sebagai wujud saling membantu, begitu juga relawan dari berbagai organisasi hadir untuk meringankan beban saudara-saudara sebangsa yang sedang mengalami musibah.
Di balik rasa kemanusiaan yang patut kita banggakan muncul di berbagai grup WA dan media sosial lainnya pendapat yang menyertai penyebab terjadinya bencana. Selain analisis ilmiah keilmuan, muncul pendapat bahwa bencana terjadi karena di tempat tersebut banyak terjadi kemaksiatan yang dilakukan.
Lihatlah isu yang menyertai gempa Lombok, yakni bencana terjadi karena terdapat pulau yang digunakan bebas untuk bermaksiat sehingga Allah “murka” dan “marah”, maka diturunkanlah azab dari-Nya. Atau gempa dan tsunami di Palu karena akan ada pertemuan forum LGBT secara besar-besaran di Palu dan berbagai isu lainnya. Intinya, semua bencana yang terjadi karena “kemurkaan” Allah akibat kemaksiatan manusia.
Ada cerita menarik pada saat penulis mendampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkunjung ke NTB. Ada warga yang bercerita kepada relawan Muhammadiyah bahwa mereka merasa tidak nyaman dengan wacana gempa terjadi karena azab dari Tuhan. Kata mereka, sudah kena musibah dianggap ingkar dan bermaksiat kepada Allah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Lalu, bagaimana kita baiknya memahami kebencanaan yang terjadi?
Fikih Kebencanaan
Pada Munas Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015 telah diterbitkan fikih kebencanaan sebagai upaya memahami, menjelaskan, mengantisipasi, dan menyikapi peristiwa-peristiwa kebencanaan berdasarkan value, ethics, dan ethos dalam Alquran dan Hadis. Dalam fikih kebencanaan, memandang terjadinya bencana bisa kita bedakan dalam dua hal, yaitu bencana dari sisi teologis dan sosiologis.
Dalam konteks teologis Alquran mengajarkan bahwa Allah SWT bersifat Rahman dan Rahim, Allah Maha Kasih dan Sayang (QS 6:54). Maka itu, konsekuensi dari keyakinan itu adalah apa pun yang diberikan Allah SWT kepada manusia selalu dalam kerangka kebaikan dan penuh dengan kasih sayang. Cara pandang ini pun harus kita pakai dalam memandang bencana yang terjadi bahwa bencana sebagai kehendak Allah SWT merupakan sebuah kebaikan (QS 16:30) yang menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas keimanan manusia.
Bencana yang terjadi bukan merupakan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah kepada manusia, melainkan merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (Rahman) Allah kepada manusia, yaitu sebagai media introspeksi bagi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa merugikan manusia itu sendiri.
Kedua, secara sosiologis, kita dapat memahami bencana dari perspektif peran manusia sebagai khalifah (pengelola) alam. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini mempunyai tugas penting menjaga kelestarian alam, tidak melakukan kerusakan, menjaga harmoni alam, dan menjadikan alam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam konteks kebencanaan, manusia sebagai khalifah ada tiga peran penting, pertama melakukan upaya preventif, yaitu mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana (QS Yusuf : 47–49), melakukan upaya-upaya jika terjadi bencana dapat meminimalkan kerugian dan korban jiwa.
Kesadaran mitigasi dan kesiapsiagaan ini sangat penting, apalagi Indonesia termasuk wilayah yang rawan bencana, baik gempa, gunung api, banjir, dan lain-lain. Sayangnya, usaha mitigasi dan kesiapsiagaan bencana ini belum mendapat porsi utama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Ketiga, jika terjadi bencana bagi masyarakat yang terdampak harus bersikap sabar dan bersyukur, mengembangkan positive thinking and action akan kebaikan dan hikmah di balik peristiwa kebencanaan. Di sisi lain, bagi masyarakat yang tidak terdampak harus melakukan upaya tanggap darurat dengan menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia, mengurangi penderitaan korban, dan meminimalkan kerugian materi (QS Al-maidah: 32).
Bagi organisasi kemanusiaan menolong korban bencana harus memegang tiga prinsip; pertama inklusif, membantu tidak hanya untuk kelompok tertentu saja, membantu untuk semua kelompok yang terkena dampak bencana entah apa pun suku, ras, agama dan golongannya. Bukankah mustad’afin dalam bahasa agama tertuju tidak memandang agama, suku, etnis, dan kelompok tertentu.
Prinsip inklusif ini penting karena di lapangan kadang ada kecenderungan membantu sesuai dengan kelompoknya saja. Kedua, non-charity, artinya bantuan kemanusiaan tidak hanya model “bakti sosial” sekadar membantu apa saja tanpa analisis kebutuhan, setelah itu selesai dan merasa puas. Prinsip bantuan kemanusiaan adalah berbasis pada hak masyarakat terdampak dan memperhatikan keberlanjutan program.Bantuan kemanusiaan tidak lagi model “hero” yang datang memberi bantuan lalu pergi, hit, take a picture and run. Ketiga, prinsip bantuan kemanusiaan harus lebih memperhatikan kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, dan orang tua lanjut usia. Karena kelompok inilah paling gampang jika terjadi bencana mengalami penderitaan.
Keempat, pascabencana, sebagai khalifah, manusia wajib melakukan upaya rehabilitasi, yaitu perbaikan semua aspek yang rusak akibat terjadinya bencana maupun melakukan rekonstruksi semua sarana dan prasarana yang hancur akibat bencana. Ada baiknya masyarakat mulai menghentikan wacana mengaitkan terjadinya bencana akibat “kemarahan” dan “murka” Tuhan atas tindakan manusia.
Selain tidak membantu apa pun terhadap korban bencana, juga membuat korban menjadi tidak nyaman. Jalan terbaik setelah membantu korban adalah kita belajar dari kejadian bencana tersebut untuk melakukan upaya antisipasi agar jika terjadi di tempat kita tidak menimbulkan kerugian yang besar. Wallahualam.
Wakil Ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC)
PP Muhammadiyah
TERJADINYA bencana beruntun baru-baru ini di Lombok-Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan disusul gempa dan tsunami Palu, Donggala, dan Sigi, Sulawesi Tengah, menggugah rasa kemanusiaan kita. Donasi dari masyarakat dari berbagai penjuru Nusantara berdatangan sebagai wujud saling membantu, begitu juga relawan dari berbagai organisasi hadir untuk meringankan beban saudara-saudara sebangsa yang sedang mengalami musibah.
Di balik rasa kemanusiaan yang patut kita banggakan muncul di berbagai grup WA dan media sosial lainnya pendapat yang menyertai penyebab terjadinya bencana. Selain analisis ilmiah keilmuan, muncul pendapat bahwa bencana terjadi karena di tempat tersebut banyak terjadi kemaksiatan yang dilakukan.
Lihatlah isu yang menyertai gempa Lombok, yakni bencana terjadi karena terdapat pulau yang digunakan bebas untuk bermaksiat sehingga Allah “murka” dan “marah”, maka diturunkanlah azab dari-Nya. Atau gempa dan tsunami di Palu karena akan ada pertemuan forum LGBT secara besar-besaran di Palu dan berbagai isu lainnya. Intinya, semua bencana yang terjadi karena “kemurkaan” Allah akibat kemaksiatan manusia.
Ada cerita menarik pada saat penulis mendampingi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkunjung ke NTB. Ada warga yang bercerita kepada relawan Muhammadiyah bahwa mereka merasa tidak nyaman dengan wacana gempa terjadi karena azab dari Tuhan. Kata mereka, sudah kena musibah dianggap ingkar dan bermaksiat kepada Allah, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Lalu, bagaimana kita baiknya memahami kebencanaan yang terjadi?
Fikih Kebencanaan
Pada Munas Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015 telah diterbitkan fikih kebencanaan sebagai upaya memahami, menjelaskan, mengantisipasi, dan menyikapi peristiwa-peristiwa kebencanaan berdasarkan value, ethics, dan ethos dalam Alquran dan Hadis. Dalam fikih kebencanaan, memandang terjadinya bencana bisa kita bedakan dalam dua hal, yaitu bencana dari sisi teologis dan sosiologis.
Dalam konteks teologis Alquran mengajarkan bahwa Allah SWT bersifat Rahman dan Rahim, Allah Maha Kasih dan Sayang (QS 6:54). Maka itu, konsekuensi dari keyakinan itu adalah apa pun yang diberikan Allah SWT kepada manusia selalu dalam kerangka kebaikan dan penuh dengan kasih sayang. Cara pandang ini pun harus kita pakai dalam memandang bencana yang terjadi bahwa bencana sebagai kehendak Allah SWT merupakan sebuah kebaikan (QS 16:30) yang menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas keimanan manusia.
Bencana yang terjadi bukan merupakan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah kepada manusia, melainkan merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (Rahman) Allah kepada manusia, yaitu sebagai media introspeksi bagi seluruh perbuatan manusia yang mendatangkan peristiwa merugikan manusia itu sendiri.
Kedua, secara sosiologis, kita dapat memahami bencana dari perspektif peran manusia sebagai khalifah (pengelola) alam. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini mempunyai tugas penting menjaga kelestarian alam, tidak melakukan kerusakan, menjaga harmoni alam, dan menjadikan alam sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam konteks kebencanaan, manusia sebagai khalifah ada tiga peran penting, pertama melakukan upaya preventif, yaitu mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana (QS Yusuf : 47–49), melakukan upaya-upaya jika terjadi bencana dapat meminimalkan kerugian dan korban jiwa.
Kesadaran mitigasi dan kesiapsiagaan ini sangat penting, apalagi Indonesia termasuk wilayah yang rawan bencana, baik gempa, gunung api, banjir, dan lain-lain. Sayangnya, usaha mitigasi dan kesiapsiagaan bencana ini belum mendapat porsi utama, baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Ketiga, jika terjadi bencana bagi masyarakat yang terdampak harus bersikap sabar dan bersyukur, mengembangkan positive thinking and action akan kebaikan dan hikmah di balik peristiwa kebencanaan. Di sisi lain, bagi masyarakat yang tidak terdampak harus melakukan upaya tanggap darurat dengan menyelamatkan kelangsungan kehidupan manusia, mengurangi penderitaan korban, dan meminimalkan kerugian materi (QS Al-maidah: 32).
Bagi organisasi kemanusiaan menolong korban bencana harus memegang tiga prinsip; pertama inklusif, membantu tidak hanya untuk kelompok tertentu saja, membantu untuk semua kelompok yang terkena dampak bencana entah apa pun suku, ras, agama dan golongannya. Bukankah mustad’afin dalam bahasa agama tertuju tidak memandang agama, suku, etnis, dan kelompok tertentu.
Prinsip inklusif ini penting karena di lapangan kadang ada kecenderungan membantu sesuai dengan kelompoknya saja. Kedua, non-charity, artinya bantuan kemanusiaan tidak hanya model “bakti sosial” sekadar membantu apa saja tanpa analisis kebutuhan, setelah itu selesai dan merasa puas. Prinsip bantuan kemanusiaan adalah berbasis pada hak masyarakat terdampak dan memperhatikan keberlanjutan program.Bantuan kemanusiaan tidak lagi model “hero” yang datang memberi bantuan lalu pergi, hit, take a picture and run. Ketiga, prinsip bantuan kemanusiaan harus lebih memperhatikan kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, dan orang tua lanjut usia. Karena kelompok inilah paling gampang jika terjadi bencana mengalami penderitaan.
Keempat, pascabencana, sebagai khalifah, manusia wajib melakukan upaya rehabilitasi, yaitu perbaikan semua aspek yang rusak akibat terjadinya bencana maupun melakukan rekonstruksi semua sarana dan prasarana yang hancur akibat bencana. Ada baiknya masyarakat mulai menghentikan wacana mengaitkan terjadinya bencana akibat “kemarahan” dan “murka” Tuhan atas tindakan manusia.
Selain tidak membantu apa pun terhadap korban bencana, juga membuat korban menjadi tidak nyaman. Jalan terbaik setelah membantu korban adalah kita belajar dari kejadian bencana tersebut untuk melakukan upaya antisipasi agar jika terjadi di tempat kita tidak menimbulkan kerugian yang besar. Wallahualam.
(whb)