Perkara Suap Bakamla, Fayakhun Dituntut 10 Tahun Penjara

Rabu, 31 Oktober 2018 - 20:23 WIB
Perkara Suap Bakamla,...
Perkara Suap Bakamla, Fayakhun Dituntut 10 Tahun Penjara
A A A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut politikus Partai Golkar Fayakhun Adriadi dengan pidana penjara selama 10 tahun.

JPU juga meminta majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman pencabutan hak politik Fayakhun selama lima tahun.

Perkara Fayakhun Andriadi ditangani JPU yang diketuai Kresno Anto Wibowo dengan anggota di antaranya Ikhsan Fernandi Z dan M Takdir Suhan. ‎Surat tuntutan nomor: 96/TUT.01.06/24/10/2018 atas nama Fayakhun dibacakan secara bergantian oleh Kresno dan Ikhsan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (31/10/2018).

JPU menilai, Fayakhun Andriadi selaku anggota DPR periode 2014-2019 yang berada di Komisi I dan Badan Anggaran terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) dalam delik penerimaan suap.

Fayakhun menerima total USD911.480 pada 2016 atau setara saat itu Rp12 miliar dari terpidana pemberi suap pemilik dan pengendali PT Meria Esa dan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah alias Emi yang telah divonis 2 tahun 8 bulan.

Uang suap diberikan Emi melalui keponakannya yang juga pegawai Bagian Operasional Merial Esa Muhammad Adami Okta, mantan terpidana divonis 1 tahun 6 bulan dengan cara transfer antarnegara.

JPU memastikan, uang suap tersebut terkait pengurusan pembahasan dan pengesahan di DPR atas anggaran satelit monitoring dan drone dengan total Rp1,22 triliun pada Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam APBN Perubahan 2016.‎ Total nilai suap yang diterima Fayakhun merupakan hasil kesepakatan fee 1 persen dari nilai proyek.

"Menuntut, agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Fayakhun Andriadi selama 10 tahun dan ditambah pidana denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama 6 bulan," tutur JPU Kresno saat membacakan surat tuntutan atas nama Fayakhun.

Dia melanjutkan, saat melakukan perbuatan pidananya Fayakhun merupakan anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat. Perbuatan Fayakhun telah menciderai amanah sebagai wakil rakyat.

Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat agar tidak memilih kembali pejabat publik yang koruptif dan guna memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk memperbaiki diri maka perlu dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

"Menuntut, menjatuhkan hukuman tambahan kepada terdakwa (Fayakhun) berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun, yang dihitung sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," tutur JPU Kresno.

Dia membeberkan, bagi JPU, Fayakhun terbukti melanggar Pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dalam menyusun tuntutan, JPU mempertimbangkan hal-hal memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan, Fayakhun tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Kemudian Fayakhun telah menciderai amanah yang diembannya selaku wakil rakyat di DPR karena telah menerima suap dalam jabatannya.

Pertimbangan meringankan bagi Fayakhun ada empat. Pertama, telah mengembalikan sebagian uang yang diterimanya, yakni Rp2 miliar ke negara melalui rekening pentipan KPK. Kedua, bersikap sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum. Ketiga, masih memiliki tanggungan keluarga.

"Terdakwa mengakui mengakui kesalahannya dan menyesali perbuatannya," ucap Kresno.

Fayakhun Andriadi mengatakan, atas tuntutan JPU tersebut maka dia dan tim penasihat hukum akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi). Majelis hakim menunda persidangan hingga Rabu 7 November 2018 dengan agenda pembacaan pleidoi.

"Terima kasih Yang Mulia, saya juga akan mengajukan pleidoi," ujar Fayakhun.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6266 seconds (0.1#10.140)