Mendorong Daerah Memulai Mitigasi Bencana
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI, Kepala Badan Bela Negara FKPPI, Ketua Bidang Ekonomi dan
Lingkungan Hidup Pemuda Pancasila
RANGKAIAN gempa bumi yang sempat mengguncang sejumlah daerah pascagempa dan tsunami di Palu serta Donggala mengharuskan semua daerah antisipatif. Pengalaman juga mengajarkan bahwa pergantian musim sering diwarnai gangguan alam tak hanya gempa bumi, melainkan juga banjir, angin puting beliung hingga tanah longsor.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ), pada Minggu (21/10) harus menanggapi informasi yang menyebutkan gempa akan mengguncang Surabaya dan Madura. Tidak berusaha mementahkan atau membantah informasi itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati justru mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat lebih proaktif mempersiapkan mitigasi bencana. Dwikorita memang mengatakan bahwa potensi gempa tidak hanya ada di wilayah Surabaya dan Madura tapi di sebagian besar wilayah Indonesia. Sebab, Indonesia berada di lingkaran Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang terbentuk oleh gerak lempeng tektonik aktif.
Memang, menurut BMKG, secara geologis dan tektonik, Surabaya dan Madura berada pada jalur zona sesar aktif. Surabaya berada pada jalur zona Sesar Kendeng, sedangkan Madura berada pada jalur zona Sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean, dan Sakala). Dan, berdasarkan catatan sejarah kegempaan (Visser 1922), jalur Sesar Kendeng pernah memicu terjadinya gempa bumi merusak di Mojokerto (1836,1837), Madiun (1862, 1915) dan Surabaya (1867).
Sebelum dan sesudah tragedi Lombok, Palu, Donggala serta Sigi, gempa bumi, banjir dan tanah longsor juga terjadi di sejumlah daerah, akhir-akhir ini. Jumat (19/10) pekan lalu, gempa berkekuatan 5,1 skala richter mengguncang Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebelumnya, gempa bumi juga mengguncang Maluku Barat Daya, Situbondo di Jawa Timur, pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, serta gempa yang mengguncang Bitung di Sulawesi Utara.
Pada pekan kedua Oktober, terjadi banjir serta longsor di Kabupaten Mandailing Natal dan Sibolga di Sumatera Utara akibat curah hujan yang tinggi. Ada korban tewas akibat bencana itu. Banjir dan tanah longsor juga terjadi di Sumatera Barat. Rangkaian gempa, banjir dan tanah longsor itu hendaknya dilihat sebagai sebuah kecenderungan menjelang pergantian musim. Apalagi, menurut data Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB), sampai pertengahan Oktober 2018, setidaknya ada 1.230 frekuensi kejadian bencana.
Karena itu, semua BPBD perlu dikonsolidasi dan disiagakan untuk segera melakukan mitigasi bencana. Efektivitas mitigasi bencana pada tingkat daerah harus segera ditingkatkan untuk meminimalkan korban dan kerugian. Belajar dari tragedi akibat gempa dan tsunami di Palu serta Donggala, meningkatkan efektivitas mitigasi bencana menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia. Semua pemerintahan kabupaten serta kota hendaknya mulai mengonsolidasi dan menyiagakan semua unsur di dalam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Mendekati pergantian musim sekarang ini, sangat penting bagi semua BPBD untuk melakukan komunikasi yang intens dengan BMKG setempat untuk mengetahui berbagai kemungkinan. BPBD di semua kabupaten/kota diharapkan mampu menjadi kekuatan terdepan ketika warga membutuhkan bantuan, baik akibat gempa bumi, banjir maupun tanah longsor.
Mitigasi bencana yang efektif menjadi sebuah keharusan sekaligus kebutuhan tak terelakkan, karena sebagian besar wilayah Indonesia berada di jalur cincin api yang rawan bencana. Jangan lagi menyederhanakan persoalan, dan mulailah memperbarui strategi penanggulan bencana dengan berfokus pada upaya meningkatkan efektivitas mitigasi bencana.
Bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala dengan segala akibatnya sudah memberi gambaran tentang kelemahan langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk meminimalikan jumlah korban maupun kerugian material. Sirine tsunami sebagai peringatan dini tidak berfungsi atau tidak bunyi. Pun, diketahui juga bahwa peralatan pendeteksi Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys untuk mendeteksi perubahan permukaan air sudah rusak dan sebagian hilang karena dicuri. Sebagian besar sensor gempa diduga rusak karena perawatannya tidak maksimal.
Puluhan alat deteksi tsunami terapung yang bersumber hibah dari Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia itu tak dapat dioperasikan lagi. Peralatan Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys rusak karena vandalisme dan hilang dicuri. Faktor ini otomatis sudah mengurangi efektivitas mitigasi maupun langkah preventif lainnya.
Maka, dalam konteks mengantisipasi sekaligus mitigasi terjangan tsunami, efektivitasnya mendekati titik nol. Kini, efektivitas mitigasi bencana memang harus dipersoalkan lagi karena aspek efektivitas itu menjadi keharusan sekaligus kebutuhan tak terelakkan bagi Indonesia.Mitigasi bencana masih terlihat sebagai upaya atau kerja minimalis.
Kecenderungan menyederhanakan persoalan itu harus dihentikan. Perlu disegarkan lagi kesadaran bahwa posisi geografis negara ini menjadikan Indonesia wilayah rawan bencana letusan gunung api, gempa, dan tsunami. Rangkaian buktinya lebih dari cukup. Sebab, hampir setiap tahun, sejumlah daerah menghadapi ragam bencana. Mulai dari gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung hingga tsunami dan kekeringan.
Selain kecenderungan menyederhanakan persoalan, terdapat cukup bukti bahwa mitigasi bencana masih jauh dari efektif karena perilaku ego sektoral. Memang, sebagaimana tampak di permukaan selama ini, bencana akibat cuaca ekstrim atau gempa bumi hanya dibebankan sebagai persoalan BNPB dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Padahal, dalam rangkaian upaya meminimalkan risiko bencana, kerja sama lintas sektoral menjadi sebuah kebutuhan. Sayang, dalam praktiknya, kerja sama lintas sektoral itu baru terwujud ketika bencana telah menelan korban jiwa dan menimbulkan kerugian material.
Pengrusakan dan hilangnya alat pendeteksi tsunami setidaknya menjelaskan ketidakpedulian baik aparat keamanan maupun aparat pemerintah daerah. Seperti diketahui sirine dan alat pendeteksi tsunami telah ditempatkan pada belasan provinsi yang berdasarkan catatan historis layak dikategorikan daerah rawan bencana.
Wajib Peduli
Tentu saja yang harus dipersoalkan adalah bagaimana mengelola dan merawat semua peralatan itu. Pemerintah sempat memiliki 21 buoy. Sebanyak 10 unit buoy diberikan oleh pemerintah Jerman dalam paket German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS). Nilai paket itu per 2014 sekitar Rp 610 miliar.Tiga buoy lainnya didapat Indonesia dari Amerika Serikat. Semua peralatan ini tidak mendapatkan perawatan dan perlindungan maksimal karena masalah minimnya anggaran. Selain itu, buoy yang pernah terpasang di Indonesia tidak dikelola BMKG, melainkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sementara itu, dari 170 sensor gempa milik BMKG, alokasi anggaran pemeliharaan hanya cukup untuk 70 sensor.
Mau tak mau, pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh menyikapi potensi bencana alam yang selalu membayangi sejumlah daerah. Cepat atau lambat, efektivitas mitigasi bencana alam harus segera ditingkatkan. Untuk keperluan itu, pimpinan DPR akan mendorong pemerintah segera menginisiasi sebuah program berskala nasional untuk meningkatkan efektivitas mitigasi bencana alam. Jumlah korban jiwa pada dasarnya bisa diminimalkan jika mitigasi bencana alam berjalan efektif. Bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala telah menelan korban jiwa 2.256 hingga per Minggu 21 Oktober 2018.
Ratusan orang lainnya dinyatakan hilang, sementara ribuan jiwa lainnya juga dikhawatirkan tewas akibat likuifaksi. Berdasarkan perkiraan sementara, kerugian material mencapai Rp 10 triliun lebih. Seperti diketahui, Kawasan Balaroa, Petobo dan Jono Oge amblas dan terkubur tanah akibat proses likuifaksi.
Baik korban tewas maupun korban luka terlambat meloloskan diri atau terperangkap dalam amuk bencana akibat tidak efektifnya fungsi peringatan dini (early warning).
Sekali lagi, kecenderungan menyederhanakan persoalan mitigasi bencana harus dihentikan. Belajar dari tragedi akibat gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, meningkatkan efektivitas mitigasi bencana menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia.
Berdasarkan kecenderungan itu, pimpinan DPR meminta pemerintah segera memperbarui strategi penanggulan bencana dengan berfokus pada peningkatan efektivitas mitigasi bencana. Pembaruan strategi ini harus berskala nasional, dalam arti melibatkan semua pemerintah daerah, khususnya belasan provinsi yang rawan bencana.
Pengrusakan dan pencurian alat pendeteksi tsunami dan sirine peringatan tsunami menjadi bukti kurangnya kepedulian aparatur daerah di wilayah rawan bencana. Seharusnya, berkoordinasi dengan BNPB dan BMKG, pemerintah daerah menunjukan kepedulian dengan ikut menjaga dan merawat alat-alat tersebut.
Ketua DPR RI, Kepala Badan Bela Negara FKPPI, Ketua Bidang Ekonomi dan
Lingkungan Hidup Pemuda Pancasila
RANGKAIAN gempa bumi yang sempat mengguncang sejumlah daerah pascagempa dan tsunami di Palu serta Donggala mengharuskan semua daerah antisipatif. Pengalaman juga mengajarkan bahwa pergantian musim sering diwarnai gangguan alam tak hanya gempa bumi, melainkan juga banjir, angin puting beliung hingga tanah longsor.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG ), pada Minggu (21/10) harus menanggapi informasi yang menyebutkan gempa akan mengguncang Surabaya dan Madura. Tidak berusaha mementahkan atau membantah informasi itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati justru mengimbau pemerintah daerah dan masyarakat lebih proaktif mempersiapkan mitigasi bencana. Dwikorita memang mengatakan bahwa potensi gempa tidak hanya ada di wilayah Surabaya dan Madura tapi di sebagian besar wilayah Indonesia. Sebab, Indonesia berada di lingkaran Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang terbentuk oleh gerak lempeng tektonik aktif.
Memang, menurut BMKG, secara geologis dan tektonik, Surabaya dan Madura berada pada jalur zona sesar aktif. Surabaya berada pada jalur zona Sesar Kendeng, sedangkan Madura berada pada jalur zona Sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean, dan Sakala). Dan, berdasarkan catatan sejarah kegempaan (Visser 1922), jalur Sesar Kendeng pernah memicu terjadinya gempa bumi merusak di Mojokerto (1836,1837), Madiun (1862, 1915) dan Surabaya (1867).
Sebelum dan sesudah tragedi Lombok, Palu, Donggala serta Sigi, gempa bumi, banjir dan tanah longsor juga terjadi di sejumlah daerah, akhir-akhir ini. Jumat (19/10) pekan lalu, gempa berkekuatan 5,1 skala richter mengguncang Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebelumnya, gempa bumi juga mengguncang Maluku Barat Daya, Situbondo di Jawa Timur, pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, serta gempa yang mengguncang Bitung di Sulawesi Utara.
Pada pekan kedua Oktober, terjadi banjir serta longsor di Kabupaten Mandailing Natal dan Sibolga di Sumatera Utara akibat curah hujan yang tinggi. Ada korban tewas akibat bencana itu. Banjir dan tanah longsor juga terjadi di Sumatera Barat. Rangkaian gempa, banjir dan tanah longsor itu hendaknya dilihat sebagai sebuah kecenderungan menjelang pergantian musim. Apalagi, menurut data Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB), sampai pertengahan Oktober 2018, setidaknya ada 1.230 frekuensi kejadian bencana.
Karena itu, semua BPBD perlu dikonsolidasi dan disiagakan untuk segera melakukan mitigasi bencana. Efektivitas mitigasi bencana pada tingkat daerah harus segera ditingkatkan untuk meminimalkan korban dan kerugian. Belajar dari tragedi akibat gempa dan tsunami di Palu serta Donggala, meningkatkan efektivitas mitigasi bencana menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia. Semua pemerintahan kabupaten serta kota hendaknya mulai mengonsolidasi dan menyiagakan semua unsur di dalam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Mendekati pergantian musim sekarang ini, sangat penting bagi semua BPBD untuk melakukan komunikasi yang intens dengan BMKG setempat untuk mengetahui berbagai kemungkinan. BPBD di semua kabupaten/kota diharapkan mampu menjadi kekuatan terdepan ketika warga membutuhkan bantuan, baik akibat gempa bumi, banjir maupun tanah longsor.
Mitigasi bencana yang efektif menjadi sebuah keharusan sekaligus kebutuhan tak terelakkan, karena sebagian besar wilayah Indonesia berada di jalur cincin api yang rawan bencana. Jangan lagi menyederhanakan persoalan, dan mulailah memperbarui strategi penanggulan bencana dengan berfokus pada upaya meningkatkan efektivitas mitigasi bencana.
Bencana gempa bumi dan tsunami di Palu dan Donggala dengan segala akibatnya sudah memberi gambaran tentang kelemahan langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk meminimalikan jumlah korban maupun kerugian material. Sirine tsunami sebagai peringatan dini tidak berfungsi atau tidak bunyi. Pun, diketahui juga bahwa peralatan pendeteksi Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys untuk mendeteksi perubahan permukaan air sudah rusak dan sebagian hilang karena dicuri. Sebagian besar sensor gempa diduga rusak karena perawatannya tidak maksimal.
Puluhan alat deteksi tsunami terapung yang bersumber hibah dari Jerman, Amerika Serikat, dan Malaysia itu tak dapat dioperasikan lagi. Peralatan Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys rusak karena vandalisme dan hilang dicuri. Faktor ini otomatis sudah mengurangi efektivitas mitigasi maupun langkah preventif lainnya.
Maka, dalam konteks mengantisipasi sekaligus mitigasi terjangan tsunami, efektivitasnya mendekati titik nol. Kini, efektivitas mitigasi bencana memang harus dipersoalkan lagi karena aspek efektivitas itu menjadi keharusan sekaligus kebutuhan tak terelakkan bagi Indonesia.Mitigasi bencana masih terlihat sebagai upaya atau kerja minimalis.
Kecenderungan menyederhanakan persoalan itu harus dihentikan. Perlu disegarkan lagi kesadaran bahwa posisi geografis negara ini menjadikan Indonesia wilayah rawan bencana letusan gunung api, gempa, dan tsunami. Rangkaian buktinya lebih dari cukup. Sebab, hampir setiap tahun, sejumlah daerah menghadapi ragam bencana. Mulai dari gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, angin puting beliung hingga tsunami dan kekeringan.
Selain kecenderungan menyederhanakan persoalan, terdapat cukup bukti bahwa mitigasi bencana masih jauh dari efektif karena perilaku ego sektoral. Memang, sebagaimana tampak di permukaan selama ini, bencana akibat cuaca ekstrim atau gempa bumi hanya dibebankan sebagai persoalan BNPB dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Padahal, dalam rangkaian upaya meminimalkan risiko bencana, kerja sama lintas sektoral menjadi sebuah kebutuhan. Sayang, dalam praktiknya, kerja sama lintas sektoral itu baru terwujud ketika bencana telah menelan korban jiwa dan menimbulkan kerugian material.
Pengrusakan dan hilangnya alat pendeteksi tsunami setidaknya menjelaskan ketidakpedulian baik aparat keamanan maupun aparat pemerintah daerah. Seperti diketahui sirine dan alat pendeteksi tsunami telah ditempatkan pada belasan provinsi yang berdasarkan catatan historis layak dikategorikan daerah rawan bencana.
Wajib Peduli
Tentu saja yang harus dipersoalkan adalah bagaimana mengelola dan merawat semua peralatan itu. Pemerintah sempat memiliki 21 buoy. Sebanyak 10 unit buoy diberikan oleh pemerintah Jerman dalam paket German Indonesian Tsunami Early Warning System (GITEWS). Nilai paket itu per 2014 sekitar Rp 610 miliar.Tiga buoy lainnya didapat Indonesia dari Amerika Serikat. Semua peralatan ini tidak mendapatkan perawatan dan perlindungan maksimal karena masalah minimnya anggaran. Selain itu, buoy yang pernah terpasang di Indonesia tidak dikelola BMKG, melainkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Sementara itu, dari 170 sensor gempa milik BMKG, alokasi anggaran pemeliharaan hanya cukup untuk 70 sensor.
Mau tak mau, pemerintah harus lebih bersungguh-sungguh menyikapi potensi bencana alam yang selalu membayangi sejumlah daerah. Cepat atau lambat, efektivitas mitigasi bencana alam harus segera ditingkatkan. Untuk keperluan itu, pimpinan DPR akan mendorong pemerintah segera menginisiasi sebuah program berskala nasional untuk meningkatkan efektivitas mitigasi bencana alam. Jumlah korban jiwa pada dasarnya bisa diminimalkan jika mitigasi bencana alam berjalan efektif. Bencana gempa dan tsunami di Palu dan Donggala telah menelan korban jiwa 2.256 hingga per Minggu 21 Oktober 2018.
Ratusan orang lainnya dinyatakan hilang, sementara ribuan jiwa lainnya juga dikhawatirkan tewas akibat likuifaksi. Berdasarkan perkiraan sementara, kerugian material mencapai Rp 10 triliun lebih. Seperti diketahui, Kawasan Balaroa, Petobo dan Jono Oge amblas dan terkubur tanah akibat proses likuifaksi.
Baik korban tewas maupun korban luka terlambat meloloskan diri atau terperangkap dalam amuk bencana akibat tidak efektifnya fungsi peringatan dini (early warning).
Sekali lagi, kecenderungan menyederhanakan persoalan mitigasi bencana harus dihentikan. Belajar dari tragedi akibat gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, meningkatkan efektivitas mitigasi bencana menjadi sebuah keharusan bagi Indonesia.
Berdasarkan kecenderungan itu, pimpinan DPR meminta pemerintah segera memperbarui strategi penanggulan bencana dengan berfokus pada peningkatan efektivitas mitigasi bencana. Pembaruan strategi ini harus berskala nasional, dalam arti melibatkan semua pemerintah daerah, khususnya belasan provinsi yang rawan bencana.
Pengrusakan dan pencurian alat pendeteksi tsunami dan sirine peringatan tsunami menjadi bukti kurangnya kepedulian aparatur daerah di wilayah rawan bencana. Seharusnya, berkoordinasi dengan BNPB dan BMKG, pemerintah daerah menunjukan kepedulian dengan ikut menjaga dan merawat alat-alat tersebut.
(pur)