Khasshoggi dan Skripal

Rabu, 24 Oktober 2018 - 07:39 WIB
Khasshoggi dan Skripal
Khasshoggi dan Skripal
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

KASUS pembunuhan Khasshoggi di konsulat Arab Saudi di Turki dan percobaan pembunuhan Sergie Skripal warga Rusia di Inggris adalah salah satu contoh tentang konsistensi pihak Barat dalam melakukan tebang pilih ketika menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia kepada negara-negara lain.
Mereka akan bertindak agresif dan keras kepada negara-negara yang bukan sekutunya tetapi mereka bersikap pasif dan lembut kepada para sekutunya.

Saya tidak menilai kasus ini untuk membela Rusia atau Arab Saudi tetapi untuk menunjukkan bahwa prinsip tebang pilih ini bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kepada Indonesia, apabila tidak mengikuti kemauan negara-negara Barat. Kasus ini juga membuktikan bahwa demokrasi dan HAM selalu berbalut kepentingan.

Khasshoggi adalah warga negara Arab Saudi yang hidup di Amerika Serikat dan Sergei Skripal adalah warga Rusia yang tinggal di Inggris. Kedua-duanya dianggap aib bagi masing-maisng negara.

Khasshoggi adalah seorang jurnalis yang selalu mengkritik sepak terjang keluarga Saud yang menguasai Negara Arab Saudi sementara Sergei Skripal adalah mantan tentara Rusia yang membocorkan rahasia negara Rusia dan bekerja untuk kepentingan intelijen tiga negara.

Khasshoggi tidak lagi tinggal di Arab Saudi dan memilih menjadi penduduk tetap di AS karena merasa nyawanya terancam akan dibunuh. Ia tetap melakukan kritiknya terhadap anggota Keluarga kerajaan melalui media Washington Post. Sementara Sergei Skripal juga tinggal di Inggris tetapi keluarganya masih tinggal di Rusia. Putrinya, Yulia Skripal, masih dapat bepergian untuk mengunjungi ayahnya secara reguler.

Perbedaan antara Khasshoggi dan Skripal adalah yang pertama berhasil dibunuh, setidaknya menurut informasi intelijen Turki di konsulat Arab Saudi di Turki, sementara Sergei Skripal dan putrinya Yulia dapat lolos dari upaya pembunuhan, masih dapat diselamatkan dan pulih dengan normal.

Perbedaan yang utama adalah reaksi diplomatik dari negara-negara Barat terhadap kedua kasus yang hampir mirip itu. Pihak Barat tidak segera mengeluarkan kutukan terhadap Arab Saudi ketika kasus pembunuhan Khasshoggi terungkap. Sikap mereka berbeda ketika menghadapi kasus Sergei Skripal yang terjadi tujuh bulan lalu di Inggris.

Dalam kasus Sergei Skripal, meskipun belum ada bukti-bukti yang dapat diverifikasi oleh lembaga yang lebih netral, Perdana Menteri Inggris, Teresa May, langsung mengutuk (condemn) dan menuduh Rusia sebagai dalangnya. Tuduhan tersebut kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada dan sebagian besar negara-negara Eropa.

Tuduhan itu bahkan disertai dengan pengusiran staf diplomatik Rusia dari beberapa negara dan kemudian dibalas hal yang sama oleh Rusia. Kasus ini juga sempat dibahas dalam rapat Dewan Keamanan PBB di mana Rusia menuntut akses dan penyelidikan bersama namun ditolak oleh Inggris dan pihak Barat.

Dalam kasus Khassoggi, meski bukti-bukti sudah jelas dan diakui oleh pihak Arab Saudi sebagai sebuah operasi yang tidak disetujui, pihak Barat hanya menyampaikan keprihatinan (concern) dan menunggu penyelidikan lebih lanjut tentang kasus tersebut.

Wajar apabila Vladimir Putin kemudian menyoroti perbedaan sikap negara Barat sebagai sebuah sikap kemunafikan. Kita pun tahu bahwa pembunuhan terhadap figur pengkritik di Arab Saudi bukan hanya terjadi pada Khassoggi; sudah ada sejumlah pegiat perempuan yang raib dan diduga telah kehilangan nyawa di negara itu.

Konsistensi sikap Barat yang hanya mendukung negara-negara yang menjadi aliansinya menimbulkan masalah karena selama ini kita mengkampanyekan bahwa ada hubungan antara demokrasi dengan keadilan sosial.

Kampanye ini terutama juga terkait dengan gagasan HAM di mana sejumlah hak-hak dasar seperti hak hidup, hak menyatakan pendapat, hak berorganisasi dan hak-hak lain adalah hak yang sifatnya universal.

Hak-hak tersebut selama ini menjadi ujung diplomasi negara-negara Barat dan bahkan menjadi legitimasi untuk melakukan intervensi kedaulatan ke negara lain yang berdaulat. Sikap Barat yang cenderung permisif menyebabkan pelanggaran HAM, baik di dalam negeri maupun di dalam negara lain, menjadi kehilangan legitimasinya.

Kehilangan legitimasi ini adalah salah satu bibit timbulnya radikalisme dan kemudian menjelma menjadi aksi-aksi terorisme. Negara-negara juga semakin permisif atau tidak peduli dengan krisis nilai-nilai kemanusiaan di luar negeri dan dalam negeri negaranya masing-masing.

Hal ini merugikan bagi negara-negara yang sedang membangun perekonomian, seperti Indonesia. Kita masih dalam proses menata stabilitas ekonomi tetapi juga harus sibuk menyelesaikan efek negatif dari sikap-sikap tebang pilih tersebut.

Kasus Khassoggi juga menjadi penjelas sikap negara-negara Barat bahwa mereka sebetulnya tidak terlalu serius memperhatikan keadaan HAM di Timur Tengah terutama di Arab Saudi. Kepentingan mereka menyuarakan demokrasi hanya sejauh apabila sesuai dengan kepentingan dan eksistensi regional kawasan.

Hal ini terlihat dari intervensi yang mereka lakukan di Suriah, Libia, Irak dan beberapa operasi lainnya. Negara-negara tersebut adalah negara-negara yang memiliki sistim parlementer dan pemilu secara reguler untuk memilih pemimpin mereka meskipun prinsip dan filosofi demokrasinya berbeda dengan demokrasi liberal yang diyakini Barat.

Salah satu kepentingan Barat adalah industri senjata. The Stockholm International Peace Research Institute melalui sumber-sumber mereka mengukur jumlah senjata yang diekspor setiap tahun oleh Inggris ke Arab Saudi.

Lembaga itu memperkirakan bahwa sejak 2013, sekitar 100 rudal Storm Shadow buatan Inggris (senilai £80 juta atau sekitar Rp1,6 triliun), 2.400 bom Paveway IV (senilai £150 juta atau sekitar Rp2,9 triliun) dan 1.000 Brimstone rudal (senilai £100 juta atau sekitar Rp1,9 triliun) telah dijual ke Arab Saudi (The Guardian, 2018).

Amerika Serikat jauh lebih jujur mengakui bahwa melakukan intervensi terhadap kasus Khassogghi akan membahayakan ratusan ribu lapangan pekerjaan yang tercipta karena perdagangan senjata dan militer ke Arab Saudi.

Vijay Prashad dari Independent Institute Media mencatat bahwa ekspor senjata AS telah meningkat secara sejak 2008. Sebanyak 20% dari penjualan senjata AS ke Arab Saudi. Minat Arab Saudi untuk membeli senjata AS telah meningkat 448% dari 2008-2012 hingga 2013-2017. Arab Saudi memang penting bagi industri pasar keuangan AS dan pabrik senjata.

Artinya apakah memang diplomasi antar negara sedemikian transaksional? Repotnya adalah bahwa negara seperti Indonesia tidak bisa kemudian mengikuti jejak yang dilakukan Arab Saudi atau Rusia, mengabaikan HAM dan demokrasi dengan harapan memenangkan tender yang lebih besar dari negara-negara tertentu.

Kita tentu tidak ingin Indonesia menjadi pasar senjata-senjata dari negara-negara manapun. Adalah mengkhianati perjuangan mempersatukan Indonesia pula bila kita menumbuhkan perekonomian dengan cara menggadaikan prinsip-prinsip kemanusiaan dan merelakan negara kehilangan kemerdekaan berpikir dan bertindak karena menjadi stempel kebijakan negara-negara lain. Bukankah begitu?
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7265 seconds (0.1#10.140)