Tinggal Menunggu Waktu
A
A
A
Riduan Situmorang
Aktif Memperjuangkan Lingkungan melalui Teater, Aktif Berkebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF)Dalam waktu berdekatan, Presiden Jokowi memberikan pidato mencengangkan yang ditujukan kepada dunia, dan karena itu, juga kepada setiap pribadi manusia di semesta ini. Pertama, di forum World Economic Forum (WEF) di Hanoi, Jokowi mengimajinasikan bahwa dunia kini sedang berhadapan dengan Thanos. Kedua, entah mengapa, juga terjadi di forum ekonomi, tepatnya pada acara Annual Meeting IMF, Bali, Jokowi menyebut bahwa dunia kini tak ubahnya sedang berada dalam permainan serupa film fiksi Game of Thrones.Pidato ini menjadi sangat menarik untuk dibahas. Menarik misalnya, mengapa pada forum ekonomi yang mestinya lebih menggunakan data-data statistik, Jokowi malah menggunakandata-data imajinatif (bukan fiktif)? Sebab, seperti kita ketahui bersama, tanpa perlu menjadi pakar ekonomi, kita sudah mahfum bahwa menjadi homo economicusberarti pada saat yang sama kita juga sebenarnya sudah diajarkan menjadi manusia yang malas dan serakah.Pasalnya, dengan kacamata ekonomi, kita diajarkan untuk bekerja sedikit, tetapi memperoleh untung banyak; memberi sedikit, tetapi menerima banyak. Singkatnya, tidak ada kebaikan yang tulus dalam ekonomi. Semuanya bermotif kepentingan. Kebaikan untuk orang lain semata ada demi kebaikan untuk diri sendiri.Adam Smith dalam bukunya, Wealth of Nation (1776) membahasakannya dengan sangat apik: kita mendapatkan makan malam bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir,atau pembuat roti, tetapi dari penghargaan mereka pada kepentingan mereka sendiri. Bukan karena kemanusiaan mereka, tetapi karena cinta mereka pada dirinya sendiri. Dengan mengejar kepentingan sendiri, dia secara tak sengaja mempromosikan kepentingan publik.”Dalam Diri KitaKita kembali ke pidato Jokowi. Ada apa sehingga Jokowi membuat metafora bahwa kita sedang berhadapan dengan Thanos, bahwa kita juga sedang berada dalam permainan Game of Thrones(GoT)?Seperti kita ketahui, dalam sekuel film Avengers: Infinity War (Perang Tak Berkesudahan), Thanos adalah tokoh antagonis utama. Thanos berasal dari bahasa Yunani, athanasios, yang artinya abadi. Semula Thanos bukan tokoh antagonis. Namun, karena menurut Thanos, dunia sedang dalam posisi bahaya di mana penduduknya semakin membeludak dan makanan semakin menipis, maka Thanos berinisiatif untuk menyelamatkan dunia.Thanos memulainya dengan mengambil serta mengumpulkan semua batu abadi. Batu abadi itu dikumpulkan agar dia mempunyai kekuatan mahadahsyat: dengan satu jentikan jari, maka setengah dari populasi dunia akan lenyap seketika. Di akhir cerita film itu, Thanos berhasil mengumpulkan semua batu abadi itu. Dan, dunia pun kembali menjadi hijau dan asri. Thanos sepertinya telah menggunakan kekuatannya.Tetapi, ada dampak lain yang timbul: dunia menjadi sepi. Thanos pun kesepian di sebuah gubuk dengan hamparan sawah sebagai latar belakangnya. Siapakah sebenarnya Thanos itu?Jokowi punya imajinasi tersendiri tentang siapa Thanos. Thanos bukanlah seorang individu, tutur Jokowi. Thanos ada di dalam diri kita semua. Thanos adalah paham yang salah bahwa untuk berhasil, orang lain harus menyerah. Ia adalah persepsi yang salah bahwa keberhasilan sekelompok orang adalah kegagalan bagi yang lainnya, tegas Jokowi lagi.Melalui pidato itu, Jokowi ternyata hendak menyuarakan pesan mujarab: kemenangan itu adalah milik semua. Jika satu menang, maka satu-satunya syarat adalah harus tak ada sosok yang kalah. Jika kamu hendak kaya, maka orang lain juga harus turut kaya.Namun, pada faktanya, kita sering kaya atas kemiskinan orang lain. Kita sering bahagia atas penderitaan orang lain. Sederhana saja membuktikan ini! Ada sejuta kematian per tahunnya di dunia ini karena kelaparan. Namun, pada saat yang sama juga, secara mengejutkan, ada tiga juta kematian justru terjadi karena kekenyangan (obesitas).Bayangkanlah, lebih banyak kematian karena kekenyangan daripada karena kelaparan. Tentu saja kematian karena kelaparan tak terjadi andai manusia tidak saling mengalahkan. Tentu saja kematian karena kekenyangan juga tidak akan terjadi andai manusia saling berbagi.Senada dengan Thanos, metafora Jokowi dengan GoT juga menyuarakan hal yang sama. Pada film ini, perkelahian antara kubu dengan kubu lain terjadi. Mereka saling menumpuk dendam dan ambisi untuk merebut tahta. Sibuk dengan ambisi itu, mereka sampai tidak tahu ada ancaman yang lebih dahsyat: Evil Winter. Mengetahui kedatangan Evil Winter, kubu yang dulu berseteru mendadak bersekutu. Kali ini tak penting lagi bagi mereka siapa yang menduduki tahta. Bagi mereka, yang penting, kehidupan harus tetap awet.Pidato Jokowi ini, harus diakui, menyimpan kebenaran di dalamnya. Saat ini masing-masing negara di dunia saling bersaing. Bumi akhirnya menjadi sawah jarahan. Pada penjarahan itu, ada negara yang berjaya, ada yang merana. Namun, di atas keberjayaan dan kemeranaanitu, ada bahaya yang lebih dahsyat yang tidak kita sadari: bumi semakin rontok. Musim tak lagi terukur. Bumi jadi racun mematikan.Berbagai spesies tumbang dan punah. Sebatas menyebut contoh, di Amerika, kini tinggal 6.000 varietas apel yang tersisa dari 7.100 pada abad XII. Pada 2030 berbagai penelitian juga sudah mengingatkan bahwa varietas makanan lain juga akan punah seperti jagung dan kopi. Dalam Living Planet Report 2006, organisasi konservasi Global World Wild Fund for Nature bahkan sudah terlebih dahulu mengingatkan bahwa ekosistem alam planet bumi sedang mengalami degradasi hingga pada kondisi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah manusia, sedang mendekati tipping point sebagai point of no return (Schellenhuber, 2006).
Menutup TelingaTidak hanya daratan, lautan juga ikut terancam. Silakan cari di Google dengan kalimat sederhana: ikan mati karena plastik, maka ribuan gambar akan tersaji. Ironisnya, abad ini, plastik menjadi keseharian kita. Ketika rapat, kita disuguhi minuman kemasan plastik. Ketika belanja, kita dititipkan jubelan tas kresek plastik. Padahal, sampah plastik sangat berbahaya karena akan menjadi sampah abadi. Tas kresek, misalnya, akan terurai pada kurun waktu 10-20 tahun. Sendok plastik sekitar 100 tahun ke atas. Bahkan, botol plastik konon tak akan terurai.Majalah Time pernah mengangkat sebuah analisis menarik tentang plastik di mana plastik tidak hanya akan sulit terurai, tetapi juga akan merusak perairan dan menimbulkan bibit penyakit. Ironisnya lagi, kita seakan tak jera untuk membuang plastik, terutama ke lautan. Jurnal Science setidaknya sudah mencatat bahwa sebanyak 12,7 juta ton plastik dibuang ke laut tiap tahunnya. Indonesia sendiri berada pada peringkat kedua. Maka itu, tidak mengejutkan bila hasil studi LIPI di mana ikan teri saja sudah memakan sisa-sisa plastik.Namun, seperti diingatkan Jokowi, negara-negara, tentu saja juga kita, tetap abai. Para konglomerat tetap tak peduli. Kini bencana tidak lagi tersembunyi. Bencana sudah tampak terang benderang. Sayangnya, kita tetap menutup telinga sehingga tak mendengar apa-apa. Kita tak kunjung bersatu. Semua tetap bersaing: mulai dari level global hingga domestik. Semua berburu kekuasaan.Kita menjadi Thanos, tepatnya Thanos yang sok-sok menjadi pahlawan. Kita melenyapkan orang lain dengan cara memonopoli kekayaan bumi. Kita saling mengalahkan. Kita semakin lahap membabat alam. Kita tak peduli bahwa bumi ini sudah semakin keropos. Pada saatnya nanti, kita tinggal menunggu waktu Evil Winter menerkam. Oh!
Aktif Memperjuangkan Lingkungan melalui Teater, Aktif Berkebudayaan di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF)Dalam waktu berdekatan, Presiden Jokowi memberikan pidato mencengangkan yang ditujukan kepada dunia, dan karena itu, juga kepada setiap pribadi manusia di semesta ini. Pertama, di forum World Economic Forum (WEF) di Hanoi, Jokowi mengimajinasikan bahwa dunia kini sedang berhadapan dengan Thanos. Kedua, entah mengapa, juga terjadi di forum ekonomi, tepatnya pada acara Annual Meeting IMF, Bali, Jokowi menyebut bahwa dunia kini tak ubahnya sedang berada dalam permainan serupa film fiksi Game of Thrones.Pidato ini menjadi sangat menarik untuk dibahas. Menarik misalnya, mengapa pada forum ekonomi yang mestinya lebih menggunakan data-data statistik, Jokowi malah menggunakandata-data imajinatif (bukan fiktif)? Sebab, seperti kita ketahui bersama, tanpa perlu menjadi pakar ekonomi, kita sudah mahfum bahwa menjadi homo economicusberarti pada saat yang sama kita juga sebenarnya sudah diajarkan menjadi manusia yang malas dan serakah.Pasalnya, dengan kacamata ekonomi, kita diajarkan untuk bekerja sedikit, tetapi memperoleh untung banyak; memberi sedikit, tetapi menerima banyak. Singkatnya, tidak ada kebaikan yang tulus dalam ekonomi. Semuanya bermotif kepentingan. Kebaikan untuk orang lain semata ada demi kebaikan untuk diri sendiri.Adam Smith dalam bukunya, Wealth of Nation (1776) membahasakannya dengan sangat apik: kita mendapatkan makan malam bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir,atau pembuat roti, tetapi dari penghargaan mereka pada kepentingan mereka sendiri. Bukan karena kemanusiaan mereka, tetapi karena cinta mereka pada dirinya sendiri. Dengan mengejar kepentingan sendiri, dia secara tak sengaja mempromosikan kepentingan publik.”Dalam Diri KitaKita kembali ke pidato Jokowi. Ada apa sehingga Jokowi membuat metafora bahwa kita sedang berhadapan dengan Thanos, bahwa kita juga sedang berada dalam permainan Game of Thrones(GoT)?Seperti kita ketahui, dalam sekuel film Avengers: Infinity War (Perang Tak Berkesudahan), Thanos adalah tokoh antagonis utama. Thanos berasal dari bahasa Yunani, athanasios, yang artinya abadi. Semula Thanos bukan tokoh antagonis. Namun, karena menurut Thanos, dunia sedang dalam posisi bahaya di mana penduduknya semakin membeludak dan makanan semakin menipis, maka Thanos berinisiatif untuk menyelamatkan dunia.Thanos memulainya dengan mengambil serta mengumpulkan semua batu abadi. Batu abadi itu dikumpulkan agar dia mempunyai kekuatan mahadahsyat: dengan satu jentikan jari, maka setengah dari populasi dunia akan lenyap seketika. Di akhir cerita film itu, Thanos berhasil mengumpulkan semua batu abadi itu. Dan, dunia pun kembali menjadi hijau dan asri. Thanos sepertinya telah menggunakan kekuatannya.Tetapi, ada dampak lain yang timbul: dunia menjadi sepi. Thanos pun kesepian di sebuah gubuk dengan hamparan sawah sebagai latar belakangnya. Siapakah sebenarnya Thanos itu?Jokowi punya imajinasi tersendiri tentang siapa Thanos. Thanos bukanlah seorang individu, tutur Jokowi. Thanos ada di dalam diri kita semua. Thanos adalah paham yang salah bahwa untuk berhasil, orang lain harus menyerah. Ia adalah persepsi yang salah bahwa keberhasilan sekelompok orang adalah kegagalan bagi yang lainnya, tegas Jokowi lagi.Melalui pidato itu, Jokowi ternyata hendak menyuarakan pesan mujarab: kemenangan itu adalah milik semua. Jika satu menang, maka satu-satunya syarat adalah harus tak ada sosok yang kalah. Jika kamu hendak kaya, maka orang lain juga harus turut kaya.Namun, pada faktanya, kita sering kaya atas kemiskinan orang lain. Kita sering bahagia atas penderitaan orang lain. Sederhana saja membuktikan ini! Ada sejuta kematian per tahunnya di dunia ini karena kelaparan. Namun, pada saat yang sama juga, secara mengejutkan, ada tiga juta kematian justru terjadi karena kekenyangan (obesitas).Bayangkanlah, lebih banyak kematian karena kekenyangan daripada karena kelaparan. Tentu saja kematian karena kelaparan tak terjadi andai manusia tidak saling mengalahkan. Tentu saja kematian karena kekenyangan juga tidak akan terjadi andai manusia saling berbagi.Senada dengan Thanos, metafora Jokowi dengan GoT juga menyuarakan hal yang sama. Pada film ini, perkelahian antara kubu dengan kubu lain terjadi. Mereka saling menumpuk dendam dan ambisi untuk merebut tahta. Sibuk dengan ambisi itu, mereka sampai tidak tahu ada ancaman yang lebih dahsyat: Evil Winter. Mengetahui kedatangan Evil Winter, kubu yang dulu berseteru mendadak bersekutu. Kali ini tak penting lagi bagi mereka siapa yang menduduki tahta. Bagi mereka, yang penting, kehidupan harus tetap awet.Pidato Jokowi ini, harus diakui, menyimpan kebenaran di dalamnya. Saat ini masing-masing negara di dunia saling bersaing. Bumi akhirnya menjadi sawah jarahan. Pada penjarahan itu, ada negara yang berjaya, ada yang merana. Namun, di atas keberjayaan dan kemeranaanitu, ada bahaya yang lebih dahsyat yang tidak kita sadari: bumi semakin rontok. Musim tak lagi terukur. Bumi jadi racun mematikan.Berbagai spesies tumbang dan punah. Sebatas menyebut contoh, di Amerika, kini tinggal 6.000 varietas apel yang tersisa dari 7.100 pada abad XII. Pada 2030 berbagai penelitian juga sudah mengingatkan bahwa varietas makanan lain juga akan punah seperti jagung dan kopi. Dalam Living Planet Report 2006, organisasi konservasi Global World Wild Fund for Nature bahkan sudah terlebih dahulu mengingatkan bahwa ekosistem alam planet bumi sedang mengalami degradasi hingga pada kondisi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah manusia, sedang mendekati tipping point sebagai point of no return (Schellenhuber, 2006).
Menutup TelingaTidak hanya daratan, lautan juga ikut terancam. Silakan cari di Google dengan kalimat sederhana: ikan mati karena plastik, maka ribuan gambar akan tersaji. Ironisnya, abad ini, plastik menjadi keseharian kita. Ketika rapat, kita disuguhi minuman kemasan plastik. Ketika belanja, kita dititipkan jubelan tas kresek plastik. Padahal, sampah plastik sangat berbahaya karena akan menjadi sampah abadi. Tas kresek, misalnya, akan terurai pada kurun waktu 10-20 tahun. Sendok plastik sekitar 100 tahun ke atas. Bahkan, botol plastik konon tak akan terurai.Majalah Time pernah mengangkat sebuah analisis menarik tentang plastik di mana plastik tidak hanya akan sulit terurai, tetapi juga akan merusak perairan dan menimbulkan bibit penyakit. Ironisnya lagi, kita seakan tak jera untuk membuang plastik, terutama ke lautan. Jurnal Science setidaknya sudah mencatat bahwa sebanyak 12,7 juta ton plastik dibuang ke laut tiap tahunnya. Indonesia sendiri berada pada peringkat kedua. Maka itu, tidak mengejutkan bila hasil studi LIPI di mana ikan teri saja sudah memakan sisa-sisa plastik.Namun, seperti diingatkan Jokowi, negara-negara, tentu saja juga kita, tetap abai. Para konglomerat tetap tak peduli. Kini bencana tidak lagi tersembunyi. Bencana sudah tampak terang benderang. Sayangnya, kita tetap menutup telinga sehingga tak mendengar apa-apa. Kita tak kunjung bersatu. Semua tetap bersaing: mulai dari level global hingga domestik. Semua berburu kekuasaan.Kita menjadi Thanos, tepatnya Thanos yang sok-sok menjadi pahlawan. Kita melenyapkan orang lain dengan cara memonopoli kekayaan bumi. Kita saling mengalahkan. Kita semakin lahap membabat alam. Kita tak peduli bahwa bumi ini sudah semakin keropos. Pada saatnya nanti, kita tinggal menunggu waktu Evil Winter menerkam. Oh!
(maf)