Kriminalisasi Akademisi

Kamis, 18 Oktober 2018 - 06:46 WIB
Kriminalisasi Akademisi
Kriminalisasi Akademisi
A A A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGMTelah terviralkan adanya kabar tentang gugatan terhadap dua guru besar dari universitas terkemuka di negeri ini (KORAN SINDO, 16/10/2018). Profesor-profesor itu dihadirkan sebagai saksi ahli untuk kasus pembakaran hutan. Segala ilmunya ditumpahkan untuk membantu hakim agar vonis dijatuhkan seadil-adilnya berdasarkan fakta dan kebenaran.Hakim menerima kesaksiannya. Atas dasar bukti-bukti sekaligus kesaksian itu, maka suatu perusahaan dinyatakan bersalah, dijatuhi hukuman Rp500 miliar, dan seorang koruptor divonis 15 tahun penjara. Tak terima atas vonis itu, dua guru besar digugat balik (dikriminalisasikan) oleh perusahaan dan koruptor untuk membayar kerugian sebesar Rp3,51 triliun. Saat artikel ini ditulis, kasusnya sudah masuk dalam proses peradilan dan terus bergulir.Tidak sepantasnya akademisi dikriminalisasikan. Akademisi bukan kriminal, bukan penjahat, bukan bagian dari kejahatan. Akademisi merupakan profesi mulia. Akademisi adalah orang berpendidikan tinggi, memiliki ilmu luas, otaknya cerdas, sensivitas-sosialnya tinggi, dan tanggung jawab moral-kebangsaannya tak diragukan lagi. Akademisi adalah pencerah kehidupan bersama.Amat disayangkan kriminalisasi akademisi telah mengejawantah sebagai kejahatan elite yang dilakukan terencana dan sistemik. Kriminalisasi akademisi, sebagai bentuk serangan balik para penjahat terhadap akademisi, menjadi tren baru untuk memuluskan kejahatan kolektif.Apa makna dari fenomena buruk ini?Pertama, pada filsafat Pancasila terdapat nilai-nilai religius berupa ajaran: (1) Barang siapa membenci akademisi, identik menyongsong kebinasaan baginya; (2) Kebinasaan akademisi, tak ubahnya padamnya nur Illahi di muka bumi; (3) Gelapnya kehidupan duniawi mendorong maraknya kemaksiatan; (4) Bila kemaksiatan merajalela, maka tidak akan ada amal yang terangkat; (5) Muara dan tempat kembalinya pembenci akademisi adalah jahanam.Berdasarkan nilai-nilai religius di atas, maka secara filosofis setiap orang wajib menghormati akademisi. Dilarang dan ditabukan melakukan pelecehan, penganiayaan, kriminalisasi, dan segala bentuk penghinaan terhadap akademisi. Kriminalisasi akademisi merupakan bentuk pengkhianatan Pancasila.Kedua, agar akademisi menjadi orang terhormat dan dimuliakan, pada dirinya wajib tertanam budi pekerti luhur. Jati diri sebagai akademisi perlu dijaga dengan memantapkan integritas, memperluas wawasan, memperdalam ilmunya, dan memperbanyak kontribusi amalnya kepada pihak lain. Ajining diri gumantung ing lathi, maknanya harga diri dan martabat akademisi sangat tergantung pada ucapan dan perilakunya.Karenanya, pantangkanlah bersaksi demi materi, atau berpendapat tergantung pendapatan. Ketiga, dalam perspektif positivisme, kriminalisasi akademisi dapat dinalarkan sebagai perilaku jahat yang dilatarbelakangi motif-motif:(1) keserakahan materi duniawi; (2) arogansi kekuasaan; dan (3) inkonsistensi terhadap nilai-nilai Pancasila. Bagi penganut filsafat positivisme, salah satu indikator kesuksesan manusia adalah ketika hidup dan kehidupannya dihiasi dengan harta benda (materi) sebanyak-banyaknya.Perolehannya bisa dilakukan melalui pendayagunaan kekuasaan dan permainan hukum positif. Untuk itu, maka hukum positif (perundang-undangan) sering diintervensi, baik pada ranah substansi, pelaksanaan, maupun penegakan hukumnya. Dalam perburuan harta bendaduniawi itu, tak pernah hirau terhadap nilai-nilai religius, tak pernah hirau soal halal atau haram, tak pernah hirau soal etis atau tidak etis. Tumpuannya semata-mata pada rasio dalam kendali nafsu serakah.Keempat, telah menjadi fenomena masif bahwa kriminalisasi akademisi dilakukan secara konspiratif. Perusahaan pembakar hutan, koruptor, “pengacara hitam”, dan oknum-oknum lain mem-back-up-nya. Mereka bukan orang-orang bodoh dan lemah. Mereka kuat, bahkan paham soal kekuatan hukum positif dan seluk-beluk pengadilan.Dalam pandangan mereka, menggugat (kriminalisasi) akademisi itu sah menurut hukum positif. Tak seorang pun dapat menghalanginya. Soal benar atau salah, siapa menang atau siapa kalah, kewenangan memutuskannya ada pada pengadilan. Para penggugat yakin, kemenangan akan menjadi miliknya, setelah usaha-usaha formal dan informal ditempuhnya. The haves always come out ahead.Kiranya para akademisi perlu paham bahwa hukum acara dan pengadilan di negeri ini masih berwatak liberal-individualistik. Watak demikian, senantiasa berorientasi pada pemberian dan perlindungan kebebasan individu (justiciable). Kesempatan ini dimaksimalkan penjahat-penjahat yang kaya dan berkuasa untuk mengambil keuntungan pribadi (privileged individual) di atas penderitaan lawan-lawannya, tak peduli apakah lawan itu akademisi atau siapa pun.Lain halnya bagi akademisi dan publik. Pada umumnya, para akademisi dan publik masih meragukan persoalan independensi pengadilan dan integritas hakim. Mereka merasa waswas, khawatir, jangan-jangan integritas hakim telah rusak dan tergadaikan kepada penggugat melaluitransaksi suap-menyuap, gratifikasi, atau konspirasi. Prasangka demikian merupakan kewajaran karena secara sosiologis-empiris, integritas hakim-hakim di negeri ini masih jauh dari ideal.Kemungkinan akademisi disalahkan dan kemudian kalahkan oleh oknum-oknum hakim senantiasa terbuka. Oleh karena itu, akademisi perlu hati-hati, bijak, dan lihai dalam menyikapinya.Untuk diingat bahwa bagi akademisi sejati, perihal ilmu dan kebenaran amatlah penting. Baginya, kebenaran wajib dimurnikan, wajib dijaga, dan wajib disampaikan, walaupun untuk itu risiko berat dihadapkan kepadanya. Kebenaran itu tidak bisa ditawar-tawar, tak bisa digantikan dengan harta benda, uang, ataupun fasilitas lain. Akademisi sejati sanggup berkorban jiwa, raga, dan harta-benda, demi kemurnian kebenaran.Kesaksian akademisi sebagai ahli di sidang pengadilan diberikan di bawah sumpah. Pendapatnya dipertanggungjawabkan kepada semua manusia dan juga kepada Tuhannya. Karenanya, wajar dan semestinya, hakim menerima kesaksiannya sebagai kebenaran murni dan dijadikannya dasar pertimbangan menjatuhkan vonisnya. Stop kriminalisasi akademisi.Wallahualam.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0657 seconds (0.1#10.140)