Menandai Caleg Mantan Napi dalam Surat Suara
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta
SEBAGAI salah satu pilar demokrasi, parlemen memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Di antara beberapa fungsi yang melekat pada lembaga perwakilan, yang terpenting dan paling pokok adalah tugas atau fungsi representasi (keterwakilan).
Secara teoritik dan praktik, fungsi ini dibedakan dalam dua pengertian yaitu representation in presence dan representation in ideas (Jimly Asshiddiqie: 2006). Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan pengertian yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau ide.
Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di parlemen. Dalam konteks ini, tidak perlu diperdebatkan lagi karena lembaga parlemen sudah eksis sejak Indonesia merdeka.
Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi rakyat sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.
Berdasarkan pembedaan tersebut, harus jujur diakui bahwa parlemen kita baru eksis sebatas dalam pengertian formal. Artinya, secara kelembagaan ia ada namun tumpul secara fungsi. Indikatornya sederhana, dari tiga tugas konstitusional yang diamanatkan oleh konstitusi, semuanya mengecewakan.
Di bidang legislasi, DPR bukan hanya secara kuantitatif selalu gagal dalam mencapai target penyelesaian RUU sesuai dengan rencana Prolegnas, tetapi juga secara kualitas bermasalah karena banyak UU yang digugat ke MK dan beberapa di antaranya dibatalkan.
Sementara itu, pelaksanaan fungsi pengawasan juga tidak terlalu menggembirakan. Beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada kebutuhan masyarakat seperti isu kenaikan BBM, kebijakan impor beras, penanganan bencana, dll tidak mendapat kontrol yang memadai dari DPR.
Fungsi anggaran juga tidak kalah buruk. Beberapa kasus korupsi yang terungkap menunjukkan bahwa DPR yang seharusnya bertanggung jawab memastikan agar dana negara digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat justru diselewengkan dan dikorupsi untuk memenuhi kepentingan pribadi mereka.
Karena itu, tidak heran bila hasil survei terbaru yang dirilis oleh Populy Center tentang evaluasi lembaga negara, pelaksanaan semua fungsi yang dilakukan DPR tidak mendapat penilaian baik dari responden. Kinerja DPR menepati urutan ke-5 dengan persentase angka 4,7 % dibandingkan lembaga dengan kinerja terbaik KPK sebesar 30.0%.
Memperbaiki Kualitas Parlemen
Lembaga legislatif merupakan sebuah lingkup jabatan yang keberadaannya baru akan berfungsi bila telah diisi oleh para pejabat yang akan menjalankan fungsi dan kewenangan dari jabatan tersebut. Dengan demikian, baik buruknya wajah sebuah instansi akan sangat ditentukan oleh kualitas dari orang-orang yang menduduki jabatan tersebut.
Berdasarkan premis tersebut, besar kemungkinan sebab utamanya buruknya performa parlemen selama ini dikarenakan ketidakcakapan para anggota legislatif dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya secara baik.
Karena itu, tidak ada pilihan lain untuk mengembalikan marwah lembaga ini selain memastikan agar sosok-sosok yang akan mengisi lembaga ini adalah kader-kader terbaik bangsa yang memiliki kecakapan dan keluasan dalam cakrawala keilmuan serta berintegritas tinggi secara moral. Rakyat tidak boleh memberi kesempatan kepada caleg yang tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki kehidupan bangsa terlebih caleg yang telah terbukti memiliki rekam jejak yang buruk untuk duduk di parlemen.
Kecerdasan dan rasionalitas rakyat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu menjadi sangat penting karena pemilu menjadi satu-satunya sarana dalam menyeleksi para calon anggota legislatif yang akan menentukan bagus tidaknya wajah parlemen lima tahun ke depan.
Problemnya, dengan sistem yang berlaku saat ini di mana semua orang termasuk mereka yang memiliki rekam jejak yang tidak baik seperti pernah terlibat aktivitas kriminal di masa lalu memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Implikasinya, rakyat akan mengalami kesulitan untuk membedakan antara caleg yang memiliki rekam jejak yang baik dan yang tidak karena harus mengidentifikasi rekam jejak masing-masing caleg secara mandiri. Hal ini tentu bukan pekerjaan yang mudah mengingat banyaknya jumlah caleg sementara media untuk mengetahui riwayat masing-masing calon sangat terbatas.
Perlu Pembedaan
Agar rakyat dapat dengan mudah mengidentifikasi antara caleg yang memiliki riwayat perilaku yang terpuji dan yang sebaliknya, negara dalam konteks ini KPU perlu memberikan tanda khusus sebagai pembeda terhadap para caleg yang secara hukum pernah dinyatakan terbukti secara sah oleh pengadilan melakukan suatu kejahatan.
Kebijakan ini penting untuk dilakukan oleh KPU karena faktanya sebagian besar rakyat tidak mengetahui dan sulit mengidentifikasi para caleg mantan napi. Jangan sampai ketidaktahuan ini menyebabkan rakyat salah menentukan pilihan sehingga pada akhirnya merugikan kepentingan rakyat itu sendiri sebagai pemilik kedaulatan dalam negara ini. Melindungi hak publik untuk mendapatkan pejabat publik yang kredibel dan berintegritas harus ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dalam pemilu.
Langkah ini sah dan tidak diskriminatif karena Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu secara tegas mempersyaratkan agar para mantan napi dapat menjadi caleg, mereka harus secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Penandaan secara khusus dalam surat suara bagi seluruh caleg mantan napi dapat dikategorikan sebagai salah satu media pemberitahuan status mantan napi tersebut kepada khalayak sehingga masyarakat selektif dalam menentukan pilihannya.
Bahkan ditinjau dari perspektif keadilan, kebijakan ini adalah sebuah keputusan yang adil karena negara tidak memperlakukan hal sama untuk dua kondisi yang berbeda. Sebagian dari para caleg adalah orang-orang yang selama ini telah menjaga perilaku dan sikapnya dengan tidak melakukan pelanggaran hukum yang dapat mencederai integritas dirinya sebagai calon pejabat publik. Sementara sebagian caleg yang lain adalah orang-orang yang tidak memiliki komitmen dalam menjaga dirinya dari prilaku yang tidak terpuji. Perbedaan kondisi inilah yang seharusnya dalam konteks pemilu keduanya harus dibedakan dan tidak dapat diperlakukan secara setara.
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta
SEBAGAI salah satu pilar demokrasi, parlemen memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan. Di antara beberapa fungsi yang melekat pada lembaga perwakilan, yang terpenting dan paling pokok adalah tugas atau fungsi representasi (keterwakilan).
Secara teoritik dan praktik, fungsi ini dibedakan dalam dua pengertian yaitu representation in presence dan representation in ideas (Jimly Asshiddiqie: 2006). Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan pengertian yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau ide.
Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di parlemen. Dalam konteks ini, tidak perlu diperdebatkan lagi karena lembaga parlemen sudah eksis sejak Indonesia merdeka.
Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi rakyat sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.
Berdasarkan pembedaan tersebut, harus jujur diakui bahwa parlemen kita baru eksis sebatas dalam pengertian formal. Artinya, secara kelembagaan ia ada namun tumpul secara fungsi. Indikatornya sederhana, dari tiga tugas konstitusional yang diamanatkan oleh konstitusi, semuanya mengecewakan.
Di bidang legislasi, DPR bukan hanya secara kuantitatif selalu gagal dalam mencapai target penyelesaian RUU sesuai dengan rencana Prolegnas, tetapi juga secara kualitas bermasalah karena banyak UU yang digugat ke MK dan beberapa di antaranya dibatalkan.
Sementara itu, pelaksanaan fungsi pengawasan juga tidak terlalu menggembirakan. Beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak kepada kebutuhan masyarakat seperti isu kenaikan BBM, kebijakan impor beras, penanganan bencana, dll tidak mendapat kontrol yang memadai dari DPR.
Fungsi anggaran juga tidak kalah buruk. Beberapa kasus korupsi yang terungkap menunjukkan bahwa DPR yang seharusnya bertanggung jawab memastikan agar dana negara digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat justru diselewengkan dan dikorupsi untuk memenuhi kepentingan pribadi mereka.
Karena itu, tidak heran bila hasil survei terbaru yang dirilis oleh Populy Center tentang evaluasi lembaga negara, pelaksanaan semua fungsi yang dilakukan DPR tidak mendapat penilaian baik dari responden. Kinerja DPR menepati urutan ke-5 dengan persentase angka 4,7 % dibandingkan lembaga dengan kinerja terbaik KPK sebesar 30.0%.
Memperbaiki Kualitas Parlemen
Lembaga legislatif merupakan sebuah lingkup jabatan yang keberadaannya baru akan berfungsi bila telah diisi oleh para pejabat yang akan menjalankan fungsi dan kewenangan dari jabatan tersebut. Dengan demikian, baik buruknya wajah sebuah instansi akan sangat ditentukan oleh kualitas dari orang-orang yang menduduki jabatan tersebut.
Berdasarkan premis tersebut, besar kemungkinan sebab utamanya buruknya performa parlemen selama ini dikarenakan ketidakcakapan para anggota legislatif dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya secara baik.
Karena itu, tidak ada pilihan lain untuk mengembalikan marwah lembaga ini selain memastikan agar sosok-sosok yang akan mengisi lembaga ini adalah kader-kader terbaik bangsa yang memiliki kecakapan dan keluasan dalam cakrawala keilmuan serta berintegritas tinggi secara moral. Rakyat tidak boleh memberi kesempatan kepada caleg yang tidak memiliki komitmen yang kuat untuk memperbaiki kehidupan bangsa terlebih caleg yang telah terbukti memiliki rekam jejak yang buruk untuk duduk di parlemen.
Kecerdasan dan rasionalitas rakyat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu menjadi sangat penting karena pemilu menjadi satu-satunya sarana dalam menyeleksi para calon anggota legislatif yang akan menentukan bagus tidaknya wajah parlemen lima tahun ke depan.
Problemnya, dengan sistem yang berlaku saat ini di mana semua orang termasuk mereka yang memiliki rekam jejak yang tidak baik seperti pernah terlibat aktivitas kriminal di masa lalu memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai caleg. Implikasinya, rakyat akan mengalami kesulitan untuk membedakan antara caleg yang memiliki rekam jejak yang baik dan yang tidak karena harus mengidentifikasi rekam jejak masing-masing caleg secara mandiri. Hal ini tentu bukan pekerjaan yang mudah mengingat banyaknya jumlah caleg sementara media untuk mengetahui riwayat masing-masing calon sangat terbatas.
Perlu Pembedaan
Agar rakyat dapat dengan mudah mengidentifikasi antara caleg yang memiliki riwayat perilaku yang terpuji dan yang sebaliknya, negara dalam konteks ini KPU perlu memberikan tanda khusus sebagai pembeda terhadap para caleg yang secara hukum pernah dinyatakan terbukti secara sah oleh pengadilan melakukan suatu kejahatan.
Kebijakan ini penting untuk dilakukan oleh KPU karena faktanya sebagian besar rakyat tidak mengetahui dan sulit mengidentifikasi para caleg mantan napi. Jangan sampai ketidaktahuan ini menyebabkan rakyat salah menentukan pilihan sehingga pada akhirnya merugikan kepentingan rakyat itu sendiri sebagai pemilik kedaulatan dalam negara ini. Melindungi hak publik untuk mendapatkan pejabat publik yang kredibel dan berintegritas harus ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dalam pemilu.
Langkah ini sah dan tidak diskriminatif karena Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu secara tegas mempersyaratkan agar para mantan napi dapat menjadi caleg, mereka harus secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana. Penandaan secara khusus dalam surat suara bagi seluruh caleg mantan napi dapat dikategorikan sebagai salah satu media pemberitahuan status mantan napi tersebut kepada khalayak sehingga masyarakat selektif dalam menentukan pilihannya.
Bahkan ditinjau dari perspektif keadilan, kebijakan ini adalah sebuah keputusan yang adil karena negara tidak memperlakukan hal sama untuk dua kondisi yang berbeda. Sebagian dari para caleg adalah orang-orang yang selama ini telah menjaga perilaku dan sikapnya dengan tidak melakukan pelanggaran hukum yang dapat mencederai integritas dirinya sebagai calon pejabat publik. Sementara sebagian caleg yang lain adalah orang-orang yang tidak memiliki komitmen dalam menjaga dirinya dari prilaku yang tidak terpuji. Perbedaan kondisi inilah yang seharusnya dalam konteks pemilu keduanya harus dibedakan dan tidak dapat diperlakukan secara setara.
(mhd)