Setahun Kerja Anies Baswedan
A
A
A
Adi Prayitno
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
ANIES Baswedan kini genap setahun memimpin Jakarta. Campur aduk antara apresiasi, harapan, hingga sorotan menjejali diskursus ruang publik ibu kota yang selalu berdenyut. Bagaimana tidak, sejak dilantik menjadi gubernur pada 16 Oktober tahun lalu, Anies selalu diposisikan berada dalam bayang-bayang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang katanya berprestasi. Bahkan, dalam banyak hal dihadap-hadapkan terutama dalam hal kinerja.
Sejak hari pertama menjabat Gubernur Jakarta, beban berat telah menggelayuti pundak Anies untuk membuktikan kapasitas dirinya sebagai pemimpin yang mampu memajukan Jakarta dan membahagiakan warganya. Bukan hanya pandai berlindung di balik keindahan retoris yang kerap ia sampaikan di muka publik.
Selang beberapa hari pascapelantikan, Anies mulai memenuhi janji politiknya dengan resmi menutup Hotel dan Griya Pijat Alexis di Ancol, Jakarta Utara, pada 27 Oktober 2017. Penutupan Alexis terkait dugaan tindak asusila dan prostitusi di hotel itu. Banyak pihak terhenyak seakan tak percaya dengan gebrakan Anies. Sebab bukan perkara mudah mencabut izin usaha perusahaan yang sudah lama beroperasi di Jakarta.
Menutup Alexis menjadi pembuktian awal Anies memenuhi 23 janji politiknya saat pilkada. Terlepas dari kritik yang setiap saat menghantui, dalam banyak hal Anies sudah mulai bekerja. Sejumlah kinerja menonjol bisa dinarasikan sebagai keberhasilan Anies merealisasikan janji politik selain menutup Alexis.
Pertama, menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang sangat pelik. Megaproyek yang ditengarai hanya menguntungkan segelintir taipan itu sudah lama mandek, tanpa solusi, dan nyaris tak “tersentuh”. Semua tunduk tak berkutik di bawah kuasa pemodal reklamasi Jakarta.
Langkah menghentikan reklamasi diawali Anies dengan membahas Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta bersama DPRD DKI Jakarta. Dua klausul legal formal ini kemudian dijadikan pijakan hukum menyegel proyek pembangunan pulau reklamasi Juni 2018 lalu.
Kedua, realisasi program DP rumah nol persen. Peluncuran program dilakukan pekan lalu itu diharapkan mampu membantu warga DKI Jakarta yang berpenghasilan rendah untuk memiliki hunian permanen secara bertahap. Konstruksi rumah DP nol persen tahap awal dibangun sebanyak 780 unit berada di bilangan Klapa Village, Jakarta Timur.
Tentu saja program membeli rumah semacam ini merupakan langkah positif guna memberikan kemudahan bagi kalangan menengah ke bawah memilik tempat tinggal dengan mekanisme sederhana. Tinggal skema pembayarannya saja perlu dipastikan kembali guna mengantisipasi kesimpangsiuran.
Ketiga, program OK Otrip yang bertransformasi menjadi Jaklingko. Program terintegrasi antarmoda transportasi di Jakarta yang dikenal dengan one karcis one trip (OK Otrip) resmi diterapkan mulai awal September tahun ini oleh Pemda DKI Jakarta. Program ini kemudian berubah nama menjadi Jaklingko.
Jaklingko tak hanya mengintegrasikan angkot dan Transjakarta, tapi juga terintegrasi dengan moda transportasi lain berbasis rel, seperti light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT) yang pengerjaannya sudah memasuki tahap akhir.
Anies juga telah memenuhi janji politik lain namun belum banyak diketahui publik. Dalam bidang budaya misalnya, Anies merealisasikan Taman Benyamin Suaeb serta mengambil alih pengelolaan pusat sastra HB Jassin. Di bidang transparansi dan upaya pencegahan korupsi, Pemda DKI Jakarta berhasil mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari auditor kredibel BPK serta membentuk KPK Ibu Kota yang berhasil mencegah kerugian negara triliunan rupiah.
Secara politik, Anies tak mengulangi kebiasaan pemimpin sebelumnya yang “lompat pagar” di tengah jalan hanya sekadar ingin maju menjadi calon presiden. Meski namanya kerap dikaitkan dengan Pilpres 2019, nyatanya Anies tak mudah “masuk angin” mengingkari sumpah jabatan yang ia ikrarkan.
Menuntaskan yang Tersisa
Kesuksesan merealisasikan sejumlah program kerja pada tahun pertama sejatinya kian melecut etos Anies dalam menuntaskan janji politik di empat tahun sisa masa jabatannya. Anies tak boleh berpuas diri karena masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Terutama persoalan di bidang ekonomi dan membuka lapangan kerja baru.
Sebut saja misalnya soal janji pemerataan ekonomi yang tak hanya terpusat di kawasan Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, tapi terdistribusi merata ke seluruh penjuru Jakarta yang belum berdaya secara ekonomi. Bukan perkara mudah menanggulangi persoalan pemerataan ekonomi. Sebab perputaran ekonomi cenderung berputar di pusat yang tak menjangkau wilayah pinggiran.
Anies harus mampu membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu melampaui Ahok, bahkan Jokowi soal pemerataan ekonomi. Tentu harus ada pola dan manuver “tak biasa” untuk merealisasikan ini semua. Dalam bahasa Slavoj Zizek (2010), Anies harus tampil sebagai subjek radikal yang bisa muncul sebagai pembeda dengan terobosan dahsyat. Rela melakukan apa saja demi kebaikan ekonomi warga Jakarta.
Janji politik lain yang tak kalah penting ialah soal membuka 200.000 lapangan pekerjaan baru dengan membangun pos pengembangan kewirausahaan warga untuk menghasilkan ratusan ribu wirausahawan selama lima tahun. Lapangan kerja baru merupakan orisinalitas janji politik Anies yang menjadi pembeda dengan kandidat lainnya saat Pilkada DKI Jakarta.
Seperti yang sering disampaikan Anies dalam berbagai kesempatan bahwa warga Jakarta jangan sampai menjadi tamu di rumahnya sendiri. Satu potret warga yang ingin digambarkan sebagai warga tanpa pekerjaan karena mayoritas sumber ekonomi, alat produksi, dan distribusi pekerjaan dikuasai kaum urban dan pendatang.
Di luar itu, masih banyak tumpukan pekerjaan tak kalah prioritas, seperti mengantisipasi masalah banjir, kemacetan, tata kelola wilayah, menyediakan ruang terbuka hijau, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan terintegrasi dengan dunia usaha, memperbaiki kualitas dan layanan air bersih, serta seterusnya.
Tentu tak mudah bagi Anies Baswedan menuntaskan semua janji politiknya yang tersisa. Terutama ketika melihat dukungan politisi di Kebon Sirih. Anies yang secara resmi hanya didukung Gerindra, PKS, ditambah PAN, hanya menjadi kekuatan minoritas di DPRD. Tak mengherankan jika selama setahun memimpin, kebijakan politik Anies kerap diinterupsi politisi oposisi.
Dalam empat tahun ke depan, Anies akan terus dihantui kekuatan mayoritas DPRD yang dominan merealisasikan sisa janji politiknya. Meski begitu, dalam sistem presidensialisme multipartai, batas antara oposisi dan penguasa sering tak jelas. Pola relasinya cukup cair yang dalam banyak hal didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek.
Dalam konteks inilah Anies bisa mengeksploitasi satu diktum politik populer bahwa tak ada musuh dan kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Terpenting langkah Anies mewujudkan semua janji politiknya untuk Jakarta lebih maju berjalan mulus dengan dukungan penuh kelompok oposisi.
Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik
ANIES Baswedan kini genap setahun memimpin Jakarta. Campur aduk antara apresiasi, harapan, hingga sorotan menjejali diskursus ruang publik ibu kota yang selalu berdenyut. Bagaimana tidak, sejak dilantik menjadi gubernur pada 16 Oktober tahun lalu, Anies selalu diposisikan berada dalam bayang-bayang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang katanya berprestasi. Bahkan, dalam banyak hal dihadap-hadapkan terutama dalam hal kinerja.
Sejak hari pertama menjabat Gubernur Jakarta, beban berat telah menggelayuti pundak Anies untuk membuktikan kapasitas dirinya sebagai pemimpin yang mampu memajukan Jakarta dan membahagiakan warganya. Bukan hanya pandai berlindung di balik keindahan retoris yang kerap ia sampaikan di muka publik.
Selang beberapa hari pascapelantikan, Anies mulai memenuhi janji politiknya dengan resmi menutup Hotel dan Griya Pijat Alexis di Ancol, Jakarta Utara, pada 27 Oktober 2017. Penutupan Alexis terkait dugaan tindak asusila dan prostitusi di hotel itu. Banyak pihak terhenyak seakan tak percaya dengan gebrakan Anies. Sebab bukan perkara mudah mencabut izin usaha perusahaan yang sudah lama beroperasi di Jakarta.
Menutup Alexis menjadi pembuktian awal Anies memenuhi 23 janji politiknya saat pilkada. Terlepas dari kritik yang setiap saat menghantui, dalam banyak hal Anies sudah mulai bekerja. Sejumlah kinerja menonjol bisa dinarasikan sebagai keberhasilan Anies merealisasikan janji politik selain menutup Alexis.
Pertama, menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang sangat pelik. Megaproyek yang ditengarai hanya menguntungkan segelintir taipan itu sudah lama mandek, tanpa solusi, dan nyaris tak “tersentuh”. Semua tunduk tak berkutik di bawah kuasa pemodal reklamasi Jakarta.
Langkah menghentikan reklamasi diawali Anies dengan membahas Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantura Jakarta bersama DPRD DKI Jakarta. Dua klausul legal formal ini kemudian dijadikan pijakan hukum menyegel proyek pembangunan pulau reklamasi Juni 2018 lalu.
Kedua, realisasi program DP rumah nol persen. Peluncuran program dilakukan pekan lalu itu diharapkan mampu membantu warga DKI Jakarta yang berpenghasilan rendah untuk memiliki hunian permanen secara bertahap. Konstruksi rumah DP nol persen tahap awal dibangun sebanyak 780 unit berada di bilangan Klapa Village, Jakarta Timur.
Tentu saja program membeli rumah semacam ini merupakan langkah positif guna memberikan kemudahan bagi kalangan menengah ke bawah memilik tempat tinggal dengan mekanisme sederhana. Tinggal skema pembayarannya saja perlu dipastikan kembali guna mengantisipasi kesimpangsiuran.
Ketiga, program OK Otrip yang bertransformasi menjadi Jaklingko. Program terintegrasi antarmoda transportasi di Jakarta yang dikenal dengan one karcis one trip (OK Otrip) resmi diterapkan mulai awal September tahun ini oleh Pemda DKI Jakarta. Program ini kemudian berubah nama menjadi Jaklingko.
Jaklingko tak hanya mengintegrasikan angkot dan Transjakarta, tapi juga terintegrasi dengan moda transportasi lain berbasis rel, seperti light rail transit (LRT) dan mass rapid transit (MRT) yang pengerjaannya sudah memasuki tahap akhir.
Anies juga telah memenuhi janji politik lain namun belum banyak diketahui publik. Dalam bidang budaya misalnya, Anies merealisasikan Taman Benyamin Suaeb serta mengambil alih pengelolaan pusat sastra HB Jassin. Di bidang transparansi dan upaya pencegahan korupsi, Pemda DKI Jakarta berhasil mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari auditor kredibel BPK serta membentuk KPK Ibu Kota yang berhasil mencegah kerugian negara triliunan rupiah.
Secara politik, Anies tak mengulangi kebiasaan pemimpin sebelumnya yang “lompat pagar” di tengah jalan hanya sekadar ingin maju menjadi calon presiden. Meski namanya kerap dikaitkan dengan Pilpres 2019, nyatanya Anies tak mudah “masuk angin” mengingkari sumpah jabatan yang ia ikrarkan.
Menuntaskan yang Tersisa
Kesuksesan merealisasikan sejumlah program kerja pada tahun pertama sejatinya kian melecut etos Anies dalam menuntaskan janji politik di empat tahun sisa masa jabatannya. Anies tak boleh berpuas diri karena masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Terutama persoalan di bidang ekonomi dan membuka lapangan kerja baru.
Sebut saja misalnya soal janji pemerataan ekonomi yang tak hanya terpusat di kawasan Jalan Sudirman dan Jalan Thamrin, tapi terdistribusi merata ke seluruh penjuru Jakarta yang belum berdaya secara ekonomi. Bukan perkara mudah menanggulangi persoalan pemerataan ekonomi. Sebab perputaran ekonomi cenderung berputar di pusat yang tak menjangkau wilayah pinggiran.
Anies harus mampu membuktikan kapasitasnya sebagai pemimpin yang mampu melampaui Ahok, bahkan Jokowi soal pemerataan ekonomi. Tentu harus ada pola dan manuver “tak biasa” untuk merealisasikan ini semua. Dalam bahasa Slavoj Zizek (2010), Anies harus tampil sebagai subjek radikal yang bisa muncul sebagai pembeda dengan terobosan dahsyat. Rela melakukan apa saja demi kebaikan ekonomi warga Jakarta.
Janji politik lain yang tak kalah penting ialah soal membuka 200.000 lapangan pekerjaan baru dengan membangun pos pengembangan kewirausahaan warga untuk menghasilkan ratusan ribu wirausahawan selama lima tahun. Lapangan kerja baru merupakan orisinalitas janji politik Anies yang menjadi pembeda dengan kandidat lainnya saat Pilkada DKI Jakarta.
Seperti yang sering disampaikan Anies dalam berbagai kesempatan bahwa warga Jakarta jangan sampai menjadi tamu di rumahnya sendiri. Satu potret warga yang ingin digambarkan sebagai warga tanpa pekerjaan karena mayoritas sumber ekonomi, alat produksi, dan distribusi pekerjaan dikuasai kaum urban dan pendatang.
Di luar itu, masih banyak tumpukan pekerjaan tak kalah prioritas, seperti mengantisipasi masalah banjir, kemacetan, tata kelola wilayah, menyediakan ruang terbuka hijau, meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan terintegrasi dengan dunia usaha, memperbaiki kualitas dan layanan air bersih, serta seterusnya.
Tentu tak mudah bagi Anies Baswedan menuntaskan semua janji politiknya yang tersisa. Terutama ketika melihat dukungan politisi di Kebon Sirih. Anies yang secara resmi hanya didukung Gerindra, PKS, ditambah PAN, hanya menjadi kekuatan minoritas di DPRD. Tak mengherankan jika selama setahun memimpin, kebijakan politik Anies kerap diinterupsi politisi oposisi.
Dalam empat tahun ke depan, Anies akan terus dihantui kekuatan mayoritas DPRD yang dominan merealisasikan sisa janji politiknya. Meski begitu, dalam sistem presidensialisme multipartai, batas antara oposisi dan penguasa sering tak jelas. Pola relasinya cukup cair yang dalam banyak hal didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek.
Dalam konteks inilah Anies bisa mengeksploitasi satu diktum politik populer bahwa tak ada musuh dan kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi. Terpenting langkah Anies mewujudkan semua janji politiknya untuk Jakarta lebih maju berjalan mulus dengan dukungan penuh kelompok oposisi.
(pur)