Menyempurnakan Terjemahan Alquran

Sabtu, 13 Oktober 2018 - 09:20 WIB
Menyempurnakan Terjemahan...
Menyempurnakan Terjemahan Alquran
A A A
Mohammad Nasih
Pengasuh Pesantren Tahfidh Alquran Darun Nashihah Monash Institute Semarang, Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Jakarta

Sudah sejak 2002 saya merekomendasikan agar dilakukan penyempurnaan terjemahan Alquran, terutama versi Departemen Agama, melalui tulisan saya berjudul “Memahami Alquran sebagai Puisi”. Sebab terdapat cukup banyak kata yang diterjemahkan secara tidak tepat, bahkan bisa menyebabkan pengertian yang sangat jauh dari yang diinginkan Quran itu sendiri. Padahal fungsi utama Quran adalah menjadi petunjuk bagi umat manusia (hudan li al-nas). Disebut petunjuk karena arahnya adalah kebenaran.

Menerjemahkan memang bukan pekerjaan mudah. Sebab tidak semua kata pada satu bahasa memiliki padanan secara persis dengan kata pada bahasa yang lain. Dalam konteks Arab-Indonesia bahkan sesungguhnya bahasa Indonesia yang notabene adalah bahasa Melayu banyak mengadopsi bahasa Arab. Namun dalam kehidupan sehari-hari kata serapan itu telah mengalami pergeseran makna yang menyebabkan perbedaan wacana yang dimaksudkan.

Namun niat untuk menyempurnakan terjemahan ini juga bukan tanpa hambatan dari pihak luar, di antaranya sebagian masyarakat menganggap bahwa terdapat upaya untuk mengubah Quran. Karena itu perlu diberikan penjelasan bahwa penyempurnaan terjemahan sesungguhnya sangat berbeda dengan pengubahan Quran. Memang bisa saja agenda yang disebut dengan penyempurnaan tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang menginginkan untuk memasukkan wacana tertentu yang diyakininya dan bertentangan dengan kelompok lain ke dalam terjemahan yang diberikan.

Karena itulah diperlukan keterlibatan banyak pihak, terutama kaum cendekiawan muslim, untuk memberikan masukan agar agenda penyempurnaan terjemahan benar-benar mengarah pada pemaknaan yang lebih mendekati dan mengantarkan pada pesan moral Quran. Setidaknya terjemahan literalnya membuat siapa pun yang membaca memiliki pandangan awal yang tepat sehingga kemudian bisa dengan mudah melakukan penelusuran terhadap makna yang lebih mendalam. Jika makna literal yang diberikan sudah tidak tepat, apa-lagi jauh dari semangat moral Quran, seolah terjadi rantai yang terputus sehingga sulit untuk mendapatkan pemahaman yang tepat.

Sekadar contoh di antara yang perlu menjadi fokus perhatian dalam penyempurnaan terjemahan, karena selama ini telah menyebabkan kekeliruan pandangan yang meluas, adalah kata jahil (iyyah), hikmah, dan majnun. Ketiga kata ini memiliki hubungan yang sangat erat, tetapi dalam terjemahan Quran yang ada seolah tidak terhubung sama sekali. Kata jahil (iyyah) telah membangun pandangan bahwa masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat yang bodoh karena masyarakat Arab pra-Islam disebutkan Quran, hadis, dan khazanah intelektual Islam klasik sebagai era jahiliyyah. Itu karena kata jahil di dalam kamus-kamus terjemahan umum diartikan demikian.

Padahal kenyataan sejarah menunjukkan tidak demikian. Masyarakat Arab pra-Islam bahkan dikenal memiliki keunggulan kecerdasan yang tidak dimiliki kebanyakan masyarakat yang lain, yakni kecerdasan linguistik verbal. Bahkan keunggulan itulah yang menjadi latar belakang Quran hadir dengan kekuatan bahasa sastra yang luar biasa dan tiada tandingnya sampai sekarang dan tentu saja sampai kapan pun.

Istilah jahiliyyah muncul sebagai kritik terhadap orang-orang sangat cerdas saat itu yang tidak mau menerima kebenaran Islam, hanya karena mereka memiliki fanatisme berlebihan terhadap suku dan garis keturunan. Sebab di antara mereka sesungguhnya juga ada yang berharap mendapatkan karunia kenabian atau kerasulan yang terakhir, tetapi ternyata karunia itu diberikan kepada Bani Hasyim, bukan kepada bani mereka.

Contoh paling nyata dalam kasus ini adalah munculnya julukan Abu Jahl (baca: Abu Jahal). Nama aslinya adalah ‘Amr bin Hisyam. Ia berasal dari Bani Makhzum yang telah sekian lama berebut pengaruh dengan Bani Hasyim. Ia bahkan telah dikenal memiliki kecerdasan jauh di atas rata-rata sejak muda belia. Dan di dalam forum ini, ‘Amr menunjukkan pandangan-pandangan yang mengagumkan para senior sekalipun. Karena itulah, ia mendapatkan julukan Abu al-Hakam. Kata al-Hakam seakar dengan kata hikmah yang berarti kedalaman berpikir yang dalam bahasa Indonesia biasanya hanya diartikan dengan kebijaksanaan dengan konotasi yang lebih lekat pada perilaku.

Namun, dalam bahasa Yunani, bisa dibahasakan dengan philosophy yang konotasinya lebih dekat pada pemikiran yang sangat radikal. Maka Abul Hakam sesungguhnya adalah sebutan untuk menegaskan bahwa orang yang dijuluki itu adalah seorang filsuf hebat. Dengan pemikiran yang mendalam itu, seseorang akan menemukan kebenaran. Namun karena fanatisme yang berlebihan, seorang filsuf ternyata tidak bisa menerima kebenaran yang sangat jelas.Sikap ini bisa ditangkap dari pengakuan Abu al-Hakam sendiri ketika ditanya Al-Akhnas, seorang pemimpin dari Bani Zuhrah, tentang alasannya tidak mau menerima kenabian Muhammad. Apakah karena pernah melihat ia berdusta? Abu al-Ha-kam menjawab: “Tidak sama sekali. Bahkan kita menjulukinya sebagai Al-Amin (tepercaya). Namun, apabila di dalam Bani Hasyim, sudah ada peran al-siqayah (memberi minum jama’ah haji dan umrah), al-rifadah (memberi makan mereka), dan al-masyurah (semacam konsultasi), dan kenabian juga ada di sana, lalu Bani Makhzum mendapatkan bagian apa?”
Bahkan karena kedengkiannya itu, ia kemudian melakukan tindakan-tindakan yang luar biasa beringas, di antaranya membunuh pengikut Nabi Muhammad dengan cara keji dan menimpuki Nabi dengan kotoran binatang. Karena tindakan itulah ia dijuluki sebagai Abu Jahal. Sama sekali bukan karena ia bodoh.

Konsep hikmah di sini sangat penting untuk memberikan perspektif tentang dakwah yang harus dilakukan dengan hikmah wa al-mau’idhat al-hasanah. Dengan terjemahan yang sesuai dengan konteks di atas, dakwah harus dilakukan dengan pendekatan yang filosofis. Sebab agama Islam adalah agama yang sangat rasional. Karena itulah Islam juga mendorong dilakukan perdebatan dengan tekanan yang dilakukan dengan cara yang lebih baik.

Majnun berkait erat dengan konsepsi tentang orang yang dianggap memiliki kecerdasan linguistik verbal tingkat tinggi yang disebut sebagai para penyair (al-syu’ara’). Penyair dalam konsepsi masyarakat Arab pra-Islam adalah mereka yang memiliki khadam atau pembantu yang berasal dari golongan jin. Jin menurut mereka sekaligus adalah agen yang memberikan informasi-informasi gaib sehingga di samping mereka bisa mengeluarkan kalimat-kalimat indah, juga bisa mencandra masa depan.Karena itulah penyair dianggap juga sebagai dukun yang selalu dimintai pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan langkah yang berkaitan dengan masa depan. Perang dan damai pun sangat ditentukan para penyair ini. Dalam konteks inilah penyair dengan khadam jin itu dipahami sebagai orang yang terasuki atau kerasukan jin, bukan orang gila sebagaimana ter-jemahan Alquran saat ini.Bahkan, dalam konteks ini, karena kerasukan jin itu, para penyair menjadi orang-orang yang jenius, karena kecerdasannya merupakan informasi dari alam lain. Karena itulah kerasukan bukan sesuatu yang negatif, bahkan banyak di antara penyair Arab yang berupaya memiliki khadam jin dengan mengunjungi sebuah lembah yang disebut sebagai Lembah ‘Abqar.
Itulah sekelumit contoh tentang perlunya penyempurnaan terjemahan Quran. Dengan terjemahan yang lebih baik, kebenaran yang ada di dalam Quran bisa lebih mudah ditangkap. Jika terjemahan keliru, tentu saja bisa menyebabkan pemahaman yang ditangkap keliru dan berimplikasi lebih lanjut pada lahirnya pemahaman yang justru bertentangan dengan ajaran moral Quran sendiri. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0642 seconds (0.1#10.140)