Gempa(r) Korupsi Daerah

Jum'at, 12 Oktober 2018 - 07:14 WIB
Gempa(r) Korupsi Daerah
Gempa(r) Korupsi Daerah
A A A
Umbu TW Pariangu

Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

GEMPA korupsi terus mengguncang daerah. Terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) Wali Kota Pasuruan Setiyono, terkait dugaan pengurusan pemenangan lelang proyek pembangunan gedung dan pengembangan Pusat Layanan Usaha Terpadu-Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah (PLUT-KUMKM) Kota Pasuruan Tahun Anggaran 2018 (4/10). Selain itu pada Senin (8/10), KPK juga menggeledah pendapa Kabupaten Malang, Jatim terkait sejumlah pengaduan masyarakat soal dugaan korupsi DAK Pendidikan Tahun Anggaran 2011. Ini membuat label Jatim sebagai zona merah korupsi kiat kuat, mengingat dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 39 kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota), tercatat ada 11 orang kepala daerah di Jawa Timur yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Sedih dan menyesakkan dada, menyaksikan para pejabat yang sudah disumpah tega mengkhianati Tuhan dan rakyatnya demi fulus. Kasus korupsi melibatkan kepala daerah sudah berkali-kali menggemparkan rakyat, namun itu tak mematikan akal bulus korup mereka. Para koruptor terus berkonspirasi mencuri, kemudian menggali "kuburan" buat rakyatnya lewat nestapa kemelaratan akibat kebijakan-kebijakan publik yang manipulatif dan koruptif.

Menurut KPK, dari Januari hingga Juli 2018 sudah 98 kepala daerah yang diproses KPK dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang. Sejak periode itu pula, ada 19 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka, 15 di antaranya berawal dari OTT. Tak terhitung berapa uang rakyat atau anggaran untuk pembangunan yang ludes diselewengkan.

Sebagai perbandingan, peneliti Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah (20/2/2018), mengatakan terdapat 576 kasus korupsi sepanjang 2017. Angka ini bertambah dibanding 2016 lalu dengan total 482 kasus. Jumlah kerugian negara akibat korupsi meningkat yakni Rp 6,5 triliun dan suap Rp 211 miliar. Masih menurut ICW, banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi berkontribusi terhadap peningkatan jumlah tersangka, dari sebelumnya 21 tersangka kepala daerah menjadi 30 orang tahun 2017.

Pemekaran Korupsi

Tidak hanya jumlah tersangka, ia juga berkontribusi pada tergerusnya sumber daya publik untuk menciptakan pelayanan publik yang menopang masa depan rakyat. Kini terdapat 542 pemerintahan tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Ironisnya 223 di antaranya adalah daerah otonomi baru yang dibentuk pascareformasi 1999-2014 dan 80% dari 223 itu berdasarkan evaluasi Kemendagri dan Bappenas, gagal atau tidak mampu memenuhi kesejahteraan masyarakat terutama dalam meningkatkan pelayanan publik.

Pemekaran daerah hanya memenuhi kepentingan ekonomi-politik segelintir kelompok dalam rangka merebut, mempertahankan dan mengekspansi kekuasaan, bukan bagian dari upaya mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat. Menurut Asia Fondation (2011), selain dikorupsi, APBD hampir seluruhnya (95%) digunakan untuk belanja pegawai, sedangkan belanja modal cuma 10 persen. Bahkan hasil Evaluasi Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), kinerja wilayah pemekaran terbilang sangat buruk dibandingkan daerah yang tidak dimekarkan.

Rakyat sadar, penjarahan sumber daya daerah oleh praktek politik pragmatis telah menyusahkan mereka. Tapi kesadaran ini tidak menstimulasi kesigapan melawan praktek rasuah tersebut. Hasil Survei KedaiKOPI (3-7 Juli 2018) menunjukkan bahwa publik setuju jika hukuman penjara seumur hidup diberikan kepada napi koruptor (21%), disusul hukuman seberat-nya (17%), penjara (15%), hukuman mati (14%) dan dimiskinkan (13%). Bahkan mayoritas pemilih (90,7%) tidak setuju jika eks napi koruptor mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Rakyat sadar, ringannya hukuman bisa menjadi alasan orang tidak takut korupsi. Namun pemahaman itu tak linear dengan kenyataan. Dalam pilkada misalnya, masyarakat tetap saja tidak peduli terhadap kasus korupsi yang menjerat seorang calon kepala daerah. Survei KedaiKOPI di atas juga menunjukkan bahwa yang menjadi acuan rakyat memiliki kepala daerah adalah mereka yang mampu membawa rakyatnya sejahtera secara ekonomi. Asumsinya, hanya calon yang kaya atau punya uang banyak saja yang bisa membuat rakyat sejahtera. Berarti, rakyat sendirilah yang membuka peluang bagi calon-calon pejabat yang kaya tapi korup untuk memenangi kursi kepala daerah.

Pelecehan Moral

Makanya tidak mengherankan jika seorang Syahri Mulyo yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap proyek infrastruktur jalan di Tulungagung, dengan status tahanan KPK, bisa mulus terpilih sebagai Bupati Tulungagung pada Pilkada 2018 kemarin. Artinya perlawanan rakyat terhadap korupsi masih sebatas kata, proforma, belum menjadi sikap konkret yang berdaya punitif. Syahri bahkan tetap dilantik dan diambil sumpah, meski 3 menit kemudian ia langsung dinonaktifkan dan digantikan wakil bupati terpilih.

Bayangkan, hanya karena kehendak normatif UU No 10 Tahun 2016 (yang mengatur pemilihan gubernur, bupati dan wali kota) yang mengatur bahwa seorang kepala daerah terpilih tetap bisa dilantik walau berstatus sebagai tersangka, aspek-aspek etika, moralitas, keadilan dan kebaikan publik dengan mudah dikesampingkan. Bagaimana mungkin seorang yang sudah tergores akhlaknya secara hukum masih juga diinaugurasi dan diperkenankan bersumpah kepada Tuhan dan rakyat dengan menggunakan baju dinas. Bukankah ini permainan hukum yang melecehkan nurani dan moralitas publik.

Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf Inggris, pernah mengatakan, korupsi sejatinya merupakan problem arkaik dari karakter dasar manusia yang "soliptis": yang berusaha menghindar dari nilai-nilai situasi sosial dan moral karena perangai keserakahan dan kebutaan hatinya. Seorang (pejabat) koruptor tidak mungkin menempatkan realitas sosial atau penderitaan, kemiskinan rakyat, sebagai standar di dalam menjalankan kewajiban moralnya. Ruang kesadaran mereka hanya diisi bagaimana cara membangun istana pementingan diri/kelompok semewah-mewahnya.

Jadi, kalau masyarakat dan negara masih mau--baik malu-malu dan atau terang-terangan--membuka pintu bagi koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif, kepala daerah dan pejabat penting lainnya, maka memang kita tak serius menjadikan korupsi musuh bersama.

Pemilu 2019 harus menjadi momentum bagi rakyat menggembok pintu bagi koruptor berpolitik. Kita mendesak KPU membuka akses seluas-luasnya bagi publik agar bisa menelusuri rekam jejak para caleg yang akan bertarung di Pemilu 2019. Calon yang terjerat skandal rasuah atau cacat integritas tak usah dipilih. Alihkan kepercayaan itu kepada caleg yang berintegritas, punya kapabilitas, meski mungkin dia sosok sederhana. Percayalah jika langkah "revolusioner" politik ini dijalankan dengan tekun dan konsisten, kita sama dengan sedang menginvestasikan perubahan bagi masa depan rakyat dan demokrasi kita.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0621 seconds (0.1#10.140)