Desa Presisi Tinggi
A
A
A
Sofyan Sjaf
Sosiolog Pedesaan FEMA/Kepala PSP3 Institut Pertanian Bogor
POLEMIK tentang data di Indonesia tidak pernah selesai. Mengapa? Karena sajian data dalam angka-angka statistik, dianggap sarat kepentingan. Ketika pemerintah mengungkapkan keberhasilannya dengan angka-angka, tidak sedikit publik melakukan penyangkalan. Penyangkalan tersebut dikarenakan antara data yang disampaikan dan fakta yang ada dianggap tidak bersesuaian. Saatnya polemik ini diselesaikan melalui desa presisi yang memberikan jaminan atas keabsahan data-data yang dibutuhkan.
Penyebab
Implikasi atas data yang dianggap kurang absah atau valid adalah minimnya kepercayaan publik atas keberhasilan pencapaian pembangunan. Belum lama ini, pemerintah melangsir pencapaian penurunan angka kemiskinan yang mencapai satu digit. Juga beberapa angka produksi pangan yang katanya sudah swasembada.Namun setelah dilangsir, angka-angka tersebut seketika terkoreksi. Angka kemiskinan yang turun, terkoreksi dengan angka ketimpangan yang tinggi. Demikian halnya komoditi beras yang dianggap sudah mencapai target swasembada, langsung terkoreksi melalui pengumuman impor beras sebanyak 2 juta ton. Orang desa, petani, dan berbagai kalangan dibuat bingung. Polemik pun mencuat, pemerintah seolah kehilangan kepercayaan publik tentang data.
Mengapa situasi dan kondisi seperti ini selalu saja terjadi? Hemat penulis terdapat beberapa penyebab: pertama, selama ini orang desa hanya ditempatkan sebagai “objek” dalam pengumpulan data. Pendekatan sensus, survei dan sejenisnya yang digunakan saat ini sarat dengan persoalan presisi.Meletakkan satu-satunya sumber data kepada responden (menjawab pertanyaan yang diberikan) dengan tidak mempertimbangkan sumber lain (keberagaman sumber data) menjadi persoalan tersendiri. Demikianlah dialami dengan data podes (potensi desa) yang mengandalkan sumber responden hanya dari kepala atau sekretaris desa; kedua, minimnya akses data desa berbasis spasial.Masih banyaknya desa-desa di Indonesia yang memajang sketsa desa (dianggap sebagai peta desa) di kantor desanya, menunjukkan data desa masih belum berbasis spasial. Jika pun ditemukan peta orthophoto desa, maka citra yang digunakan belum memiliki resolusi tinggi. Artinya desa belum memiliki kesadaran spasial yang memberikan gambaran utuh tentang ruang desanya.
Ketiga, kreativitas yang kurang dalam pendekatan pengumpulan data desa. Sejauh ini, sensus maupun survei desa merupakan satu-satunya pendekatan yang digunakan dalam penyusunan database desa.Pendekatan yang melibatkan partisipasi orang desa dalam pengumpulan data masih sangat minim. Apalagi kombinasi pengumpulan data desa yang menggunakan data spasial, saya yakin masih sangat langka; keempat, data desa disusun secara manual.Tidak sedikit tampilan data desa dalam bentuk tulisan tangan atau ketikan masih ditemukan. Meski sudah terdapat sistem informasi desa atau sejenisnya, namun belum menggambarkan situasi dan kondisi desa yang seutuhnya.Data yang tersaji dalam sistem informasi masih sekedar memindahkan data desa yang manual ke dalam sistem; dan kelima, minimnya sumberdaya aparat desa. Pendidikan yang rendah, keterampilan yang minim, dan tingkat resiliensi yang rendah terhadap disrupsi yang dihadapi desa adalah deretan persoalan sumberdaya manusia dihadapi desa saat ini.PeluangSaat ini kita memasuki era dimana kesejatian tercabut dari akarnya atau terjadinya perubahan yang fundamental (era disrupsi). Era ini ditandai dengan pesatnya kemajuan digital (era 4.0) yang mengubah tatanan kehidupan manusia.Bagi sebagian orang menganggapnya ancaman, tetapi tidak sedikit orang menganggap bahwa era disrupsi yang disertai era 4.0 adalah peluang yang harus direbut. Pandangan terakhir ini ingin menegaskan bahwa perubahan yang terjadi jangan sampai melindas manusia, tetapi manusialah yang harus mampu berselancar dan memanfaatkan perubahan yang terjadi.
Demikian halnya dengan desa. Desa harus mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, harus mampu berselancar di atas perubahan itu sendiri. Saatnya desa bergegas dan menata dirinya.Kesenjangan akses pengetahuan, informasi, spasial dan kesenjangan lainnya yang menghambat kemajuan pembangunan desa bukanlah sesuatu yang tidak mampu diretas di era 4.0 saat ini. Melainkan merupakan peluang yang harus direbut.Tujuh isu strategis desa dalam UU No. 6/2014 (penataan desa, perencanaan desa, kerjasama desa, investasi masuk desa, BUM Desa dan BUM Desa Bersama, kejadian luar biasa, dan aset desa) adalah peluang bagi desa untuk melakukan perbaikan melalui desa yang memiliki presisi tinggi. Desa presisi tinggi adalah desa yang memiliki ketepatan dalam merencanakan dan membangun, serta menyelesaikan persoalan yang terjadi di desa berbasis data dan teknologi digital maju dengan keberagaman dan pengulangan pada pengukuran yang dilakukan secara partisipatif.Untuk mewujudkan desa presisi tinggi di atas, maka diperlukan tiga pemahaman, pertama, pemahaman bahwa saat ini telah terjadi kesenjangan akses informasi dan data. Disadari bahwa desa memiliki keterbatasan informasi dan data yang mampu memberikan gambaran utuh tentang desa.Keterbatasan tersebut berimplikasi pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Alhasil, ukuran-ukuran keberhasilan ataupun kegagalan pembangunan desa bukan berasal dari dalam desa, melainkan dari luar desa; kedua, pemahaman minimnya kesadaran spasial dalam membangun data desa.Data spasial memiliki peran penting merencanakan dan menyusun program maupun kebijakan pembangunan desa. Namun disayangkan, data dalam bentuk daftar keinginan warga masih dominan digunakan sebagai pertimbangan penyusunan program dan kebijakan desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Nampaknya sadar spasial ini, masih jauh dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa-desa di Indonesia.
Ketiga, pemahaman terjadinya kesenjangan pengetahuan (kapasitas) aparat desa. Kita menyadari bahwa kapasitas aparat desa butuh kecepatan up-grade yang tinggi, agar adaptif dan mampu menghadapi situasi disrupsi. Diakui bahwa saat ini, aparat desa masih memiliki sumberdaya yang minim.Pendidikan yang rendah, keterampilan yang minim, dan tingkat resiliensi yang rendah terhadap disrupsi adalah deretan persoalan yang kita hadapi saat ini. Akan tetapi, deretan persoalan tersebut bukanlah ancaman, melainkan peluang yang harus digarap dan dikerjakan dengan baik.
Pendekatan Baru
Saatnya polemik tentang data harus diselesaikan. Data dengan presisi tinggi dengan sentuhan digital harus dimulai dari desa. Era 4.0 memberikan ruang keterbukaan dan kepastian yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia dari desa.Pendekatan lama (konvensional) pengumpulan data yang seringkali membuat polemik saatnya diperbaiki dengan memanfaatkan era digital. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan baru yang mampu mengombinasikan pendekatan konvensional dengan pendekatan digital berbasis partisipatisi warga desa. Pendekatan baru ini kami (penulis dan peneliti PSP3 IPB) inisiasi dengan nama Drone Participatory Mapping (disingkat DPM).
DPM adalah pendekatan pengumpulan data desa presisi tinggi yang mempertimbangkan dimensi spasial, teknologi tinggi, digital, dan partisipasi. Penggunaan drone (Unmanned Aerial Vehicle) dengan pelibatan warga desa diperuntukkan menghasilkan citra resolusi tinggi untuk kepentingan data spasial yang selama ini belum dimiliki desa.Dengan sentuhan partisipasi warga, data spasial yang diperoleh digunakan untuk memperoleh data tematik persil (demografi, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain), peta desa sesuai aturan yang berlaku (administrasi, batas desa, infrastruktur, topografi, penggunaan lahan, dan lain-lain), verifikasi data potensi desa, estimasi maupun proksi pembangunan desa berbasis lahan, daya dukung desa, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Lebih dari itu, database yang diperoleh dari data spasial dapat dijadikan sebagai basis menyusun artificial intellegence Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).
Dengan demikian, ukuran-ukuran perencanaan dan pembangunan desa memiliki presisi tinggi yang dapat menghalau terjadinya manipulasi data dan anggaran yang bersumber dari aras desa maupun supra desa. Disinilah pentingnya mewujudkan desa presisi tinggi yang mampu mengakhiri polemik data yang tidak pernah selesai. Semoga!
Sosiolog Pedesaan FEMA/Kepala PSP3 Institut Pertanian Bogor
POLEMIK tentang data di Indonesia tidak pernah selesai. Mengapa? Karena sajian data dalam angka-angka statistik, dianggap sarat kepentingan. Ketika pemerintah mengungkapkan keberhasilannya dengan angka-angka, tidak sedikit publik melakukan penyangkalan. Penyangkalan tersebut dikarenakan antara data yang disampaikan dan fakta yang ada dianggap tidak bersesuaian. Saatnya polemik ini diselesaikan melalui desa presisi yang memberikan jaminan atas keabsahan data-data yang dibutuhkan.
Penyebab
Implikasi atas data yang dianggap kurang absah atau valid adalah minimnya kepercayaan publik atas keberhasilan pencapaian pembangunan. Belum lama ini, pemerintah melangsir pencapaian penurunan angka kemiskinan yang mencapai satu digit. Juga beberapa angka produksi pangan yang katanya sudah swasembada.Namun setelah dilangsir, angka-angka tersebut seketika terkoreksi. Angka kemiskinan yang turun, terkoreksi dengan angka ketimpangan yang tinggi. Demikian halnya komoditi beras yang dianggap sudah mencapai target swasembada, langsung terkoreksi melalui pengumuman impor beras sebanyak 2 juta ton. Orang desa, petani, dan berbagai kalangan dibuat bingung. Polemik pun mencuat, pemerintah seolah kehilangan kepercayaan publik tentang data.
Mengapa situasi dan kondisi seperti ini selalu saja terjadi? Hemat penulis terdapat beberapa penyebab: pertama, selama ini orang desa hanya ditempatkan sebagai “objek” dalam pengumpulan data. Pendekatan sensus, survei dan sejenisnya yang digunakan saat ini sarat dengan persoalan presisi.Meletakkan satu-satunya sumber data kepada responden (menjawab pertanyaan yang diberikan) dengan tidak mempertimbangkan sumber lain (keberagaman sumber data) menjadi persoalan tersendiri. Demikianlah dialami dengan data podes (potensi desa) yang mengandalkan sumber responden hanya dari kepala atau sekretaris desa; kedua, minimnya akses data desa berbasis spasial.Masih banyaknya desa-desa di Indonesia yang memajang sketsa desa (dianggap sebagai peta desa) di kantor desanya, menunjukkan data desa masih belum berbasis spasial. Jika pun ditemukan peta orthophoto desa, maka citra yang digunakan belum memiliki resolusi tinggi. Artinya desa belum memiliki kesadaran spasial yang memberikan gambaran utuh tentang ruang desanya.
Ketiga, kreativitas yang kurang dalam pendekatan pengumpulan data desa. Sejauh ini, sensus maupun survei desa merupakan satu-satunya pendekatan yang digunakan dalam penyusunan database desa.Pendekatan yang melibatkan partisipasi orang desa dalam pengumpulan data masih sangat minim. Apalagi kombinasi pengumpulan data desa yang menggunakan data spasial, saya yakin masih sangat langka; keempat, data desa disusun secara manual.Tidak sedikit tampilan data desa dalam bentuk tulisan tangan atau ketikan masih ditemukan. Meski sudah terdapat sistem informasi desa atau sejenisnya, namun belum menggambarkan situasi dan kondisi desa yang seutuhnya.Data yang tersaji dalam sistem informasi masih sekedar memindahkan data desa yang manual ke dalam sistem; dan kelima, minimnya sumberdaya aparat desa. Pendidikan yang rendah, keterampilan yang minim, dan tingkat resiliensi yang rendah terhadap disrupsi yang dihadapi desa adalah deretan persoalan sumberdaya manusia dihadapi desa saat ini.PeluangSaat ini kita memasuki era dimana kesejatian tercabut dari akarnya atau terjadinya perubahan yang fundamental (era disrupsi). Era ini ditandai dengan pesatnya kemajuan digital (era 4.0) yang mengubah tatanan kehidupan manusia.Bagi sebagian orang menganggapnya ancaman, tetapi tidak sedikit orang menganggap bahwa era disrupsi yang disertai era 4.0 adalah peluang yang harus direbut. Pandangan terakhir ini ingin menegaskan bahwa perubahan yang terjadi jangan sampai melindas manusia, tetapi manusialah yang harus mampu berselancar dan memanfaatkan perubahan yang terjadi.
Demikian halnya dengan desa. Desa harus mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, harus mampu berselancar di atas perubahan itu sendiri. Saatnya desa bergegas dan menata dirinya.Kesenjangan akses pengetahuan, informasi, spasial dan kesenjangan lainnya yang menghambat kemajuan pembangunan desa bukanlah sesuatu yang tidak mampu diretas di era 4.0 saat ini. Melainkan merupakan peluang yang harus direbut.Tujuh isu strategis desa dalam UU No. 6/2014 (penataan desa, perencanaan desa, kerjasama desa, investasi masuk desa, BUM Desa dan BUM Desa Bersama, kejadian luar biasa, dan aset desa) adalah peluang bagi desa untuk melakukan perbaikan melalui desa yang memiliki presisi tinggi. Desa presisi tinggi adalah desa yang memiliki ketepatan dalam merencanakan dan membangun, serta menyelesaikan persoalan yang terjadi di desa berbasis data dan teknologi digital maju dengan keberagaman dan pengulangan pada pengukuran yang dilakukan secara partisipatif.Untuk mewujudkan desa presisi tinggi di atas, maka diperlukan tiga pemahaman, pertama, pemahaman bahwa saat ini telah terjadi kesenjangan akses informasi dan data. Disadari bahwa desa memiliki keterbatasan informasi dan data yang mampu memberikan gambaran utuh tentang desa.Keterbatasan tersebut berimplikasi pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Alhasil, ukuran-ukuran keberhasilan ataupun kegagalan pembangunan desa bukan berasal dari dalam desa, melainkan dari luar desa; kedua, pemahaman minimnya kesadaran spasial dalam membangun data desa.Data spasial memiliki peran penting merencanakan dan menyusun program maupun kebijakan pembangunan desa. Namun disayangkan, data dalam bentuk daftar keinginan warga masih dominan digunakan sebagai pertimbangan penyusunan program dan kebijakan desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Nampaknya sadar spasial ini, masih jauh dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa-desa di Indonesia.
Ketiga, pemahaman terjadinya kesenjangan pengetahuan (kapasitas) aparat desa. Kita menyadari bahwa kapasitas aparat desa butuh kecepatan up-grade yang tinggi, agar adaptif dan mampu menghadapi situasi disrupsi. Diakui bahwa saat ini, aparat desa masih memiliki sumberdaya yang minim.Pendidikan yang rendah, keterampilan yang minim, dan tingkat resiliensi yang rendah terhadap disrupsi adalah deretan persoalan yang kita hadapi saat ini. Akan tetapi, deretan persoalan tersebut bukanlah ancaman, melainkan peluang yang harus digarap dan dikerjakan dengan baik.
Pendekatan Baru
Saatnya polemik tentang data harus diselesaikan. Data dengan presisi tinggi dengan sentuhan digital harus dimulai dari desa. Era 4.0 memberikan ruang keterbukaan dan kepastian yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia dari desa.Pendekatan lama (konvensional) pengumpulan data yang seringkali membuat polemik saatnya diperbaiki dengan memanfaatkan era digital. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan baru yang mampu mengombinasikan pendekatan konvensional dengan pendekatan digital berbasis partisipatisi warga desa. Pendekatan baru ini kami (penulis dan peneliti PSP3 IPB) inisiasi dengan nama Drone Participatory Mapping (disingkat DPM).
DPM adalah pendekatan pengumpulan data desa presisi tinggi yang mempertimbangkan dimensi spasial, teknologi tinggi, digital, dan partisipasi. Penggunaan drone (Unmanned Aerial Vehicle) dengan pelibatan warga desa diperuntukkan menghasilkan citra resolusi tinggi untuk kepentingan data spasial yang selama ini belum dimiliki desa.Dengan sentuhan partisipasi warga, data spasial yang diperoleh digunakan untuk memperoleh data tematik persil (demografi, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan lain-lain), peta desa sesuai aturan yang berlaku (administrasi, batas desa, infrastruktur, topografi, penggunaan lahan, dan lain-lain), verifikasi data potensi desa, estimasi maupun proksi pembangunan desa berbasis lahan, daya dukung desa, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Lebih dari itu, database yang diperoleh dari data spasial dapat dijadikan sebagai basis menyusun artificial intellegence Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).
Dengan demikian, ukuran-ukuran perencanaan dan pembangunan desa memiliki presisi tinggi yang dapat menghalau terjadinya manipulasi data dan anggaran yang bersumber dari aras desa maupun supra desa. Disinilah pentingnya mewujudkan desa presisi tinggi yang mampu mengakhiri polemik data yang tidak pernah selesai. Semoga!
(whb)