Caleg Stres
A
A
A
Edi Koko
Wartawan Senior
SEORANG teman baik saya, Mas Pung, berbisik, tahun 2019 banyak yang stres akibat banyak caleg gagal dilantik. Saya pun sepakat.
Sebetulnya apa yang dibilang Mas Pung itu tidak harus menunggu 2019. Sekarang pun sudah banyak caleg yang stres. Terutama mereka yang baru pertama kali terjun nyaleg, atau baru pertama kali terjun di dunia politik praktis. Banyak yang tidak menduga begitu turun ke lapangan, ternyata teori sama praktik jauh panggang dari api berbeda.
Boleh saja para caleg sebelum turun ke lapangan dibekali berbagai teori. Ikut lokakarya caleg sana-sini. Mendengarkan wejangan politikus sukses atau pembekalan, begitu istilah yang ada zaman sekarang. Meski dikasih bekal teori ini itu, tapi begitu sampai lapangan bingung karena yang dibutuhkan ternyata bukan bekal teori saja, tapi bekal uang.
Uang Bro! Ada uang Abang bisa disayang, tidak ada uang, ya, nanti dulu deh.
Sejatinya, pertarungan caleg memperebutkan suara dari rakyat layak disebut “brutal”. Saking brutalnya sering caleg melakukan banyak cara. Etika ditabrak, sehingga kompetisi menjadi riuh. Mungkin ada yang menyanggah, enggak begitulah. Boleh-boleh saja.
Sebetulnya, jadi caleg bisa tidak harus stres jika menyadari kemampuannya. Kalau memang tidak punya jaringan, ya, jauh hari kudu dibangun. Tidak populer, ya, sejak lama harus dekat dengan rakyat. Tidak ada uang, ya, nabung dulu baru maju setelah banyak uang. Semua harus dipersiapkan, tidak bisa instan.
Yang banyak terjadi, yakni banyak orang “mendadak caleg”. Yang namanya mendadak, itu pasti tabrak sana-sini. Benjut, kalau enggak mau dibilang babak belur. Sampai di lapangan biar populer bikin spanduk dan baliho gambar dirinya. Bahkan ada gambar caleg yang aneh-aneh, pakai baju Superman, Gundala Putra Petir, dan sebagainya. Caleg kok bisa terbang? Dari sini saja sudah kelihatan itu caleg stres. Cara instant membantu sebab semua caleg menggunakan spanduk/baliho. Rakyat yang lihat enggak peduli. Bingung.
Ada orang yang tiba-tiba membangun pendekatan dengan rakyat. Mendadak akrab. Dulu enggak pernah mau menyapa, tiba-tiba senyam-senyum sana-sini. Itu ciri orang nyaleg, kata banyak pesan berseliweran. Bagus saja. Tapi apakah betul mampu berakrab dengan rakyat? Enggak gampang, lho. Sebab kebiasaan hidup nyaman tiba-tiba harus hidup bersama rakyat bisa stres juga.
Orang yang biasa hidup enak. Makan di meja makan, mandi air hangat di kamar mandi bersih, pakai WC duduk setiap hari, tiba-tiba suasana berubah jungkir balik.
Kumpul sama rakyat, makan bareng di desa, lesehan. Satu nasi dan lauk ikan asin dalam tampah makan bersama. Mungkin masih bisa. Tapi harus mandi di kali? Adanya air mandi cuci di kali, buang hajat di kali. Ngeri Bro, ada ular ngambang. Bisa enggak keluar-keluar kita punya hajat. Itu risiko bersama rakyat.
Untuk caleg yang sudah pernah mengalami hidup susah. Atau mereka yang berangkat dari desa mungkin tidak begitu sulit menyesuaikan. Mungkin ada yang menyanggah, ya enggak gitu amat. Ya, enggak usah sampai ikutan segitu banget. Ya boleh saja. Tapi katanya mau mewakili rakyat. Jadi, ya, harus ikut merasakan kehidupan rakyat. Tiba-tiba keluar dari kerumunan hanya alasan tidak betah, tidak bisa, risih? Rakyat punya hak dan pilihan. Mereka bisa menilai dan sepakat, “jangan dicoblos!”
Stres yang dimaksud sahabatku Mas Pung, nanti tahun 2019 adalah dialami caleg yang memaksakan diri. Nekat nyaleg walau tidak punya modal. Di tengah jalan butuh duit dia jual tanah, rumah, dsb. Yang parah adalah berhutang.
Banyak Caleg merasa yakin berhasil. Seperti judul lagu Pak Beye, Ku Yakin Sampai Di Sana. Baru dipuji sepuluh atau dua puluh orang sudah yakin menang. Padahal butuh suara sekitar 30 ribu. Dia lupa itu. Atas keyakinan itu, maka gas pol. Lari kenceng pakai uang pinjaman sana sini. Ternyata gagal.
Sudah tanah dan rumah dijual. Utang bejibun. Gagal jadi legislator. Nah, itu yang sering masyarakat lihat ada orang pakai kolor pidato di atas tiang listrik tegangan tinggi (sutet). Stres!
Wartawan Senior
SEORANG teman baik saya, Mas Pung, berbisik, tahun 2019 banyak yang stres akibat banyak caleg gagal dilantik. Saya pun sepakat.
Sebetulnya apa yang dibilang Mas Pung itu tidak harus menunggu 2019. Sekarang pun sudah banyak caleg yang stres. Terutama mereka yang baru pertama kali terjun nyaleg, atau baru pertama kali terjun di dunia politik praktis. Banyak yang tidak menduga begitu turun ke lapangan, ternyata teori sama praktik jauh panggang dari api berbeda.
Boleh saja para caleg sebelum turun ke lapangan dibekali berbagai teori. Ikut lokakarya caleg sana-sini. Mendengarkan wejangan politikus sukses atau pembekalan, begitu istilah yang ada zaman sekarang. Meski dikasih bekal teori ini itu, tapi begitu sampai lapangan bingung karena yang dibutuhkan ternyata bukan bekal teori saja, tapi bekal uang.
Uang Bro! Ada uang Abang bisa disayang, tidak ada uang, ya, nanti dulu deh.
Sejatinya, pertarungan caleg memperebutkan suara dari rakyat layak disebut “brutal”. Saking brutalnya sering caleg melakukan banyak cara. Etika ditabrak, sehingga kompetisi menjadi riuh. Mungkin ada yang menyanggah, enggak begitulah. Boleh-boleh saja.
Sebetulnya, jadi caleg bisa tidak harus stres jika menyadari kemampuannya. Kalau memang tidak punya jaringan, ya, jauh hari kudu dibangun. Tidak populer, ya, sejak lama harus dekat dengan rakyat. Tidak ada uang, ya, nabung dulu baru maju setelah banyak uang. Semua harus dipersiapkan, tidak bisa instan.
Yang banyak terjadi, yakni banyak orang “mendadak caleg”. Yang namanya mendadak, itu pasti tabrak sana-sini. Benjut, kalau enggak mau dibilang babak belur. Sampai di lapangan biar populer bikin spanduk dan baliho gambar dirinya. Bahkan ada gambar caleg yang aneh-aneh, pakai baju Superman, Gundala Putra Petir, dan sebagainya. Caleg kok bisa terbang? Dari sini saja sudah kelihatan itu caleg stres. Cara instant membantu sebab semua caleg menggunakan spanduk/baliho. Rakyat yang lihat enggak peduli. Bingung.
Ada orang yang tiba-tiba membangun pendekatan dengan rakyat. Mendadak akrab. Dulu enggak pernah mau menyapa, tiba-tiba senyam-senyum sana-sini. Itu ciri orang nyaleg, kata banyak pesan berseliweran. Bagus saja. Tapi apakah betul mampu berakrab dengan rakyat? Enggak gampang, lho. Sebab kebiasaan hidup nyaman tiba-tiba harus hidup bersama rakyat bisa stres juga.
Orang yang biasa hidup enak. Makan di meja makan, mandi air hangat di kamar mandi bersih, pakai WC duduk setiap hari, tiba-tiba suasana berubah jungkir balik.
Kumpul sama rakyat, makan bareng di desa, lesehan. Satu nasi dan lauk ikan asin dalam tampah makan bersama. Mungkin masih bisa. Tapi harus mandi di kali? Adanya air mandi cuci di kali, buang hajat di kali. Ngeri Bro, ada ular ngambang. Bisa enggak keluar-keluar kita punya hajat. Itu risiko bersama rakyat.
Untuk caleg yang sudah pernah mengalami hidup susah. Atau mereka yang berangkat dari desa mungkin tidak begitu sulit menyesuaikan. Mungkin ada yang menyanggah, ya enggak gitu amat. Ya, enggak usah sampai ikutan segitu banget. Ya boleh saja. Tapi katanya mau mewakili rakyat. Jadi, ya, harus ikut merasakan kehidupan rakyat. Tiba-tiba keluar dari kerumunan hanya alasan tidak betah, tidak bisa, risih? Rakyat punya hak dan pilihan. Mereka bisa menilai dan sepakat, “jangan dicoblos!”
Stres yang dimaksud sahabatku Mas Pung, nanti tahun 2019 adalah dialami caleg yang memaksakan diri. Nekat nyaleg walau tidak punya modal. Di tengah jalan butuh duit dia jual tanah, rumah, dsb. Yang parah adalah berhutang.
Banyak Caleg merasa yakin berhasil. Seperti judul lagu Pak Beye, Ku Yakin Sampai Di Sana. Baru dipuji sepuluh atau dua puluh orang sudah yakin menang. Padahal butuh suara sekitar 30 ribu. Dia lupa itu. Atas keyakinan itu, maka gas pol. Lari kenceng pakai uang pinjaman sana sini. Ternyata gagal.
Sudah tanah dan rumah dijual. Utang bejibun. Gagal jadi legislator. Nah, itu yang sering masyarakat lihat ada orang pakai kolor pidato di atas tiang listrik tegangan tinggi (sutet). Stres!
(dam)