Cermin Retak Manajemen Bencana
A
A
A
Arif Budi Rahman Alumnus program doktorat Curtin University Sustainability Policy Institute, Perth Australia
BANYAKNYA korban akibat gempa bumi bertubi di Lombok dan Palu seakan menyibak fakta bahwa dampak bencana bisa begitu mengerikan jika tidak ada strategi reduksi memadai. Dengan melihat frekuensi dan masivitas kerusakan, taraf kritis seharusnya sudah merasuk di kalangan para pemangku kepentingan. Kabar bencana yang silih berganti seharusnya menjadi momentum pembenahan pengelolaan risiko bencana. Alih-alih mengelola bencana secara holistik, pemerintah nampaknya masih terpaku pada evakuasi dan rehabilitasi.
Rentetan bencana tidak pelak akan menjadi ancaman paling mematikan bagi kita yang tinggal di kawasan sabuk gempa.
Potensi bencana katastrofis akan semakin sering terjadi, intensif dan masif. Jadi reduksi potensi bencana seharusnya telah menjadi prioritas bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Deteksi dini adalah sebuah keniscayaan, budaya keselamatan dan ketahanan gempa perlu didukung oleh sistem pendidikan dan inovasi.
Memang kapasitas mereduksi risiko bencana begitu kompleks. Saling berkelindan antarpemangku kepentingan yang bergerak di hulu maupun di hilir. Otoritas pemerintah hingga tokoh masyarakat berperan sentral demi memitigasi risiko secara berkelanjutan.
Aspek non-teknis kebencanaan seperti ketahanan alias resiliensi masyarakat terhadap gempa juga utama dalam upaya minimalisasi dampak. Masyarakat dikatakan memiliki daya lenting jika mampu bertahan dan pulih dari bencana dalam kurun tidak terlalu lama. Daya lenting ibarat bola yang memantul apabila dijatuhkan dari ketinggian. Daya lenting itu sendiri tidak melulu terkait dengan pemulihan pasca bencana namun juga kondisi pra bencana seperti pengetahuan tentang potensi bencana, upaya mengurangi dan mengelola dampak, juga pemulihan jika bencana menerpa.
Daya lenting tidak pernah berdiri sendiri. Selalu ada kaitannya dengan politik dan interest pribadi. Pemulihan paska bencana terkait dengan kebanggaan nasional. Ada faktor heroisme dalam upaya bahu membahu membangun kembali suatu kota yang porak poranda. Jika para pemegang tampuk kekuasaan baik di tingkat nasional maupun lokal mampu mengambil kesempatan dan simpati dari proses rekonstruksi, maka panen dukungan politis bisa diharapkan datang saat masa pemilihan tiba.
Sebuah studi tentang pengelolaan bencana mengungkapkan bahwa mega tsunami tahun 2004 tidak memantik perubahan dan reorganisasi pengelolaan bencana di Indonesia. Salah satu faktor kerumitan adalah desentralisasi yang menambah kompleksitas kapasitas institusional manajemen bencana (Chang Seng, 2010). Kelemahan penanganan bencana, terutama dalam tahap tanggap darurat juga diakui oleh pemerintah. Misalnya dalam rapat terbatas penangan bencana di kantor kepresidenan paska gempa Palu beberapa waktu lalu, digaris-bawahi bahwa perbaikan manajemen logistik bencana di lapangan masih ditemukan berbagai kelemahan penanganan kendati sudah ada badan yang bertanggungjawab seperti Basarnas dan BNPB.
Penanganan bencana mensyaratkan kinerja yang detail dan terperinci perihal identifikasi kebutuhan hingga distribusi bantuan. Koordinasi di semua level menjadi krusial dalam penanganan paska bencana. Faktanya, perencanaan dan respons pengelolaan bencana adatnya melibatkan beragam lembaga yang mengakibatkan koordinasi menjadi tidak mudah. Karena reduksi bencana merangkum begitu banyak hal dari mulai sisi manusianya hingga dimensi lingkungan.
Salah urus bencana bisa memicu kerugian lebih besar di masa depan. Aktivitas pembangunan bisa terdisrupsi oleh bancana, baik yang man made maupun alamiah. Adaptasi bencana menjadi niscaya. Beradaptasi menjadi titik kritis daya lenting masyarakat terhadap bencana.
Sejarah mencatat ribuan kota di dunia luluh lantak karena bancana, perang, kelaparan, dan kebakaran. Kota kota tersebut mampu bangkit dan berjaya kembali. Adalah benar bahwa sebuah kota tidaklah mungkin mati karena bencana. Setiap kota memiliki kekhasan mulai dari lokasi strategis hingga kenangan, semangat, dan keahlian warganya. Namun demikian ada kecenderungan kota yang terhempas bencana terutama di negara berkembang, dibangun apa adanya yakni pembangunan yang menafikan potensi bencana di masa depan. Shelter sementara bisa menjelma menjadi tempat tinggal selama bertahun-tahun kemudian karena keterbatasan kemampuan finansial.
Rekonstruksi kadang melupakan peluang terjadi kembali bencana serupa. Visi kota masa depan seharusnya memasukkan pertimbangan baru dalam perencanaan dan tidak semata berdasar struktur organisasi business as usual. perubahan radikal dalam kebijakan publik terkait kebencanaan menjadi sangat diperlukan.
Membangun kota yang resilien paska bencana tidak semata menata bata demi bata namun ada sisi sisi kultural yang perlu dipertimbangkan. Kebijakan yang visioner meliputi pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan yang berkualitas perlu menjadi titik pijak. Peran serta masyarakat lokal sangat penting bagaimana modal sosial akan dibangun. Kota tidak semata tempat tinggal, bekerja dan bermain namun juga membangun sisi kamanusiaan, peradaban dan keyakinan keagamaan. l
BANYAKNYA korban akibat gempa bumi bertubi di Lombok dan Palu seakan menyibak fakta bahwa dampak bencana bisa begitu mengerikan jika tidak ada strategi reduksi memadai. Dengan melihat frekuensi dan masivitas kerusakan, taraf kritis seharusnya sudah merasuk di kalangan para pemangku kepentingan. Kabar bencana yang silih berganti seharusnya menjadi momentum pembenahan pengelolaan risiko bencana. Alih-alih mengelola bencana secara holistik, pemerintah nampaknya masih terpaku pada evakuasi dan rehabilitasi.
Rentetan bencana tidak pelak akan menjadi ancaman paling mematikan bagi kita yang tinggal di kawasan sabuk gempa.
Potensi bencana katastrofis akan semakin sering terjadi, intensif dan masif. Jadi reduksi potensi bencana seharusnya telah menjadi prioritas bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Deteksi dini adalah sebuah keniscayaan, budaya keselamatan dan ketahanan gempa perlu didukung oleh sistem pendidikan dan inovasi.
Memang kapasitas mereduksi risiko bencana begitu kompleks. Saling berkelindan antarpemangku kepentingan yang bergerak di hulu maupun di hilir. Otoritas pemerintah hingga tokoh masyarakat berperan sentral demi memitigasi risiko secara berkelanjutan.
Aspek non-teknis kebencanaan seperti ketahanan alias resiliensi masyarakat terhadap gempa juga utama dalam upaya minimalisasi dampak. Masyarakat dikatakan memiliki daya lenting jika mampu bertahan dan pulih dari bencana dalam kurun tidak terlalu lama. Daya lenting ibarat bola yang memantul apabila dijatuhkan dari ketinggian. Daya lenting itu sendiri tidak melulu terkait dengan pemulihan pasca bencana namun juga kondisi pra bencana seperti pengetahuan tentang potensi bencana, upaya mengurangi dan mengelola dampak, juga pemulihan jika bencana menerpa.
Daya lenting tidak pernah berdiri sendiri. Selalu ada kaitannya dengan politik dan interest pribadi. Pemulihan paska bencana terkait dengan kebanggaan nasional. Ada faktor heroisme dalam upaya bahu membahu membangun kembali suatu kota yang porak poranda. Jika para pemegang tampuk kekuasaan baik di tingkat nasional maupun lokal mampu mengambil kesempatan dan simpati dari proses rekonstruksi, maka panen dukungan politis bisa diharapkan datang saat masa pemilihan tiba.
Sebuah studi tentang pengelolaan bencana mengungkapkan bahwa mega tsunami tahun 2004 tidak memantik perubahan dan reorganisasi pengelolaan bencana di Indonesia. Salah satu faktor kerumitan adalah desentralisasi yang menambah kompleksitas kapasitas institusional manajemen bencana (Chang Seng, 2010). Kelemahan penanganan bencana, terutama dalam tahap tanggap darurat juga diakui oleh pemerintah. Misalnya dalam rapat terbatas penangan bencana di kantor kepresidenan paska gempa Palu beberapa waktu lalu, digaris-bawahi bahwa perbaikan manajemen logistik bencana di lapangan masih ditemukan berbagai kelemahan penanganan kendati sudah ada badan yang bertanggungjawab seperti Basarnas dan BNPB.
Penanganan bencana mensyaratkan kinerja yang detail dan terperinci perihal identifikasi kebutuhan hingga distribusi bantuan. Koordinasi di semua level menjadi krusial dalam penanganan paska bencana. Faktanya, perencanaan dan respons pengelolaan bencana adatnya melibatkan beragam lembaga yang mengakibatkan koordinasi menjadi tidak mudah. Karena reduksi bencana merangkum begitu banyak hal dari mulai sisi manusianya hingga dimensi lingkungan.
Salah urus bencana bisa memicu kerugian lebih besar di masa depan. Aktivitas pembangunan bisa terdisrupsi oleh bancana, baik yang man made maupun alamiah. Adaptasi bencana menjadi niscaya. Beradaptasi menjadi titik kritis daya lenting masyarakat terhadap bencana.
Sejarah mencatat ribuan kota di dunia luluh lantak karena bancana, perang, kelaparan, dan kebakaran. Kota kota tersebut mampu bangkit dan berjaya kembali. Adalah benar bahwa sebuah kota tidaklah mungkin mati karena bencana. Setiap kota memiliki kekhasan mulai dari lokasi strategis hingga kenangan, semangat, dan keahlian warganya. Namun demikian ada kecenderungan kota yang terhempas bencana terutama di negara berkembang, dibangun apa adanya yakni pembangunan yang menafikan potensi bencana di masa depan. Shelter sementara bisa menjelma menjadi tempat tinggal selama bertahun-tahun kemudian karena keterbatasan kemampuan finansial.
Rekonstruksi kadang melupakan peluang terjadi kembali bencana serupa. Visi kota masa depan seharusnya memasukkan pertimbangan baru dalam perencanaan dan tidak semata berdasar struktur organisasi business as usual. perubahan radikal dalam kebijakan publik terkait kebencanaan menjadi sangat diperlukan.
Membangun kota yang resilien paska bencana tidak semata menata bata demi bata namun ada sisi sisi kultural yang perlu dipertimbangkan. Kebijakan yang visioner meliputi pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan yang berkualitas perlu menjadi titik pijak. Peran serta masyarakat lokal sangat penting bagaimana modal sosial akan dibangun. Kota tidak semata tempat tinggal, bekerja dan bermain namun juga membangun sisi kamanusiaan, peradaban dan keyakinan keagamaan. l
(mhd)