Cermin Retak Manajemen Bencana

Senin, 08 Oktober 2018 - 09:00 WIB
Cermin Retak Manajemen...
Cermin Retak Manajemen Bencana
A A A
Arif Budi Rahman Alumnus program doktorat Curtin University Sustainability Policy Institute, Perth Australia

BANYAKNYA korban akibat gempa bu­mi bertubi di Lom­b­ok dan Palu se­akan menyibak fakta bahwa dampak bencana bisa begitu mengerikan jika tidak ada strategi reduksi memadai. De­ngan melihat frekuensi dan ma­si­vitas kerusakan, taraf kritis seharusnya sudah me­ra­suk di kalangan para pe­mang­ku ke­pen­tingan. Kabar ben­ca­na yang silih berganti se­ha­rus­nya men­jadi momentum pem­benahan pengelolaan risiko bencana. Alih-alih mengelola ben­cana secara holistik, peme­rintah nampaknya masih ter­paku pada evakuasi dan re­ha­bilitasi.

Rentetan bencana tidak pe­lak akan menjadi ancaman pa­ling mematikan bagi kita yang tinggal di kawasan sabuk gem­pa.

Potensi bencana katas­tro­fis akan semakin sering terjadi, intensif dan masif. Jadi re­duksi potensi bencana seha­rus­nya telah menjadi prioritas bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Deteksi dini adalah sebuah ke­nis­cayaan, budaya kese­la­mat­an dan ketahanan gempa perlu didukung oleh sistem pen­di­dikan dan inovasi.

Memang kapasitas me­re­duksi risiko bencana begitu kom­­pleks. Saling berkelindan antarpemangku kepentingan yang bergerak di hulu maupun di hilir. Otoritas pemerintah hingga tokoh masyarakat ber­peran sentral demi memitigasi risiko secara berkelanjutan.

Aspek non-teknis ke­ben­canaan seperti ketahanan alias resiliensi masyarakat ter­ha­dap gempa juga utama dalam upaya minimalisasi dampak. Masyarakat dikatakan me­mi­liki daya lenting jika mampu ber­tahan dan pulih dari ben­cana dalam kurun tidak terlalu lama. Daya lenting ibarat bola yang memantul apabila di­ja­tuh­kan dari ketinggian. Daya lenting itu sendiri tidak melulu terkait dengan pemulihan pas­ca bencana namun juga kon­disi pra bencana seperti pe­nge­tahuan tentang potensi ben­ca­na, upaya mengurangi dan me­nge­lola dampak, juga pe­mu­lihan jika bencana menerpa.

Daya lenting tidak pernah ber­diri sendiri. Selalu ada kait­an­nya dengan politik dan interest pribadi. Pemulihan paska bencana terkait dengan ke­banggaan nasional. Ada fak­tor heroisme dalam upaya ba­hu membahu membangun kem­bali suatu kota yang porak po­randa. Jika para pemegang tam­­puk kekuasaan baik di ting­kat nasional maupun lokal mam­pu mengambil kesem­pat­an dan simpati dari proses re­kons­­truk­si, maka panen du­kungan politis bisa diharapkan datang saat masa pemilihan tiba.

Sebuah studi tentang pe­nge­­lolaan bencana men­g­ung­kap­kan bahwa mega tsunami tahun 2004 tidak memantik perubahan dan reorganisasi pengelolaan bencana di Indo­nesia. Salah satu faktor keru­mit­an adalah desentralisasi yang menambah kom­plek­si­tas kapasitas institusional ma­na­jemen bencana (Chang Seng, 2010). Kelemahan pe­nanganan bencana, terutama dalam tahap tanggap darurat juga diakui oleh pemerintah. Misalnya dalam rapat terbatas penangan bencana di kantor kepresidenan paska gempa Palu beberapa waktu lalu, di­garis-bawahi bahwa perbaikan manajemen logistik bencana di lapangan masih ditemukan berbagai kelemahan pe­na­ngan­an kendati sudah ada ba­dan yang bertang­gung­jawab seperti Basarnas dan BNPB.

Penanganan bencana men­syaratkan kinerja yang detail dan terperinci perihal iden­ti­fi­kasi kebutuhan hingga dis­tri­busi bantuan. Koordinasi di se­mua level menjadi krusial da­lam penanganan paska ben­cana. Faktanya, perencanaan dan respons pengelolaan ben­cana adatnya melibatkan be­ra­gam lembaga yang meng­aki­bat­kan koordinasi menjadi tidak mu­dah. Karena reduksi ben­cana merangkum begitu ba­nyak hal dari mulai sisi ma­nusianya hing­ga dimensi ling­kungan.

Salah urus bencana bisa me­micu kerugian lebih besar di masa depan. Aktivitas pem­bangunan bisa terdisrupsi oleh bancana, baik yang man made maupun alamiah. Adaptasi bencana menjadi niscaya. Ber­adap­tasi menjadi titik kritis daya lenting masyarakat ter­ha­dap bencana.

Sejarah mencatat ribuan ko­ta di dunia luluh lantak ka­re­na ban­cana, perang, ke­la­par­an, dan kebakaran. Kota kota ter­se­but mampu bangkit dan berjaya kem­bali. Adalah benar bahwa se­buah kota tidaklah mungkin ma­ti karena ben­ca­na. Setiap ko­ta memiliki ke­khas­an mulai dari lokasi stra­tegis hingga ke­nang­an, se­ma­ngat, dan keahlian war­ganya. Namun demikian ada ke­cen­derungan kota yang ter­hem­pas bencana terutama di ne­ga­ra berkembang, dibangun apa ada­nya yakni pem­ba­ngun­an yang menafikan potensi ben­ca­na di masa depan. Shelter se­men­tara bisa menjelma men­ja­di tempat tinggal selama ber­ta­hun-tahun kemudian kare­na ke­terbatasan kemampuan fi­nan­sial.

Rekonstruksi kadang me­lu­pa­kan peluang terjadi kem­bali bencana serupa. Visi kota masa depan seharusnya me­ma­suk­kan pertimbangan baru dalam perencanaan dan tidak semata berdasar struktur orga­nisasi bu­si­ness as usual. pe­rubahan ra­di­kal dalam kebi­jak­an publik ter­kait keben­ca­na­an menjadi sa­ngat diper­lu­kan.

Membangun kota yang resilien paska bencana tidak semata menata bata demi bata namun ada sisi sisi kultural yang perlu dipertimbangkan. Kebijakan yang visioner me­li­puti pembangunan sosial dan pembangunan lingkungan yang berkualitas perlu menjadi titik pijak. Peran serta ma­sya­ra­kat lokal sangat penting ba­gai­mana modal sosial akan di­bangun. Kota tidak semata tem­­­pat tinggal, bekerja dan ber­main namun juga mem­bangun sisi kamanusiaan, per­adaban dan keyakinan ke­agama­an. l
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0700 seconds (0.1#10.140)