Menjaga Netralitas ASN
A
A
A
Imam Safe'i
Direktur PAI Kemenag RI
Pilihan dan aspirasi boleh beda, tetapi persaudaraan, silaturahmi, dan suasana damai harus tetap dijaga. Kita sudah memulai masuk di tahun politik. Ini ditandai dengan dimulainya kampanye terbuka pasangan calon presiden dan wakil presiden periode lima tahun mendatang.
Sebagaimana kita ketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon (paslon) yang akan mengikuti kontestasi Pemilihan Umum 2019, yakni pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin yang mendapatkan nomor 01 (satu) dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang memperoleh nomor 02 (dua).
Masing-masing sudah menerima ketetapan nomor undian tersebut dan masing-masing telah memaknai nomor tersebut sebagai nomor keberuntungan. Begitu undian nomor paslon selesai dilaksanakan, dengan begitu cepat tim sukses paslon mengungkapkan tafsir-tafsir
keberuntungan masing-masing. Karena paslonnya hanya dua, tim sukses masing-masing pasti telah menyiapkan kemungkinan tafsir-tafsir keberuntungannya jika mendapat nomor undian satu atau dua.
Dari yang kita simak baik melalui media cetak maupun media elektronik, baik nomor undian satu atau dua, keduanya menunjukkan makna yang positif dan menyejukkan. Hal ini sangat berbeda dengan yang kita lihat melalui media sosial dari simpatisan yang kadang-kadang saling menjelekkan dan menyudutkan. Dalam situasi seperti inilah peran aparatur sipil negara (ASN) dituntut memberikan keteladanan dengan tetap menjaga netralitas baik dalam ucapan, sikap maupun tindakan.
Netralitas Ucapan
Ucapan, sikap, dan tindakan mestinya tunggal meskipun faktanya tidak sedikit orang yang antara ucapan, sikap, dan tindakannya tidak sama dan konsisten. Ucapan baik yang direpresentasikan dalam lisan maupun tulisan, meski belum tentu pasti banyak yang meyakini bahwa itu adalah sikap dan suara hati. Oleh karena itu, ini bisa menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa itulah keyakinannya.
Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) dan calon legislator (caleg) yang akan dilaksanakan serentak pada 2019 nanti, telah ditetapkan aturan bahwa ASN harus netral. Pengertian netral ini adalah tidak boleh menyuarakan baik secara lisan maupun tulisan yang mengarahkan dukungan kepada salah satu capres-cawapres maupun caleg dari partai tertentu.
Menahan diri untuk tidak mengungkapkan pilihannya ini bukan perkara mudah karena harus membendung dorongan dari apa yang sudah diyakini kebenarannya dalam hati. Oleh karena itu tidak sedikit dari ASN yang kadang-kadang secara tersembunyi dan bahkan secara terang-terangan mengampanyekan kehebatan calon tertentu.
Mereka sering berdalih bahwa ini bukan kampanye, tetapi menyuarakan kebenaran. Kalau menyampaikan kebaikan dan kehebatan calon yang didukung, mungkin masih banyak yang menghargai. Akan tetapi kalau sudah mencerca dan menjelek-jelekkan pihak lawan, ini yang harus dihindari.
Memang hampir berlaku umum bahwa terhadap yang didukung, yang tampak hanyalah kebaikan dan kehebatannya. Sebaliknya terhadap lawan atau yang tidak disukainya, yang tampak adalah keburukannya, bahkan dicari-cari kesalahannya. Inilah yang dikhawatirkan berpotensi konflik dan sangat merugikan publik kalau ini terjadi di kalangan ASN.
Netralitas Sikap dan Tindakan
Sebenarnya tidak ada manusia netral kalau dihadapkan pada pilihan-pilihan tertentu, pasti ada kecenderungan pada salah satu pilihan yang ditawarkan. Demikian juga yang terjadi pada ASN dalam konteks pilpres dan pileg ini. Mereka pasti punya kecenderungan pilihan terhadap calon-calon tersebut.
Meski secara regulasi diatur bahwa ASN harus netral, kenyataannya kecenderungan itu sering tidak bisa disembunyikan. Hanya saja kadar dan intensitasnya yang berbeda-beda. Sepanjang tidak diucapkan atau disebarkan lewat tulisan, hal ini masih dikategorikan dalam sikap netral.
Akan tetapi jika terungkap dalam ujaran, mengajak dan mengarahkan orang lain terhadap satu pilihan, hal ini sudah patut diragukan netralitasnya. Tidak mudah memang mengambil sikap netral atau di tengah-tengah. Karena kanan dan kiri pasti terus mencoba memengaruhi.
Apalagi jika menggunakan argumen-argumen yang dihubung-hubungkan dengan masalah agama dan keyakinan, seolah-olah keyakinannya paling benar sendiri. ASN dituntut netral karena lingkup yang dilayani dari pelbagai lapisan masyarakat yang beragam, termasuk beragam pula pilihan-pilihan politiknya dalam pilpres dan pileg yang akan datang.
Jika netralitas ini tidak dijaga, dikhawatirkan mereka bisa melakukan bias layanan dan boleh jadi akan memberikan layanan kepada masyarakat dengan tidak adil karena mendasarkan pada pilihan politiknya.
Dengan sikapnya yang adil dan tetap menjaga netralitasnya, diharapkan para ASN tetap bisa memberikan layanan yang maksimal dan profesional kepada seluruh lapisan masyarakat. Tindakan riil seseorang dikaitkan dengan pilihan politik praktis adalah keputusan yang dijatuhkan ketika berada dalam bilik suara.
Netralitas dalam bilik suara adalah kebebasan mutlak seseorang untuk memilih calon tertentu menurut yang diyakini. Keputusan politik dalam bilik suara tidak boleh disampaikan kepada orang lain baik sebelum atau sesudah melakukan pencoblosan. Jika semua ASN mematuhi aturan sejak masa kampanye sampai dengan proses pencoblosan dengan tetap menjaga netralitasnya, hal ini akan berdampak sangat positif terhadap iklim kinerja di pemerintahan.
Perhelatan lima tahunan untuk memilih presiden-wakil presiden dan anggota legislatif jangan sampai dinodai oleh sikap para ASN yang larut dalam dukung-mendukung pasangan. Sebagai komunitas orang-orang terdidik dan yang mengetahui pelbagai regulasi dan ketentuan, sudah seharusnya sikap patuh dan taat terhadap aturan adalah sikap yang dikedepankan.
Direktur PAI Kemenag RI
Pilihan dan aspirasi boleh beda, tetapi persaudaraan, silaturahmi, dan suasana damai harus tetap dijaga. Kita sudah memulai masuk di tahun politik. Ini ditandai dengan dimulainya kampanye terbuka pasangan calon presiden dan wakil presiden periode lima tahun mendatang.
Sebagaimana kita ketahui, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dua pasangan calon (paslon) yang akan mengikuti kontestasi Pemilihan Umum 2019, yakni pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin yang mendapatkan nomor 01 (satu) dan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang memperoleh nomor 02 (dua).
Masing-masing sudah menerima ketetapan nomor undian tersebut dan masing-masing telah memaknai nomor tersebut sebagai nomor keberuntungan. Begitu undian nomor paslon selesai dilaksanakan, dengan begitu cepat tim sukses paslon mengungkapkan tafsir-tafsir
keberuntungan masing-masing. Karena paslonnya hanya dua, tim sukses masing-masing pasti telah menyiapkan kemungkinan tafsir-tafsir keberuntungannya jika mendapat nomor undian satu atau dua.
Dari yang kita simak baik melalui media cetak maupun media elektronik, baik nomor undian satu atau dua, keduanya menunjukkan makna yang positif dan menyejukkan. Hal ini sangat berbeda dengan yang kita lihat melalui media sosial dari simpatisan yang kadang-kadang saling menjelekkan dan menyudutkan. Dalam situasi seperti inilah peran aparatur sipil negara (ASN) dituntut memberikan keteladanan dengan tetap menjaga netralitas baik dalam ucapan, sikap maupun tindakan.
Netralitas Ucapan
Ucapan, sikap, dan tindakan mestinya tunggal meskipun faktanya tidak sedikit orang yang antara ucapan, sikap, dan tindakannya tidak sama dan konsisten. Ucapan baik yang direpresentasikan dalam lisan maupun tulisan, meski belum tentu pasti banyak yang meyakini bahwa itu adalah sikap dan suara hati. Oleh karena itu, ini bisa menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa itulah keyakinannya.
Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres) dan calon legislator (caleg) yang akan dilaksanakan serentak pada 2019 nanti, telah ditetapkan aturan bahwa ASN harus netral. Pengertian netral ini adalah tidak boleh menyuarakan baik secara lisan maupun tulisan yang mengarahkan dukungan kepada salah satu capres-cawapres maupun caleg dari partai tertentu.
Menahan diri untuk tidak mengungkapkan pilihannya ini bukan perkara mudah karena harus membendung dorongan dari apa yang sudah diyakini kebenarannya dalam hati. Oleh karena itu tidak sedikit dari ASN yang kadang-kadang secara tersembunyi dan bahkan secara terang-terangan mengampanyekan kehebatan calon tertentu.
Mereka sering berdalih bahwa ini bukan kampanye, tetapi menyuarakan kebenaran. Kalau menyampaikan kebaikan dan kehebatan calon yang didukung, mungkin masih banyak yang menghargai. Akan tetapi kalau sudah mencerca dan menjelek-jelekkan pihak lawan, ini yang harus dihindari.
Memang hampir berlaku umum bahwa terhadap yang didukung, yang tampak hanyalah kebaikan dan kehebatannya. Sebaliknya terhadap lawan atau yang tidak disukainya, yang tampak adalah keburukannya, bahkan dicari-cari kesalahannya. Inilah yang dikhawatirkan berpotensi konflik dan sangat merugikan publik kalau ini terjadi di kalangan ASN.
Netralitas Sikap dan Tindakan
Sebenarnya tidak ada manusia netral kalau dihadapkan pada pilihan-pilihan tertentu, pasti ada kecenderungan pada salah satu pilihan yang ditawarkan. Demikian juga yang terjadi pada ASN dalam konteks pilpres dan pileg ini. Mereka pasti punya kecenderungan pilihan terhadap calon-calon tersebut.
Meski secara regulasi diatur bahwa ASN harus netral, kenyataannya kecenderungan itu sering tidak bisa disembunyikan. Hanya saja kadar dan intensitasnya yang berbeda-beda. Sepanjang tidak diucapkan atau disebarkan lewat tulisan, hal ini masih dikategorikan dalam sikap netral.
Akan tetapi jika terungkap dalam ujaran, mengajak dan mengarahkan orang lain terhadap satu pilihan, hal ini sudah patut diragukan netralitasnya. Tidak mudah memang mengambil sikap netral atau di tengah-tengah. Karena kanan dan kiri pasti terus mencoba memengaruhi.
Apalagi jika menggunakan argumen-argumen yang dihubung-hubungkan dengan masalah agama dan keyakinan, seolah-olah keyakinannya paling benar sendiri. ASN dituntut netral karena lingkup yang dilayani dari pelbagai lapisan masyarakat yang beragam, termasuk beragam pula pilihan-pilihan politiknya dalam pilpres dan pileg yang akan datang.
Jika netralitas ini tidak dijaga, dikhawatirkan mereka bisa melakukan bias layanan dan boleh jadi akan memberikan layanan kepada masyarakat dengan tidak adil karena mendasarkan pada pilihan politiknya.
Dengan sikapnya yang adil dan tetap menjaga netralitasnya, diharapkan para ASN tetap bisa memberikan layanan yang maksimal dan profesional kepada seluruh lapisan masyarakat. Tindakan riil seseorang dikaitkan dengan pilihan politik praktis adalah keputusan yang dijatuhkan ketika berada dalam bilik suara.
Netralitas dalam bilik suara adalah kebebasan mutlak seseorang untuk memilih calon tertentu menurut yang diyakini. Keputusan politik dalam bilik suara tidak boleh disampaikan kepada orang lain baik sebelum atau sesudah melakukan pencoblosan. Jika semua ASN mematuhi aturan sejak masa kampanye sampai dengan proses pencoblosan dengan tetap menjaga netralitasnya, hal ini akan berdampak sangat positif terhadap iklim kinerja di pemerintahan.
Perhelatan lima tahunan untuk memilih presiden-wakil presiden dan anggota legislatif jangan sampai dinodai oleh sikap para ASN yang larut dalam dukung-mendukung pasangan. Sebagai komunitas orang-orang terdidik dan yang mengetahui pelbagai regulasi dan ketentuan, sudah seharusnya sikap patuh dan taat terhadap aturan adalah sikap yang dikedepankan.
(nag)