Karl Marx = Ulama?
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
DISKURSUS tentang ulama di berbagai media sosial semakin hangat dan luas setelah muncul pendapat yang memasukkan Karl Marx ke dalam kategori ulama (dalam pengertian harfiah). Saya tidak sependapat dengan cara pandang demikian.
Menurut saya, baik dalam pengertian harfiah, terminologis, maupun secara kepribadian, Karl Marx bukan seorang alim dan tidak bisa dikategorikan sebagai ulama. Berikut ini argumen-argumen saya. Sosok ulama dan profil keulamaan bisa dilihat dari aspek kepribadian dan aspek keilmuan.
Karakter dan kepribadian ulama paling tidak ditandai oleh dua ciri khas penting. Pertama, ulama adalah hamba yang dekat dan takut kepada Allah. Ini bisa dibaca dalam Alquran Surah Faathir ayat 28: "Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama."
Kedua, ulama adalah pewaris para nabi (al-ulamau waratsatul anbiya ) sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Ad-Dardara. Maksud ulama sebagai pewaris nabi adalah para ulama selalu konsisten mencontoh dan mempraktikkan ajaran para nabi dan mewarisi visi, misi, akhlak, karakter, serta kepribadian para nabi.
Nabi Muhammad disebut sebagai uswatun hasanah (suri teladan yang baik) dalam segala hal bagi ulama dan bagi semua muslim. Ini berarti ulama itu menjadi contoh, teladan, dan panutan bagi komunitasnya dalam hal ketaatan, pengabdian, kebaktian, akhlak, karakter, dan kepribadian.
Itulah dua ciri khas karakter dan kepribadian ulama. Sebelum dua ciri khas ini diterapkan kepada sosok Karl Marx, perlu dipaparkan riwayatnya secara singkat. Karl Heinrich Marx lahir di Tier, Jerman (dulu bernama Kerajaan Prussia), pada 5 Mei 1818 dan meninggal di London (Inggris) pada 14 Maret 1883 dalam usia 64 tahun.
Pada mulanya, dia beragama Protestan, tapi kemudian menjadi atheis (tidak bertuhan dan antiagama). Dengan kata lain, dia menganut atheisme (paham yang tidak memercayai adanya Tuhan). Karya pentingnya yang dianggap buku "suci" oleh para pengikutnya adalah The Communist Manifesto (1848) dan Das Kapital (1864).
Teman dekat dan mitra Karl Marx adalah Friedrich Engels (1820-1895), keduanya dikenal sebagai pendiri dan peletak dasar komunisme modern. Teori Marx berkisar pada masalah sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan politik. Sebagai seorang atheis, Karl Marx berpendapat bahwa agama adalah candu bagi masyarakat (Religion is the opium of the people; Die Religion ist das opium des Volkes). Inilah pendapat kontroversial Marx yang sangat tidak enak didengar di telinga orang-orang beragama.
Marx mengatakan, agama hanya sebagai pelipur lara bagi orang-orang yang tertindas dan terhempas. Agama hanya menjanjikan kebahagiaan semu dan khayali. Karena itu, untuk mencapai kebahagiaan yang riil dan sejati, manusia harus menghapus bayangan kebahagiaan ilusif yang diajarkan agama.
Untuk meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati, manusia harus mencampakkan khayalan-khayalan kebahagiaan yang digambarkan oleh agama. Agama harus diberantas karena merupakan candu bagi masyarakat. Dengan pendapatnya ini, Marx terkenal sebagi tokoh yang anti-Tuhan dan antiagama.
Dari paparan ringkas di atas, dapat diketahui secara pasti dan meyakinkan bahwa Karl Marx adalah tokoh dan pemikir atheis dan antiagama. Dengan kata lain, Karl Marx tidak dekat dengan Tuhan, tidak mempunyai kepekaan rasa takut kepada Tuhan, dan juga bukan pewaris para nabi.
Saya berpendapat, dalam pengertian harfiah dan secara karakter serta kepribadian, jelas Karl Marx adalah bukan seorang alim dan tidak termasuk kategori ulama. Memiliki banyak ilmu pengetahuan saja tidak secara otomatis qualified untuk menjadi ulama, tapi ia harus dekat dengan Tuhan, berakhlak, berkarakter, dan berkepribadian sesuai ajaran Tuhan. Karl Marx yang atheis dan antiagama jelas bukan seorang alim dan tidak termasuk ulama.
Tinjauan dari Kualifikasi Keilmuan
Selain tinjauan dari aspek karakter dan kepribadian sebagaimana diutarakan di atas, berikut ini tinjauan terhadap ulama dari kualifikasi keilmuan. Tugas, peran, dan fungsi ulama identik dengan kerja intelektual, penalaran, dan pemahaman untuk menghasilkan pemikiran atau pendapat tentang isu atau perkara (baru) yang mereka kritisi dengan memakai Alquran dan Sunah Nabi sebagai landasannya. Kerja akal pikiran, penalaran, dan olah intelektual ulama terhadap teks/nash Alquran dan Hadis ini disebut ijtihad (orangnya disebut mujtahid).
Peralatan intelektual (intellectual tools) yang wajib dimiliki dan dikuasai seorang mujtahid sebagai berikut: (1) menguasai seluk beluk bahasa Arab (misalnya nahwu, sharaf, dan balaqhah ); (2) memahami asbabun nazul (sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat Alquran); (3) memahami asbabul wurud (sebab-sebab dikeluarkannya hadis-hadis Nabi); (4) memahami munasabah (konteks hubungan dan relasi antar-ayat Alquran); dan (5) memahami nasikh-mansukh (penghapusan dalil hukum syar’i yang satu dengan dalil hukum syar’i yang lain).
Itulah lima peralatan intelektual dan sekaligus sebagai kualifikasi keilmuan yang harus dikuasai ulama dalam melaksanakan kerja-kerja kritis intelektual dan fungsi keulamaannya. Dengan memiliki dan menguasai lima peralatan intelektual ini, mereka dinyatakan "qualified" sebagai ulama. Pertanyaan kita sekarang: bisakah Karl Marx dikategorikan sebagai ulama?
Sebagaimana dipaparkan di atas, Karl Marx adalah sosok pemikir atheis dan antiagama. Ia tidak menguasai semua kualifikasi keilmuan ulama (1 sampai dengan 5) sebagaimana dicatat di atas. Dengan mengacu pada kriteria dan kualifikasi keilmuan ulama seperti yang dikemukakan di atas dan sekaligus sebagai argumen diniah-ilmiah, saya berpendapat bahwa Karl Marx bukan seorang alim dan tidak termasuk ulama.
Karl Marx lebih tepat disebut sebagai teoritikus sosial-ekonomi-politik atau tokoh pemikir (thinker), bukan seorang alim dan tidak termasuk kategori ulama (dalam pengertian harfiah sekali pun). Dalam kepustakaan Arab/Islam dan Barat, Karl Marx disebut sosok pemikir, bukan seorang alim dan tidak termasuk ulama.
Karya pemikiran Karl Marx (The Communist Manifesto dan Das Kapital) yang kental dengan konten marxisme-komunisme yang anti-Tuhan dan antiagama itu bukan karya ulama dan bukan hasil pemikiran keulamaan. Marxisme bukan hasil karya pemikiran ulama.
Guru Besar Pascasarjana FIAI
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
DISKURSUS tentang ulama di berbagai media sosial semakin hangat dan luas setelah muncul pendapat yang memasukkan Karl Marx ke dalam kategori ulama (dalam pengertian harfiah). Saya tidak sependapat dengan cara pandang demikian.
Menurut saya, baik dalam pengertian harfiah, terminologis, maupun secara kepribadian, Karl Marx bukan seorang alim dan tidak bisa dikategorikan sebagai ulama. Berikut ini argumen-argumen saya. Sosok ulama dan profil keulamaan bisa dilihat dari aspek kepribadian dan aspek keilmuan.
Karakter dan kepribadian ulama paling tidak ditandai oleh dua ciri khas penting. Pertama, ulama adalah hamba yang dekat dan takut kepada Allah. Ini bisa dibaca dalam Alquran Surah Faathir ayat 28: "Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama."
Kedua, ulama adalah pewaris para nabi (al-ulamau waratsatul anbiya ) sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Abu Ad-Dardara. Maksud ulama sebagai pewaris nabi adalah para ulama selalu konsisten mencontoh dan mempraktikkan ajaran para nabi dan mewarisi visi, misi, akhlak, karakter, serta kepribadian para nabi.
Nabi Muhammad disebut sebagai uswatun hasanah (suri teladan yang baik) dalam segala hal bagi ulama dan bagi semua muslim. Ini berarti ulama itu menjadi contoh, teladan, dan panutan bagi komunitasnya dalam hal ketaatan, pengabdian, kebaktian, akhlak, karakter, dan kepribadian.
Itulah dua ciri khas karakter dan kepribadian ulama. Sebelum dua ciri khas ini diterapkan kepada sosok Karl Marx, perlu dipaparkan riwayatnya secara singkat. Karl Heinrich Marx lahir di Tier, Jerman (dulu bernama Kerajaan Prussia), pada 5 Mei 1818 dan meninggal di London (Inggris) pada 14 Maret 1883 dalam usia 64 tahun.
Pada mulanya, dia beragama Protestan, tapi kemudian menjadi atheis (tidak bertuhan dan antiagama). Dengan kata lain, dia menganut atheisme (paham yang tidak memercayai adanya Tuhan). Karya pentingnya yang dianggap buku "suci" oleh para pengikutnya adalah The Communist Manifesto (1848) dan Das Kapital (1864).
Teman dekat dan mitra Karl Marx adalah Friedrich Engels (1820-1895), keduanya dikenal sebagai pendiri dan peletak dasar komunisme modern. Teori Marx berkisar pada masalah sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan politik. Sebagai seorang atheis, Karl Marx berpendapat bahwa agama adalah candu bagi masyarakat (Religion is the opium of the people; Die Religion ist das opium des Volkes). Inilah pendapat kontroversial Marx yang sangat tidak enak didengar di telinga orang-orang beragama.
Marx mengatakan, agama hanya sebagai pelipur lara bagi orang-orang yang tertindas dan terhempas. Agama hanya menjanjikan kebahagiaan semu dan khayali. Karena itu, untuk mencapai kebahagiaan yang riil dan sejati, manusia harus menghapus bayangan kebahagiaan ilusif yang diajarkan agama.
Untuk meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati, manusia harus mencampakkan khayalan-khayalan kebahagiaan yang digambarkan oleh agama. Agama harus diberantas karena merupakan candu bagi masyarakat. Dengan pendapatnya ini, Marx terkenal sebagi tokoh yang anti-Tuhan dan antiagama.
Dari paparan ringkas di atas, dapat diketahui secara pasti dan meyakinkan bahwa Karl Marx adalah tokoh dan pemikir atheis dan antiagama. Dengan kata lain, Karl Marx tidak dekat dengan Tuhan, tidak mempunyai kepekaan rasa takut kepada Tuhan, dan juga bukan pewaris para nabi.
Saya berpendapat, dalam pengertian harfiah dan secara karakter serta kepribadian, jelas Karl Marx adalah bukan seorang alim dan tidak termasuk kategori ulama. Memiliki banyak ilmu pengetahuan saja tidak secara otomatis qualified untuk menjadi ulama, tapi ia harus dekat dengan Tuhan, berakhlak, berkarakter, dan berkepribadian sesuai ajaran Tuhan. Karl Marx yang atheis dan antiagama jelas bukan seorang alim dan tidak termasuk ulama.
Tinjauan dari Kualifikasi Keilmuan
Selain tinjauan dari aspek karakter dan kepribadian sebagaimana diutarakan di atas, berikut ini tinjauan terhadap ulama dari kualifikasi keilmuan. Tugas, peran, dan fungsi ulama identik dengan kerja intelektual, penalaran, dan pemahaman untuk menghasilkan pemikiran atau pendapat tentang isu atau perkara (baru) yang mereka kritisi dengan memakai Alquran dan Sunah Nabi sebagai landasannya. Kerja akal pikiran, penalaran, dan olah intelektual ulama terhadap teks/nash Alquran dan Hadis ini disebut ijtihad (orangnya disebut mujtahid).
Peralatan intelektual (intellectual tools) yang wajib dimiliki dan dikuasai seorang mujtahid sebagai berikut: (1) menguasai seluk beluk bahasa Arab (misalnya nahwu, sharaf, dan balaqhah ); (2) memahami asbabun nazul (sebab-sebab diturunkannya ayat-ayat Alquran); (3) memahami asbabul wurud (sebab-sebab dikeluarkannya hadis-hadis Nabi); (4) memahami munasabah (konteks hubungan dan relasi antar-ayat Alquran); dan (5) memahami nasikh-mansukh (penghapusan dalil hukum syar’i yang satu dengan dalil hukum syar’i yang lain).
Itulah lima peralatan intelektual dan sekaligus sebagai kualifikasi keilmuan yang harus dikuasai ulama dalam melaksanakan kerja-kerja kritis intelektual dan fungsi keulamaannya. Dengan memiliki dan menguasai lima peralatan intelektual ini, mereka dinyatakan "qualified" sebagai ulama. Pertanyaan kita sekarang: bisakah Karl Marx dikategorikan sebagai ulama?
Sebagaimana dipaparkan di atas, Karl Marx adalah sosok pemikir atheis dan antiagama. Ia tidak menguasai semua kualifikasi keilmuan ulama (1 sampai dengan 5) sebagaimana dicatat di atas. Dengan mengacu pada kriteria dan kualifikasi keilmuan ulama seperti yang dikemukakan di atas dan sekaligus sebagai argumen diniah-ilmiah, saya berpendapat bahwa Karl Marx bukan seorang alim dan tidak termasuk ulama.
Karl Marx lebih tepat disebut sebagai teoritikus sosial-ekonomi-politik atau tokoh pemikir (thinker), bukan seorang alim dan tidak termasuk kategori ulama (dalam pengertian harfiah sekali pun). Dalam kepustakaan Arab/Islam dan Barat, Karl Marx disebut sosok pemikir, bukan seorang alim dan tidak termasuk ulama.
Karya pemikiran Karl Marx (The Communist Manifesto dan Das Kapital) yang kental dengan konten marxisme-komunisme yang anti-Tuhan dan antiagama itu bukan karya ulama dan bukan hasil pemikiran keulamaan. Marxisme bukan hasil karya pemikiran ulama.
(thm)