Asian Para Games dan Ujian Nasionalisme
A
A
A
Ujian nasionalisme kepada bangsa dan negara tidak hanya terjadi ketika negeri ini diancam negara lain yang ingin mengobrak-abrik
kemerdekaan. Ujian nasionalisme juga bukan hanya muncul tatkala kebinekaan kita diuji oleh propaganda-propaganda kelompok kepentingan tertentu guna melemahkan persatuan melalui “perang saudara”. Ujian nasionalisme pun tidak hanya terbabar ketika para teroris mencoba
menegakkan “kebenaran” versi mereka sendiri di depan mata kita.
Sebagaimana ujian atas jiwa dan kehidupan, ujian atas nasionalisme bisa saja terjadi manakala kita berada pada titik tinggi kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara. Ia tidak mewujud pada sebuah ancaman yang harus dihadapi bersama melalui strategi bertahan ataupun senjata, namun sangat mungkin mewujud dalam bentuk tantangan konsistensi akan sebuah prinsip hidup berkebangsaan.
Menolak laku merugikan bangsa dan negara ketika ada amanah yang disematkan di pundaknya juga merupakan tindakan nasionalis kendati kesempatan berkhianat terhadap amanah itu mungkin ada. Jadi, ujian nasionalisme senantiasa ada di setiap jengkal kehidupan bernegara, baik dalam kondisi “terancam” maupun tidak terancam.
Asian Para Games
Salah satu hal yang menggetarkan dan memantik rasa nasionalisme kita beberapa waktu terakhir adalah kesuksesan Indonesia dalam menyelenggarakan event Asian Games 2018. Nasionalisme ini lebih terasa ketika kita bisa merasakan dan melihat langsung heroisme atlet-atlet Indonesia dalam upayanya mempersembahkan prestasi terbaik, hingga pada akhirnya mereka berhasil mencetak prestasi yang membanggakan.
Euforia kegembiraan dan kebanggaan yang nasionalistik itu bahkan mampu melupakan sejenak hiruk-pikuk “perseteruan” politik negeri yang cenderung “acakadut” dan berpotensi memecah belah kerukunan bangsa. Kegembiraan yang dirasakan bersama itu sekaligus mengingatkan kita semua bahwa persatuan dan gerak bersama adalah sesuatu yang sangat menyenangkan dan membuat hati ini merasa tenteram.
Namun, hari ini euforia nasionalisme itu terasa memudar. Ingat: bukan nasionalismenya yang memudar, namun euforianya. Bukan berarti kita menuntut diri untuk terus larut dalam euforia keberhasilan “masa lalu”, namun harus ada euforia baru karena pada waktu berikutnya kita sudah harus mempersiapkan diri sebagai tuan rumah sekaligus peserta Asian Para Games.
Maka itu, mari kita lihat kenyataannya. Berapa banyak orang di sekitar kita yang membicarakan rencana penyelenggaraan Asian Para Games 2018, sebuah event olahraga yang memang kalah dalam skala kuantitas (jumlah negara peserta, jumlah atlet dan official, serta jumlah cabang olahraga yang dipertandingkan), namun tidak kalah dari segi kepentingan, kualitas, dan value -nya dibanding Asian Games 2018.
Lalu, berapa banyak kelompok masyarakat yang berinisiasi membuat kampungnya berwarna dan bernuansa Asian Para Games 2018, sebagaimana yang banyak kita saksikan menjelang Asian Games lalu? Juga, berapa banyak pihak yang tak merasa harus menurunkan atribut dan materi komunikasi Asian Games 2018, lantas menggantinya dengan atribut dan materi komunikasi Asian Para Games 2018?
Dari aspek kepentingan, Asian Para Games 2018 merupakan bentuk kontribusi dan pembuktian konsistensi Indonesia atas perhelatan olahraga (disabilitas) terbesar di Asia, yang seperti kata Wikipedia : “sejajar dengan Asian Games 2018”.
Dari segi kualitas, standar penyelenggaraan Asian Para Games 2018 pun tidak boleh berada di bawah kualitas penyelenggaraan Asian Games 2018 meski ajang ini hanya diikuti oleh 42 negara dengan lebih kurang 3.000 atlet dan official, serta hanya akan mempertandingkan 18 cabang olahraga. Ini prinsip yang harus dipegang Indonesia sebagai tuan rumah.
Dari aspek value, sebagian pengamat dan praktisi olahraga justru menilai value level Asian Para Games lebih tinggi karena para atlet ini tidak hanya bertarung melawan lawan tandingnya, namun juga harus “bertarung” melawan keterbatasan-keterbatasan (fisik) yang dimilikinya. Sama-sama bermain bulutangkis misalnya, tentu tidak lebih mudah bagi siapa pun ketika ia harus bermain menggunakan kursi roda. Upaya “mengalahkan keterbatasan” inilah yang menjadikan value pesta olahraga kaum difabel ini sangat tinggi.
Penetapan standar yang sama dan pemahaman akan nilai-nilai mulia dari pelaksanaan Asian Para Games inilah yang harus disosialisasikan dengan sangat baik. Tidak saja oleh punggawa Indonesian Asian Para Games Organizing Committee (INAPGOC) di bawah komando Raja Sapta Oktohari, tapi juga oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia yang peduli harga diri dan martabat bangsa.
Nasionalisme Burung
Lalu, apa yang masih bisa kita lakukan menjelang pelaksanaan Asian Para Games 2018 yang opening ceremony -nya sudah akan dilaksanakan 6 Oktober 2018?
Pertama , aksi harus dimulai dari kepedulian lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang diharapkan bersedia mengalokasikan sebagian anggarannya untuk membantu promosi dan gempita penyambutan event sebagaimana yang dilakukan saat menyambut Asian Games 2018.
Lepas dari kriteria sponsor resmi atau bukan, institusi-institusi itu sangat mungkin untuk membantu memviralkan dan menggelar sosialisasi keberadaan Asian Para Games 2018 ini melalui kanal-kanal media komunikasi yang dimilikinya. Baik itu media luar ruang maupun alokasi anggaran publikasi dan iklannya. Lembaga-lembaga ini juga bisa menginisiasi gerakan-gerakan bersama di area publik untuk menyatakan dukungannya kepada penyelenggaraan Asian Para Games 2018.
Kedua, partisipasi warga negara yang saat lalu telah terbukti mampu menggemakan secara luar biasa keberadaan Asian Games 2018 dengan melakukan berbagai aktivitas bertema Asian Games, pembuatan mural-mural penuh warna sebagai simbol kemeriahan dan
keberagaman sebagaimana simbol pesta olahraga Asia itu sendiri, hingga penggunaan dan pemasangan atribut-atribut tematik Asian Games.
Mestinya, bentuk kebanggaan sebagai tuan rumah Asian Para Games 2018 bisa sama besarnya dan diartikulasikan sama “heboh”-nya dengan apa yang dilakukan untuk Asian Games 2018. Tentang biaya, mekanisme pencarian sumber dana yang sama tentu bisa dilakukan dalam konteks ini. Swadaya ataupun dari donasi institusi.
Ketiga, viralisasi segala promosi yang terkait dengan Asian Para Games harus lebih digencarkan oleh INAPGOC melalui media sosial dengan catatan : materi komunikasi harus sangat komunikatif, eye-catching , layak share , dan unik. Warganet dan pemilik akun media sosial sangat suka tipikal seperti itu. Mereka tak akan keberatan ikut menviralkan sesuatu yang sesungguhnya sarat kepentingan nasional ini. Dan, inilah saluran sosialisasi yang paling efektif serta efisien.
Keempat, menuntut peran media massa, baik media massa konvensional maupun nonkonvensional. Media cetak diharapkan bersedia mendedikasikan halamannya untuk menjadi halaman khusus Asian Para Games 2018. Media online harus bersedia merelakan space iklan di primespot -nya untuk menyosialisasikan Asian Para Games 2018 dan sebagainya.
Itu beberapa hal yang harus segera dilakukan agar kita bisa lulus dari "ujian nasionalisme" kali ini. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, kita tentu tidak ingin nasionalisme kita menjadi sekadar "nasionalisme burung".
Kata Emha, “Nasionalisme bukanlah burung yang dibikinkan sangkar oleh tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang setiap pagi, lalu diturunkan dan dimasukkan ke kandang besar lagi pada sore harinya.”
Dus, nasionalisme tidak boleh naik-turun alias moody based . Nasionalisme juga tidak boleh hadir hanya pada waktu-waktu tertentu. Nasionalisme harus senantiasa terjaga tinggi sepanjang usia bangsa. Dan, sekali lagi, Asian Para Games menjadi salah satu ujiannya.
kemerdekaan. Ujian nasionalisme juga bukan hanya muncul tatkala kebinekaan kita diuji oleh propaganda-propaganda kelompok kepentingan tertentu guna melemahkan persatuan melalui “perang saudara”. Ujian nasionalisme pun tidak hanya terbabar ketika para teroris mencoba
menegakkan “kebenaran” versi mereka sendiri di depan mata kita.
Sebagaimana ujian atas jiwa dan kehidupan, ujian atas nasionalisme bisa saja terjadi manakala kita berada pada titik tinggi kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara. Ia tidak mewujud pada sebuah ancaman yang harus dihadapi bersama melalui strategi bertahan ataupun senjata, namun sangat mungkin mewujud dalam bentuk tantangan konsistensi akan sebuah prinsip hidup berkebangsaan.
Menolak laku merugikan bangsa dan negara ketika ada amanah yang disematkan di pundaknya juga merupakan tindakan nasionalis kendati kesempatan berkhianat terhadap amanah itu mungkin ada. Jadi, ujian nasionalisme senantiasa ada di setiap jengkal kehidupan bernegara, baik dalam kondisi “terancam” maupun tidak terancam.
Asian Para Games
Salah satu hal yang menggetarkan dan memantik rasa nasionalisme kita beberapa waktu terakhir adalah kesuksesan Indonesia dalam menyelenggarakan event Asian Games 2018. Nasionalisme ini lebih terasa ketika kita bisa merasakan dan melihat langsung heroisme atlet-atlet Indonesia dalam upayanya mempersembahkan prestasi terbaik, hingga pada akhirnya mereka berhasil mencetak prestasi yang membanggakan.
Euforia kegembiraan dan kebanggaan yang nasionalistik itu bahkan mampu melupakan sejenak hiruk-pikuk “perseteruan” politik negeri yang cenderung “acakadut” dan berpotensi memecah belah kerukunan bangsa. Kegembiraan yang dirasakan bersama itu sekaligus mengingatkan kita semua bahwa persatuan dan gerak bersama adalah sesuatu yang sangat menyenangkan dan membuat hati ini merasa tenteram.
Namun, hari ini euforia nasionalisme itu terasa memudar. Ingat: bukan nasionalismenya yang memudar, namun euforianya. Bukan berarti kita menuntut diri untuk terus larut dalam euforia keberhasilan “masa lalu”, namun harus ada euforia baru karena pada waktu berikutnya kita sudah harus mempersiapkan diri sebagai tuan rumah sekaligus peserta Asian Para Games.
Maka itu, mari kita lihat kenyataannya. Berapa banyak orang di sekitar kita yang membicarakan rencana penyelenggaraan Asian Para Games 2018, sebuah event olahraga yang memang kalah dalam skala kuantitas (jumlah negara peserta, jumlah atlet dan official, serta jumlah cabang olahraga yang dipertandingkan), namun tidak kalah dari segi kepentingan, kualitas, dan value -nya dibanding Asian Games 2018.
Lalu, berapa banyak kelompok masyarakat yang berinisiasi membuat kampungnya berwarna dan bernuansa Asian Para Games 2018, sebagaimana yang banyak kita saksikan menjelang Asian Games lalu? Juga, berapa banyak pihak yang tak merasa harus menurunkan atribut dan materi komunikasi Asian Games 2018, lantas menggantinya dengan atribut dan materi komunikasi Asian Para Games 2018?
Dari aspek kepentingan, Asian Para Games 2018 merupakan bentuk kontribusi dan pembuktian konsistensi Indonesia atas perhelatan olahraga (disabilitas) terbesar di Asia, yang seperti kata Wikipedia : “sejajar dengan Asian Games 2018”.
Dari segi kualitas, standar penyelenggaraan Asian Para Games 2018 pun tidak boleh berada di bawah kualitas penyelenggaraan Asian Games 2018 meski ajang ini hanya diikuti oleh 42 negara dengan lebih kurang 3.000 atlet dan official, serta hanya akan mempertandingkan 18 cabang olahraga. Ini prinsip yang harus dipegang Indonesia sebagai tuan rumah.
Dari aspek value, sebagian pengamat dan praktisi olahraga justru menilai value level Asian Para Games lebih tinggi karena para atlet ini tidak hanya bertarung melawan lawan tandingnya, namun juga harus “bertarung” melawan keterbatasan-keterbatasan (fisik) yang dimilikinya. Sama-sama bermain bulutangkis misalnya, tentu tidak lebih mudah bagi siapa pun ketika ia harus bermain menggunakan kursi roda. Upaya “mengalahkan keterbatasan” inilah yang menjadikan value pesta olahraga kaum difabel ini sangat tinggi.
Penetapan standar yang sama dan pemahaman akan nilai-nilai mulia dari pelaksanaan Asian Para Games inilah yang harus disosialisasikan dengan sangat baik. Tidak saja oleh punggawa Indonesian Asian Para Games Organizing Committee (INAPGOC) di bawah komando Raja Sapta Oktohari, tapi juga oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia yang peduli harga diri dan martabat bangsa.
Nasionalisme Burung
Lalu, apa yang masih bisa kita lakukan menjelang pelaksanaan Asian Para Games 2018 yang opening ceremony -nya sudah akan dilaksanakan 6 Oktober 2018?
Pertama , aksi harus dimulai dari kepedulian lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang diharapkan bersedia mengalokasikan sebagian anggarannya untuk membantu promosi dan gempita penyambutan event sebagaimana yang dilakukan saat menyambut Asian Games 2018.
Lepas dari kriteria sponsor resmi atau bukan, institusi-institusi itu sangat mungkin untuk membantu memviralkan dan menggelar sosialisasi keberadaan Asian Para Games 2018 ini melalui kanal-kanal media komunikasi yang dimilikinya. Baik itu media luar ruang maupun alokasi anggaran publikasi dan iklannya. Lembaga-lembaga ini juga bisa menginisiasi gerakan-gerakan bersama di area publik untuk menyatakan dukungannya kepada penyelenggaraan Asian Para Games 2018.
Kedua, partisipasi warga negara yang saat lalu telah terbukti mampu menggemakan secara luar biasa keberadaan Asian Games 2018 dengan melakukan berbagai aktivitas bertema Asian Games, pembuatan mural-mural penuh warna sebagai simbol kemeriahan dan
keberagaman sebagaimana simbol pesta olahraga Asia itu sendiri, hingga penggunaan dan pemasangan atribut-atribut tematik Asian Games.
Mestinya, bentuk kebanggaan sebagai tuan rumah Asian Para Games 2018 bisa sama besarnya dan diartikulasikan sama “heboh”-nya dengan apa yang dilakukan untuk Asian Games 2018. Tentang biaya, mekanisme pencarian sumber dana yang sama tentu bisa dilakukan dalam konteks ini. Swadaya ataupun dari donasi institusi.
Ketiga, viralisasi segala promosi yang terkait dengan Asian Para Games harus lebih digencarkan oleh INAPGOC melalui media sosial dengan catatan : materi komunikasi harus sangat komunikatif, eye-catching , layak share , dan unik. Warganet dan pemilik akun media sosial sangat suka tipikal seperti itu. Mereka tak akan keberatan ikut menviralkan sesuatu yang sesungguhnya sarat kepentingan nasional ini. Dan, inilah saluran sosialisasi yang paling efektif serta efisien.
Keempat, menuntut peran media massa, baik media massa konvensional maupun nonkonvensional. Media cetak diharapkan bersedia mendedikasikan halamannya untuk menjadi halaman khusus Asian Para Games 2018. Media online harus bersedia merelakan space iklan di primespot -nya untuk menyosialisasikan Asian Para Games 2018 dan sebagainya.
Itu beberapa hal yang harus segera dilakukan agar kita bisa lulus dari "ujian nasionalisme" kali ini. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, kita tentu tidak ingin nasionalisme kita menjadi sekadar "nasionalisme burung".
Kata Emha, “Nasionalisme bukanlah burung yang dibikinkan sangkar oleh tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang setiap pagi, lalu diturunkan dan dimasukkan ke kandang besar lagi pada sore harinya.”
Dus, nasionalisme tidak boleh naik-turun alias moody based . Nasionalisme juga tidak boleh hadir hanya pada waktu-waktu tertentu. Nasionalisme harus senantiasa terjaga tinggi sepanjang usia bangsa. Dan, sekali lagi, Asian Para Games menjadi salah satu ujiannya.
(nag)