Asian Para Games dan Ujian Nasionalisme

Kamis, 27 September 2018 - 08:11 WIB
Asian Para Games dan Ujian Nasionalisme
Asian Para Games dan Ujian Nasionalisme
A A A
Ujian nasionalisme kepada bangsa dan negara tidak hanya terjadi ketika ne­ge­ri ini diancam negara lain yang ingin mengobrak-abrik
kemer­dekaan. Ujian nasionalisme ju­ga bukan hanya muncul tatkala kebinekaan kita diuji oleh pro­pa­ganda-propaganda kelom­pok kepentingan tertentu gu­na me­le­mahkan persatuan me­la­lui “pe­rang saudara”. Ujian na­sio­na­lisme pun tidak hanya ter­ba­bar ketika para teroris men­coba
me­negakkan “kebe­nar­an” versi me­reka sendiri di depan mata kita.

Sebagaimana ujian atas jiwa dan kehidupan, ujian atas na­sionalisme bisa saja terjadi ma­na­kala kita berada pada titik ting­gi kebersamaan hidup ber­bangsa dan bernegara. Ia tidak mewujud pada sebuah an­cam­an yang harus dihadapi ber­sa­ma melalui strategi bertahan ataupun senjata, namun sa­ngat mungkin mewujud dalam bentuk tantangan konsistensi akan sebuah prinsip hidup ber­kebangsaan.

Menolak laku merugikan bangsa dan negara ketika ada amanah yang di­se­mat­kan di pun­daknya juga me­ru­pakan tindakan nasionalis kendati ke­sempatan ber­khia­nat terhadap amanah itu mung­­kin ada. Jadi, ujian nasionalisme se­nantiasa ada di setiap jengkal kehidupan bernegara, baik da­lam kondisi “terancam” mau­pun tidak terancam.

Asian Para Games

Salah satu hal yang meng­ge­tar­kan dan memantik rasa na­sio­nalisme kita beberapa wak­tu terakhir adalah kesuksesan In­do­­nesia dalam menye­leng­ga­ra­kan event Asian Games 2018. Na­sionalisme ini lebih terasa ke­tika kita bisa me­ra­sa­kan dan me­lihat langsung he­rois­me atlet-atlet Indonesia dalam upa­ya­nya mem­per­sem­bah­kan pres­tasi terbaik, hing­ga pada akhirnya mereka ber­ha­sil mencetak prestasi yang membanggakan.

Euforia kegembiraan dan kebanggaan yang nasionalistik itu bahkan mampu melupakan sejenak hiruk-pikuk “per­se­te­ru­an” politik negeri yang cen­derung “acakadut” dan ber­po­tensi memecah belah keru­kun­an bangsa. Kegembiraan yang dirasakan bersama itu seka­li­gus mengingatkan kita semua bah­wa persatuan dan gerak ber­sama adalah sesuatu yang sa­ngat menyenangkan dan mem­­buat hati ini merasa ten­teram.

Namun, hari ini euforia na­sionalisme itu terasa me­mu­dar. Ingat: bukan nasiona­lis­me­nya yang memudar, namun eufo­ria­nya. Bukan berarti kita me­nuntut diri untuk terus la­rut da­lam euforia keber­ha­si­l­an “ma­sa lalu”, namun harus ada euforia baru karena pada wak­tu berikutnya kita sudah harus mempersiapkan diri sebagai tuan rumah sekaligus peserta Asian Para Games.

Maka itu, mari kita lihat ke­nyataannya. Berapa banyak orang di sekitar kita yang mem­bi­ca­ra­kan rencana penyeleng­gara­an Asian Para Games 2018, se­buah event olahraga yang me­mang kalah dalam skala kuan­titas (jumlah negara pe­serta, jumlah atlet dan official, serta jumlah cabang olahraga yang dipertandingkan), na­mun tidak kalah dari segi ke­pen­tingan, kualitas, dan value -nya diban­ding Asian Games 2018.

Lalu, berapa banyak kelom­pok masyarakat yang ber­ini­siasi membuat kampungnya ber­warna dan bernuansa Asian Para Games 2018, seba­gai­ma­na yang banyak kita saksikan menjelang Asian Games lalu? Juga, berapa banyak pihak yang tak merasa harus menu­run­kan atribut dan materi ko­munikasi Asian Games 2018, lantas menggantinya dengan atribut dan materi komunikasi Asian Para Games 2018?

Dari aspek kepentingan, Asian Para Games 2018 meru­pa­kan bentuk kontribusi dan pem­buktian konsistensi Indo­ne­sia atas perhelatan olahraga (disabilitas) terbesar di Asia, yang seperti kata Wikipedia : “sejajar dengan Asian Games 2018”.

Dari segi kualitas, stan­dar penyelenggaraan Asian Pa­ra Games 2018 pun tidak boleh berada di bawah kualitas pe­nye­lenggaraan Asian Games 2018 meski ajang ini hanya di­ikuti oleh 42 negara dengan le­bih kurang 3.000 atlet dan offi­cial, serta hanya akan mem­per­tandingkan 18 cabang olah­ra­ga. Ini prinsip yang harus di­pe­gang Indonesia sebagai tuan rumah.

Dari aspek value, sebagian peng­amat dan praktisi olah­ra­ga justru menilai value level Asian Para Games lebih tinggi karena para atlet ini tidak ha­nya bertarung melawan lawan tandingnya, namun juga harus “bertarung” melawan keter­ba­tas­an-keterbatasan (fisik) yang dimilikinya. Sama-sama ber­main bulutangkis misalnya, tentu tidak lebih mudah bagi siapa pun ketika ia harus ber­main menggunakan kursi roda. Upaya “mengalahkan ke­ter­batasan” inilah yang men­ja­di­kan value pesta olahraga kaum difabel ini sangat tinggi.

Penetapan standar yang sa­ma dan pemahaman akan nilai-nilai mulia dari pelak­sa­na­an Asian Para Games inilah yang harus disosialisasikan de­ngan sa­ngat baik. Tidak saja oleh punggawa Indonesian Asian Para Games Organizing Committee (INAPGOC) di ba­wah komando Raja Sapta Ok­to­hari, tapi juga oleh seluruh elemen masya­ra­kat Indonesia yang peduli harga diri dan martabat bangsa.

Nasionalisme Burung

Lalu, apa yang masih bisa kita lakukan menjelang pelak­sanaan Asian Para Games 2018 yang opening ceremony -nya su­dah akan dilaksanakan 6 Ok­to­ber 2018?

Pertama , aksi harus dimulai dari kepedulian lembaga-lem­baga pemerintah maupun swas­­ta yang diharapkan ber­se­dia mengalokasikan sebagian anggarannya untuk mem­ban­tu promosi dan gempita pe­nyam­butan event seba­gai­ma­na yang dilakukan saat me­nyam­but Asian Games 2018.

Lepas dari kriteria sponsor resmi atau bukan, institusi-ins­ti­tusi itu sangat mungkin untuk membantu mem­vi­ral­kan dan menggelar sosialisasi kebera­da­an Asian Para Games 2018 ini melalui kanal-kanal media ko­munikasi yang dimi­liki­nya. Baik itu media luar ruang maupun alokasi ang­gar­an publikasi dan iklannya. Lembaga-lembaga ini juga bisa menginisiasi gerakan-gerakan bersama di area publik untuk menyatakan dukungan­nya ke­pa­da penyelenggaraan Asian Para Games 2018.

Kedua, partisipasi warga ne­gara yang saat lalu telah ter­buk­ti mampu menggemakan se­ca­ra luar biasa keberadaan Asian Games 2018 dengan mela­ku­kan berbagai aktivitas bertema Asian Games, pembuatan mu­ral-mural penuh warna sebagai simbol kemeriahan dan
ke­beragaman sebagaimana sim­bol pesta olahraga Asia itu sen­diri, hingga penggunaan dan pemasangan atribut-atribut te­matik Asian Games.
Mestinya, bentuk kebang­ga­an sebagai tuan rumah Asian Para Games 2018 bisa sama be­sarnya dan diartikulasikan sa­ma “heboh”-nya dengan apa yang dilakukan untuk Asian Games 2018. Tentang biaya, me­ka­nis­me pencarian sumber dana yang sama tentu bisa dila­ku­kan da­lam konteks ini. Swa­da­ya atau­pun dari donasi ins­ti­t­usi.

Ketiga, viralisasi segala pro­mo­si yang terkait dengan Asian Para Games harus lebih digen­car­kan oleh INAPGOC melalui me­dia sosial dengan catatan : materi komunikasi harus sa­ngat ko­mu­ni­katif, eye-catching , layak share , dan unik. Warganet dan pemilik akun media sosial sangat suka tipikal seperti itu. Mereka tak akan keberatan ikut men­vi­ral­kan sesuatu yang se­sungguhnya sarat kepentingan nasional ini. Dan, inilah saluran sosialisasi yang paling efektif serta efisien.

Keempat, menuntut peran media massa, baik media massa konvensional maupun nonkonvensional. Media cetak diharapkan bersedia men­de­di­ka­sikan halamannya untuk men­jadi halaman khusus Asian Para Games 2018. Media online harus bersedia merelakan spa­ce iklan di primespot -nya untuk menyosialisasikan Asian Para Games 2018 dan sebagainya.

Itu beberapa hal yang harus segera dilakukan agar kita bisa lulus dari "ujian nasionalisme" kali ini. Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, kita tentu tidak ingin nasionalisme kita menjadi sekadar "na­sio­na­lis­me burung".

Kata Emha, “Nasionalisme bu­kanlah burung yang di­bi­kin­kan sangkar oleh tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang se­tiap pagi, lalu diturunkan dan dimasukkan ke kandang besar lagi pada sore harinya.”

Dus, nasionalisme tidak boleh naik-turun alias moody based . Nasionalisme juga tidak boleh hadir hanya pada waktu-waktu tertentu. Nasionalisme harus senantiasa terjaga tinggi sepanjang usia bangsa. Dan, sekali lagi, Asian Para Games menjadi salah satu ujiannya.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6623 seconds (0.1#10.140)