Meredam Brutalisme Suporter Bola

Rabu, 26 September 2018 - 09:01 WIB
Meredam Brutalisme Suporter...
Meredam Brutalisme Suporter Bola
A A A
RIBUT LUPIYANTO
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)/
Penikmat Sepakbola

DUNIA sepak bola Indonesia, khususnya penyelenggaraan liga, masih mengalami penyakit kronis. Salah satu yang menonjol dan kerap terjadi adalah kerusuhan atau tawuran antarsuporter. Kerugian material hingga jatuhnya korban luka, bahkan nyawa, sudah tidak terhitung lagi.

Terakhir adalah tewasnya Suporter Persija Jakarta, Haringga Sirila. Haringga meregang nyawa dikeroyok suporter Persib Bandung di area parkir Gelora Bandung Lautan Api menjelang laga Maung Bandung kontra Macan Kemayoran pada Minggu (23/9/2018).

Selama 23 tahun terakhir tercatat ada 56 penggemar sepak bola Indonesia tewas secara mengenaskan (SOS, 2018). Penyebab kematiannya berbeda-beda, dari jadi korban bentrok antarkelompok suporter hingga kecelakaan lalu lintas.

Brutalisme suporter mencederai kemanusiaan dan perdamaian. Dunia padahal baru saja memperingati Hari Perdamaian Internasional (HPI) di setiap 21 September. Bangsa Indonesia terkenal memiliki kearifan budaya Nusantara yang beraneka dan semuanya membawa substansi misi damai.

Indonesia dipandang positif oleh dunia dalam manajemen konflik karena kemampuannya mengantisipasi ribuan potensi konflik. Jusuf Kalla (2013) mengemukakan bahwa konflik dapat diantisipasi melalui harmoni berbasis kearifan lokal. Tentunya termasuk konflik antarkomunitas seperti suporter sepak bola.

Budaya Damai
Bangsa ini mesti percaya diri dan serius dalam melakukan globalisasi kearifan budaya damai Nusantara. Dunia pun sudah mulai melirik dan belajar dari khazanah Nusantara. Kebinekaan Indonesia menjadi media penting dalam menularkan strategi perdamaian. Pemerintah penting memfasilitasi upaya ini sebagai bentuk tanggung jawabnya melakukan kewajiban konstitusi turut berperan mewujudkan perdamaian dunia.

Hampir semua entitas budaya di Nusantara mengajarkan nilai perdamaian yang aplikatif. Budaya Jawa, misalnya, sangat menekankan terciptanya harmoni sosial. Harmoni tersebut terefleksi dalam citra hubungan sosial yang ideal, yaitu guyub rukun. Masyarakat yang guyub rukun ditandai dengan hubungan sosial yang erat dan akrab dengan suasana yang damai atau tanpa konflik (Fanani, 2011).

Nilai-nilai budaya damai Jawa juga dibuktikan dalam ungkapan-ungkapan. Ungkapan ini menjadi pijakan bertindak dalam hidup keseharian. Ungkapan pertama adalah jembar segarane atau orang yang pemaaf. Ungkapan ini mengandung pujian bagi orang-orang yang bersedia memaafkan kesalahan orang lain.

Belum lama ini tercipta rekonsiliasi atau saling memaafkan antara pelaku dan korban atau keluarga korban terorisme yang diinisiasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal ini disinyalir menjadi salah satu terobosan deradikalisasi. Inilah bukti implementasi jembar segarane .

Ungkapan kedua adalah menang tanpa ngasorake. Ungkapan ini dikenalkan oleh Panembahan Senopati atau Raja Mataram I. Artinya adalah memenangkan sesuatu tanpa mempermalukan pihak lawan. Ungkapan ini menunjukkan adanya prinsip hormat dan rukun bahkan dalam suasana perang sekalipun.

Selanjutnya adalah ungkapan rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Artinya rukun membuat sentosa, bertengkar membawa perpecahan). Ungkapan tersebut mengajarkan pentingnya rukun dalam masyarakat.

Yen ono rembug, yo dirembug juga menjadi ungkapan kedamaian. Artinya, kalau ada persoalan, sebaiknya dibicarakan. Ungkapan ini menegaskan urgensi dialog dan negosiasi dalam menyelesaikan masalah atau konflik.

Budaya Dayak juga kental memberikan nilai perdamaian. Misalnya mekanisme pamabakng, yaitu upaya penyelesaian masalah dengan menyerahkannya pada Tuhan melalui ritual adat. Ada juga nilai bahaump, yaitu musyawarah.

Selain itu juga memiliki kata yang mempersatukan setiap suku yang ada, Adil Ka’Talino, Bacuramin Ka’Saruga, Basengat Ka’Jubata,”. Artinya bahwa dalam hidup ini harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif, terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik seperti di surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Herdian, 2017).

Selanjutnya budaya Bugis dan Makassar memiliki kearifan damai dalam Siri Na Pacce. Internalisasi nilai-nilai budaya Siri Na Pacce akan menempatkan pribadi-pribadi menjadi manusia yang unggul, utuh, dan tidak terpecah-pecah. Sebab, budaya Siri Na Pacce mengandung nilai-nilai yang universal yang mengajarkan seseorang menghargai hakikat penciptaannya, mengajarkan seseorang peduli terhadap kesulitan hidup sesama manusia, tolong-menolong dan lain-lain (Aifin, 2011).

Pepatah-pepatah adat Minang pun sarat kearifan berkedamaian. Salah satunya dalam ungkapan “Bumi Sanang Padi Manjadi, Taranak Bakambang biak.” Ungkapan ini mendambakan masyarakat yang aman damai makmur ceria dan berkah. Dengan adanya kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan kekerabatan, barulah mungkin diupayakan kehidupan yang lebih makmur (Rizal, 2014).

Transformasi Nilai
Kearifan budaya damai Nusantara mesti ditransformasikan ke semua sektor kehidupan berbangsa. Kuncinya adalah dialog dan gerakan bersama antarbudaya.

Indonesia memiliki keteladanan dalam upaya merawat perdamaian. Penekanannya pada bagaimana menyemai keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian. Beberapa strategi penting diperhatikan dalam optimalisasi menyemai damai dan mendukung kedamaian di dunia olahraga. Elite sepak bola khususnya pengurus komunitas suporter mesti terdepan memberikan keteladanan dan arahan langsung ke anggotanya.

Pertama, menciptakan kondusivitas keberagaman dan keberagaman. Jalur formal dan konstitusional mesti dikedepankan. Kedua, memandang masalah konflik, kekerasan, hingga brutalisme suporter secara komprehensif. Semua ini menjadi kunci mencerabut semua akar permasalahan. Permasalahan hulunya sering adalah persaingan. Untuk itu, penyikapan mesti terpadu dan sinergi lintas lini.

Ketiga, semua pihak khususnya komunitas suporter penting menahan diri dan menghindari provokasi. Reaksi kekerasan terkadang merupakan respons atas aksi tertentu. Etika verbal dan tulisan penting dijunjung tinggi dengan prinsip toleransi. Atas nama pembelaan korsa, jangan pula dilakukan dengan tindakan atau ucapan provokatif.

Semua meski berada pada kesamaan tensi, sportivitas dan kejernihan berpikir. Semua komponen sepak bola diuji komitmennya dalam menjamin kedamaian dan sportivitas. Basis budaya lokal mesti dioptimalkan dalam meredam potensi brutalisme suporter yang sering terulang.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0682 seconds (0.1#10.140)