Membaca Ulang Masalah Penelantaran Anak
A
A
A
Reza Indragiri Amriel
Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
DI MAKASSAR, Sulawesi Selatan, kepolisian meringkus seorang perempuan yang dilaporkan warga telah melakukan kekerasan dan penelantaran terhadap tiga anak yang berada dalam penguasaannya. Membawa kasus itu ke ranah pidana, hitam putihnya persoalan, siapa pelaku dan siapa korban sudah terang benderang.
Tapi, ini bukan persoalan pidana semata. Pasal 34 UUD 1945 ayat 1 dinyatakan “fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”. Merujuk pasal ini, masalah anak telantar justru didudukkan pada ranah jauh lebih luas sebagaimana terkandung pada kata “dipelihara”. Itulah adikarya para penyusun dasar-dasar negara Indonesia. Bahkan bisa dikatakan ini fantastis karena di kepala mereka mengendap kepedulian begitu tinggi terhadap anak-anak Indonesia.
Tidak sedikit negara lain juga menyinggung hal ihwal anak di dalam konstitusi mereka. Tapi, hanya beberapa negara secara eksplisit memuat kata “anak” di dalam UUD mereka. Di sana, pemunculan tema atau kata “anak” pun baru muncul pada naskah hasil amendemen ke sekian. Itu berarti, kesadaran negara-negara tersebut akan krusialnya pencantuman tema, apalagi kata “anak” baru terbit beberapa waktu setelah naskah awal konstitusi mereka disahkan.
Pasal 34 UUD 1945 menandaskan bahwa bahkan sejak masih berumur satu hari pun jabang bayi bernama Indonesia telah mencanangkan tekadnya menjamin penghidupan anak-anak telantar. Bahwa “anak telantar” dijejerkan dengan “fakir miskin”, boleh jadi itu merupakan persepsi para penyusun Pasal 34 bahwa kemiskinan merupakan penyebab terjadinya masalah penelantaran anak. Karena terdapat orang tua atau keluarga miskin, di situ pula kemungkinan besar akan muncul anak-anak yang telantar.
Bingkai masalah sedemikian rupa tidak keliru. Hingga kini kemiskinan diyakini menjadi akar masalah anak-anak yang ditelantarkan. Betapa pun sejak H+1 negara telah menyatakan kepedulian konstitusionalnya terhadap anak-anak telantar, tetapi pada kenyataannya, ketentuan tentang penyikapan terhadap masalah tersebut tidak langsung tersedia pascadiresmikannya UUD 1945. Baru di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tepatnya Pasal 319a, tersedia ketentuan bahwa orang tua yang abai atau menerapkan perlakuan buruk lainnya dapat “dipecat” dari kuasa atas anaknya.
Selanjutnya butuh berpuluh-puluh tahun sampai kemudian Indonesia mempunyai undang-undang (UU) yang memagari anak-anak dari risiko penelantaran, yaitu UU Nomor 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam UU tersebut, anak telantar didefinisikan sebagai anak yang kebutuhan rohani, jasmani, dan sosial-ekonominya tidak terpenuhi secara wajar akibat kelalaian orang tua atas tanggung jawab yang diembannya. Orang tua yang melakukan penelantaran sedemikian rupa bisa dikenai sanksi berupa pencabutan kuasa asuh.
Dua hal yang bisa dimaknakan dari UU Kesejahteraan Anak tersebut. Pertama, terlihat bahwa betapa pun negara telah selangkah lebih maju menaruh perhatian terhadap masalah penelantaran anak, tapi masalah itu masih didudukkan sebatas sebagai perkara keperdataan. Sanksinya juga berbentuk perlakuan keperdataan.
Kedua, pencabutan kuasa asuh sebagai bentuk tindakan terhadap pelaku menyiratkan pemahaman para penyusun UU Kesejahteraan Anak bahwa penelantaran bukan disebabkan langsung oleh kemiskinan atau kemiskinan bukan satu-satunya faktor terjadinya penelantaran anak, bahkan kemiskinan tidak selalu mendahului penelantaran anak. Faktor lainnya yang tidak bisa diabaikan sama sekali adalah komitmen pengasuhan orang tua atas anak-anaknya.
Walaupun orang tua tergolong papa, namun apabila mereka berkomitmen penuh menjadi pengasuh yang baik, risiko penelantaran bisa ditekan. Sebaliknya, realitas menunjukkan kasus-kasus penelantaran anak bisa terjadi di keluarga yang secara ekonomi berkecukupan, sebagai pertanda rapuhnya komitmen pengasuhan orang tua.
Melintasi masa, dimensi penelantaran mengalami perluasan. Selain dimensi jasmani (fisik), rohani (mental), dan sosial yang tercantum pada UU Kesejahteraan Anak, UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, menambahkan spiritual sebagai dimensi tambahan yang terdampak oleh penelantaran. Inilah pertanda keinsafan yang menguat akan bahaya penelantaran anak.
Implikasinya, UU Perlindungan Anak juga memberikan perlindungan khusus bagi anak telantar dalam bentuk pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi. UU yang sama bahkan mengunci secara eksplisit pemerintah sebagai salah satu pihak, selain masyarakat yang bertanggung jawab melaksanakan perlindungan khusus tersebut.
Melengkapi sanksi keperdataan, terhitung sejak diberlakukannya UU Perlindungan Anak, masalah penelantaran anak “naik kelas” dengan menjadi perkara pidana. Pelaku penelantaran dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta. Nyatalah, sejak 2002, negara menyikapi masalah ini secara lebih tegas bahkan keras.
Namun disayangkan, dua tahun berselang, Indonesia justru melunak terhadap masalah penelantaran anak. Sikap yang mengesankan kegamangan itu terlihat seiring keluarnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini memang sebagaimana UU Perlindungan Anak, juga memosisikan penelantaran anak sebagai bentuk kejahatan. Tetapi, hukuman bagi pelaku hanya penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp15 juta.
Pada sisi lain, masalah penelantaran dalam UU Perlindungan Anak terus mendapat atensi kian besar dari negara. Sebagai hasil revisi terhadap UU 23/2002, UU 35/2014 menyediakan pasal hukum tidak sebatas untuk menjerat secara pidana si pelaku penelantaran, tetapi juga terhadap orang yang menyuruh melibatkan maupun membiarkan terjadinya penelantaran tersebut. Perluasan itu secara tidak langsung membangun perlibatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut aktif menghentikan situasi penelantaran anak.
Kian hari negara kian gencar memberikan proteksi bagi anak-anak telantar. Dari sisi hukum pidana bisa dikatakan anak semakin terlindungi. Namun, kembali ke kerangka pemahaman anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ketika menyusun UUD 1945, menarik anak dari situasi penelantaran tidak cukup dengan memberlakukan tindakan-tindakan penghukuman. Orang tua, keluarga, dan anak perlu dibenahi fondasi kesejahteraannya serta ditata ulang pemikiran dan sikap pengasuhannya. Wallahualam.
Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
DI MAKASSAR, Sulawesi Selatan, kepolisian meringkus seorang perempuan yang dilaporkan warga telah melakukan kekerasan dan penelantaran terhadap tiga anak yang berada dalam penguasaannya. Membawa kasus itu ke ranah pidana, hitam putihnya persoalan, siapa pelaku dan siapa korban sudah terang benderang.
Tapi, ini bukan persoalan pidana semata. Pasal 34 UUD 1945 ayat 1 dinyatakan “fakir miskin dan anak-anak yang telantar dipelihara oleh negara”. Merujuk pasal ini, masalah anak telantar justru didudukkan pada ranah jauh lebih luas sebagaimana terkandung pada kata “dipelihara”. Itulah adikarya para penyusun dasar-dasar negara Indonesia. Bahkan bisa dikatakan ini fantastis karena di kepala mereka mengendap kepedulian begitu tinggi terhadap anak-anak Indonesia.
Tidak sedikit negara lain juga menyinggung hal ihwal anak di dalam konstitusi mereka. Tapi, hanya beberapa negara secara eksplisit memuat kata “anak” di dalam UUD mereka. Di sana, pemunculan tema atau kata “anak” pun baru muncul pada naskah hasil amendemen ke sekian. Itu berarti, kesadaran negara-negara tersebut akan krusialnya pencantuman tema, apalagi kata “anak” baru terbit beberapa waktu setelah naskah awal konstitusi mereka disahkan.
Pasal 34 UUD 1945 menandaskan bahwa bahkan sejak masih berumur satu hari pun jabang bayi bernama Indonesia telah mencanangkan tekadnya menjamin penghidupan anak-anak telantar. Bahwa “anak telantar” dijejerkan dengan “fakir miskin”, boleh jadi itu merupakan persepsi para penyusun Pasal 34 bahwa kemiskinan merupakan penyebab terjadinya masalah penelantaran anak. Karena terdapat orang tua atau keluarga miskin, di situ pula kemungkinan besar akan muncul anak-anak yang telantar.
Bingkai masalah sedemikian rupa tidak keliru. Hingga kini kemiskinan diyakini menjadi akar masalah anak-anak yang ditelantarkan. Betapa pun sejak H+1 negara telah menyatakan kepedulian konstitusionalnya terhadap anak-anak telantar, tetapi pada kenyataannya, ketentuan tentang penyikapan terhadap masalah tersebut tidak langsung tersedia pascadiresmikannya UUD 1945. Baru di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tepatnya Pasal 319a, tersedia ketentuan bahwa orang tua yang abai atau menerapkan perlakuan buruk lainnya dapat “dipecat” dari kuasa atas anaknya.
Selanjutnya butuh berpuluh-puluh tahun sampai kemudian Indonesia mempunyai undang-undang (UU) yang memagari anak-anak dari risiko penelantaran, yaitu UU Nomor 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam UU tersebut, anak telantar didefinisikan sebagai anak yang kebutuhan rohani, jasmani, dan sosial-ekonominya tidak terpenuhi secara wajar akibat kelalaian orang tua atas tanggung jawab yang diembannya. Orang tua yang melakukan penelantaran sedemikian rupa bisa dikenai sanksi berupa pencabutan kuasa asuh.
Dua hal yang bisa dimaknakan dari UU Kesejahteraan Anak tersebut. Pertama, terlihat bahwa betapa pun negara telah selangkah lebih maju menaruh perhatian terhadap masalah penelantaran anak, tapi masalah itu masih didudukkan sebatas sebagai perkara keperdataan. Sanksinya juga berbentuk perlakuan keperdataan.
Kedua, pencabutan kuasa asuh sebagai bentuk tindakan terhadap pelaku menyiratkan pemahaman para penyusun UU Kesejahteraan Anak bahwa penelantaran bukan disebabkan langsung oleh kemiskinan atau kemiskinan bukan satu-satunya faktor terjadinya penelantaran anak, bahkan kemiskinan tidak selalu mendahului penelantaran anak. Faktor lainnya yang tidak bisa diabaikan sama sekali adalah komitmen pengasuhan orang tua atas anak-anaknya.
Walaupun orang tua tergolong papa, namun apabila mereka berkomitmen penuh menjadi pengasuh yang baik, risiko penelantaran bisa ditekan. Sebaliknya, realitas menunjukkan kasus-kasus penelantaran anak bisa terjadi di keluarga yang secara ekonomi berkecukupan, sebagai pertanda rapuhnya komitmen pengasuhan orang tua.
Melintasi masa, dimensi penelantaran mengalami perluasan. Selain dimensi jasmani (fisik), rohani (mental), dan sosial yang tercantum pada UU Kesejahteraan Anak, UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak, menambahkan spiritual sebagai dimensi tambahan yang terdampak oleh penelantaran. Inilah pertanda keinsafan yang menguat akan bahaya penelantaran anak.
Implikasinya, UU Perlindungan Anak juga memberikan perlindungan khusus bagi anak telantar dalam bentuk pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi. UU yang sama bahkan mengunci secara eksplisit pemerintah sebagai salah satu pihak, selain masyarakat yang bertanggung jawab melaksanakan perlindungan khusus tersebut.
Melengkapi sanksi keperdataan, terhitung sejak diberlakukannya UU Perlindungan Anak, masalah penelantaran anak “naik kelas” dengan menjadi perkara pidana. Pelaku penelantaran dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta. Nyatalah, sejak 2002, negara menyikapi masalah ini secara lebih tegas bahkan keras.
Namun disayangkan, dua tahun berselang, Indonesia justru melunak terhadap masalah penelantaran anak. Sikap yang mengesankan kegamangan itu terlihat seiring keluarnya UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU ini memang sebagaimana UU Perlindungan Anak, juga memosisikan penelantaran anak sebagai bentuk kejahatan. Tetapi, hukuman bagi pelaku hanya penjara maksimal 3 tahun dan denda paling banyak Rp15 juta.
Pada sisi lain, masalah penelantaran dalam UU Perlindungan Anak terus mendapat atensi kian besar dari negara. Sebagai hasil revisi terhadap UU 23/2002, UU 35/2014 menyediakan pasal hukum tidak sebatas untuk menjerat secara pidana si pelaku penelantaran, tetapi juga terhadap orang yang menyuruh melibatkan maupun membiarkan terjadinya penelantaran tersebut. Perluasan itu secara tidak langsung membangun perlibatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk turut aktif menghentikan situasi penelantaran anak.
Kian hari negara kian gencar memberikan proteksi bagi anak-anak telantar. Dari sisi hukum pidana bisa dikatakan anak semakin terlindungi. Namun, kembali ke kerangka pemahaman anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ketika menyusun UUD 1945, menarik anak dari situasi penelantaran tidak cukup dengan memberlakukan tindakan-tindakan penghukuman. Orang tua, keluarga, dan anak perlu dibenahi fondasi kesejahteraannya serta ditata ulang pemikiran dan sikap pengasuhannya. Wallahualam.
(thm)