Biaya Politik dan Korupsi
A
A
A
Arifki Chaniago
Peneliti Politik Suropati Syndicate, Jakarta
KASUS suap yang menyeret 41 orang dari 45 anggota DPRD Kota Malang adalah pukulan menyakitkan bagi rakyat sebagai pemberi mandat perwakilan. Mereka menerima uang Rp12 juta hingga Rp50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif, Mochamad Anton. Uang suap tersebut terkait pengesahan RAPBD Kota Malang 2015. Korupsi oleh eksekutif dan legislatif ini melumpuhkan fungsi legislasi DPRD Kota Malang yang akan menyelesaikan APBD-P Tahun Anggaran 2018 Kota Malang dan APBD Tahun Anggaran 2019 Kota Malang.
Nasib malang anggota DPRD ini bukanlah kasus pertama dalam persekongkolan korupsi, suap, dan gratifikasi di ranah eksekutif dan legislatif. Sebelumnya ada kasus uang ketok palu RAPBD pada 2017 dan 2018 Provinsi Jambi yang menyeret Zumi Zola (Gubernur Jambi) dengan DPRD beberapa waktu lalu.
Mengapa hal ini tidak pernah habis dalam politik Indonesia? Apa masalahnya sehingga sengkarut mental ini tidak bisa hilang di dunia politik. Menurut saya, lingkaran korupsi ini tidak pernah habis selama demokrasi masih liberal dalam pemilihan eksekutif dan legislatif.
Demokrasi liberal di sini adalah proses pemilihan tanpa gagasan dan etika. Hajatan demokrasi yang dilaksanakan sebatas prosedur. Substansi pemilihan pemimpin terbaik diabaikan: sebagai filosofi demokrasi yang seharusnya. Kapitalisasi hak suara dilakukan demi kemenangan instan.
Privatisasi Hak Politik
Perdagangan suara yang dilakukan politisi terhadap konstituen berakibat pada “mahalnya” demokrasi. Penguasaan hak politik masyarakat sebelum pemilihan (privatisasi), menyebabkan pemimpin dan legislator terpilih tidak memperjuangkan nasib konstituennya.
Privatisasi “hak politik” menjadikan kendali kekuasaan tidak lagi oleh rakyat, tetapi oleh politisi. Rumitnya, politisi meminjam uang kepada pemodal untuk membiayai kampanye dan membeli suara rakyat. Transaksi jangka panjang terjadi antara pemodal dan politisi, bukan politisi dengan rakyat.
Akhirnya, ketika terpilih, pada hari pertama kerja yang dilakukan pemimpin dan legislator adalah, pertama, memikirkan cara untuk membayar utang kampanye yang telah menumpuk. Kedua, memikirkan ide untuk meloloskan kebijakan dan peraturan yang menguntungkan pemodal politiknya. Ketiga, mencari uang untuk membiayai politik periode selanjutnya.
Karena itu, tidak ada waktu pemimpin dan legislator terpilih memikirkan rakyat, karena faktor terpilihnya didorong oleh pemodal. Rakyat tidak bisa menggugat. Hubungan politisi dengan rakyat sudah selesai sebelum pemilihan, dengan terbelinya suara rakyat.
Besarnya biaya yang dikeluarkan politisi untuk kebutuhan konstituen makin bertambah oleh biaya-biaya partai yang jumlah dan besarnya sulit diduga. Makanya, dalam beberapa kasus kepala daerah dan legislator setiap bulannya harus menyetorkan dana untuk rumah tangga partai. Kekuasaan partai politik yang membelenggu politisi menyebabkan mereka melakukan korupsi, suap, dan gratifikasi.
Ini semua berhubungan dengan kebutuhan dana partai yang besar. Terkait persoalan dana partai, perdebatan ini bukan masalah baru antara masyarakat sipil dan partai politik. Alasan dana yang minim penyebab “korupsi” sulit dihindari kader partai. Karena itu, partai berupaya mendapatkan penambahan anggaran dari negara untuk mencegah korupsi.
Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, setiap suara sah yang diperoleh parpol mendapat Rp108. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah akhirnya menyetujui kenaikan dana bantuan partai politik menjadi Rp1.000 per suara sah. Penetapan kenaikan bantuan keuangan ini diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 pada 29 Maret 2017.
Dengan naiknya anggaran yang digelontorkan negara kepada partai politik 10 kali lipat tidak menjadi jaminan kadernya tidak melakukan korupsi. Sebab, korupsi bukan soal besar atau kecilnya anggaran yang diberikan negara kepada partai politik. Saya ingat dengan testimoni Saut Situmorang, komisioner KPK yang mengatakan “korupsi terjadi ketika politisi tidak berintegritas. Buruk atau pun baik sistem yang mengawasi ketika mental yang bermasalah, maka akan tetap melakukan korupsi.”
Solusi
Pada saat mental bermasalah, pencurian terhadap uang negara niscaya dianggap sebagai keberkahan. Sulit untuk mengubah politisi yang menjadikan politik sebagai tempat “perputaran uang”. Berjudi pada saat pemilu, ketika menang kekuasaan digunakan sebagai momentum mengembalikan modal dan memperoleh untung.
Terkait ini, denda dan penjara tidak memberikan efek jera kepada politisi untuk tidak melakukan dan mewarisi tradisi buruk ini dalam sistem politik Indonesia. Sistem sosial yang bergerak dan mengakar di masyarakat salah satu solusi untuk meminimalkan penggelapan uang negara.
Langkah efektif yang dilakukan oleh masyarakat adalah terlibat dalam partisipasi politik dengan benar. Caranya, pertama, masyarakat sebagai konstituen menjadikan demokrasi sebagai wujud aspirasi, harapan, dan cita-cita. Maka, masyarakat menghindari politik agar terjadi pengendalian suara (monopoli) oleh politisi terhadap konstituen.
Kedua, masyarakat bergerak sebagai “relawan” mendorong pemimpin dan calon legislator potensial dan berintegritas. Dorongan masyarakat kepada politisi sebelum terpilih telah mengurangi biaya kampanye dan privatisasi terhadap konstituen. Peluang masyarakat untuk menagih kembali janji politik politisi ketika telah terpilih besar dari pada “menjual suara” pada saat pemilu.
Kesadaran manusiawi seorang politisi pasti ada ketika masyarakat mendukungnya secara ikhlas tanpa meminta uang dan biaya lain. Ketika seorang politisi mendapatkan “cinta” dari masyarakat dengan sukarela, maka tidak ada lagi ketakutan tidak terpilih lagi dan korupsi. Mari kita bantu politisi untuk tidak korupsi dengan menolak politik uang dan berjuang bersama politisi baik dan jujur.
Peneliti Politik Suropati Syndicate, Jakarta
KASUS suap yang menyeret 41 orang dari 45 anggota DPRD Kota Malang adalah pukulan menyakitkan bagi rakyat sebagai pemberi mandat perwakilan. Mereka menerima uang Rp12 juta hingga Rp50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif, Mochamad Anton. Uang suap tersebut terkait pengesahan RAPBD Kota Malang 2015. Korupsi oleh eksekutif dan legislatif ini melumpuhkan fungsi legislasi DPRD Kota Malang yang akan menyelesaikan APBD-P Tahun Anggaran 2018 Kota Malang dan APBD Tahun Anggaran 2019 Kota Malang.
Nasib malang anggota DPRD ini bukanlah kasus pertama dalam persekongkolan korupsi, suap, dan gratifikasi di ranah eksekutif dan legislatif. Sebelumnya ada kasus uang ketok palu RAPBD pada 2017 dan 2018 Provinsi Jambi yang menyeret Zumi Zola (Gubernur Jambi) dengan DPRD beberapa waktu lalu.
Mengapa hal ini tidak pernah habis dalam politik Indonesia? Apa masalahnya sehingga sengkarut mental ini tidak bisa hilang di dunia politik. Menurut saya, lingkaran korupsi ini tidak pernah habis selama demokrasi masih liberal dalam pemilihan eksekutif dan legislatif.
Demokrasi liberal di sini adalah proses pemilihan tanpa gagasan dan etika. Hajatan demokrasi yang dilaksanakan sebatas prosedur. Substansi pemilihan pemimpin terbaik diabaikan: sebagai filosofi demokrasi yang seharusnya. Kapitalisasi hak suara dilakukan demi kemenangan instan.
Privatisasi Hak Politik
Perdagangan suara yang dilakukan politisi terhadap konstituen berakibat pada “mahalnya” demokrasi. Penguasaan hak politik masyarakat sebelum pemilihan (privatisasi), menyebabkan pemimpin dan legislator terpilih tidak memperjuangkan nasib konstituennya.
Privatisasi “hak politik” menjadikan kendali kekuasaan tidak lagi oleh rakyat, tetapi oleh politisi. Rumitnya, politisi meminjam uang kepada pemodal untuk membiayai kampanye dan membeli suara rakyat. Transaksi jangka panjang terjadi antara pemodal dan politisi, bukan politisi dengan rakyat.
Akhirnya, ketika terpilih, pada hari pertama kerja yang dilakukan pemimpin dan legislator adalah, pertama, memikirkan cara untuk membayar utang kampanye yang telah menumpuk. Kedua, memikirkan ide untuk meloloskan kebijakan dan peraturan yang menguntungkan pemodal politiknya. Ketiga, mencari uang untuk membiayai politik periode selanjutnya.
Karena itu, tidak ada waktu pemimpin dan legislator terpilih memikirkan rakyat, karena faktor terpilihnya didorong oleh pemodal. Rakyat tidak bisa menggugat. Hubungan politisi dengan rakyat sudah selesai sebelum pemilihan, dengan terbelinya suara rakyat.
Besarnya biaya yang dikeluarkan politisi untuk kebutuhan konstituen makin bertambah oleh biaya-biaya partai yang jumlah dan besarnya sulit diduga. Makanya, dalam beberapa kasus kepala daerah dan legislator setiap bulannya harus menyetorkan dana untuk rumah tangga partai. Kekuasaan partai politik yang membelenggu politisi menyebabkan mereka melakukan korupsi, suap, dan gratifikasi.
Ini semua berhubungan dengan kebutuhan dana partai yang besar. Terkait persoalan dana partai, perdebatan ini bukan masalah baru antara masyarakat sipil dan partai politik. Alasan dana yang minim penyebab “korupsi” sulit dihindari kader partai. Karena itu, partai berupaya mendapatkan penambahan anggaran dari negara untuk mencegah korupsi.
Jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5/2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, setiap suara sah yang diperoleh parpol mendapat Rp108. Namun, setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah akhirnya menyetujui kenaikan dana bantuan partai politik menjadi Rp1.000 per suara sah. Penetapan kenaikan bantuan keuangan ini diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 pada 29 Maret 2017.
Dengan naiknya anggaran yang digelontorkan negara kepada partai politik 10 kali lipat tidak menjadi jaminan kadernya tidak melakukan korupsi. Sebab, korupsi bukan soal besar atau kecilnya anggaran yang diberikan negara kepada partai politik. Saya ingat dengan testimoni Saut Situmorang, komisioner KPK yang mengatakan “korupsi terjadi ketika politisi tidak berintegritas. Buruk atau pun baik sistem yang mengawasi ketika mental yang bermasalah, maka akan tetap melakukan korupsi.”
Solusi
Pada saat mental bermasalah, pencurian terhadap uang negara niscaya dianggap sebagai keberkahan. Sulit untuk mengubah politisi yang menjadikan politik sebagai tempat “perputaran uang”. Berjudi pada saat pemilu, ketika menang kekuasaan digunakan sebagai momentum mengembalikan modal dan memperoleh untung.
Terkait ini, denda dan penjara tidak memberikan efek jera kepada politisi untuk tidak melakukan dan mewarisi tradisi buruk ini dalam sistem politik Indonesia. Sistem sosial yang bergerak dan mengakar di masyarakat salah satu solusi untuk meminimalkan penggelapan uang negara.
Langkah efektif yang dilakukan oleh masyarakat adalah terlibat dalam partisipasi politik dengan benar. Caranya, pertama, masyarakat sebagai konstituen menjadikan demokrasi sebagai wujud aspirasi, harapan, dan cita-cita. Maka, masyarakat menghindari politik agar terjadi pengendalian suara (monopoli) oleh politisi terhadap konstituen.
Kedua, masyarakat bergerak sebagai “relawan” mendorong pemimpin dan calon legislator potensial dan berintegritas. Dorongan masyarakat kepada politisi sebelum terpilih telah mengurangi biaya kampanye dan privatisasi terhadap konstituen. Peluang masyarakat untuk menagih kembali janji politik politisi ketika telah terpilih besar dari pada “menjual suara” pada saat pemilu.
Kesadaran manusiawi seorang politisi pasti ada ketika masyarakat mendukungnya secara ikhlas tanpa meminta uang dan biaya lain. Ketika seorang politisi mendapatkan “cinta” dari masyarakat dengan sukarela, maka tidak ada lagi ketakutan tidak terpilih lagi dan korupsi. Mari kita bantu politisi untuk tidak korupsi dengan menolak politik uang dan berjuang bersama politisi baik dan jujur.
(pur)