Di Manakah Mahasiswa Berada?
A
A
A
Mohammad Nasih
Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ,
Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
ASUMSI yang terbangun selama ini dan bahkan masih dibanggakan pada pekan orientasi mahasiswa baru di kampus-kampus belum lama ini, mahasiswa merupakan salah satu entitas sosial yang paling bisa diharapkan untuk melakukan kontrol sosial dan politik, utamanya terhadap rezim penguasa politik. Dengan kualifikasi akademik tinggi, berkemampuan logika yang sudah mulai hidup dan berkembang, mahasiswa bisa melakukan analisis secara cukup memadai terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa.
Di Indonesia, walaupun jumlah mahasiswa sesungguhnya tergolong kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan yang besar, kisaran 250 juta, konsentrasi mereka di kota-kota yang menjadi pusat kekuasaan bisa membuat kekuatan mereka—apabila bergerak dalam satu komando—tidak bisa diabaikan.
Sudah terbukti dalam era-era terdahulu, mahasiswa selalu merada di posisi paling depan dalam setiap gerakan untuk suksesi kepemimpinan nasional yang tidak normal, karena dinamika sosial, ekonomi, maupun politik yang juga bergejolak. Suara mahasiswa sesungguhnya bisa tetap sangat nyaring, bukan hanya dengan megaphone di tentengan, tetapi juga dengan pernyataan-pernyataan mereka di media sosial, jika pun media massa dihegemoni oleh rezim penguasa. Civitas academica tentu saja tidak akan kekurangan akal untuk melakukannya jika mereka memiliki satu hal: kemauan politik.
Minim Gerakan
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, mahasiswa benar-benar tidak mampu membangun gelombang gerakan. Aksi mereka terjadi secara sporadis dalam skala-skala sangat kecil. Pernah tampak hampir muncul gerakan yang sempat membuncahkan harapan, tetapi kemudian hilang karena “racun makan malam”. Mahasiswa tidak memiliki kebanggaan mengenakan jaket almamater untuk berteriak serentak menyatakan penentangan terhadap kebijakan politik rezim yang melakukan kelaliman.
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini misalnya, tidak terdengar suara mahasiswa pada saat rezim menaikkan harga BBM di tengah malam, padahal para aktivis biasanya baru memejamkan mata setelah dini hari. Mereka tak peduli saat pemerintah melakukan impor bahan pangan dengan jumlah yang bahkan dilambungkan pada saat petani panen dan memerlukan uluran agar ada kepastian pembelian. Hanya sejumlah kecil saja yang bertahan dalam riak-riak tak signifikan menagih janji kampanye yang tak ditepati dan menentang kebijakan baru yang berimplikasi sangat membebani rakyat dan juga negara.
Gerombolan mahasiswa lebih sering terlihat dalam acara-acara talk show di televisi yang sesungguhnya tidak berhubungan sama sekali dengan pembangunan intelektualisme dan kritisisme yang menjadi penanda keberpihakan kepada rakyat. Sejatinya, keberadaan mereka dalam banyak acara itu menunjukkan bahwa mereka telah terjerumus pada kedangkalan berpikir, atau bahkan mereka sudah sama sekali tidak mau atau tidak mampu berpikir.
Mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyelami dan mencari solusi persoalan yang sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan pisau analisis disiplin ilmu atau program studi masing-masing. Setidaknya untuk berpikir dan berargumentasi secara simpel tapi logis dan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat pembayar pajak yang membuat mereka bisa menikmati pendidikan level paling tinggi di mana pada saat sebagian besar yang lain tidak beruntung karena tidak tertampung.
Memihak Kebenaran
Sesungguhnya tidak adil juga hanya mempertanyakan keberadaan mahasiswa. Sebab, sikap apatis mahasiswa juga dipengaruhi oleh sebagian besar dosen yang menganggap bahwa politik adalah persoalan yang harus dihindari oleh para mahasiswa.
Sebagian besar dosen tidak memenuhi kualifikasi sebagai intelektual, dan jika pun bisa disebut intelektual, mereka berada di menara gading, bukan intelektual organik. Mereka tidak mampu menangkap korelasi antara kebijakan politik rezim dengan situasi dan kondisi kehidupan masyarakat.
Ketidakmampuan mereka dicarikan apologi dengan ungkapan: “masyarakat kampus harus netral”. Padahal mestinya para dosenlah yang menjadi mentor utama para mahasiswa untuk memiliki sikap politik untuk “berpihak hanya kepada kebenaran”. Tentu saja kebenaran itu subjektif, tetapi proses ijtihadlah yang menjadikan subjektivitas bisa dianggap sebagai objektivitas.
Dengan itu para mahasiswa kemudian tampil menjadi cermin utama gagasan-gagasan yang muncul di dalam “negara kaum cendekia” itu. Sebab kampus sesungguhnya adalah laboratorium kehidupan masyarakat, karena di dalamnya terdapat bidang-bidang ilmu yang memang dibangun untuk memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang muncul.
Implikasi kebijakan politik rezim penguasa mestinya bisa ditangkap sejak dini oleh masyarakat kampus, bahkan saat kebijakan politik didesain. Mereka harus aktif memengaruhi kebijakan politik saat masih dalam proses pembuatan, karena setiap kebijakan politik memerlukan naskah akademik.
Mereka juga harus bersikap secara cepat saat baru saja dibuat, ketika diketahui kebijakan yang baru saja dilahirkan itu berimplikasi merugikan, dan terus melakukan gerakan apabila kritik mereka tidak diindahkan. Kekuatan mereka bisa ditambah dengan melakukan penyadaran kepada mahasiswa sebagai bagian terpenting masyarakat akademik yang memiliki daya-daya lebih.
Sudah saatnya mahasiswa siuman dan segera bangkit untuk mengambil peran di depan. Mahasiswa sangat diperlukan untuk memberikan opini objektif, bukan hanya diam karena malas berusaha untuk memahami persoalan. Mahasiswa harus menjadi makhluk independen dan bertahan setia menjadi “oposisi loyal” selamanya.
Loyalitas mereka hanya kepada negara, menjadi penjaganya dari segala anasir yang bisa merusak. Siapa pun, penguasa yang terkuat sekalipun, harus mereka hadapi, apabila telah menunjukkan indikasi penyimpangan. Mereka harus menggunakan kerangka berpikir sebagaimana diformulasikan oleh Lord Acton bahkan power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely, kekuasaan cenderung menyeleweng dan kekuasaan yang mutlak pasti menyeleweng.
Karena itu, tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk terus berada di balik tembok kampus. Ada saatnya, mereka harus keluar dan mengeluarkan perkataan yang benar di depan penguasa yang menyimpang (qawl al-haqq, iinda sulthanin ja’ir). Di antara civitas ac ademica, mahasiswalah yang paling pantas mengepalkan tangan dengan teriakan “Hidup Mahasiswa” untuk membela rakyat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ,
Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute
ASUMSI yang terbangun selama ini dan bahkan masih dibanggakan pada pekan orientasi mahasiswa baru di kampus-kampus belum lama ini, mahasiswa merupakan salah satu entitas sosial yang paling bisa diharapkan untuk melakukan kontrol sosial dan politik, utamanya terhadap rezim penguasa politik. Dengan kualifikasi akademik tinggi, berkemampuan logika yang sudah mulai hidup dan berkembang, mahasiswa bisa melakukan analisis secara cukup memadai terhadap kebijakan-kebijakan politik yang dibuat oleh penguasa.
Di Indonesia, walaupun jumlah mahasiswa sesungguhnya tergolong kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan yang besar, kisaran 250 juta, konsentrasi mereka di kota-kota yang menjadi pusat kekuasaan bisa membuat kekuatan mereka—apabila bergerak dalam satu komando—tidak bisa diabaikan.
Sudah terbukti dalam era-era terdahulu, mahasiswa selalu merada di posisi paling depan dalam setiap gerakan untuk suksesi kepemimpinan nasional yang tidak normal, karena dinamika sosial, ekonomi, maupun politik yang juga bergejolak. Suara mahasiswa sesungguhnya bisa tetap sangat nyaring, bukan hanya dengan megaphone di tentengan, tetapi juga dengan pernyataan-pernyataan mereka di media sosial, jika pun media massa dihegemoni oleh rezim penguasa. Civitas academica tentu saja tidak akan kekurangan akal untuk melakukannya jika mereka memiliki satu hal: kemauan politik.
Minim Gerakan
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, mahasiswa benar-benar tidak mampu membangun gelombang gerakan. Aksi mereka terjadi secara sporadis dalam skala-skala sangat kecil. Pernah tampak hampir muncul gerakan yang sempat membuncahkan harapan, tetapi kemudian hilang karena “racun makan malam”. Mahasiswa tidak memiliki kebanggaan mengenakan jaket almamater untuk berteriak serentak menyatakan penentangan terhadap kebijakan politik rezim yang melakukan kelaliman.
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini misalnya, tidak terdengar suara mahasiswa pada saat rezim menaikkan harga BBM di tengah malam, padahal para aktivis biasanya baru memejamkan mata setelah dini hari. Mereka tak peduli saat pemerintah melakukan impor bahan pangan dengan jumlah yang bahkan dilambungkan pada saat petani panen dan memerlukan uluran agar ada kepastian pembelian. Hanya sejumlah kecil saja yang bertahan dalam riak-riak tak signifikan menagih janji kampanye yang tak ditepati dan menentang kebijakan baru yang berimplikasi sangat membebani rakyat dan juga negara.
Gerombolan mahasiswa lebih sering terlihat dalam acara-acara talk show di televisi yang sesungguhnya tidak berhubungan sama sekali dengan pembangunan intelektualisme dan kritisisme yang menjadi penanda keberpihakan kepada rakyat. Sejatinya, keberadaan mereka dalam banyak acara itu menunjukkan bahwa mereka telah terjerumus pada kedangkalan berpikir, atau bahkan mereka sudah sama sekali tidak mau atau tidak mampu berpikir.
Mereka tidak lagi memiliki kemampuan untuk menyelami dan mencari solusi persoalan yang sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan pisau analisis disiplin ilmu atau program studi masing-masing. Setidaknya untuk berpikir dan berargumentasi secara simpel tapi logis dan menunjukkan keberpihakan kepada rakyat pembayar pajak yang membuat mereka bisa menikmati pendidikan level paling tinggi di mana pada saat sebagian besar yang lain tidak beruntung karena tidak tertampung.
Memihak Kebenaran
Sesungguhnya tidak adil juga hanya mempertanyakan keberadaan mahasiswa. Sebab, sikap apatis mahasiswa juga dipengaruhi oleh sebagian besar dosen yang menganggap bahwa politik adalah persoalan yang harus dihindari oleh para mahasiswa.
Sebagian besar dosen tidak memenuhi kualifikasi sebagai intelektual, dan jika pun bisa disebut intelektual, mereka berada di menara gading, bukan intelektual organik. Mereka tidak mampu menangkap korelasi antara kebijakan politik rezim dengan situasi dan kondisi kehidupan masyarakat.
Ketidakmampuan mereka dicarikan apologi dengan ungkapan: “masyarakat kampus harus netral”. Padahal mestinya para dosenlah yang menjadi mentor utama para mahasiswa untuk memiliki sikap politik untuk “berpihak hanya kepada kebenaran”. Tentu saja kebenaran itu subjektif, tetapi proses ijtihadlah yang menjadikan subjektivitas bisa dianggap sebagai objektivitas.
Dengan itu para mahasiswa kemudian tampil menjadi cermin utama gagasan-gagasan yang muncul di dalam “negara kaum cendekia” itu. Sebab kampus sesungguhnya adalah laboratorium kehidupan masyarakat, karena di dalamnya terdapat bidang-bidang ilmu yang memang dibangun untuk memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang muncul.
Implikasi kebijakan politik rezim penguasa mestinya bisa ditangkap sejak dini oleh masyarakat kampus, bahkan saat kebijakan politik didesain. Mereka harus aktif memengaruhi kebijakan politik saat masih dalam proses pembuatan, karena setiap kebijakan politik memerlukan naskah akademik.
Mereka juga harus bersikap secara cepat saat baru saja dibuat, ketika diketahui kebijakan yang baru saja dilahirkan itu berimplikasi merugikan, dan terus melakukan gerakan apabila kritik mereka tidak diindahkan. Kekuatan mereka bisa ditambah dengan melakukan penyadaran kepada mahasiswa sebagai bagian terpenting masyarakat akademik yang memiliki daya-daya lebih.
Sudah saatnya mahasiswa siuman dan segera bangkit untuk mengambil peran di depan. Mahasiswa sangat diperlukan untuk memberikan opini objektif, bukan hanya diam karena malas berusaha untuk memahami persoalan. Mahasiswa harus menjadi makhluk independen dan bertahan setia menjadi “oposisi loyal” selamanya.
Loyalitas mereka hanya kepada negara, menjadi penjaganya dari segala anasir yang bisa merusak. Siapa pun, penguasa yang terkuat sekalipun, harus mereka hadapi, apabila telah menunjukkan indikasi penyimpangan. Mereka harus menggunakan kerangka berpikir sebagaimana diformulasikan oleh Lord Acton bahkan power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely, kekuasaan cenderung menyeleweng dan kekuasaan yang mutlak pasti menyeleweng.
Karena itu, tidak ada alasan bagi mahasiswa untuk terus berada di balik tembok kampus. Ada saatnya, mereka harus keluar dan mengeluarkan perkataan yang benar di depan penguasa yang menyimpang (qawl al-haqq, iinda sulthanin ja’ir). Di antara civitas ac ademica, mahasiswalah yang paling pantas mengepalkan tangan dengan teriakan “Hidup Mahasiswa” untuk membela rakyat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(thm)