Di Manakah Mahasiswa Berada?

Senin, 17 September 2018 - 08:30 WIB
Di Manakah Mahasiswa...
Di Manakah Mahasiswa Berada?
A A A
Mohammad Nasih
Pengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ,
Guru Utama di Rumah Perkaderan Monash Institute

ASUMSI yang ter­ba­ngun se­lama ini dan bahkan masih di­banggakan pada pekan orien­tasi mahasiswa baru di kampus-kampus belum lama ini, ma­ha­siswa merupakan sa­lah satu entitas sosial yang pa­ling bisa diharapkan untuk me­lakukan kontrol sosial dan po­litik, uta­ma­­nya terhadap rezim pen­gua­sa politik. Dengan kua­li­fik­asi akademik tinggi, ber­ke­mam­pu­an logika yang sudah mu­­lai hi­dup dan berkembang, ma­ha­siswa bisa melakukan ana­lisis secara cukup memadai ter­hadap kebijakan-kebijakan po­litik yang dibuat oleh penguasa.

Di Indonesia, walaupun jum­­­lah mahasiswa se­sung­guh­nya tergolong kecil jika di­ban­dingkan dengan jumlah pen­duduk keseluruhan yang besar, kisaran 250 juta, konsentrasi mereka di kota-kota yang men­jadi pusat kekuasaan bisa mem­buat kekuatan mereka—apa­bila bergerak dalam satu ko­mando—tidak bisa diabaikan.

Sudah terbukti dalam era-era terdahulu, mahasiswa selalu merada di posisi paling depan dalam setiap gerakan untuk suk­sesi kepemimpinan na­sio­nal yang tidak normal, karena dinamika sosial, ekonomi, mau­pun politik yang juga ber­ge­jo­lak. Suara mahasiswa se­sung­guh­nya bisa tetap sangat nya­ring, bukan hanya dengan m­e­ga­phone di tentengan, tetapi juga dengan pernyataan-per­nya­taan mereka di media sosial, jika pun media massa dihe­g­e­moni oleh rezim penguasa. Ci­vi­tas academica tentu saja tidak akan kekurangan akal untuk melakukannya jika mereka me­miliki satu hal: kemauan politik.

Minim Gerakan
Namun, dalam beberapa ta­hun terakhir ini, mahasiswa be­nar-benar tidak mampu me­m­bangun gelombang gerakan. Ak­si mereka terjadi secara spo­radis dalam skala-skala sangat kecil. Pernah tampak hampir muncul gerakan yang sempat membuncahkan harapan, te­ta­pi kemu­dian hilang karena “racun makan malam”. Ma­ha­siswa tidak me­miliki kebang­ga­an mengenakan jaket al­ma­ma­ter untuk berteriak serentak me­nyatakan penen­ta­ngan ter­ha­dap kebijakan politik rezim yang melakukan kelaliman.

Di era kepemimpinan Pre­si­den Joko Widodo (Jokowi) ini mi­sa­l­nya, tidak terdengar suara ma­hasiswa pada saat rezim menaikkan harga BBM di tengah ma­lam, padahal para aktivis bia­sanya baru memejamkan mata setelah dini hari. Mereka tak pe­duli saat pemerintah me­lakukan impor bahan pangan dengan jumlah yang bahkan dilam­bung­kan pada saat petani panen dan memerlukan uluran agar ada kepastian pembelian. Hanya se­jumlah kecil saja yang bertahan dalam riak-riak tak sig­nifikan menagih janji kam­pa­nye yang tak ditepati dan me­nentang ke­bijakan baru yang berimplikasi sangat mem­be­ba­ni rakyat dan juga negara.

Gerombolan mahasiswa le­bih sering terlihat dalam acara-acara talk show di televisi yang sesungguhnya tidak ber­hu­bu­ngan sama sekali dengan pem­bangunan intelektualisme dan kritisisme yang menjadi pe­nan­da keberpihakan kepada rakyat. Sejatinya, keberadaan mereka dalam banyak acara itu me­nun­jukkan bahwa mereka telah terjerumus pada kedangkalan berpikir, atau bahkan mereka sudah sama sekali tidak mau atau tidak mampu berpikir.

Mereka tidak lagi memiliki ke­mampuan untuk menyelami dan mencari solusi persoalan yang se­sungguhnya bisa dila­ku­kan dengan menggunakan pi­sau ana­li­sis disiplin ilmu atau pro­gram stu­di masing-masing. Setidaknya un­tuk berpikir dan berargumentasi secara simpel tapi logis dan me­nunjukkan ke­ber­pihakan kepada rak­yat pem­bayar pajak yang mem­buat mereka bisa menik­ma­ti pen­di­dik­an level paling tinggi di mana pada saat sebagian besar yang lain tidak beruntung karena ti­dak tertampung.

Memihak Kebenaran
Sesungguhnya tidak adil juga hanya mempertanyakan keberadaan mahasiswa. Sebab, sikap apatis mahasiswa juga dipengaruhi oleh sebagian besar dosen yang menganggap bahwa politik adalah persoalan yang harus dihindari oleh para maha­siswa.

Sebagian besar dosen tidak memenuhi kualifikasi se­bagai intelektual, dan jika pun bisa disebut intelektual, mereka berada di menara gading, bukan intelektual organik. Mereka ti­dak mampu menangkap ko­re­lasi antara kebijakan politik re­zim dengan situasi dan kon­disi kehidupan masyarakat.

Ketidakmampuan mereka di­carikan apologi dengan ung­kap­an: “masyarakat kampus ha­rus netral”. Padahal mestinya para dosenlah yang menjadi mentor utama para mahasiswa untuk memiliki sikap politik untuk “ber­pihak hanya kepada ke­be­naran”. Tentu saja ke­be­naran itu subjektif, tetapi pro­ses ijtihadlah yang menjadikan subjektivitas bisa dianggap sebagai ob­jek­ti­vitas.

Dengan itu para mahasiswa kemudian tam­pil menjadi cer­min utama ga­gasan-gagasan yang muncul di dalam “negara kaum cendekia” itu. Sebab kam­pus se­sung­guh­nya adalah la­bo­ra­torium ke­hi­dupan ma­sya­ra­kat, karena di da­lamnya ter­dapat bidang-bi­dang ilmu yang me­mang di­ba­ngun untuk mem­be­r­i­kan ja­wab­an atas persoalan-per­soal­an yang muncul.

Implikasi kebijakan politik rezim penguasa mestinya bisa ditangkap sejak dini oleh ma­syarakat kampus, bahkan saat kebijakan politik didesain. Me­re­ka harus aktif memengaruhi kebijakan politik saat masih dalam proses pembuatan, ka­re­na setiap kebijakan politik me­merlukan naskah akademik.

Me­reka juga harus bersikap se­cara cepat saat baru saja dibuat, ketika diketahui kebijakan yang baru saja dilahirkan itu berimplikasi merugikan, dan terus melakukan gerakan apabila kri­tik mereka tidak diindahkan. Ke­kuatan mereka bisa di­tam­bah dengan melakukan pe­nya­dar­an kepada mahasiswa se­ba­gai bagian terpenting masya­ra­kat akademik yang memiliki daya-daya lebih.

Sudah saatnya mahasiswa siu­man dan segera bangkit un­tuk mengambil peran di depan. Mahasiswa sangat diperlukan un­tuk memberikan opini ob­jek­tif, bukan hanya diam karena ma­las berusaha untuk me­ma­hami persoalan. Mahasiswa harus menjadi makhluk in­de­penden dan bertahan setia men­jadi “oposisi loyal” sela­ma­nya.

Loyalitas mereka hanya ke­pa­da negara, menjadi pen­j­a­ga­nya dari segala anasir yang bisa merusak. Siapa pun, penguasa yang ter­kuat sekalipun, harus mereka ha­dapi, apabila telah menun­juk­kan indikasi penyim­pa­ngan. Me­reka harus meng­gu­nakan kerangka berpikir se­ba­gaimana diformulasikan oleh Lord Acton bahkan power tends to corrupt, and absolute power corrupt abso­lu­tely, kekuasaan cenderung me­nye­leweng dan kekuasaan yang mutlak pasti menyeleweng.

Karena itu, tidak ada alasan bagi mahasiswa un­tuk terus ber­ada di balik tembok kampus. Ada saatnya, mereka harus keluar dan mengeluarkan perkataan yang benar di depan penguasa yang menyimpang (qawl al-haqq, iinda sulthanin ja’ir). Di antara civitas ac ademica, mahasiswalah yang pa­ling pan­tas mengepalkan ta­ngan dengan teriakan “Hidup Ma­hasiswa” un­tuk membela rak­yat. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0756 seconds (0.1#10.140)