Tagar #2019GantiPresiden

Senin, 17 September 2018 - 08:05 WIB
Tagar #2019GantiPresiden
Tagar #2019GantiPresiden
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (EM) Ilmu Hukum

TAGAR #2019Gan­ti Pre­siden me­nuai pro dan kontra di ma­sya­rakat akhir-akhir ini. Se­sung­guh­nya tagar tersebut tidak perlu me­nim­bulkan kega­duh­an jika seluruh ketentuan per­aturan pe­r­un­dang-undangan yang ber­la­ku dipahami dan ditaati sepenuhnya oleh ma­sya­rakat yang hen­dak me­nyam­paikan pen­da­pat di muka umum.

Masya­ra­kat per­lu me­ma­hami tidak hanya hak dan kebebasannya sebagai­ma­na ter­cantum dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, tetapi juga penting dipahami ketentuan Pasal 28J UUD 1945, yang ber­bunyi: “Dalam men­jalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pem­ba­tas­an yang dite­tap­kan dengan un­dang-undang de­ngan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan ser­ta peng­hormatan atas hak ke­be­bas­an orang lain dan untuk me­me­nuhi tuntutan yang adil sesuai de­ngan pertim­ba­ngan moral, nilai- nilai agama, ke­amanan, dan ke­ter­ti­b­an umum dalam sua­tu ma­sya­ra­kat demokratis.”

Perubahan Kedua UUD 1945 (periode Agustus 2000) khusus mengenai ketentuan Bab XA , Pasal 28J, telah di­per­kuat sebelumnya oleh UU No­mor 9 Tahun 1998 tentang Ke­merdekaan Menyampaikan Pen­dapat di Muka Umum. UU No­mor 9 Tahun 1998 pada ha­ki­katnya sejiwa dan sejalan de­ngan ketentuan Bab XA, Pasal 28J UUD 1945, dan hal serupa juga terdapat pada bagian Me­nimbang huruf d UU Nomor 9 Tahun 1998 bahwa: “Hak me­nyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan se­ca­ra ber­tang­gungjawab sesuai de­ngan ketentuan peraturan per­undang-undangan yang berlaku.”

Limitasi kemerdekaan me­nyampaikan pendapat di muka umum diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998, yang menetapkan:“Warga negara yang menyampaikan pendapat di mu­ka umum berkewajiban dan ber­tang­gung jawab untuk: a. meng­hor­mati hak-hak dan ke­be­bas­an orang lain; b. meng­hor­mati atur­an-atur­an moral yang diakui umum; c. me­na­ati hukum dan ke­tentuan pe­r­atur­an perun­dang-undangan yang berlaku; d. men­jaga dan meng­hor­mati ke­aman­an dan ketertiban umum; e. dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.”

Salah satu saja dari lima li­mitasi tidak dipenuhi atau dilanggar, maka tugas aparat Polri untuk melakukan tin­dakan kepolisian atau bahkan tindakan penegakan hukum terhadap pelaku dan mereka yang turut serta melakukan pelanggaran tersebut sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Ne­ga­ra dan ketentuan sanksi (Bab V) UU Nomor 9 Tahun 1998.

Lain norma lain kenyataan, pengabaian ketentuan seba­gai­mana diuraikan di atas ber­buntut panjang yaitu ketika terjadi penolakan kelompok masyarakat tertentu terhadap judul tagar #2019Ganti­Pre­si­den. Bahkan timbul bentrok an­tara yang pro dan kontra de­ngan tagar tersebut sehingga tindakan Polri sudah tepat dan dibenarkan berdasarkan ke­dua UU tersebut di atas.

Kaitan dengan judul tagar #2019GantiPresiden, saya se­pendapat dengan Adian dalam acara Mata Najwa bahwa kata “Presiden” merujuk pada se­buah lembaga negara, bukan sua­­tu entitas pribadi, baik pre­siden sebagai kepala pe­me­rin­tahan maupun sebagai kepala negara. Konsekuensi hukum dari penggunaan tagar ter­se­but adalah bahwa tagar di­mak­sud telah mengajak massa rak­yat untuk mengganti jabatan se­orang presiden yang masih in-fungsi sebagai presiden.

Peng­gan­tian telah didorong dan di­arah­kan satu tahun, jauh se­be­lum Komisi Pemilihan Umum (ber­dasarkan UU No­mor 7 Tahun 2017) me­ne­tap­kan ta­hap­an penyelenggaraan pemilu yang akan dimulai April 2019 di mana pemilu harus di­lak­sa­na­kan ber­dasarkan asas langsung, umum, bebas, ra­ha­sia, jujur, dan adil (Pa­sal 2 UU Nomor 7 Tahun 2017).

Tagar #2019GantiPresiden yang semula merupakan as­pi­rasi kelompok masyarakat ter­tentu, diwujudkan dalam ben­tuk suatu gerakan aksi massa, telah berubah menjadi gerakan politik. Dalam gerakan ak­si­nya, telah tampak nyata suatu tin­dak­an permusuhan ter­ha­dap ke­lompok lain dan pe­nye­leng­gara negara in casu pre­si­den.

Yang dimaksud dengan “tin­dak­an permusuhan” ada­lah ucap­an, pernyataan, sikap atau as­pi­rasi, baik lisan mau­pun tertulis, baik melalui me­dia elektronik maupun tidak melalui media elek­tronik yang menimbulkan ke­bencian, baik terhadap ke­lom­pok tertentu maupun ter­ha­dap setiap orang termasuk ke pe­nyelenggara ne­gara (Pen­je­las­an Pasal 59 ayat(3) huruf a UU RI No 16 Ta­hun 2017).

Apalagi di dalam acara Mata Najwa telah diakui oleh se­orang tokoh parpol tertentu bah­wa dia sebagai “inisiator” gerakan tersebut. Dan, yang menge­jut­kan kita, diakui oleh mantan jubir HTI bahwa mantan ang­gota HTI telah ikut serta dalam gerakan tersebut; ormas yang telah dibubarkan dan dilarang pemerintah ber­dasarkan UU Nomor 16 Tahun 2017.

Keikutsertaan mantan ang­gota organisasi terlarang di da­lam gerakan #2019Gan­ti­Pre­si­den merupakan pelanggaran secara nyata atas undang-un­dang tersebut. Sekalipun ini­siator gerakan tagar #2019 Gan­tiPresiden merasa tidak bertanggung jawab, tetap saja secara hukum pidana, ter­ma­suk tindakan pembiaran (delik omisi) yang dapat diper­tan­g­gungjawabkan secara pidana berdasarkan UU Ormas Tahun 2017 atau setidak-tidaknya memenuhi ketentuan KUHP Bab V tentang Penyertaan da­lam melakukan tindak pidana.

Pasal 59 ayat (3) UU Ormas Tahun 2017 mengatur semua jenis perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana dalam Pasal 82A. Di antara jenis perbuatan yang dilarang antara lain ketika ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; me­lakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Tin­da­kan mengajak ganti presiden yang dalam in-fungsi termasuk perbuatan menghasut yang da­pat menimbulkan kebencian terhadap pemerintah yang d­i­ancam pidana sesuai Pasal 154 jo Pasal 155 KUHP.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2473 seconds (0.1#10.140)