Tagar #2019GantiPresiden
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (EM) Ilmu Hukum
TAGAR #2019Ganti Presiden menuai pro dan kontra di masyarakat akhir-akhir ini. Sesungguhnya tagar tersebut tidak perlu menimbulkan kegaduhan jika seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dipahami dan ditaati sepenuhnya oleh masyarakat yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum.
Masyarakat perlu memahami tidak hanya hak dan kebebasannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, tetapi juga penting dipahami ketentuan Pasal 28J UUD 1945, yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Perubahan Kedua UUD 1945 (periode Agustus 2000) khusus mengenai ketentuan Bab XA , Pasal 28J, telah diperkuat sebelumnya oleh UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU Nomor 9 Tahun 1998 pada hakikatnya sejiwa dan sejalan dengan ketentuan Bab XA, Pasal 28J UUD 1945, dan hal serupa juga terdapat pada bagian Menimbang huruf d UU Nomor 9 Tahun 1998 bahwa: “Hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Limitasi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998, yang menetapkan:“Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; e. dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.”
Salah satu saja dari lima limitasi tidak dipenuhi atau dilanggar, maka tugas aparat Polri untuk melakukan tindakan kepolisian atau bahkan tindakan penegakan hukum terhadap pelaku dan mereka yang turut serta melakukan pelanggaran tersebut sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan ketentuan sanksi (Bab V) UU Nomor 9 Tahun 1998.
Lain norma lain kenyataan, pengabaian ketentuan sebagaimana diuraikan di atas berbuntut panjang yaitu ketika terjadi penolakan kelompok masyarakat tertentu terhadap judul tagar #2019GantiPresiden. Bahkan timbul bentrok antara yang pro dan kontra dengan tagar tersebut sehingga tindakan Polri sudah tepat dan dibenarkan berdasarkan kedua UU tersebut di atas.
Kaitan dengan judul tagar #2019GantiPresiden, saya sependapat dengan Adian dalam acara Mata Najwa bahwa kata “Presiden” merujuk pada sebuah lembaga negara, bukan suatu entitas pribadi, baik presiden sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara. Konsekuensi hukum dari penggunaan tagar tersebut adalah bahwa tagar dimaksud telah mengajak massa rakyat untuk mengganti jabatan seorang presiden yang masih in-fungsi sebagai presiden.
Penggantian telah didorong dan diarahkan satu tahun, jauh sebelum Komisi Pemilihan Umum (berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017) menetapkan tahapan penyelenggaraan pemilu yang akan dimulai April 2019 di mana pemilu harus dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 2017).
Tagar #2019GantiPresiden yang semula merupakan aspirasi kelompok masyarakat tertentu, diwujudkan dalam bentuk suatu gerakan aksi massa, telah berubah menjadi gerakan politik. Dalam gerakan aksinya, telah tampak nyata suatu tindakan permusuhan terhadap kelompok lain dan penyelenggara negara in casu presiden.
Yang dimaksud dengan “tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara (Penjelasan Pasal 59 ayat(3) huruf a UU RI No 16 Tahun 2017).
Apalagi di dalam acara Mata Najwa telah diakui oleh seorang tokoh parpol tertentu bahwa dia sebagai “inisiator” gerakan tersebut. Dan, yang mengejutkan kita, diakui oleh mantan jubir HTI bahwa mantan anggota HTI telah ikut serta dalam gerakan tersebut; ormas yang telah dibubarkan dan dilarang pemerintah berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2017.
Keikutsertaan mantan anggota organisasi terlarang di dalam gerakan #2019GantiPresiden merupakan pelanggaran secara nyata atas undang-undang tersebut. Sekalipun inisiator gerakan tagar #2019 GantiPresiden merasa tidak bertanggung jawab, tetap saja secara hukum pidana, termasuk tindakan pembiaran (delik omisi) yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan UU Ormas Tahun 2017 atau setidak-tidaknya memenuhi ketentuan KUHP Bab V tentang Penyertaan dalam melakukan tindak pidana.
Pasal 59 ayat (3) UU Ormas Tahun 2017 mengatur semua jenis perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana dalam Pasal 82A. Di antara jenis perbuatan yang dilarang antara lain ketika ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Tindakan mengajak ganti presiden yang dalam in-fungsi termasuk perbuatan menghasut yang dapat menimbulkan kebencian terhadap pemerintah yang diancam pidana sesuai Pasal 154 jo Pasal 155 KUHP.
Guru Besar (EM) Ilmu Hukum
TAGAR #2019Ganti Presiden menuai pro dan kontra di masyarakat akhir-akhir ini. Sesungguhnya tagar tersebut tidak perlu menimbulkan kegaduhan jika seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dipahami dan ditaati sepenuhnya oleh masyarakat yang hendak menyampaikan pendapat di muka umum.
Masyarakat perlu memahami tidak hanya hak dan kebebasannya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, tetapi juga penting dipahami ketentuan Pasal 28J UUD 1945, yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Perubahan Kedua UUD 1945 (periode Agustus 2000) khusus mengenai ketentuan Bab XA , Pasal 28J, telah diperkuat sebelumnya oleh UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. UU Nomor 9 Tahun 1998 pada hakikatnya sejiwa dan sejalan dengan ketentuan Bab XA, Pasal 28J UUD 1945, dan hal serupa juga terdapat pada bagian Menimbang huruf d UU Nomor 9 Tahun 1998 bahwa: “Hak menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Limitasi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998, yang menetapkan:“Warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; b. menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; c. menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum; e. dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.”
Salah satu saja dari lima limitasi tidak dipenuhi atau dilanggar, maka tugas aparat Polri untuk melakukan tindakan kepolisian atau bahkan tindakan penegakan hukum terhadap pelaku dan mereka yang turut serta melakukan pelanggaran tersebut sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan ketentuan sanksi (Bab V) UU Nomor 9 Tahun 1998.
Lain norma lain kenyataan, pengabaian ketentuan sebagaimana diuraikan di atas berbuntut panjang yaitu ketika terjadi penolakan kelompok masyarakat tertentu terhadap judul tagar #2019GantiPresiden. Bahkan timbul bentrok antara yang pro dan kontra dengan tagar tersebut sehingga tindakan Polri sudah tepat dan dibenarkan berdasarkan kedua UU tersebut di atas.
Kaitan dengan judul tagar #2019GantiPresiden, saya sependapat dengan Adian dalam acara Mata Najwa bahwa kata “Presiden” merujuk pada sebuah lembaga negara, bukan suatu entitas pribadi, baik presiden sebagai kepala pemerintahan maupun sebagai kepala negara. Konsekuensi hukum dari penggunaan tagar tersebut adalah bahwa tagar dimaksud telah mengajak massa rakyat untuk mengganti jabatan seorang presiden yang masih in-fungsi sebagai presiden.
Penggantian telah didorong dan diarahkan satu tahun, jauh sebelum Komisi Pemilihan Umum (berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017) menetapkan tahapan penyelenggaraan pemilu yang akan dimulai April 2019 di mana pemilu harus dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (Pasal 2 UU Nomor 7 Tahun 2017).
Tagar #2019GantiPresiden yang semula merupakan aspirasi kelompok masyarakat tertentu, diwujudkan dalam bentuk suatu gerakan aksi massa, telah berubah menjadi gerakan politik. Dalam gerakan aksinya, telah tampak nyata suatu tindakan permusuhan terhadap kelompok lain dan penyelenggara negara in casu presiden.
Yang dimaksud dengan “tindakan permusuhan” adalah ucapan, pernyataan, sikap atau aspirasi, baik lisan maupun tertulis, baik melalui media elektronik maupun tidak melalui media elektronik yang menimbulkan kebencian, baik terhadap kelompok tertentu maupun terhadap setiap orang termasuk ke penyelenggara negara (Penjelasan Pasal 59 ayat(3) huruf a UU RI No 16 Tahun 2017).
Apalagi di dalam acara Mata Najwa telah diakui oleh seorang tokoh parpol tertentu bahwa dia sebagai “inisiator” gerakan tersebut. Dan, yang mengejutkan kita, diakui oleh mantan jubir HTI bahwa mantan anggota HTI telah ikut serta dalam gerakan tersebut; ormas yang telah dibubarkan dan dilarang pemerintah berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2017.
Keikutsertaan mantan anggota organisasi terlarang di dalam gerakan #2019GantiPresiden merupakan pelanggaran secara nyata atas undang-undang tersebut. Sekalipun inisiator gerakan tagar #2019 GantiPresiden merasa tidak bertanggung jawab, tetap saja secara hukum pidana, termasuk tindakan pembiaran (delik omisi) yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan UU Ormas Tahun 2017 atau setidak-tidaknya memenuhi ketentuan KUHP Bab V tentang Penyertaan dalam melakukan tindak pidana.
Pasal 59 ayat (3) UU Ormas Tahun 2017 mengatur semua jenis perbuatan yang dilarang dan sanksi pidana dalam Pasal 82A. Di antara jenis perbuatan yang dilarang antara lain ketika ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Tindakan mengajak ganti presiden yang dalam in-fungsi termasuk perbuatan menghasut yang dapat menimbulkan kebencian terhadap pemerintah yang diancam pidana sesuai Pasal 154 jo Pasal 155 KUHP.
(thm)