Parlemen (yang) Malang
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MASYARAKAT kembali dikejutkan dengan penahanan 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tersangkut perkara korupsi. Peristiwa semacam ini bukan yang pertama kali, sebelumnya di Provinsi Sumatera Utara dan Papua telah terjadi hal serupa.Demokrasi di Indonesia saat ini sedang berada dalam tekanan kleptokrasi. Tibor (2008) mendefinisikan kleptokrasi sebagai istilah yang mengacu pada sebuah bentuk pemerintahan yang mengambil uang hasil pungutan dari rakyat untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu yang umumnya dilakukan dengan praktik-praktik koruptif dan penuh kezaliman.
Akutnya kleptokrasi yang melanda Indonesia terlihat pada kondisi negara demokrasi yang menganut model pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Model pemisahan kekuasaan tersebut sejatinya dimaksudkan sebagai bentuk check and balances, namun faktanya sungguh mengerikan.Hingga 31 Desember 2017 KPK dalam 108 kasus telah menetapkan tersangka ratusan pejabat legislatif. Jumlah ini belum termasuk penetapan tersangka korupsi oleh kejaksaan dan kepolisian.
Situasi ini menunjukkan bentuk kontrol dalam check and balances tidak berjalan sebagaimana mestinya meskipun harus diakui bahwa masih ada jajaran legislatif yang tidak terjangkit kleptokrasi. Melihat fenomena ini, Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk membersihkan bangsa dari laten kleptokrasi melalui media demokrasi pada pemilihan legislatif (pileg) yang akan datang.
Laten Menuju Progresif
Dalam perspektif sosiologi hukum, laten dalam konteks kleptokrasi dapat dipahami sebagai sikap masyarakat yang sadar terhadap situasi koruptif, namun memberi permakluman meskipun secara nurani menolak praktik tersebut. Sebagaimana sifat kleptokrasi yang bersifat laten, secara kontekstual sifatnya mereduksi konsep demokrasi menjadi sempit dan berkiblat pada kepentingan yang sempit pula. Pereduksian tersebut ada dan disengaja dilakukan baik secara implisit maupun eksplisit.
Samford (1980) menyatakan bahwa bahaya laten kleptokrasi di Indonesia akan berdampak pada ketidakteraturan dan ketidakpastian yang merupakan reproduksi dari relasi yang bertumpu pada hubungan antarkekuatan. Secara etimologis, laten diambil dari bahasa Belanda yang artinya membiarkan. Dalam konteks sosiologi hukum, kleptokrasi dipersepsikan sebagai laten karena melalui rekayasa yang canggih yang tidak bisa diamati orang lain dengan akal maupun indrawi.
Praktik laten kleptokrasi tersebut tak jarang dilakukan oleh jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif baik secara sendiri-sendiri, tetapi umumnya melalui kolaborasi. Hal inilah yang membuat masyarakat mempersepsikan sebagai laten dan pada akhirnya membuat sistem check and balances menjadi tidak berfungsi dan negara semakin digerogoti oleh praktik kleptokrasi.Ironisnya, legislatif yang seharusnya berfungsi menjadi wakil rakyat dalam pengawasan terhadap penyimpangan, faktanya justru kerapkali penyimpangan terjadi karena keterlibatan oknum legislatif.
Persepsi masyarakat terhadap kleptokrasi harus diubah dari laten menuju pada persepsi progresif. Artinya, persepsi yang memengaruhi tindakan untuk mengubah suatu situasi secara cepat dengan melakukan pembalikan yang mendasar dengan tujuan untuk harga diri sebanyak-banyaknya umat manusia, kebahagiaan, serta kesejahteraan umat manusia.
Jika setiap masyarakat mengubah pandangan mengenai kleptokrasi dari laten menuju pada persepsi progresif, tentu fokusnya adalah memuliakan dan memberi kesejahteraan pada masyarakat sebanyak-banyaknya secara cepat dengan perubahan yang mendasar. Dengan demikian, kleptokrasi akan mendapatkan hambatan dan perlawanan dari masyarakat yang menginginkan ada perubahan secara cepat dan mendasar. Kendati demikian, persepsi progresif selalu harus didukung dengan momentum yang tepat untuk mencapai tujuannya.
Meninggalkan Kleptokrasi
Bisa jadi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg) adalah tidak sempurna dalam perspektif teknis perundang-undangan, tetapi bisa jadi PKPU ini merupakan langkah hukum progresif untuk menyudahi praktik kleptokrasi yang selama ini secara laten selalu menggerogoti negara. Satjipto Raharjo (2006) mendefinisikan bahwa memang hukum progresif adalah serangkaian tindakan radikal dengan mengubah sistem hukum termasuk peraturan perundangan agar hukum lebih bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat banyak.
PKPU tersebut harus dilihat sebagai bagian dari momentum progresif pada gelaran pilkada, pileg, dan pilpres pada 2019 untuk menyaring wakil rakyat yang bebas dari kleptokrasi. Demokrasi harus kembali pada roh vox populi, vox dei, yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan.Ini penting mengingat secara filosofis pergeseran model pemilu di Indonesia menjadi pemilu langsung juga dilandasi roh vox populi, vox dei meskipun pascamodel pemilihan langsung yang berbiaya sangat tinggi selain membebani perekonomian negara, juga membebani keuangan partai politik pengusung dan pendukung maupun kandidat yang akan mencalonkan diri sehingga menyebabkan politik transaksional sebagai akar masalah kleptokrasi.
Sejatinya politik transaksional adalah pemicu mahar politik yang dipandang sebagai pintu gerbang kleptokrasi karena guna menyiapkan mahar politik atau untuk mengembalikan “modal” mahar politik cara-cara kleptokrasi potensial digunakan.Kleptokrasi akan menghasilkan exploitation de l’ homme par l’homme, yang artinya penghisapan dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya. Fragmentasi bancakan dana APBN/APBD maupun korupsi proyek yang dibiayai dari pajak merupakan contoh-contoh nyata kleptokrasi yang menyebabkan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya yang pada akhirnya jika praktik ini tidak segera ditinggalkan, maka benarlah apa yang disampaikan oleh Plautus pada 945 bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Dengan upaya-upaya progresif seluruh masyarakat dan seluruh komponen bangsa dengan menggunakan momentum pesta demokrasi pilkada, pileg, dan diakhiri dengan gelaran pemilihan presiden, maka inilah saatnya bangsa Indonesia kembali pada demokrasi yang bersih yang melahirkan pemerintahan yang bersih. Demokrasi dan pemerintahan yang bersih tersebut merupakan momentum untuk meninggalkan kleptokrasi.Hal ini akan dapat dicapai dengan cara tidak membuka celah terjadinya kleptokrasi, baik melalui kesadaran progresif masyarakat maupun instrumen hukum serta sistem bernegara yang bersih jujur dan adil yang tidak memberi tempat bagi politik transaksional dan mahar politik.
Menutup artikel ini, menarik pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1956: “revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih...” Hal inilah yang menjadi tantangan legislatif saat ini. Seharusnya legislatiflah yang mengawal pelaksanaan revolusi mental di semua lini, namun ironisnya justru kini pada jajaran legislatif yang paling mendesak untuk dilakukan revolusi mental.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MASYARAKAT kembali dikejutkan dengan penahanan 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tersangkut perkara korupsi. Peristiwa semacam ini bukan yang pertama kali, sebelumnya di Provinsi Sumatera Utara dan Papua telah terjadi hal serupa.Demokrasi di Indonesia saat ini sedang berada dalam tekanan kleptokrasi. Tibor (2008) mendefinisikan kleptokrasi sebagai istilah yang mengacu pada sebuah bentuk pemerintahan yang mengambil uang hasil pungutan dari rakyat untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu yang umumnya dilakukan dengan praktik-praktik koruptif dan penuh kezaliman.
Akutnya kleptokrasi yang melanda Indonesia terlihat pada kondisi negara demokrasi yang menganut model pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Model pemisahan kekuasaan tersebut sejatinya dimaksudkan sebagai bentuk check and balances, namun faktanya sungguh mengerikan.Hingga 31 Desember 2017 KPK dalam 108 kasus telah menetapkan tersangka ratusan pejabat legislatif. Jumlah ini belum termasuk penetapan tersangka korupsi oleh kejaksaan dan kepolisian.
Situasi ini menunjukkan bentuk kontrol dalam check and balances tidak berjalan sebagaimana mestinya meskipun harus diakui bahwa masih ada jajaran legislatif yang tidak terjangkit kleptokrasi. Melihat fenomena ini, Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk membersihkan bangsa dari laten kleptokrasi melalui media demokrasi pada pemilihan legislatif (pileg) yang akan datang.
Laten Menuju Progresif
Dalam perspektif sosiologi hukum, laten dalam konteks kleptokrasi dapat dipahami sebagai sikap masyarakat yang sadar terhadap situasi koruptif, namun memberi permakluman meskipun secara nurani menolak praktik tersebut. Sebagaimana sifat kleptokrasi yang bersifat laten, secara kontekstual sifatnya mereduksi konsep demokrasi menjadi sempit dan berkiblat pada kepentingan yang sempit pula. Pereduksian tersebut ada dan disengaja dilakukan baik secara implisit maupun eksplisit.
Samford (1980) menyatakan bahwa bahaya laten kleptokrasi di Indonesia akan berdampak pada ketidakteraturan dan ketidakpastian yang merupakan reproduksi dari relasi yang bertumpu pada hubungan antarkekuatan. Secara etimologis, laten diambil dari bahasa Belanda yang artinya membiarkan. Dalam konteks sosiologi hukum, kleptokrasi dipersepsikan sebagai laten karena melalui rekayasa yang canggih yang tidak bisa diamati orang lain dengan akal maupun indrawi.
Praktik laten kleptokrasi tersebut tak jarang dilakukan oleh jajaran eksekutif, legislatif, dan yudikatif baik secara sendiri-sendiri, tetapi umumnya melalui kolaborasi. Hal inilah yang membuat masyarakat mempersepsikan sebagai laten dan pada akhirnya membuat sistem check and balances menjadi tidak berfungsi dan negara semakin digerogoti oleh praktik kleptokrasi.Ironisnya, legislatif yang seharusnya berfungsi menjadi wakil rakyat dalam pengawasan terhadap penyimpangan, faktanya justru kerapkali penyimpangan terjadi karena keterlibatan oknum legislatif.
Persepsi masyarakat terhadap kleptokrasi harus diubah dari laten menuju pada persepsi progresif. Artinya, persepsi yang memengaruhi tindakan untuk mengubah suatu situasi secara cepat dengan melakukan pembalikan yang mendasar dengan tujuan untuk harga diri sebanyak-banyaknya umat manusia, kebahagiaan, serta kesejahteraan umat manusia.
Jika setiap masyarakat mengubah pandangan mengenai kleptokrasi dari laten menuju pada persepsi progresif, tentu fokusnya adalah memuliakan dan memberi kesejahteraan pada masyarakat sebanyak-banyaknya secara cepat dengan perubahan yang mendasar. Dengan demikian, kleptokrasi akan mendapatkan hambatan dan perlawanan dari masyarakat yang menginginkan ada perubahan secara cepat dan mendasar. Kendati demikian, persepsi progresif selalu harus didukung dengan momentum yang tepat untuk mencapai tujuannya.
Meninggalkan Kleptokrasi
Bisa jadi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 yang melarang mantan narapidana tindak pidana korupsi menjadi calon legislatif (caleg) adalah tidak sempurna dalam perspektif teknis perundang-undangan, tetapi bisa jadi PKPU ini merupakan langkah hukum progresif untuk menyudahi praktik kleptokrasi yang selama ini secara laten selalu menggerogoti negara. Satjipto Raharjo (2006) mendefinisikan bahwa memang hukum progresif adalah serangkaian tindakan radikal dengan mengubah sistem hukum termasuk peraturan perundangan agar hukum lebih bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat banyak.
PKPU tersebut harus dilihat sebagai bagian dari momentum progresif pada gelaran pilkada, pileg, dan pilpres pada 2019 untuk menyaring wakil rakyat yang bebas dari kleptokrasi. Demokrasi harus kembali pada roh vox populi, vox dei, yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan.Ini penting mengingat secara filosofis pergeseran model pemilu di Indonesia menjadi pemilu langsung juga dilandasi roh vox populi, vox dei meskipun pascamodel pemilihan langsung yang berbiaya sangat tinggi selain membebani perekonomian negara, juga membebani keuangan partai politik pengusung dan pendukung maupun kandidat yang akan mencalonkan diri sehingga menyebabkan politik transaksional sebagai akar masalah kleptokrasi.
Sejatinya politik transaksional adalah pemicu mahar politik yang dipandang sebagai pintu gerbang kleptokrasi karena guna menyiapkan mahar politik atau untuk mengembalikan “modal” mahar politik cara-cara kleptokrasi potensial digunakan.Kleptokrasi akan menghasilkan exploitation de l’ homme par l’homme, yang artinya penghisapan dan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya. Fragmentasi bancakan dana APBN/APBD maupun korupsi proyek yang dibiayai dari pajak merupakan contoh-contoh nyata kleptokrasi yang menyebabkan eksploitasi manusia oleh manusia lainnya yang pada akhirnya jika praktik ini tidak segera ditinggalkan, maka benarlah apa yang disampaikan oleh Plautus pada 945 bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya.
Dengan upaya-upaya progresif seluruh masyarakat dan seluruh komponen bangsa dengan menggunakan momentum pesta demokrasi pilkada, pileg, dan diakhiri dengan gelaran pemilihan presiden, maka inilah saatnya bangsa Indonesia kembali pada demokrasi yang bersih yang melahirkan pemerintahan yang bersih. Demokrasi dan pemerintahan yang bersih tersebut merupakan momentum untuk meninggalkan kleptokrasi.Hal ini akan dapat dicapai dengan cara tidak membuka celah terjadinya kleptokrasi, baik melalui kesadaran progresif masyarakat maupun instrumen hukum serta sistem bernegara yang bersih jujur dan adil yang tidak memberi tempat bagi politik transaksional dan mahar politik.
Menutup artikel ini, menarik pidato Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1956: “revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih...” Hal inilah yang menjadi tantangan legislatif saat ini. Seharusnya legislatiflah yang mengawal pelaksanaan revolusi mental di semua lini, namun ironisnya justru kini pada jajaran legislatif yang paling mendesak untuk dilakukan revolusi mental.
(whb)