Gestur Kebangsaan

Jum'at, 31 Agustus 2018 - 08:07 WIB
Gestur Kebangsaan
Gestur Kebangsaan
A A A
FAJAR S PRAMONO
Alumnus Fakultas Pertanian UNS

Sebuah pelukan bi­sa jadi sekadar se­buah ritual yang biasa antarsese­orang dengan seseorang yang lain. Namun, ia menjadi sangat sarat makna ketika yang di­per­satukan dalam pelukan ter­se­but adalah dua orang yang telah resmi berkontestasi sebagai calon pemimpin di Pemilihan Presiden 2019 nanti, sekaligus dua orang pemilik massa yang level grassroot -nya sering kali berbenturan karena para pe­ngikutnya banyak yang me­ng­anut paham fanatisme buta dan kultus individu.

Jadilah apa yang dilakukan Hanifan Yudani Kusuma, pe­raih medali emas Asian Games 2018 dari kelas C cabang olah­raga pencak silat yang “me­nyatukan” Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam se­buah pelukan, sebuah mo­men­tum kebangsaan yang sangat bersejarah dan menyejukkan.

Meski pun momentum ter­se­but bukan terjadi pada ranah po­litik yang sesungguhnya, sim­bolisasi persatuan bah­wa­san­ya ketika siapa pun bicara tentang kehormatan bangsa dan negara, sekat-sekat pri­mor­­dialisme dan kelompok ke­pen­tingan itu menjadi niskala.

Yang menyenangkan dari pemandangan pelukan Jo­ko­wi, Prabowo, dan Hanifan itu ad­a­lah bahwa gestur mereka ada­­lah gestur yang ikhlas. Ges­tur yang alami, tak ber­ke­beratan. Gestur yang tidak cang­gung. Itu artinya, kita bo­leh optimistis bahwa se­sung­guh­nya yang ada di ranah po­litik sekarang ini adalah se­ka­dar perbedaan tentang cara mereka akan mengabdi kepada bangsa dan negara.

Bahwa yang­ tidak sama adalah sekadar prin­sip strategi kebangsaan yang akan dipraktikkan dalam pola kepemimpinan negara, na­mun tetap dengan muara yang sama: kejayaan Indonesia di mata rakyatnya dan di mata dunia.

Pelukan Kebangsaan

Mengamati sebuah fen­o­me­na dari aspek gestur se­sung­guhnya sangat menarik. Ka­re­na gestur merupakan bawaan alam bawah sadar yang tidak semua orang bisa men­ja­di­kan­nya sebuah akting artifisial be­laka. Apalagi, Jokowi dan Pra­bowo tidak pernah kita kenal sebagai “aktor” yang pandai berolah peran. Pandai berpura-pura.

Ekspresi yang selama ini di­bawa oleh mereka adalah ori­gi­nal expression milik mereka, ken­dati kita semua yakin, se­la­lu ada basic politik pencitraan yang dibangun. Melihatnya se­cara kasatmata tidak ter­lam­pau sulit, karena kita dengan mudah bisa mengakses masa lalu mereka. Apakah style itu baru ada ketika mereka men­jadi (calon) pemimpin atau memang merupakan karakter lama yang sudah menjadi trade mark sejak munculnya mereka di ranah (politik) publik.

Dan, gestur adalah sesuatu yang tidak mudah dibentuk secara jangka pendek. Yang mudah dibangun atau dilatih adalah sekadar penampilan, gaya bicara, gaya berdiri, gaya berjalan, cara tersenyum, cara me­meluk, dan sejenisnya. Se­men­tara gestur merupakan se­buah ekspresi yang muncul dalam raut wajah, aura muka, tarikan senyum, sikap tubuh, sorot mata, bahkan tarikan na­pas yang alami. Inner ex­pres­sion.

Kata “gestur” memang ti­dak kita temukan dalam Ka­mus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) daring sebagai ter­je­ma­h­an Indonesia kata gesture da­lam bahasa Inggris. Namun, dari Wikipedia, kita bisa tahu bahwa gestur merupakan sua­tu bentuk komunikasi non­ver­bal dengan aksi tubuh yang me­ngomunikasikan pesan-pesan tertentu, baik sebagai peng­gan­ti wicara atau bersamaan dan paralel dengan kata-kata.

Gestur membolehkan individu untuk mengomunikasikan ber­bagai bentuk perasaan dan pan­­dangan, dari menghina dan kebencian sampai menye­tu­jui dan kasih sayang.

Itu makanya mengapa ba­nyak sekali orang berharap bah­wa pelukan yang diinisiasi Hanifan atas dua orang calon presiden Indonesia 2019-2024 tersebut adalah “pelukan ke­bangsaan”. Pelukan yang ken­dati spontan dan diinisiasi orang lain, namun mem­pe­r­li­hat­kan ketulusan yang sama ketika harus bicara nasio­na­lis­me dan impian kebesaran ke­ja­yaan bangsa dan negara. Pe­lukan yang diyakini ikut me­le­paskan hormon oksitoksin dari dalam tubuh, sehingga mem­buat pelaku dan orang yang melihatnya merasakan cinta dan kedamaian.

Pelukan yang Mengingatkan

Kembali kepada ges­tur, kita akan sangat bisa membedakan kedalaman ma­k­na salaman dan cium pipi Jo­ko­wi-Prabowo pada saat mereka bertemu ketika melakukan negosiasi politik. Atau yang kasatmata, saat mereka akan memulai de­bat antarcalon presiden pada masa kampanye pemilihan pre­siden beberapa tahun silam. Sangat berbeda.

Apa yang dilakukan dalam negosiasi politik dan debat publik sangat terkesan formal, jika tak bisa disebut sekadar “basa-basi politik”. Maka, tam­pak kekakuan pada gestur tu­buh keduanya ditambah eks­presi muka yang tidak se-”lepas” dan senyaman “pe­lu­kan kebangsaan” di Pa­de­po­kan Pencak Silat TMII kemarin itu.

Bagaimanapun, kebiasaan formal itu merupakan kebia­sa­an yang baik jika tak sekadar latah dari kebiasaan yang ada dari pertemuan-pertemuan to­koh bangsa di berbagai ne­gara. Karena, sejatinya, yang dibutuhkan ketika berdiskusi membicarakan kepentingan bangsa ataupun ketika me­la­kukan lobi politik untuk ke­baik­an kolektif bangsa adalah keikhlasan dan kemauan hati untuk benar-benar duduk ber­sama, membicarakan ke­pen­ti­ngan bersama.

Dalam konteks “pelukan kebangsaan”, seandainya ges­tur alami yang menyiratkan op­timisme perdamaian dan per­satuan antarelemen bang­sa bisa menjadi “wabah” baru di seluruh level perpolitikan negeri ini, baik di tingkat elite pemerintahan, elite partai po­litik, hingga ke tingkatan mid­dle dan bahkan grassroot, maka kita boleh membayangkan du­nia politik Indonesia yang in­dah, damai, jauh dari per­ti­kai­an yang tidak perlu.

Juga jauh dari hoaks-hoaks sampah yang bertebaran di seluruh penjuru media informasi, terwujudnya harmoni kehidupan dalam kebinekaan yang “me­nga­ya­kan” -bukan memisahkan dan me­miskinkan, serta ber­mun­culannya ide sekaligus gerakan bersama yang seluruhnya ber­orientasi tidak hanya untuk kemaslahatan bersama warga negara, namun juga untuk me­nun­jukkan kehebatan Indo­nesia di mata dunia.

Maka, saya adalah salah satu yang paling setuju dengan Sujiwo Tejo yang berkata bah­wa pe­lukan Hanifan kepada Jo­ko­wi dan Prabowo sekaligus itu bu­kan pelukan yang m­e­nyatukan. Tapi, merupakan pe­lukan yang mengingatkan. Me­ng­ingatkan bahwa se­ja­tinya kita itu satu. Dari dulu zaman nenek moyang kita, dan tetap akan satu, sam­pai kapan pun itu. Merdeka!
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5225 seconds (0.1#10.140)