Gestur Kebangsaan
A
A
A
FAJAR S PRAMONO
Alumnus Fakultas Pertanian UNS
Sebuah pelukan bisa jadi sekadar sebuah ritual yang biasa antarseseorang dengan seseorang yang lain. Namun, ia menjadi sangat sarat makna ketika yang dipersatukan dalam pelukan tersebut adalah dua orang yang telah resmi berkontestasi sebagai calon pemimpin di Pemilihan Presiden 2019 nanti, sekaligus dua orang pemilik massa yang level grassroot -nya sering kali berbenturan karena para pengikutnya banyak yang menganut paham fanatisme buta dan kultus individu.
Jadilah apa yang dilakukan Hanifan Yudani Kusuma, peraih medali emas Asian Games 2018 dari kelas C cabang olahraga pencak silat yang “menyatukan” Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam sebuah pelukan, sebuah momentum kebangsaan yang sangat bersejarah dan menyejukkan.
Meski pun momentum tersebut bukan terjadi pada ranah politik yang sesungguhnya, simbolisasi persatuan bahwasanya ketika siapa pun bicara tentang kehormatan bangsa dan negara, sekat-sekat primordialisme dan kelompok kepentingan itu menjadi niskala.
Yang menyenangkan dari pemandangan pelukan Jokowi, Prabowo, dan Hanifan itu adalah bahwa gestur mereka adalah gestur yang ikhlas. Gestur yang alami, tak berkeberatan. Gestur yang tidak canggung. Itu artinya, kita boleh optimistis bahwa sesungguhnya yang ada di ranah politik sekarang ini adalah sekadar perbedaan tentang cara mereka akan mengabdi kepada bangsa dan negara.
Bahwa yang tidak sama adalah sekadar prinsip strategi kebangsaan yang akan dipraktikkan dalam pola kepemimpinan negara, namun tetap dengan muara yang sama: kejayaan Indonesia di mata rakyatnya dan di mata dunia.
Pelukan Kebangsaan
Mengamati sebuah fenomena dari aspek gestur sesungguhnya sangat menarik. Karena gestur merupakan bawaan alam bawah sadar yang tidak semua orang bisa menjadikannya sebuah akting artifisial belaka. Apalagi, Jokowi dan Prabowo tidak pernah kita kenal sebagai “aktor” yang pandai berolah peran. Pandai berpura-pura.
Ekspresi yang selama ini dibawa oleh mereka adalah original expression milik mereka, kendati kita semua yakin, selalu ada basic politik pencitraan yang dibangun. Melihatnya secara kasatmata tidak terlampau sulit, karena kita dengan mudah bisa mengakses masa lalu mereka. Apakah style itu baru ada ketika mereka menjadi (calon) pemimpin atau memang merupakan karakter lama yang sudah menjadi trade mark sejak munculnya mereka di ranah (politik) publik.
Dan, gestur adalah sesuatu yang tidak mudah dibentuk secara jangka pendek. Yang mudah dibangun atau dilatih adalah sekadar penampilan, gaya bicara, gaya berdiri, gaya berjalan, cara tersenyum, cara memeluk, dan sejenisnya. Sementara gestur merupakan sebuah ekspresi yang muncul dalam raut wajah, aura muka, tarikan senyum, sikap tubuh, sorot mata, bahkan tarikan napas yang alami. Inner expression.
Kata “gestur” memang tidak kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) daring sebagai terjemahan Indonesia kata gesture dalam bahasa Inggris. Namun, dari Wikipedia, kita bisa tahu bahwa gestur merupakan suatu bentuk komunikasi nonverbal dengan aksi tubuh yang mengomunikasikan pesan-pesan tertentu, baik sebagai pengganti wicara atau bersamaan dan paralel dengan kata-kata.
Gestur membolehkan individu untuk mengomunikasikan berbagai bentuk perasaan dan pandangan, dari menghina dan kebencian sampai menyetujui dan kasih sayang.
Itu makanya mengapa banyak sekali orang berharap bahwa pelukan yang diinisiasi Hanifan atas dua orang calon presiden Indonesia 2019-2024 tersebut adalah “pelukan kebangsaan”. Pelukan yang kendati spontan dan diinisiasi orang lain, namun memperlihatkan ketulusan yang sama ketika harus bicara nasionalisme dan impian kebesaran kejayaan bangsa dan negara. Pelukan yang diyakini ikut melepaskan hormon oksitoksin dari dalam tubuh, sehingga membuat pelaku dan orang yang melihatnya merasakan cinta dan kedamaian.
Pelukan yang Mengingatkan
Kembali kepada gestur, kita akan sangat bisa membedakan kedalaman makna salaman dan cium pipi Jokowi-Prabowo pada saat mereka bertemu ketika melakukan negosiasi politik. Atau yang kasatmata, saat mereka akan memulai debat antarcalon presiden pada masa kampanye pemilihan presiden beberapa tahun silam. Sangat berbeda.
Apa yang dilakukan dalam negosiasi politik dan debat publik sangat terkesan formal, jika tak bisa disebut sekadar “basa-basi politik”. Maka, tampak kekakuan pada gestur tubuh keduanya ditambah ekspresi muka yang tidak se-”lepas” dan senyaman “pelukan kebangsaan” di Padepokan Pencak Silat TMII kemarin itu.
Bagaimanapun, kebiasaan formal itu merupakan kebiasaan yang baik jika tak sekadar latah dari kebiasaan yang ada dari pertemuan-pertemuan tokoh bangsa di berbagai negara. Karena, sejatinya, yang dibutuhkan ketika berdiskusi membicarakan kepentingan bangsa ataupun ketika melakukan lobi politik untuk kebaikan kolektif bangsa adalah keikhlasan dan kemauan hati untuk benar-benar duduk bersama, membicarakan kepentingan bersama.
Dalam konteks “pelukan kebangsaan”, seandainya gestur alami yang menyiratkan optimisme perdamaian dan persatuan antarelemen bangsa bisa menjadi “wabah” baru di seluruh level perpolitikan negeri ini, baik di tingkat elite pemerintahan, elite partai politik, hingga ke tingkatan middle dan bahkan grassroot, maka kita boleh membayangkan dunia politik Indonesia yang indah, damai, jauh dari pertikaian yang tidak perlu.
Juga jauh dari hoaks-hoaks sampah yang bertebaran di seluruh penjuru media informasi, terwujudnya harmoni kehidupan dalam kebinekaan yang “mengayakan” -bukan memisahkan dan memiskinkan, serta bermunculannya ide sekaligus gerakan bersama yang seluruhnya berorientasi tidak hanya untuk kemaslahatan bersama warga negara, namun juga untuk menunjukkan kehebatan Indonesia di mata dunia.
Maka, saya adalah salah satu yang paling setuju dengan Sujiwo Tejo yang berkata bahwa pelukan Hanifan kepada Jokowi dan Prabowo sekaligus itu bukan pelukan yang menyatukan. Tapi, merupakan pelukan yang mengingatkan. Mengingatkan bahwa sejatinya kita itu satu. Dari dulu zaman nenek moyang kita, dan tetap akan satu, sampai kapan pun itu. Merdeka!
Alumnus Fakultas Pertanian UNS
Sebuah pelukan bisa jadi sekadar sebuah ritual yang biasa antarseseorang dengan seseorang yang lain. Namun, ia menjadi sangat sarat makna ketika yang dipersatukan dalam pelukan tersebut adalah dua orang yang telah resmi berkontestasi sebagai calon pemimpin di Pemilihan Presiden 2019 nanti, sekaligus dua orang pemilik massa yang level grassroot -nya sering kali berbenturan karena para pengikutnya banyak yang menganut paham fanatisme buta dan kultus individu.
Jadilah apa yang dilakukan Hanifan Yudani Kusuma, peraih medali emas Asian Games 2018 dari kelas C cabang olahraga pencak silat yang “menyatukan” Joko Widodo dan Prabowo Subianto dalam sebuah pelukan, sebuah momentum kebangsaan yang sangat bersejarah dan menyejukkan.
Meski pun momentum tersebut bukan terjadi pada ranah politik yang sesungguhnya, simbolisasi persatuan bahwasanya ketika siapa pun bicara tentang kehormatan bangsa dan negara, sekat-sekat primordialisme dan kelompok kepentingan itu menjadi niskala.
Yang menyenangkan dari pemandangan pelukan Jokowi, Prabowo, dan Hanifan itu adalah bahwa gestur mereka adalah gestur yang ikhlas. Gestur yang alami, tak berkeberatan. Gestur yang tidak canggung. Itu artinya, kita boleh optimistis bahwa sesungguhnya yang ada di ranah politik sekarang ini adalah sekadar perbedaan tentang cara mereka akan mengabdi kepada bangsa dan negara.
Bahwa yang tidak sama adalah sekadar prinsip strategi kebangsaan yang akan dipraktikkan dalam pola kepemimpinan negara, namun tetap dengan muara yang sama: kejayaan Indonesia di mata rakyatnya dan di mata dunia.
Pelukan Kebangsaan
Mengamati sebuah fenomena dari aspek gestur sesungguhnya sangat menarik. Karena gestur merupakan bawaan alam bawah sadar yang tidak semua orang bisa menjadikannya sebuah akting artifisial belaka. Apalagi, Jokowi dan Prabowo tidak pernah kita kenal sebagai “aktor” yang pandai berolah peran. Pandai berpura-pura.
Ekspresi yang selama ini dibawa oleh mereka adalah original expression milik mereka, kendati kita semua yakin, selalu ada basic politik pencitraan yang dibangun. Melihatnya secara kasatmata tidak terlampau sulit, karena kita dengan mudah bisa mengakses masa lalu mereka. Apakah style itu baru ada ketika mereka menjadi (calon) pemimpin atau memang merupakan karakter lama yang sudah menjadi trade mark sejak munculnya mereka di ranah (politik) publik.
Dan, gestur adalah sesuatu yang tidak mudah dibentuk secara jangka pendek. Yang mudah dibangun atau dilatih adalah sekadar penampilan, gaya bicara, gaya berdiri, gaya berjalan, cara tersenyum, cara memeluk, dan sejenisnya. Sementara gestur merupakan sebuah ekspresi yang muncul dalam raut wajah, aura muka, tarikan senyum, sikap tubuh, sorot mata, bahkan tarikan napas yang alami. Inner expression.
Kata “gestur” memang tidak kita temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) daring sebagai terjemahan Indonesia kata gesture dalam bahasa Inggris. Namun, dari Wikipedia, kita bisa tahu bahwa gestur merupakan suatu bentuk komunikasi nonverbal dengan aksi tubuh yang mengomunikasikan pesan-pesan tertentu, baik sebagai pengganti wicara atau bersamaan dan paralel dengan kata-kata.
Gestur membolehkan individu untuk mengomunikasikan berbagai bentuk perasaan dan pandangan, dari menghina dan kebencian sampai menyetujui dan kasih sayang.
Itu makanya mengapa banyak sekali orang berharap bahwa pelukan yang diinisiasi Hanifan atas dua orang calon presiden Indonesia 2019-2024 tersebut adalah “pelukan kebangsaan”. Pelukan yang kendati spontan dan diinisiasi orang lain, namun memperlihatkan ketulusan yang sama ketika harus bicara nasionalisme dan impian kebesaran kejayaan bangsa dan negara. Pelukan yang diyakini ikut melepaskan hormon oksitoksin dari dalam tubuh, sehingga membuat pelaku dan orang yang melihatnya merasakan cinta dan kedamaian.
Pelukan yang Mengingatkan
Kembali kepada gestur, kita akan sangat bisa membedakan kedalaman makna salaman dan cium pipi Jokowi-Prabowo pada saat mereka bertemu ketika melakukan negosiasi politik. Atau yang kasatmata, saat mereka akan memulai debat antarcalon presiden pada masa kampanye pemilihan presiden beberapa tahun silam. Sangat berbeda.
Apa yang dilakukan dalam negosiasi politik dan debat publik sangat terkesan formal, jika tak bisa disebut sekadar “basa-basi politik”. Maka, tampak kekakuan pada gestur tubuh keduanya ditambah ekspresi muka yang tidak se-”lepas” dan senyaman “pelukan kebangsaan” di Padepokan Pencak Silat TMII kemarin itu.
Bagaimanapun, kebiasaan formal itu merupakan kebiasaan yang baik jika tak sekadar latah dari kebiasaan yang ada dari pertemuan-pertemuan tokoh bangsa di berbagai negara. Karena, sejatinya, yang dibutuhkan ketika berdiskusi membicarakan kepentingan bangsa ataupun ketika melakukan lobi politik untuk kebaikan kolektif bangsa adalah keikhlasan dan kemauan hati untuk benar-benar duduk bersama, membicarakan kepentingan bersama.
Dalam konteks “pelukan kebangsaan”, seandainya gestur alami yang menyiratkan optimisme perdamaian dan persatuan antarelemen bangsa bisa menjadi “wabah” baru di seluruh level perpolitikan negeri ini, baik di tingkat elite pemerintahan, elite partai politik, hingga ke tingkatan middle dan bahkan grassroot, maka kita boleh membayangkan dunia politik Indonesia yang indah, damai, jauh dari pertikaian yang tidak perlu.
Juga jauh dari hoaks-hoaks sampah yang bertebaran di seluruh penjuru media informasi, terwujudnya harmoni kehidupan dalam kebinekaan yang “mengayakan” -bukan memisahkan dan memiskinkan, serta bermunculannya ide sekaligus gerakan bersama yang seluruhnya berorientasi tidak hanya untuk kemaslahatan bersama warga negara, namun juga untuk menunjukkan kehebatan Indonesia di mata dunia.
Maka, saya adalah salah satu yang paling setuju dengan Sujiwo Tejo yang berkata bahwa pelukan Hanifan kepada Jokowi dan Prabowo sekaligus itu bukan pelukan yang menyatukan. Tapi, merupakan pelukan yang mengingatkan. Mengingatkan bahwa sejatinya kita itu satu. Dari dulu zaman nenek moyang kita, dan tetap akan satu, sampai kapan pun itu. Merdeka!
(nag)