Memulihkan Kebijakan Reformasi Peradilan

Kamis, 30 Agustus 2018 - 08:35 WIB
Memulihkan Kebijakan...
Memulihkan Kebijakan Reformasi Peradilan
A A A
Idul Rishan
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM, Pengajar Muda Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia

OPERASI tangkap ta­ngan (OTT) yang di­gelar Ko­mi­si Pem­­be­ran­tas­an Ko­rupsi (KPK) terhadap em­pat hakim Pengadilan Ne­ge­ri (PN) Medan, kembali mem­­be­ri citra buruk terhadap du­nia peradilan di Indonesia. Le­bih iro­ni lagi, empat di an­ta­ra ha­kim yang terjaring KPK me­ru­pa­kan ketua dan wakil ke­tua PN Medan.

KPK d­i­be­ri­ta­kan ma­sih akan me­ngem­bang­­kan ka­sus ini, dan tidak me­nutup ke­mungkinan jum­lah ter­sang­ka kasus korupsi aka­n ber­tam­bah, bahkan sam­­­pai me­li­bat­kan pejabat peng­adil­an lain­nya seperti pa­ni­te­ra. Fenome­na ini menjadi pot­ret buram wa­jah peradilan yang terus di­be­lit oleh ceng­ke­ra­m­an para ma­fia peradilan.

Pe­r­soalan ini te­rus menjadi pe­­­­nyakit laten se­cara me­na­hun di tubuh MA. Ra­gam ke­bi­jak­­an reformasi peradilan te­lah banyak d­i­la­ku­kan dalam m­e­­nekan laju kua­n­ti­tas ko­rup­­si di sektor per­adil­an. Na­mun jika bicara me­nge­nai ha­sil, upaya-upaya itu cen­de­­rung ber­jalan stagnan. Se­olah kem­bal­i membuka tanya, di ma­na le­tak problem se­sung­guh­nya da­lam memetakan fe­no­mena ko­rupsi yudisial.

Si­tua­si se­ma­kin pelik jika pe­na­ngan­an ini ha­nya dilakukan de­ngan ke­bi­jak­an parsial se­ca­ra “tambal su­lam”. Perkuat peng­awasan, tam­­­bah daya jelajah peng­awas­an, membangun je­jaring pen­g­awas­an. Wacana itu terus m­e­nguat, namun ke­bi­jakan itu harus diambil se­ca­ra hati- ha­ti, sebab masalah uta­ma ko­rup­si yudisial bukan pa­da pro­ses hilir (peng­awas­an), na­mun ada pada proses hulunya.

Anatomi Reformasi Peradilan
Hampir di setiap negara yang melewati fase transisi po­li­tik, jaminan kemerdekaan ­ke­kuasaan kehakiman selalu men­jadi agenda utama dalam ke­rangka reformasi peradilan. Po­la ini hampir terjadi secara se­ragam seiring datangnya ge­lom­bang demokrasi ketiga (Sa­muel P Hutington: De­mo­cracy’s Third Wave:1991). Se­but saja beberapa di antaranya Afri­ka Selatan, Nigeria, Ar­gen­tina, dan Peru, merupakan ne­gara yang melewati fase de­mo­kratisasi ë90-an. Pola ke­bi­jak­an reformasi peradilan yang ditempuh cukup be­ra­­gam.

Namun, titik per­sa­maan itu dapat diambil ber­dasarkan dua pola. Po­la pertama ada ja­minan ­ke­mer­dekaan kekua­sa­an k­e­ha­kiman dalam kons­ti­tu­si­nya, pola kedua ialah me­la­­hirkan lembaga in­de­pen­den se­jenis Council (KY). Dua pola ini sudah men­jadi pakem d­a­lam ke­bi­jakan reformasi per­adil­an. Masing-masing pola ini berimplikasi pada dua hal.

Per­t­ama, in­de­pen­den­si ke­le­­m­ba­gaan peradilan yang me­le­kat pada Mah­ka­mah Agung. Kedua in­de­pen­den­si jabatan ha­kim yang me­lekat pada organ in­de­pen­den layaknya Komisi Yu­­d­isial (KY). Dua ke­bi­jak­an ini dibangun atas s­e­ma­ngat be­sar yaitu me­wu­jud­kan per­adil­an yang in­de­pen­den dan akun­tabel. Se­mangat besar ini pu­la yang men­jadi titik awal da­lam me­mutus ran­tai pe­ri­la­ku ko­rup­tif di sektor peradilan.

Transisi Politik Tanpa Cetak Biru
Saat ini usia reformasi per­adi­l­an di Indonesia telah meng­injak hampir 20 tahun se­jak transisi politik. Hampir se­jalan dengan berbagai ne­ga­ra di atas, jika hendak kembali me­motret wajah transisi po­li­tik (1999-2002), kebijakan itu di­ambil dengan dua semangat be­sar yaitu menjamin ke­mer­de­ka­an kekuasaan ke­ha­kim­an, dan pelembagaan KY da­lam konstitusi.

Sayangnya h­a­rus diakui perdebatan transisi po­litik lahir tanpa cetak biru me­madai. Perdebatan ke­mer­de­ka­an kekuasaan keha­kim­an dalam perubahan UUD ter­lam­pau jauh ditarik sebagai ben­tuk otonomi kebijakan sa­tu atap (one roof system), se­men­tara di saat yang sama KY ju­ga dilembagakan pada per­ubah­an ketiga UUD. Tidak ada sa­tu pun pembahasan dalam per­ubahan UUD yang berhasil me­metakan bagaimana pola hubungan antara dua ke­b­i­jak­an ini.

Alhasil dalam level UU, in­dependensi kelembagaan dan independensi jabatan ha­kim jauh berayun ke MA, dan KY hanya menjadi pengawas “se­tengah hati”. Tidak heran da­l­am tataran pelaksanaan hu­bungan antara dua lembaga ini cen­de­rung “melempem”. Ti­tik per­soal­an­nya ialah lagi-lagi soal ak­sep­ta­bilitas. Seberapa besar MA mau menerima ke­ha­dir­an KY se­ba­gai organ eksternal da­lam me­na­ta kebijakan re­fo­r­ma­si peradilan.

Ego sektoral ke­lem­ba­ga­an sering diperlihatkan MA se­ba­gai lembaga yang sudah kuat dan berpola dibandingkan KY se­bagai lembaga baru yang la­hir pa­da fase transisi politik. Ak­hir­nya sikap saling klaim dalam p­e­nge­lolaan jabatan hakim terus ter­­jadi selama hampir dua de­ka­de ini.

Membangun Merit Sistem
Melihat ledakan kuantitas ka­sus korupsi yang melilit MA, se­h­arusnya mendorong MA un­tuk berbenah. Terlebih kua­n­ti­tas hakim di bawah MA yang men­­capai angka di atas 8.000 per­sonel mem­buat patologi birokrasi MA men­jadi sangat “ge­muk”. Ar­tinya, melibatkan lem­ba­ga eksternal seperti KY da­lam pe­ngelolaan jabatan h­a­kim men­ja­di alternatif pi­lih­an yang me­madai.

Selama ini pola ke­bi­jak­an reformasi per­adilan hanya me­n­yentuh as­pek hilir, tanpa mem­per­ha­tikan aspek hulu. Peng­awas­an terus diperkuat, tan­­­pa memperhatikan se­jum­lah ben­tangan empirik pa­da aspek hu­lu. Perlu di­pi­kir­kan kembali sis­tem peng­ang­k­atan hakim ka­rier de­ngan sistem promosi dan mu­­tasi para hakim. Selama ini hal tersebut hanya men­jadi do­main tunggal MA.

Ten­tu di­per­lu­kan sebuah sis­tem yang lebih me­rit ter­ha­dap masing-masing sub­sis­tem tersebut. Sekurang-kurangnya upaya preventif da­­lam meminimalisasi pe­ri­laku ko­rup­tif dibangun se­cara in­ter­ko­nek­tif de­ngan lembaga eksternal la­yak­nya KY. Mulai sistem peng­ang­­katan, pengawasan, pro­mo­si, hingga mutasi hakim, diba­ngun secara simultan dan akun­ta­­bel dengan melibatkan peran ser­­ta masyarakat dalam mem­be­ri­­kan informasi terhadap rekam je­­jak para hakim.

JR & RUU Jabatan Hakim
Pertanyaan yang kemudian mun­cul ialah apakah mo­men­tum ini bisa diwujudkan meng­ingat secara normatif ke­we­nang­an KY telah banyak di­se­gre­ga­si melalui putusan MK? Ja­wab­annya bisa. KY wajib meng­am­bil momentum dengan meng­­uji Pasal 21 ayat (1) UU Ke­kua­­saan Kehakiman yang meng­­atur tentang kebijakan one roof sys­tem.

Pasal itu wajib din­i­lai oleh MK, sebab tiga paket re­vi­si UU Kekuasaan Kehakiman (1999-2004-2009) masih meng­­ga­bungkan independensi ke­­lem­­bagaan dan independensi ja­­bat­an hakim menjadi satu ke­sa­­tu­a­n. Padahal secara konsep, dua va­riabel itu seharusnya ter­pi­sah.

In­dependensi ke­lem­ba­ga­an un­tuk MA, sementara in­de­­pen­den­si jabatan hakim me­ru­pakan ke­bi­jakan politik hu­kum terbuka. Bi­s­a diserahkan ke­pada KY atau di­kelola secara ber­sama ber­d­a­sar­kan prinsip shared model ber­sama MA. Jika MK me­nga­bul­kan, RUU Jabatan Ha­kim se­ti­dak­nya dapat me­mu­lih­kan kem­bali kebijakan re­for­masi per­adil­an yang diusung se­jak transisi politik.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7203 seconds (0.1#10.140)