Memulihkan Kebijakan Reformasi Peradilan
A
A
A
Idul Rishan
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM, Pengajar Muda Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia
OPERASI tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap empat hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, kembali memberi citra buruk terhadap dunia peradilan di Indonesia. Lebih ironi lagi, empat di antara hakim yang terjaring KPK merupakan ketua dan wakil ketua PN Medan.
KPK diberitakan masih akan mengembangkan kasus ini, dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka kasus korupsi akan bertambah, bahkan sampai melibatkan pejabat pengadilan lainnya seperti panitera. Fenomena ini menjadi potret buram wajah peradilan yang terus dibelit oleh cengkeraman para mafia peradilan.
Persoalan ini terus menjadi penyakit laten secara menahun di tubuh MA. Ragam kebijakan reformasi peradilan telah banyak dilakukan dalam menekan laju kuantitas korupsi di sektor peradilan. Namun jika bicara mengenai hasil, upaya-upaya itu cenderung berjalan stagnan. Seolah kembali membuka tanya, di mana letak problem sesungguhnya dalam memetakan fenomena korupsi yudisial.
Situasi semakin pelik jika penanganan ini hanya dilakukan dengan kebijakan parsial secara “tambal sulam”. Perkuat pengawasan, tambah daya jelajah pengawasan, membangun jejaring pengawasan. Wacana itu terus menguat, namun kebijakan itu harus diambil secara hati- hati, sebab masalah utama korupsi yudisial bukan pada proses hilir (pengawasan), namun ada pada proses hulunya.
Anatomi Reformasi Peradilan
Hampir di setiap negara yang melewati fase transisi politik, jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman selalu menjadi agenda utama dalam kerangka reformasi peradilan. Pola ini hampir terjadi secara seragam seiring datangnya gelombang demokrasi ketiga (Samuel P Hutington: Democracy’s Third Wave:1991). Sebut saja beberapa di antaranya Afrika Selatan, Nigeria, Argentina, dan Peru, merupakan negara yang melewati fase demokratisasi ë90-an. Pola kebijakan reformasi peradilan yang ditempuh cukup beragam.
Namun, titik persamaan itu dapat diambil berdasarkan dua pola. Pola pertama ada jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam konstitusinya, pola kedua ialah melahirkan lembaga independen sejenis Council (KY). Dua pola ini sudah menjadi pakem dalam kebijakan reformasi peradilan. Masing-masing pola ini berimplikasi pada dua hal.
Pertama, independensi kelembagaan peradilan yang melekat pada Mahkamah Agung. Kedua independensi jabatan hakim yang melekat pada organ independen layaknya Komisi Yudisial (KY). Dua kebijakan ini dibangun atas semangat besar yaitu mewujudkan peradilan yang independen dan akuntabel. Semangat besar ini pula yang menjadi titik awal dalam memutus rantai perilaku koruptif di sektor peradilan.
Transisi Politik Tanpa Cetak Biru
Saat ini usia reformasi peradilan di Indonesia telah menginjak hampir 20 tahun sejak transisi politik. Hampir sejalan dengan berbagai negara di atas, jika hendak kembali memotret wajah transisi politik (1999-2002), kebijakan itu diambil dengan dua semangat besar yaitu menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan pelembagaan KY dalam konstitusi.
Sayangnya harus diakui perdebatan transisi politik lahir tanpa cetak biru memadai. Perdebatan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam perubahan UUD terlampau jauh ditarik sebagai bentuk otonomi kebijakan satu atap (one roof system), sementara di saat yang sama KY juga dilembagakan pada perubahan ketiga UUD. Tidak ada satu pun pembahasan dalam perubahan UUD yang berhasil memetakan bagaimana pola hubungan antara dua kebijakan ini.
Alhasil dalam level UU, independensi kelembagaan dan independensi jabatan hakim jauh berayun ke MA, dan KY hanya menjadi pengawas “setengah hati”. Tidak heran dalam tataran pelaksanaan hubungan antara dua lembaga ini cenderung “melempem”. Titik persoalannya ialah lagi-lagi soal akseptabilitas. Seberapa besar MA mau menerima kehadiran KY sebagai organ eksternal dalam menata kebijakan reformasi peradilan.
Ego sektoral kelembagaan sering diperlihatkan MA sebagai lembaga yang sudah kuat dan berpola dibandingkan KY sebagai lembaga baru yang lahir pada fase transisi politik. Akhirnya sikap saling klaim dalam pengelolaan jabatan hakim terus terjadi selama hampir dua dekade ini.
Membangun Merit Sistem
Melihat ledakan kuantitas kasus korupsi yang melilit MA, seharusnya mendorong MA untuk berbenah. Terlebih kuantitas hakim di bawah MA yang mencapai angka di atas 8.000 personel membuat patologi birokrasi MA menjadi sangat “gemuk”. Artinya, melibatkan lembaga eksternal seperti KY dalam pengelolaan jabatan hakim menjadi alternatif pilihan yang memadai.
Selama ini pola kebijakan reformasi peradilan hanya menyentuh aspek hilir, tanpa memperhatikan aspek hulu. Pengawasan terus diperkuat, tanpa memperhatikan sejumlah bentangan empirik pada aspek hulu. Perlu dipikirkan kembali sistem pengangkatan hakim karier dengan sistem promosi dan mutasi para hakim. Selama ini hal tersebut hanya menjadi domain tunggal MA.
Tentu diperlukan sebuah sistem yang lebih merit terhadap masing-masing subsistem tersebut. Sekurang-kurangnya upaya preventif dalam meminimalisasi perilaku koruptif dibangun secara interkonektif dengan lembaga eksternal layaknya KY. Mulai sistem pengangkatan, pengawasan, promosi, hingga mutasi hakim, dibangun secara simultan dan akuntabel dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam memberikan informasi terhadap rekam jejak para hakim.
JR & RUU Jabatan Hakim
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah momentum ini bisa diwujudkan mengingat secara normatif kewenangan KY telah banyak disegregasi melalui putusan MK? Jawabannya bisa. KY wajib mengambil momentum dengan menguji Pasal 21 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tentang kebijakan one roof system.
Pasal itu wajib dinilai oleh MK, sebab tiga paket revisi UU Kekuasaan Kehakiman (1999-2004-2009) masih menggabungkan independensi kelembagaan dan independensi jabatan hakim menjadi satu kesatuan. Padahal secara konsep, dua variabel itu seharusnya terpisah.
Independensi kelembagaan untuk MA, sementara independensi jabatan hakim merupakan kebijakan politik hukum terbuka. Bisa diserahkan kepada KY atau dikelola secara bersama berdasarkan prinsip shared model bersama MA. Jika MK mengabulkan, RUU Jabatan Hakim setidaknya dapat memulihkan kembali kebijakan reformasi peradilan yang diusung sejak transisi politik.
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UGM, Pengajar Muda Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia
OPERASI tangkap tangan (OTT) yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap empat hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, kembali memberi citra buruk terhadap dunia peradilan di Indonesia. Lebih ironi lagi, empat di antara hakim yang terjaring KPK merupakan ketua dan wakil ketua PN Medan.
KPK diberitakan masih akan mengembangkan kasus ini, dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka kasus korupsi akan bertambah, bahkan sampai melibatkan pejabat pengadilan lainnya seperti panitera. Fenomena ini menjadi potret buram wajah peradilan yang terus dibelit oleh cengkeraman para mafia peradilan.
Persoalan ini terus menjadi penyakit laten secara menahun di tubuh MA. Ragam kebijakan reformasi peradilan telah banyak dilakukan dalam menekan laju kuantitas korupsi di sektor peradilan. Namun jika bicara mengenai hasil, upaya-upaya itu cenderung berjalan stagnan. Seolah kembali membuka tanya, di mana letak problem sesungguhnya dalam memetakan fenomena korupsi yudisial.
Situasi semakin pelik jika penanganan ini hanya dilakukan dengan kebijakan parsial secara “tambal sulam”. Perkuat pengawasan, tambah daya jelajah pengawasan, membangun jejaring pengawasan. Wacana itu terus menguat, namun kebijakan itu harus diambil secara hati- hati, sebab masalah utama korupsi yudisial bukan pada proses hilir (pengawasan), namun ada pada proses hulunya.
Anatomi Reformasi Peradilan
Hampir di setiap negara yang melewati fase transisi politik, jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman selalu menjadi agenda utama dalam kerangka reformasi peradilan. Pola ini hampir terjadi secara seragam seiring datangnya gelombang demokrasi ketiga (Samuel P Hutington: Democracy’s Third Wave:1991). Sebut saja beberapa di antaranya Afrika Selatan, Nigeria, Argentina, dan Peru, merupakan negara yang melewati fase demokratisasi ë90-an. Pola kebijakan reformasi peradilan yang ditempuh cukup beragam.
Namun, titik persamaan itu dapat diambil berdasarkan dua pola. Pola pertama ada jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam konstitusinya, pola kedua ialah melahirkan lembaga independen sejenis Council (KY). Dua pola ini sudah menjadi pakem dalam kebijakan reformasi peradilan. Masing-masing pola ini berimplikasi pada dua hal.
Pertama, independensi kelembagaan peradilan yang melekat pada Mahkamah Agung. Kedua independensi jabatan hakim yang melekat pada organ independen layaknya Komisi Yudisial (KY). Dua kebijakan ini dibangun atas semangat besar yaitu mewujudkan peradilan yang independen dan akuntabel. Semangat besar ini pula yang menjadi titik awal dalam memutus rantai perilaku koruptif di sektor peradilan.
Transisi Politik Tanpa Cetak Biru
Saat ini usia reformasi peradilan di Indonesia telah menginjak hampir 20 tahun sejak transisi politik. Hampir sejalan dengan berbagai negara di atas, jika hendak kembali memotret wajah transisi politik (1999-2002), kebijakan itu diambil dengan dua semangat besar yaitu menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan pelembagaan KY dalam konstitusi.
Sayangnya harus diakui perdebatan transisi politik lahir tanpa cetak biru memadai. Perdebatan kemerdekaan kekuasaan kehakiman dalam perubahan UUD terlampau jauh ditarik sebagai bentuk otonomi kebijakan satu atap (one roof system), sementara di saat yang sama KY juga dilembagakan pada perubahan ketiga UUD. Tidak ada satu pun pembahasan dalam perubahan UUD yang berhasil memetakan bagaimana pola hubungan antara dua kebijakan ini.
Alhasil dalam level UU, independensi kelembagaan dan independensi jabatan hakim jauh berayun ke MA, dan KY hanya menjadi pengawas “setengah hati”. Tidak heran dalam tataran pelaksanaan hubungan antara dua lembaga ini cenderung “melempem”. Titik persoalannya ialah lagi-lagi soal akseptabilitas. Seberapa besar MA mau menerima kehadiran KY sebagai organ eksternal dalam menata kebijakan reformasi peradilan.
Ego sektoral kelembagaan sering diperlihatkan MA sebagai lembaga yang sudah kuat dan berpola dibandingkan KY sebagai lembaga baru yang lahir pada fase transisi politik. Akhirnya sikap saling klaim dalam pengelolaan jabatan hakim terus terjadi selama hampir dua dekade ini.
Membangun Merit Sistem
Melihat ledakan kuantitas kasus korupsi yang melilit MA, seharusnya mendorong MA untuk berbenah. Terlebih kuantitas hakim di bawah MA yang mencapai angka di atas 8.000 personel membuat patologi birokrasi MA menjadi sangat “gemuk”. Artinya, melibatkan lembaga eksternal seperti KY dalam pengelolaan jabatan hakim menjadi alternatif pilihan yang memadai.
Selama ini pola kebijakan reformasi peradilan hanya menyentuh aspek hilir, tanpa memperhatikan aspek hulu. Pengawasan terus diperkuat, tanpa memperhatikan sejumlah bentangan empirik pada aspek hulu. Perlu dipikirkan kembali sistem pengangkatan hakim karier dengan sistem promosi dan mutasi para hakim. Selama ini hal tersebut hanya menjadi domain tunggal MA.
Tentu diperlukan sebuah sistem yang lebih merit terhadap masing-masing subsistem tersebut. Sekurang-kurangnya upaya preventif dalam meminimalisasi perilaku koruptif dibangun secara interkonektif dengan lembaga eksternal layaknya KY. Mulai sistem pengangkatan, pengawasan, promosi, hingga mutasi hakim, dibangun secara simultan dan akuntabel dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam memberikan informasi terhadap rekam jejak para hakim.
JR & RUU Jabatan Hakim
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah apakah momentum ini bisa diwujudkan mengingat secara normatif kewenangan KY telah banyak disegregasi melalui putusan MK? Jawabannya bisa. KY wajib mengambil momentum dengan menguji Pasal 21 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tentang kebijakan one roof system.
Pasal itu wajib dinilai oleh MK, sebab tiga paket revisi UU Kekuasaan Kehakiman (1999-2004-2009) masih menggabungkan independensi kelembagaan dan independensi jabatan hakim menjadi satu kesatuan. Padahal secara konsep, dua variabel itu seharusnya terpisah.
Independensi kelembagaan untuk MA, sementara independensi jabatan hakim merupakan kebijakan politik hukum terbuka. Bisa diserahkan kepada KY atau dikelola secara bersama berdasarkan prinsip shared model bersama MA. Jika MK mengabulkan, RUU Jabatan Hakim setidaknya dapat memulihkan kembali kebijakan reformasi peradilan yang diusung sejak transisi politik.
(thm)