Masa Depan Partai
A
A
A
Bambang Arianto
Peneliti LPPM dan Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta
KONTESTASI Pemilihan Presiden 2019 sudah pasti diikuti oleh dua pasangan calon, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno. Kedua pasangan ini merupakan hasil dari proses panjang kompromi politik di antara koalisi masing-masing.
Tapi dari kedua faksi koalisi tersebut, tampak sekali banyak partai politik yang berharap tuah popularitas dari kandidat politik yang dicalonkan. Tuah popularitas inilah yang acap disebut dengan coattail effect atau dikenal efek ekor jas.
Dalam psikologi politik, efek ekor jas merupakan efek masyarakat yang hanya memilih berdasarkan pesona sosok figur semata. Namun, tentulah figur yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi. Tujuannya agar pamor partai ikut terdongkrak hingga pada gilirannya bisa memberikan insentif elektoral bagi keterpilihan partai.
Dalam historiografi politik, efek mendukung figur populer pernah terjadi di beberapa partai besar seperti Demokrat, Gerindra PDI Perjuangan. Partai Demokrat pernah terdongkrak pada Pemilu 2009 lantaran menjagokan figur Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan sosok Joko Widodo dapat mengerek perolehan suara PDI Perjuangan pada kontestasi politik 2014.
Studi lain perihal efek ekor jas menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Dengan begitu, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi tentu dapat memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya.
Apalagi, pilihan memanfaatkan coattail effect bagi kebanyakan partai bukanlah dosa politik dan bukan berarti partai tersebut kekurangan kader untuk diusung. Akan tetapi, penerapan presidential threshold membuat partai politik di DPR tidak bisa mengusung kadernya sendiri dan harus berkoalisi. Di sinilah kemudian partai-partai sehaluan melakukan proses tawar-menawar dalam pembentukan sebuah koalisi hingga kemudian memilih untuk menggunakan sistem coattail effect.
Pilihan partai politik menganut sistem coattail effect untuk menambah insentif elektoral itu jelas. Namun, fenomena coattail effect sejatinya harus dapat dimanfaatkan oleh partai untuk meraup “kader-kader baru” yang potensial dan bisa disemai menjadi politisi berwatak negarawan, mengingat hingga saat ini sangat sulit melahirkan sosok politisi berwatak negarawan lantaran, kultur politik Indonesia masih tetap mengedepankan politik transaksional yang berdampak melahirkan politisi lebih mudah ketimbang sosok negarawan. Akibatnya, negeri ini kian disesaki para politisi yang memiliki hasrat dan nafsu kekuasaan semata.
Padahal, seorang negarawan adalah orang yang bisa melakukan “hal yang benar” dan bukan sekadar melakukan “sesuatu dengan benar”, sebab politisi seperti itu, ketika bekerja, kerap melupakan rakyatnya. Bahkan, politisi sejenis ini hanya memikirkan dirinya sendiri guna mencari sesuatu untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Hal itu tentu berbeda dengan sosok negarawan yang berani mengorbankan dan memberikan jiwa raganya untuk negara. Sosok negarawan akan berani memberikan apa yang dapat diberikan kepada negara, tanpa kepentingan apa pun. Jikalau ada politisi yang memikirkan orang lain, mereka sesungguhnya bukan politisi, melainkan negarawan.
Jika diselisik, sengkarut ini bersumber dari kegagalan partai dalam proses rekrutmen dan kaderisasi guna melahirkan politisi berwatak negarawan. Partai lebih banyak mendengar para oligarkis dan pemilik modal dalam menjalankan roda internal kepartaian.
Akibatnya, kebijakan partai akan sangat paralel dengan keinginan pemilik modal sehingga karakter partai kian menampilkan pola-pola yang jauh dari nilai-nilai demokratisasi. Bila kemudian gejala ini kian merebak, hal ini akan sulit bagi partai politik melahirkan sosok negarawan serta masa depan partai akan terancam.
Melihat fakta demikian, jangan sampai partai yang menganut sistem ini hanya berorientasi mencari elektoral semata, tanpa berupaya mendorong kadernya untuk menjadi sosok negarawan. Inilah yang kemudian menjadi tugas berat partai politik guna mempertahankan masa depan dan kelangsungan hidupnya.
Jadi, kita tunggu saja apakah fenomena coattail effect bisa dimanfaatkan dengan baik untuk memperbaiki masa depan partai terutama mereproduksi sosok negarawan ataukah sistem ini hanyalah manuver politik demi kursi kekuasaan semata?.
Peneliti LPPM dan Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta
KONTESTASI Pemilihan Presiden 2019 sudah pasti diikuti oleh dua pasangan calon, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno. Kedua pasangan ini merupakan hasil dari proses panjang kompromi politik di antara koalisi masing-masing.
Tapi dari kedua faksi koalisi tersebut, tampak sekali banyak partai politik yang berharap tuah popularitas dari kandidat politik yang dicalonkan. Tuah popularitas inilah yang acap disebut dengan coattail effect atau dikenal efek ekor jas.
Dalam psikologi politik, efek ekor jas merupakan efek masyarakat yang hanya memilih berdasarkan pesona sosok figur semata. Namun, tentulah figur yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi. Tujuannya agar pamor partai ikut terdongkrak hingga pada gilirannya bisa memberikan insentif elektoral bagi keterpilihan partai.
Dalam historiografi politik, efek mendukung figur populer pernah terjadi di beberapa partai besar seperti Demokrat, Gerindra PDI Perjuangan. Partai Demokrat pernah terdongkrak pada Pemilu 2009 lantaran menjagokan figur Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan sosok Joko Widodo dapat mengerek perolehan suara PDI Perjuangan pada kontestasi politik 2014.
Studi lain perihal efek ekor jas menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden dan partai yang mengusungnya. Dengan begitu, seorang calon presiden atau presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi tentu dapat memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya.
Apalagi, pilihan memanfaatkan coattail effect bagi kebanyakan partai bukanlah dosa politik dan bukan berarti partai tersebut kekurangan kader untuk diusung. Akan tetapi, penerapan presidential threshold membuat partai politik di DPR tidak bisa mengusung kadernya sendiri dan harus berkoalisi. Di sinilah kemudian partai-partai sehaluan melakukan proses tawar-menawar dalam pembentukan sebuah koalisi hingga kemudian memilih untuk menggunakan sistem coattail effect.
Pilihan partai politik menganut sistem coattail effect untuk menambah insentif elektoral itu jelas. Namun, fenomena coattail effect sejatinya harus dapat dimanfaatkan oleh partai untuk meraup “kader-kader baru” yang potensial dan bisa disemai menjadi politisi berwatak negarawan, mengingat hingga saat ini sangat sulit melahirkan sosok politisi berwatak negarawan lantaran, kultur politik Indonesia masih tetap mengedepankan politik transaksional yang berdampak melahirkan politisi lebih mudah ketimbang sosok negarawan. Akibatnya, negeri ini kian disesaki para politisi yang memiliki hasrat dan nafsu kekuasaan semata.
Padahal, seorang negarawan adalah orang yang bisa melakukan “hal yang benar” dan bukan sekadar melakukan “sesuatu dengan benar”, sebab politisi seperti itu, ketika bekerja, kerap melupakan rakyatnya. Bahkan, politisi sejenis ini hanya memikirkan dirinya sendiri guna mencari sesuatu untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Hal itu tentu berbeda dengan sosok negarawan yang berani mengorbankan dan memberikan jiwa raganya untuk negara. Sosok negarawan akan berani memberikan apa yang dapat diberikan kepada negara, tanpa kepentingan apa pun. Jikalau ada politisi yang memikirkan orang lain, mereka sesungguhnya bukan politisi, melainkan negarawan.
Jika diselisik, sengkarut ini bersumber dari kegagalan partai dalam proses rekrutmen dan kaderisasi guna melahirkan politisi berwatak negarawan. Partai lebih banyak mendengar para oligarkis dan pemilik modal dalam menjalankan roda internal kepartaian.
Akibatnya, kebijakan partai akan sangat paralel dengan keinginan pemilik modal sehingga karakter partai kian menampilkan pola-pola yang jauh dari nilai-nilai demokratisasi. Bila kemudian gejala ini kian merebak, hal ini akan sulit bagi partai politik melahirkan sosok negarawan serta masa depan partai akan terancam.
Melihat fakta demikian, jangan sampai partai yang menganut sistem ini hanya berorientasi mencari elektoral semata, tanpa berupaya mendorong kadernya untuk menjadi sosok negarawan. Inilah yang kemudian menjadi tugas berat partai politik guna mempertahankan masa depan dan kelangsungan hidupnya.
Jadi, kita tunggu saja apakah fenomena coattail effect bisa dimanfaatkan dengan baik untuk memperbaiki masa depan partai terutama mereproduksi sosok negarawan ataukah sistem ini hanyalah manuver politik demi kursi kekuasaan semata?.
(thm)