Masa Depan Partai

Kamis, 30 Agustus 2018 - 08:01 WIB
Masa Depan Partai
Masa Depan Partai
A A A
Bambang Arianto
Peneliti LPPM dan Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta

KONTESTASI Pe­mi­lih­an Presiden 2019 su­­dah pasti diikuti oleh dua pasangan ca­­lon, yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Su­bi­­a­n­to-Sandiaga S Uno. Kedua pa­­sang­an ini merupakan hasil da­ri pro­­ses panjang kompromi po­­li­tik di antara koalisi masing-masing.

Tapi dari ke­dua faksi ko­a­lisi tersebut, tam­pak sekali ba­nyak partai po­li­tik yang ber­ha­rap tuah po­pu­la­ritas dari kan­di­dat politik yang di­ca­lon­kan. Tuah popularitas ini­lah yang acap disebut de­ngan coat­tail effect atau dikenal efek ekor jas.

Dalam psikologi politik, efek ekor jas merupakan efek ma­­­sya­ra­kat yang hanya me­mi­lih ber­da­sarkan pesona so­sok fi­gur se­mata. Namun, te­n­tu­lah fi­gur yang memiliki po­pu­la­ri­tas dan elek­tabilitas ting­gi. Tu­j­­­uannya agar pamor par­tai ikut ter­­dong­krak hing­ga pada gi­lir­an­nya bisa mem­be­rikan in­sen­tif elektoral ba­gi ke­terpilihan partai.

Dalam hi­s­to­riografi po­li­tik, efek men­du­kung figur po­pu­ler pernah ter­jadi di be­be­ra­pa partai besar se­­perti Demo­krat, Gerindra PDI Perjuangan. Par­tai De­mo­krat pernah ter­dong­krak pada P­e­­milu 2009 lan­taran menjago­­kan figur Su­si­lo Bambang Yu­­­dho­yono, se­dang­kan sosok Jo­­ko Widodo da­pat mengerek per­­olehan sua­ra PDI Per­juang­an pa­da kon­testasi politik 2014.

Studi lain perihal efek ekor jas menyebutkan bahwa ter­da­pat hubungan yang positif an­ta­­ra kekuatan elektoral se­orang ca­lon presiden dan pa­r­tai yang meng­usungnya. De­ngan begi­tu, seorang calon pre­si­den atau presiden yang po­puler dengan ting­kat elek­ta­bi­litas yang tinggi ten­tu dapat mem­berikan ke­un­tung­an po­si­tif secara elektoral ke­pada par­tai yang meng­usung­nya.

Apa­lagi, pilihan me­man­faat­­kan coattail effect bagi kebanyak­an partai bu­kanlah do­­sa politik dan bukan ber­arti par­tai ter­sebut keku­rang­­an ka­der untuk diusung. Akan tetapi, pe­nerapan pre­si­dential thres­hold mem­buat partai po­li­tik di DPR tidak bi­sa mengusung ka­der­­nya sendiri dan ha­rus ber­koa­lisi. Di si­n­ilah kemudian partai-partai se­ha­lu­an me­la­ku­kan pro­ses tawar-mena­war da­lam pembentukan se­buah ko­a­li­si hingga ke­mu­di­an memilih unt­uk meng­gu­na­kan sistem coat­tail effect.

Pilihan partai politik meng­anut sistem coattail effect un­tuk me­­nambah insentif ele­k­to­ral itu jelas. Namun, feno­me­na coat­­tail effect sejatinya ha­rus da­­pat dimanfaatkan oleh par­tai un­tuk meraup “kader-ka­der ba­­ru” yang potensial dan bi­s­a di­­se­mai menjadi politisi ber­wa­tak neg­arawan, meng­ingat hing­ga saat ini sa­ngat sulit me­lahirkan so­­sok po­li­ti­si be­r­wa­tak ne­ga­ra­wan lan­ta­ran, kul­tur po­li­tik In­do­­ne­sia masih te­tap me­nge­d­e­pan­kan po­litik tran­saksional yang ber­dam­pak melahirkan po­­litisi le­bih mudah ke­timbang so­­sok ne­ga­rawan. Aki­­bat­­nya, ne­geri ini­ kian disesaki para po­­li­tisi yang me­mi­­liki hasrat dan naf­su ke­kua­sa­an semata.

Padahal, se­orang negarawan ada­­lah orang yang bisa m­e­l­­­a­ku­kan “hal yang benar” dan bu­kan se­­kadar melakukan “se­suatu de­­ngan benar”, sebab po­li­tisi se­­per­ti itu, ketika be­ker­ja, ke­rap me­lupakan ra­k­yat­nya. Bah­kan, po­litisi se­je­nis ini hanya me­m­i­kir­kan di­ri­nya sendiri gu­na men­ca­ri se­sua­tu untuk ke­­pen­­ting­an pri­ba­di dan go­long­an.

Hal itu ten­tu berbeda de­ngan so­sok ne­ga­ra­wan yang be­ra­ni me­ngor­ban­kan dan mem­be­­ri­kan jiwa ra­ganya untuk ne­gara. So­sok negarawan akan be­rani mem­berikan apa yang da­pat di­be­rikan kepada negara, tan­pa ke­pentingan apa pun. Ji­ka­lau ada politisi yang me­mi­kir­kan orang lain, mereka se­sung­­guh­nya bukan politisi, m­e­lainkan negarawan.

Jika diselisik, sengkarut ini ber­­sumber dari kegagalan par­tai dalam proses rekrutmen dan ka­derisasi guna me­la­hir­kan po­li­tisi berwatak ne­ga­ra­wan. Par­tai lebih banyak men­dengar pa­ra oligarkis dan pe­mi­lik modal dalam men­ja­lan­kan roda in­ter­nal kepartaian.

Aki­batnya, ke­bi­jak­an partai akan sangat paralel de­ngan keinginan pemilik mo­dal se­hing­ga karakter partai kian me­nam­pilkan pola-pola yang jauh da­ri nilai-nilai demokra­tisasi. Bi­la kemudian gejala ini kian me­rebak, hal ini akan su­lit bagi par­tai politik me­la­hir­kan so­sok negarawan serta ma­sa de­pan partai akan terancam.

Melihat fakta demikian, ja­ngan sampai partai yang meng­anut sistem ini hanya ber­orien­tasi mencari elektoral semata, tan­­pa berupaya mendorong ka­­der­nya untuk menjadi sosok ne­g­­a­rawan. Inilah yang kem­u­di­an menjadi tugas berat partai po­­­l­i­tik guna mempertahankan ma­­sa depan dan kelangsungan hi­­dup­nya.

Jadi, kita tunggu sa­ja apa­kah fenomena coattail effect bi­sa dimanfaatkan de­ngan baik u­n­tuk memperbaiki ma­sa de­pan partai terutama me­­re­pro­duk­si sosok ne­ga­ra­wan ataukah sis­tem ini ha­nya­lah manuver po­litik demi kursi kekuasaan semata?.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5957 seconds (0.1#10.140)