Yaman yang Luput dari Perhatian
A
A
A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SETAHUN lalu warga Rohingya di Rakhine State melarikan diri ke sungai-sungai dan ke dalam hutan dari kejaran tentara Myanmar. Jumlah mereka tidak sedikit. Ada sekitar 700.000 orang dengan usia mulai balita hingga orang lanjut usia.
Mereka yang tertinggal di belakang telah menjadi sasaran pemerkosaan, pembantaian, dan penyiksaan dari tentara pemerintah. Mereka tidak membedakan tua atau muda, malah justru memanfaatkan insiden penyerangan yang dilakukan oleh Arakan Rohingya Salvation Army terhadap pos-pos polisi Myanmar pada 25 Agustus 2017 sebagai momentum untuk melakukan pembersihan etnis Ronghiya secara keseluruhan.
Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok pemberontak terhadap pemerintah Myanmar dijadikan sebagai dasar legitimasi pasukan Myanmar dan kelompok-kelompok paramiliter mereka untuk melancarkan operasi bumi hangus terhadap populasi Rohingya di Negara Bagian Rakhine di Myanmar bagian utara.
Lima ribu kilometer dari Rakhine State ke arah Timur Tengah, penduduk Yaman mengalami penderitaan yang sama. Dua minggu lalu koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan serangan udara ke basis-basis kelompok Houti di Yaman. Salah satu bom yang ditembakkan dari pesawat udara mengenai satu bus sekolah dengan 44 penumpang anak-anak yang berusia 5–10 tahun. Ada sebuah kesangsian bahwa serangan itu kekhilafan semata.
Apabila bom yang digunakan adalah MK 82 bomb maka bisa dikatakan itu sebuah serangan terarah karena bom tersebut bergerak dengan petunjuk sinar laser yang sangat presisi. Serangan itu bukan hanya menyasar masyarakat sipil dan tidak hanya sekali, tetapi telah terjadi beberapa kali tanpa ada upaya pencegahan.
Persamaan antara Yaman dan Rohingya adalah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sangat dalam dan meluas. PBB telah menyatakan bahwa pemerintah Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM berat di mana panglima militer dan lima jenderal yang terkait memenuhi syarat untuk dipanggil atau diadili untuk kejahatan genosida.
Zeid Ra’ad Al Hussein, Ketua Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan di hadapan Dewan Keamanan pada Senin lalu bahwa telah terjadi “operasi keamanan brutal” terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine yang “sangat tidak proporsional” terhadap serangan pemberontak yang dilakukan tahun lalu.
Demikian pula yang terjadi di Yaman. Kelompok Ahli Regional dan Internasional tentang Yaman telah melaporkan dan menunjukkan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata sama-sama melakukan, dan terus melakukan, pelanggaran dan kejahatan berdasarkan hukum internasional.
Di antara kesimpulan mereka, para ahli mengatakan individu dalam Pemerintah Yaman dan koalisi, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dan di otoritas de facto telah melakukan tindakan yang mungkin, nergantung pada penentuan oleh pengadilan yang independen dan kompeten, dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional.
Menurut Kantor Hak Asasi Manusia PBB, sejak Maret 2015 hingga 23 Agustus 2018, 6.660 warga sipil tewas dan 10.563 orang terluka. Namun angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar.
Laporan itu mencatat bahwa serangan udara koalisi telah menyebabkan sebagian besar korban merupakan masyarakat sipil. Serangan udara telah memukul daerah pemukiman, pasar, pemakaman, pernikahan, fasilitas penahanan, perahu sipil dan bahkan fasilitas medis.
Kelompok Pakar menyimpulkan dalam investigasi mereka bahwa orang-orang dalam pemerintah Yaman dan Koalisi Arab Saudi diduga telah melakukan serangan yang melanggar prinsip-prinsip pembedaan, proporsionalitas dan tindakan pencegahan sehingga mungkin dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Apa yang terjadi kepada warga Rohingya dan Yaman adalah contoh dari menguatnya relasi politik pragmatis dan terlembaganya ketidakpedulian antarnegara saat ini. Relasi-relasi ini hanya mengamankan kepentingan-kepentingan jangka pendek, terutama demi pemenuhan agenda yang bersinggungan dengan ekonomi.
Urusan kemanusiaan dan HAM yang sebetulnya bisa membentuk dunia yang lebih baik di masa depan diabaikan. Resolusi untuk menyelesaikan masalah bagi warga Rohingya dan Yaman di tingkat dunia selalu terbentur dengan kepentingan negara-negara “besar” dan para sekutunya, seperti antara Aliansi Amerika Serikat, Aliansi Rusia, dan Aliansi China.
Antarnegara ini saling melempar tanggung jawab dengan alasan utama bahwa mereka masing-masing “sibuk” (sehingga sebaiknya dipersalahkan) karena dihadang kepentingan pertumbuhan ekonomi atau politiknya oleh aliansi negara lain.
Sebagian besar di antara negara-negara di dunia ini ada yang sudah frustrasi menghadapi situasi tersebut. Peran PBB yang seharusnya mengedepankan dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut justru teramputasi oleh kepentingan negara-negara besar yang duduk di Dewan Keamanan PBB.
Kewibawaan PBB sudah sangat defisit. Berbagai resolusi saling digagalkan oleh masing-masing negara pemegang hak veto ketika urusannya dianggap menyinggung kepentingan dalam negeri masing-masing negara.
Pada saat PBB tidak mengakomodasi kepentingan salah negara, mereka dapat saja bertindak melakukan penyerangan kedaulatan ke negara lain dengan tanpa mandat PBB. Hal ini yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, dan negara-negara lainnya.
Tak heran istilah Responsibility to Protect alias Tanggung Jawab Melindungi (negara-negara lain punya tanggung jawab untuk menjamin kemanusiaan dan HAM dari penduduk negara lain yang pemerintahnya gagal memberi perlindungan) masih dipandang dengan penuh curiga oleh negara-negara lain termasuk oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan yang dialami manusia-manusia di Myanmar dan Yaman.
Mereka tidak ingin gerakan “turun tangan” mereka, bahkan yang niatnya membantu sekalipun, disalahartikan dan dipolitisasi oleh negara-negara besar sebagai justifikasi atas politik campur tangan dan pelanggaran kedaulatan pada negara-negara lain di kawasan.
Apakah ini praktik politik luar negeri yang baru? Harapan kita tentu tidak, tetapi realitanya ketika pertarungan atas superioritas di bidang ekonomi, teknologi, sumber daya mengemuka dan berwujud adu akumulasi kekayaan, perebutan akses dan penguasaan tunggal, atas sumber daya, dan perebutan pengaruh untuk membungkam cara-cara pikir yang berbeda, maka suasana anarki memang akan makin mengemuka di dunia.
Artinya, anarki bukanlah penyebab segala kejadian seperti yang kita lihat di Myanmar dan Yaman tetapi memang menjadi tujuan dari negara-negara yang saling bertarung. PBB bukan lemah karena kelembagaannya tetapi karena sengaja dilemahkan agar anarki mengemuka. Agar adu kuat memuncak.
Bagi Indonesia, ini tantangan serius untuk politik luar negeri. Siapa pun presiden Indonesia pada 2019 harus memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam dunia yang tumpuan kerja sama multilateralnya sudah sangat lemah. Semakin kita hanya “melihat ke dalam”, semakin kita ikut-ikutan berperilaku seperti negara-negara dunia pada umumnya; tidak ada bedanya, tidak ada istimewanya.
Semakin kita sekadar mencari proyek investasi, semakin kita terombang-ambing dengan tekanan model kerja sama yang menuntut lebih dari independensi kebijakan publik kita, mengorbankan tujuan Indonesia yang ingin mandiri secara politik dan ekonomi. Tradisi politik luar negeri Indonesia yang mengedepankan diplomasi sungguh diuji.
Tanpa perencanaan yang matang, Indonesia akan terombang-ambing dalam adu kekuatan negara-negara besar dan permainan cari selamat dari negara-negara yang lebih kecil. Tidak bisa lain, Indonesia harus muncul sebagai pemain kuat yang menawarkan model nonanarkis, model terstruktur dari kerja sama yang lebih menguntungkan daripada adu otot dan pamer kekayaan.
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu
SETAHUN lalu warga Rohingya di Rakhine State melarikan diri ke sungai-sungai dan ke dalam hutan dari kejaran tentara Myanmar. Jumlah mereka tidak sedikit. Ada sekitar 700.000 orang dengan usia mulai balita hingga orang lanjut usia.
Mereka yang tertinggal di belakang telah menjadi sasaran pemerkosaan, pembantaian, dan penyiksaan dari tentara pemerintah. Mereka tidak membedakan tua atau muda, malah justru memanfaatkan insiden penyerangan yang dilakukan oleh Arakan Rohingya Salvation Army terhadap pos-pos polisi Myanmar pada 25 Agustus 2017 sebagai momentum untuk melakukan pembersihan etnis Ronghiya secara keseluruhan.
Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok pemberontak terhadap pemerintah Myanmar dijadikan sebagai dasar legitimasi pasukan Myanmar dan kelompok-kelompok paramiliter mereka untuk melancarkan operasi bumi hangus terhadap populasi Rohingya di Negara Bagian Rakhine di Myanmar bagian utara.
Lima ribu kilometer dari Rakhine State ke arah Timur Tengah, penduduk Yaman mengalami penderitaan yang sama. Dua minggu lalu koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi melakukan serangan udara ke basis-basis kelompok Houti di Yaman. Salah satu bom yang ditembakkan dari pesawat udara mengenai satu bus sekolah dengan 44 penumpang anak-anak yang berusia 5–10 tahun. Ada sebuah kesangsian bahwa serangan itu kekhilafan semata.
Apabila bom yang digunakan adalah MK 82 bomb maka bisa dikatakan itu sebuah serangan terarah karena bom tersebut bergerak dengan petunjuk sinar laser yang sangat presisi. Serangan itu bukan hanya menyasar masyarakat sipil dan tidak hanya sekali, tetapi telah terjadi beberapa kali tanpa ada upaya pencegahan.
Persamaan antara Yaman dan Rohingya adalah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sangat dalam dan meluas. PBB telah menyatakan bahwa pemerintah Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM berat di mana panglima militer dan lima jenderal yang terkait memenuhi syarat untuk dipanggil atau diadili untuk kejahatan genosida.
Zeid Ra’ad Al Hussein, Ketua Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan di hadapan Dewan Keamanan pada Senin lalu bahwa telah terjadi “operasi keamanan brutal” terhadap Rohingya di Negara Bagian Rakhine yang “sangat tidak proporsional” terhadap serangan pemberontak yang dilakukan tahun lalu.
Demikian pula yang terjadi di Yaman. Kelompok Ahli Regional dan Internasional tentang Yaman telah melaporkan dan menunjukkan bahwa seluruh pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata sama-sama melakukan, dan terus melakukan, pelanggaran dan kejahatan berdasarkan hukum internasional.
Di antara kesimpulan mereka, para ahli mengatakan individu dalam Pemerintah Yaman dan koalisi, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, dan di otoritas de facto telah melakukan tindakan yang mungkin, nergantung pada penentuan oleh pengadilan yang independen dan kompeten, dapat dikategorikan sebagai kejahatan internasional.
Menurut Kantor Hak Asasi Manusia PBB, sejak Maret 2015 hingga 23 Agustus 2018, 6.660 warga sipil tewas dan 10.563 orang terluka. Namun angka sebenarnya kemungkinan jauh lebih besar.
Laporan itu mencatat bahwa serangan udara koalisi telah menyebabkan sebagian besar korban merupakan masyarakat sipil. Serangan udara telah memukul daerah pemukiman, pasar, pemakaman, pernikahan, fasilitas penahanan, perahu sipil dan bahkan fasilitas medis.
Kelompok Pakar menyimpulkan dalam investigasi mereka bahwa orang-orang dalam pemerintah Yaman dan Koalisi Arab Saudi diduga telah melakukan serangan yang melanggar prinsip-prinsip pembedaan, proporsionalitas dan tindakan pencegahan sehingga mungkin dikategorikan sebagai kejahatan perang.
Apa yang terjadi kepada warga Rohingya dan Yaman adalah contoh dari menguatnya relasi politik pragmatis dan terlembaganya ketidakpedulian antarnegara saat ini. Relasi-relasi ini hanya mengamankan kepentingan-kepentingan jangka pendek, terutama demi pemenuhan agenda yang bersinggungan dengan ekonomi.
Urusan kemanusiaan dan HAM yang sebetulnya bisa membentuk dunia yang lebih baik di masa depan diabaikan. Resolusi untuk menyelesaikan masalah bagi warga Rohingya dan Yaman di tingkat dunia selalu terbentur dengan kepentingan negara-negara “besar” dan para sekutunya, seperti antara Aliansi Amerika Serikat, Aliansi Rusia, dan Aliansi China.
Antarnegara ini saling melempar tanggung jawab dengan alasan utama bahwa mereka masing-masing “sibuk” (sehingga sebaiknya dipersalahkan) karena dihadang kepentingan pertumbuhan ekonomi atau politiknya oleh aliansi negara lain.
Sebagian besar di antara negara-negara di dunia ini ada yang sudah frustrasi menghadapi situasi tersebut. Peran PBB yang seharusnya mengedepankan dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut justru teramputasi oleh kepentingan negara-negara besar yang duduk di Dewan Keamanan PBB.
Kewibawaan PBB sudah sangat defisit. Berbagai resolusi saling digagalkan oleh masing-masing negara pemegang hak veto ketika urusannya dianggap menyinggung kepentingan dalam negeri masing-masing negara.
Pada saat PBB tidak mengakomodasi kepentingan salah negara, mereka dapat saja bertindak melakukan penyerangan kedaulatan ke negara lain dengan tanpa mandat PBB. Hal ini yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, dan negara-negara lainnya.
Tak heran istilah Responsibility to Protect alias Tanggung Jawab Melindungi (negara-negara lain punya tanggung jawab untuk menjamin kemanusiaan dan HAM dari penduduk negara lain yang pemerintahnya gagal memberi perlindungan) masih dipandang dengan penuh curiga oleh negara-negara lain termasuk oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan yang dialami manusia-manusia di Myanmar dan Yaman.
Mereka tidak ingin gerakan “turun tangan” mereka, bahkan yang niatnya membantu sekalipun, disalahartikan dan dipolitisasi oleh negara-negara besar sebagai justifikasi atas politik campur tangan dan pelanggaran kedaulatan pada negara-negara lain di kawasan.
Apakah ini praktik politik luar negeri yang baru? Harapan kita tentu tidak, tetapi realitanya ketika pertarungan atas superioritas di bidang ekonomi, teknologi, sumber daya mengemuka dan berwujud adu akumulasi kekayaan, perebutan akses dan penguasaan tunggal, atas sumber daya, dan perebutan pengaruh untuk membungkam cara-cara pikir yang berbeda, maka suasana anarki memang akan makin mengemuka di dunia.
Artinya, anarki bukanlah penyebab segala kejadian seperti yang kita lihat di Myanmar dan Yaman tetapi memang menjadi tujuan dari negara-negara yang saling bertarung. PBB bukan lemah karena kelembagaannya tetapi karena sengaja dilemahkan agar anarki mengemuka. Agar adu kuat memuncak.
Bagi Indonesia, ini tantangan serius untuk politik luar negeri. Siapa pun presiden Indonesia pada 2019 harus memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam dunia yang tumpuan kerja sama multilateralnya sudah sangat lemah. Semakin kita hanya “melihat ke dalam”, semakin kita ikut-ikutan berperilaku seperti negara-negara dunia pada umumnya; tidak ada bedanya, tidak ada istimewanya.
Semakin kita sekadar mencari proyek investasi, semakin kita terombang-ambing dengan tekanan model kerja sama yang menuntut lebih dari independensi kebijakan publik kita, mengorbankan tujuan Indonesia yang ingin mandiri secara politik dan ekonomi. Tradisi politik luar negeri Indonesia yang mengedepankan diplomasi sungguh diuji.
Tanpa perencanaan yang matang, Indonesia akan terombang-ambing dalam adu kekuatan negara-negara besar dan permainan cari selamat dari negara-negara yang lebih kecil. Tidak bisa lain, Indonesia harus muncul sebagai pemain kuat yang menawarkan model nonanarkis, model terstruktur dari kerja sama yang lebih menguntungkan daripada adu otot dan pamer kekayaan.
(poe)