Kabinet Bersih

Selasa, 28 Agustus 2018 - 08:41 WIB
Kabinet Bersih
Kabinet Bersih
A A A
Rio Christiawan

Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

MANTAN Menteri Sosial Idrus Marham baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap PLTU Riau. Masih segar dalam ingatan kita ketika pada 2014 Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja terpilih menjadi presiden, ketika itu dalam menyusun kabinetnya ia mengutamakan komitmennya untuk memilih menteri sebagai pembantu presiden dengan syarat utama memiliki inte­gritas dan tidak tersangkut atau berpotensi tersangkut kasus korupsi.

Kala itu presiden meng­gandeng KPK untuk mene­lusuri rekam jejak calon menteri yang akan dipilih sebagai pem­bantu presiden. Hasil dari penelusuran tersebut adalah KPK memberi­kan rekomendasi secara sim­bolis melalui warna stabilo pada nama setiap calon menteri. Warna stabilo merah melambangkan ber­potensi kuat untuk ter­sang­kut kasus korupsi, warna stabilo kuning melambangkan harus berhati-hati, punya potensi untuk ter­sangkut kasus korupsi, dan terakhir warna stabilo hijau me­lambangkan tidak ada per­soal­an menyangkut integritas calon menteri tersebut, artinya nama yang bersangkutan cukup bersih.

Banyak pihak berspekulasi penetapan Idrus Marham yang baru menjabat sebagai menteri beberapa bulan sebagai ter­sangka oleh KPK dikaitkan dengan situasi dan kontestasi politik saat ini, namun sebenarnya yang lebih menarik adalah apakah komit­men Presiden dalam merekrut calon menteri sebagai pem­bantunya masih sama dengan penelusuran rekam jejak atau berdasarkan bagi-bagi kekuasa­an (power sharing) dengan partai pendukung koalisi.

Dalam perkembangannya Presiden tidak lagi melibatkan KPK dalam penelusuran rekam jejak calon menteri sejak reshuffle pertama hingga reshuffle ter­akhir. Belakangan bahkan tren reshuffle kabinet lebih didomi­nasi motif politik bagi-bagi kekuasaan misalnya masuknya Idrus Marham ke kabinet sesaat setelah Partai Golkar menyata­kan dukungannya kepada pe­merintah dan mendeklarasikan dukungannya kepada presiden petahana untuk maju pada Pilpres 2019.

Assessment Antikorupsi

Mengacu pada sistem pemerintahan presidensial yang berlaku di Indonesia saat ini, menteri merupakan pem­bantu presiden sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Artinya dalam hal ini menteri dapat diangkat dan diberhentikan dengan hak prerogatif Presiden. Belajar dari kasus banyak menteri yang telah menjadi tersangka mau­pun terpidana tindak korupsi oleh KPK, maka perlu digagas solusi bagi persoalan integritas calon menteri.

Mengangkat dan member­henti­kan menteri merupakan hak prerogatif presiden se­hingga dalam hal ini guna meng­elimi­nasi tekanan politik yang ber­ujung pada terpilihnya calon menteri tidak berintegritas. Presiden perlu menginisiasi assessment antikorupsi pada setiap calon menteri sehingga hal ini juga akan melindungi Presiden ketika menggunakan hak prerogatifnya. Secara formal Presiden dapat memuat perihal kewajiban assessment antikorupsi bagi calon menteri pada peraturan perundang-undangan. Menurut Fockema Andreae (2005), kehendak pre­siden menjalankan pemerin­tah­an yang bersih salah satunya ditentukan dari mekanisme perekrutan menteri sebagai pembantu presiden.

Memang dalam sistem pre­sidensial sebagaimana berlaku di Indonesia menganut ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) akan selalu terjadi koalisi guna meng­usung presiden dan jabatan menteri merupakan sweetener dari deal politik koalisi ter­se­but. Kon­se­kuensi dari feno­mena ter­sebut ada­lah bagi-bagi ke­kua­sa­an (power sharing) dan itu tidak da­pat dielak­kan lagi se­hingga da­lam hal ini Pre­siden harus mem­buat ke­ten­tuan yang me­lin­dungi pre­siden sen­d­iri secara politik.

Kini presiden harus kembali pada jalur se­mula terkait komitmen penunjukan kabinet yang bersih dari korupsi se­bagai­mana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penye­leng­garaan Negara yang Ber­sih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Assessment anti­korupsi dan integritas bagi calon menteri harus diatur secara formal dalam peraturan per­undang-undangan selain guna menghasilkan pembantu Presi­den yang berintegritas baik, juga menghasilkan men­teri se­bagai pelayan masyarakat yang ber­akhlak baik dan ter­bebas dari korupsi. Selain se­bagai pem­bantu Presiden, men­teri juga merupakan pejabat publik yang membawahi departemen.

Fragmentasi ironi negeri ini harus segera diakhiri, sungguh terluka hati bangsa ini ketika negara sedang berjibaku dalam berbagai bencana, namun men­teri sosial yang diharapkan ber­sama-sama dan menguat­kan rakyat justru menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Realitas ini sungguh menggoreskan sta­bilo kuning bagi bangsa ini, arti­nya situasi ini harus segera disi­kapi karena berpotensi mem­buat budaya kleptokrasi semakin akut.

Stabilo Kuning

Pemak­na­an kata “kuning” dalam artikel ini bukan me­ru­juk pada par­tai, tetapi me­rujuk pada war­na sta­­bilo Pre­siden. Bangsa ini be­nar-benar harus berhati-hati menyi­kapi per­soal­an korupsi utamanya yang menyangkut menteri sebagai pembantu Presiden dan pe­layan rakyat. Meskipun kini Presiden membentuk tim na­sional pencegahan korupsi dan KPK menggulirkan program politik cerdas berintegritas, tapi pada faktanya angka korupsi terus terjadi dan ironinya dalam dua kabinet terakhir (Kabinet Indonesia Bersatu dan Kabinet Kerja) selalu ada menteri yang terlibat tindak pi­dana ko­rupsi. Dengan feno­mena di atas negeri ini bagai menyapu lan­tai ko­tor dengan sapu kotor.

Penamaan na­ma kabinet bia­­sanya selalu meng­acu pada ke­butuh­an bang­sa dan orien­tasi presiden terpilih. Perlu di­gulirkan gagasan membentuk dan menamai kabinet dengan nama ka­binet bersih, siapa pun nanti yang terpilih dalam kon­testasi Pil­pres 2019. Te­tapi, secara ber­turut-turut da­lam dua kabinet terakhir sudah empat menteri aktif menjadi tersangka KPK menunjukkan mekanisme perekrutan calon menteri kurang menguta­ma­kan aspek integritas khususnya komitmen untuk menekan tindak pidana korupsi yang se­harusnya dimulai dari kabinet itu sendiri.

Kabinet bersih kini masih menjadi cita-cita masyarakat yang harus dibuktikan dan di­wujudkan oleh penyelenggara negara sebagai langkah korektif terhadap noda korupsi di tu­buh kabinet se­be­lumnya. Siapa pun presidennya harus dapat men­jawab tan­tangan komitmen anti­korupsi melalui kabinet ber­­sihnya. Logikanya, tidak ada yang salah jika dilakukan pem­bagian kekuasaan dari orang jujur kepada orang jujur sehing­ga apa pun ornamen koa­lisi yang mendukung peme­rintah mau­pun oposisi peme­rintah akan secara murni mem­per­juangkan kepentingan rakyat.

Tentu rakyat sebagai peme­gang kedaulatan dalam kon­teks negara sebagai organisasi ke­kuasaan rakyat akan merasa ter­lindungi jika Presiden se­bagai kepala pemerintahan me­nye­leng­g­arakan urusan negara de­ngan kabinet bersih. Selain itu, penting juga dilakukan partai nonkoalisi pemerintah untuk mem­bentuk barisan oposisi bersih. Artinya, kabinet bersih diawasi oleh oposisi yang bersih, maka tentu yang paling di­untungkan adalah rakyat meng­ingat semua pihak mem­per­juang­kan kepentingan rakyat. Pada kon­disi ini semua elemen bangsa seharusnya memegang sta­bilo hijau.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3808 seconds (0.1#10.140)