Kabinet Bersih
A
A
A
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MANTAN Menteri Sosial Idrus Marham baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap PLTU Riau. Masih segar dalam ingatan kita ketika pada 2014 Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja terpilih menjadi presiden, ketika itu dalam menyusun kabinetnya ia mengutamakan komitmennya untuk memilih menteri sebagai pembantu presiden dengan syarat utama memiliki integritas dan tidak tersangkut atau berpotensi tersangkut kasus korupsi.
Kala itu presiden menggandeng KPK untuk menelusuri rekam jejak calon menteri yang akan dipilih sebagai pembantu presiden. Hasil dari penelusuran tersebut adalah KPK memberikan rekomendasi secara simbolis melalui warna stabilo pada nama setiap calon menteri. Warna stabilo merah melambangkan berpotensi kuat untuk tersangkut kasus korupsi, warna stabilo kuning melambangkan harus berhati-hati, punya potensi untuk tersangkut kasus korupsi, dan terakhir warna stabilo hijau melambangkan tidak ada persoalan menyangkut integritas calon menteri tersebut, artinya nama yang bersangkutan cukup bersih.
Banyak pihak berspekulasi penetapan Idrus Marham yang baru menjabat sebagai menteri beberapa bulan sebagai tersangka oleh KPK dikaitkan dengan situasi dan kontestasi politik saat ini, namun sebenarnya yang lebih menarik adalah apakah komitmen Presiden dalam merekrut calon menteri sebagai pembantunya masih sama dengan penelusuran rekam jejak atau berdasarkan bagi-bagi kekuasaan (power sharing) dengan partai pendukung koalisi.
Dalam perkembangannya Presiden tidak lagi melibatkan KPK dalam penelusuran rekam jejak calon menteri sejak reshuffle pertama hingga reshuffle terakhir. Belakangan bahkan tren reshuffle kabinet lebih didominasi motif politik bagi-bagi kekuasaan misalnya masuknya Idrus Marham ke kabinet sesaat setelah Partai Golkar menyatakan dukungannya kepada pemerintah dan mendeklarasikan dukungannya kepada presiden petahana untuk maju pada Pilpres 2019.
Assessment Antikorupsi
Mengacu pada sistem pemerintahan presidensial yang berlaku di Indonesia saat ini, menteri merupakan pembantu presiden sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Artinya dalam hal ini menteri dapat diangkat dan diberhentikan dengan hak prerogatif Presiden. Belajar dari kasus banyak menteri yang telah menjadi tersangka maupun terpidana tindak korupsi oleh KPK, maka perlu digagas solusi bagi persoalan integritas calon menteri.
Mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif presiden sehingga dalam hal ini guna mengeliminasi tekanan politik yang berujung pada terpilihnya calon menteri tidak berintegritas. Presiden perlu menginisiasi assessment antikorupsi pada setiap calon menteri sehingga hal ini juga akan melindungi Presiden ketika menggunakan hak prerogatifnya. Secara formal Presiden dapat memuat perihal kewajiban assessment antikorupsi bagi calon menteri pada peraturan perundang-undangan. Menurut Fockema Andreae (2005), kehendak presiden menjalankan pemerintahan yang bersih salah satunya ditentukan dari mekanisme perekrutan menteri sebagai pembantu presiden.
Memang dalam sistem presidensial sebagaimana berlaku di Indonesia menganut ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) akan selalu terjadi koalisi guna mengusung presiden dan jabatan menteri merupakan sweetener dari deal politik koalisi tersebut. Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah bagi-bagi kekuasaan (power sharing) dan itu tidak dapat dielakkan lagi sehingga dalam hal ini Presiden harus membuat ketentuan yang melindungi presiden sendiri secara politik.
Kini presiden harus kembali pada jalur semula terkait komitmen penunjukan kabinet yang bersih dari korupsi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Assessment antikorupsi dan integritas bagi calon menteri harus diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan selain guna menghasilkan pembantu Presiden yang berintegritas baik, juga menghasilkan menteri sebagai pelayan masyarakat yang berakhlak baik dan terbebas dari korupsi. Selain sebagai pembantu Presiden, menteri juga merupakan pejabat publik yang membawahi departemen.
Fragmentasi ironi negeri ini harus segera diakhiri, sungguh terluka hati bangsa ini ketika negara sedang berjibaku dalam berbagai bencana, namun menteri sosial yang diharapkan bersama-sama dan menguatkan rakyat justru menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Realitas ini sungguh menggoreskan stabilo kuning bagi bangsa ini, artinya situasi ini harus segera disikapi karena berpotensi membuat budaya kleptokrasi semakin akut.
Stabilo Kuning
Pemaknaan kata “kuning” dalam artikel ini bukan merujuk pada partai, tetapi merujuk pada warna stabilo Presiden. Bangsa ini benar-benar harus berhati-hati menyikapi persoalan korupsi utamanya yang menyangkut menteri sebagai pembantu Presiden dan pelayan rakyat. Meskipun kini Presiden membentuk tim nasional pencegahan korupsi dan KPK menggulirkan program politik cerdas berintegritas, tapi pada faktanya angka korupsi terus terjadi dan ironinya dalam dua kabinet terakhir (Kabinet Indonesia Bersatu dan Kabinet Kerja) selalu ada menteri yang terlibat tindak pidana korupsi. Dengan fenomena di atas negeri ini bagai menyapu lantai kotor dengan sapu kotor.
Penamaan nama kabinet biasanya selalu mengacu pada kebutuhan bangsa dan orientasi presiden terpilih. Perlu digulirkan gagasan membentuk dan menamai kabinet dengan nama kabinet bersih, siapa pun nanti yang terpilih dalam kontestasi Pilpres 2019. Tetapi, secara berturut-turut dalam dua kabinet terakhir sudah empat menteri aktif menjadi tersangka KPK menunjukkan mekanisme perekrutan calon menteri kurang mengutamakan aspek integritas khususnya komitmen untuk menekan tindak pidana korupsi yang seharusnya dimulai dari kabinet itu sendiri.
Kabinet bersih kini masih menjadi cita-cita masyarakat yang harus dibuktikan dan diwujudkan oleh penyelenggara negara sebagai langkah korektif terhadap noda korupsi di tubuh kabinet sebelumnya. Siapa pun presidennya harus dapat menjawab tantangan komitmen antikorupsi melalui kabinet bersihnya. Logikanya, tidak ada yang salah jika dilakukan pembagian kekuasaan dari orang jujur kepada orang jujur sehingga apa pun ornamen koalisi yang mendukung pemerintah maupun oposisi pemerintah akan secara murni memperjuangkan kepentingan rakyat.
Tentu rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam konteks negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat akan merasa terlindungi jika Presiden sebagai kepala pemerintahan menyelenggarakan urusan negara dengan kabinet bersih. Selain itu, penting juga dilakukan partai nonkoalisi pemerintah untuk membentuk barisan oposisi bersih. Artinya, kabinet bersih diawasi oleh oposisi yang bersih, maka tentu yang paling diuntungkan adalah rakyat mengingat semua pihak memperjuangkan kepentingan rakyat. Pada kondisi ini semua elemen bangsa seharusnya memegang stabilo hijau.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
MANTAN Menteri Sosial Idrus Marham baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap PLTU Riau. Masih segar dalam ingatan kita ketika pada 2014 Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja terpilih menjadi presiden, ketika itu dalam menyusun kabinetnya ia mengutamakan komitmennya untuk memilih menteri sebagai pembantu presiden dengan syarat utama memiliki integritas dan tidak tersangkut atau berpotensi tersangkut kasus korupsi.
Kala itu presiden menggandeng KPK untuk menelusuri rekam jejak calon menteri yang akan dipilih sebagai pembantu presiden. Hasil dari penelusuran tersebut adalah KPK memberikan rekomendasi secara simbolis melalui warna stabilo pada nama setiap calon menteri. Warna stabilo merah melambangkan berpotensi kuat untuk tersangkut kasus korupsi, warna stabilo kuning melambangkan harus berhati-hati, punya potensi untuk tersangkut kasus korupsi, dan terakhir warna stabilo hijau melambangkan tidak ada persoalan menyangkut integritas calon menteri tersebut, artinya nama yang bersangkutan cukup bersih.
Banyak pihak berspekulasi penetapan Idrus Marham yang baru menjabat sebagai menteri beberapa bulan sebagai tersangka oleh KPK dikaitkan dengan situasi dan kontestasi politik saat ini, namun sebenarnya yang lebih menarik adalah apakah komitmen Presiden dalam merekrut calon menteri sebagai pembantunya masih sama dengan penelusuran rekam jejak atau berdasarkan bagi-bagi kekuasaan (power sharing) dengan partai pendukung koalisi.
Dalam perkembangannya Presiden tidak lagi melibatkan KPK dalam penelusuran rekam jejak calon menteri sejak reshuffle pertama hingga reshuffle terakhir. Belakangan bahkan tren reshuffle kabinet lebih didominasi motif politik bagi-bagi kekuasaan misalnya masuknya Idrus Marham ke kabinet sesaat setelah Partai Golkar menyatakan dukungannya kepada pemerintah dan mendeklarasikan dukungannya kepada presiden petahana untuk maju pada Pilpres 2019.
Assessment Antikorupsi
Mengacu pada sistem pemerintahan presidensial yang berlaku di Indonesia saat ini, menteri merupakan pembantu presiden sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 17 ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Artinya dalam hal ini menteri dapat diangkat dan diberhentikan dengan hak prerogatif Presiden. Belajar dari kasus banyak menteri yang telah menjadi tersangka maupun terpidana tindak korupsi oleh KPK, maka perlu digagas solusi bagi persoalan integritas calon menteri.
Mengangkat dan memberhentikan menteri merupakan hak prerogatif presiden sehingga dalam hal ini guna mengeliminasi tekanan politik yang berujung pada terpilihnya calon menteri tidak berintegritas. Presiden perlu menginisiasi assessment antikorupsi pada setiap calon menteri sehingga hal ini juga akan melindungi Presiden ketika menggunakan hak prerogatifnya. Secara formal Presiden dapat memuat perihal kewajiban assessment antikorupsi bagi calon menteri pada peraturan perundang-undangan. Menurut Fockema Andreae (2005), kehendak presiden menjalankan pemerintahan yang bersih salah satunya ditentukan dari mekanisme perekrutan menteri sebagai pembantu presiden.
Memang dalam sistem presidensial sebagaimana berlaku di Indonesia menganut ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) akan selalu terjadi koalisi guna mengusung presiden dan jabatan menteri merupakan sweetener dari deal politik koalisi tersebut. Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah bagi-bagi kekuasaan (power sharing) dan itu tidak dapat dielakkan lagi sehingga dalam hal ini Presiden harus membuat ketentuan yang melindungi presiden sendiri secara politik.
Kini presiden harus kembali pada jalur semula terkait komitmen penunjukan kabinet yang bersih dari korupsi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Assessment antikorupsi dan integritas bagi calon menteri harus diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan selain guna menghasilkan pembantu Presiden yang berintegritas baik, juga menghasilkan menteri sebagai pelayan masyarakat yang berakhlak baik dan terbebas dari korupsi. Selain sebagai pembantu Presiden, menteri juga merupakan pejabat publik yang membawahi departemen.
Fragmentasi ironi negeri ini harus segera diakhiri, sungguh terluka hati bangsa ini ketika negara sedang berjibaku dalam berbagai bencana, namun menteri sosial yang diharapkan bersama-sama dan menguatkan rakyat justru menjadi tersangka tindak pidana korupsi. Realitas ini sungguh menggoreskan stabilo kuning bagi bangsa ini, artinya situasi ini harus segera disikapi karena berpotensi membuat budaya kleptokrasi semakin akut.
Stabilo Kuning
Pemaknaan kata “kuning” dalam artikel ini bukan merujuk pada partai, tetapi merujuk pada warna stabilo Presiden. Bangsa ini benar-benar harus berhati-hati menyikapi persoalan korupsi utamanya yang menyangkut menteri sebagai pembantu Presiden dan pelayan rakyat. Meskipun kini Presiden membentuk tim nasional pencegahan korupsi dan KPK menggulirkan program politik cerdas berintegritas, tapi pada faktanya angka korupsi terus terjadi dan ironinya dalam dua kabinet terakhir (Kabinet Indonesia Bersatu dan Kabinet Kerja) selalu ada menteri yang terlibat tindak pidana korupsi. Dengan fenomena di atas negeri ini bagai menyapu lantai kotor dengan sapu kotor.
Penamaan nama kabinet biasanya selalu mengacu pada kebutuhan bangsa dan orientasi presiden terpilih. Perlu digulirkan gagasan membentuk dan menamai kabinet dengan nama kabinet bersih, siapa pun nanti yang terpilih dalam kontestasi Pilpres 2019. Tetapi, secara berturut-turut dalam dua kabinet terakhir sudah empat menteri aktif menjadi tersangka KPK menunjukkan mekanisme perekrutan calon menteri kurang mengutamakan aspek integritas khususnya komitmen untuk menekan tindak pidana korupsi yang seharusnya dimulai dari kabinet itu sendiri.
Kabinet bersih kini masih menjadi cita-cita masyarakat yang harus dibuktikan dan diwujudkan oleh penyelenggara negara sebagai langkah korektif terhadap noda korupsi di tubuh kabinet sebelumnya. Siapa pun presidennya harus dapat menjawab tantangan komitmen antikorupsi melalui kabinet bersihnya. Logikanya, tidak ada yang salah jika dilakukan pembagian kekuasaan dari orang jujur kepada orang jujur sehingga apa pun ornamen koalisi yang mendukung pemerintah maupun oposisi pemerintah akan secara murni memperjuangkan kepentingan rakyat.
Tentu rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam konteks negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat akan merasa terlindungi jika Presiden sebagai kepala pemerintahan menyelenggarakan urusan negara dengan kabinet bersih. Selain itu, penting juga dilakukan partai nonkoalisi pemerintah untuk membentuk barisan oposisi bersih. Artinya, kabinet bersih diawasi oleh oposisi yang bersih, maka tentu yang paling diuntungkan adalah rakyat mengingat semua pihak memperjuangkan kepentingan rakyat. Pada kondisi ini semua elemen bangsa seharusnya memegang stabilo hijau.
(kri)