Idrus Marham Jadi Tersangka
A
A
A
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan mantan Menteri Sosial Idrus Marham sebagai tersangka kasus korupsi Proyek PLTU Riau-1. Idrus diduga menerima suap bersama-sama dengan tersangka Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.
Penetapan tersangka Idrus ini disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta tadi malam.
Sebelum KPK resmi mengumumkan status tersangkanya, siang kemarin Idrus terlebih dulu mengundurkan diri dari jabatan menteri sosial yang baru diembannya selama tujuh bulan. Ia juga menyatakan mundur dari kepengurusan DPP Partai Golkar.
Pengunduran diri Idrus sebagai menteri disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah sehari sebelumnya, yakni Kamis (23/8), ia menerima surat penetapan tersangka dari KPK. Kemarin Jokowi juga sudah melantik kader Golkar lainnya, Agus Gumiwang sebagai mensos yang baru.
Meski Idrus berstatus tersangka, asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan. Biarkan KPK menjalankan proses hukum kasus tersebut secara independen dan sesuai dengan peraturan undang-undang. Di sisi lain langkah Idrus mengundurkan diri sebagai mensos bahkan layak diapresiasi karena menunjukkan komitmennya dalam mendukung proses hukum.
Selain itu berhenti jadi menteri juga memberikan kesempatan kepada lembaga yang dipimpinnya untuk tetap fokus menjalankan program kerja tanpa harus terbebani status tersangka pimpinannya.
Namun terlepas dari soal pengunduran dirinya, penetapan Idrus sebagai tersangka korupsi menjadi sebuah preseden buruk. Dia tercatat sebagai menteri pertama di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang jadi tersangka korupsi. Ini sekaligus mengirimkan pesan bahwa tantangan pemberantasan korupsi di negeri ini memang bukan pekerjaan mudah.
Terbukti pihak yang kini jadi tersangka justru seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Jika dalam setahun terakhir publik menyaksikan kepala daerah yang bergantian ditangkap KPK karena kasus suap, kini praktik itu mulai menyentuh pejabat Istana.
Kasus tersangkanya seorang menteri ini semakin menunjukkan lemahnya wibawa pemerintah dalam melakukan penegakan hukum. Di saat jargon antikorupsi terus didengungkan pemerintah saat ini, tersangka korupsi justru berasal dari lingkaran presiden.
Terlepas dari masalah hukum, Presiden Jokowi cukup cermat dalam membaca situasi ini. Penggantian Idrus sebagai mensos dalam waktu cepat kemarin bisa dimaknai sebagai langkah politik taktis oleh mantan Wali Kota Solo tersebut.
Dia ingin pembantunya di kabinet tersebut diumumkan sebagai tersangka korupsi di saat tidak lagi menjabat sebagai menteri. Jokowi perlu melokalisasi kejadian itu sehingga ia tidak perlu terbawa-bawa yang berpotensi menggerus citranya.
Pelajaran lain dari kasus Idrus Marham ini adalah betapa rentannya kader partai politik terjerat korupsi ketika ia mengemban sebuah jabatan, baik sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif. Idrus mengawali karier dari bawah sebagai akademisi sebelum kemudian terpilih menjadi anggota MPR RI sebagai wakil unsur pemuda.
Melalui Partai Golkar, ia terpilih sebagai anggota DPR tiga periode berturut-turut, yaitu 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014. Idrus pernah memegang jabatan penting di Golkar, yakni sebagai sekjen hingga kemudian diangkat jadi menteri. Idrus mulai bolak-balik diperiksa KPK setelah Eni Maulani Saragih terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK di rumah dinas mensos pada 13 Juli 2018.
Sebelum Idrus, puluhan politisi baik anggota Dewan maupun kepala daerah lebih dulu terjerat korupsi. Melihat kenyataan begitu banyak kader partai yang terjerat penyalahgunaan kewenangan, penting kembali untuk menagih komitmen parpol dalam pemberantasan korupsi. Parpol harus menerima kritik dan berkomitmen melakukan pembenahan internal.
Sejatinya parpol didesain untuk berjuang menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, bukan malah menjadi produsen koruptor. Jika parpol tidak juga berbenah dengan berupaya menihilkan kadernya terlibat korupsi, rakyat bisa makin kehilangan kepercayaan terhadap parpol dan pada akhirnya akan kian apatis dengan proses pembangunan demokrasi.
Penetapan tersangka Idrus ini disampaikan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta tadi malam.
Sebelum KPK resmi mengumumkan status tersangkanya, siang kemarin Idrus terlebih dulu mengundurkan diri dari jabatan menteri sosial yang baru diembannya selama tujuh bulan. Ia juga menyatakan mundur dari kepengurusan DPP Partai Golkar.
Pengunduran diri Idrus sebagai menteri disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah sehari sebelumnya, yakni Kamis (23/8), ia menerima surat penetapan tersangka dari KPK. Kemarin Jokowi juga sudah melantik kader Golkar lainnya, Agus Gumiwang sebagai mensos yang baru.
Meski Idrus berstatus tersangka, asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan. Biarkan KPK menjalankan proses hukum kasus tersebut secara independen dan sesuai dengan peraturan undang-undang. Di sisi lain langkah Idrus mengundurkan diri sebagai mensos bahkan layak diapresiasi karena menunjukkan komitmennya dalam mendukung proses hukum.
Selain itu berhenti jadi menteri juga memberikan kesempatan kepada lembaga yang dipimpinnya untuk tetap fokus menjalankan program kerja tanpa harus terbebani status tersangka pimpinannya.
Namun terlepas dari soal pengunduran dirinya, penetapan Idrus sebagai tersangka korupsi menjadi sebuah preseden buruk. Dia tercatat sebagai menteri pertama di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang jadi tersangka korupsi. Ini sekaligus mengirimkan pesan bahwa tantangan pemberantasan korupsi di negeri ini memang bukan pekerjaan mudah.
Terbukti pihak yang kini jadi tersangka justru seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Jika dalam setahun terakhir publik menyaksikan kepala daerah yang bergantian ditangkap KPK karena kasus suap, kini praktik itu mulai menyentuh pejabat Istana.
Kasus tersangkanya seorang menteri ini semakin menunjukkan lemahnya wibawa pemerintah dalam melakukan penegakan hukum. Di saat jargon antikorupsi terus didengungkan pemerintah saat ini, tersangka korupsi justru berasal dari lingkaran presiden.
Terlepas dari masalah hukum, Presiden Jokowi cukup cermat dalam membaca situasi ini. Penggantian Idrus sebagai mensos dalam waktu cepat kemarin bisa dimaknai sebagai langkah politik taktis oleh mantan Wali Kota Solo tersebut.
Dia ingin pembantunya di kabinet tersebut diumumkan sebagai tersangka korupsi di saat tidak lagi menjabat sebagai menteri. Jokowi perlu melokalisasi kejadian itu sehingga ia tidak perlu terbawa-bawa yang berpotensi menggerus citranya.
Pelajaran lain dari kasus Idrus Marham ini adalah betapa rentannya kader partai politik terjerat korupsi ketika ia mengemban sebuah jabatan, baik sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif. Idrus mengawali karier dari bawah sebagai akademisi sebelum kemudian terpilih menjadi anggota MPR RI sebagai wakil unsur pemuda.
Melalui Partai Golkar, ia terpilih sebagai anggota DPR tiga periode berturut-turut, yaitu 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014. Idrus pernah memegang jabatan penting di Golkar, yakni sebagai sekjen hingga kemudian diangkat jadi menteri. Idrus mulai bolak-balik diperiksa KPK setelah Eni Maulani Saragih terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK di rumah dinas mensos pada 13 Juli 2018.
Sebelum Idrus, puluhan politisi baik anggota Dewan maupun kepala daerah lebih dulu terjerat korupsi. Melihat kenyataan begitu banyak kader partai yang terjerat penyalahgunaan kewenangan, penting kembali untuk menagih komitmen parpol dalam pemberantasan korupsi. Parpol harus menerima kritik dan berkomitmen melakukan pembenahan internal.
Sejatinya parpol didesain untuk berjuang menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, bukan malah menjadi produsen koruptor. Jika parpol tidak juga berbenah dengan berupaya menihilkan kadernya terlibat korupsi, rakyat bisa makin kehilangan kepercayaan terhadap parpol dan pada akhirnya akan kian apatis dengan proses pembangunan demokrasi.
(maf)