Idrus Marham Jadi Tersangka

Sabtu, 25 Agustus 2018 - 06:08 WIB
Idrus Marham Jadi Tersangka
Idrus Marham Jadi Tersangka
A A A
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi me­ne­tap­kan mantan Menteri Sosial Idrus Marham sebagai ter­sangka kasus korupsi Proyek PLTU Riau-1. Idrus diduga menerima suap bersama-sama dengan ter­sang­ka Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih.

Penetapan tersangka Idrus ini disampaikan Wakil Ketua KPK Ba­saria Panjaitan dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta tadi malam.

Se­belum KPK resmi mengumumkan status tersangkanya, siang ke­marin Idrus terlebih dulu mengundurkan diri dari jabatan men­teri so­sial yang baru diembannya selama tujuh bulan. Ia juga me­nya­takan mun­­dur dari kepengurusan DPP Partai Golkar.

Pengunduran diri Idrus se­bagai menteri disampaikan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) se­te­lah sehari sebelumnya, yakni Kamis (23/8), ia me­ne­rima surat pe­ne­tap­an tersangka dari KPK. Kemarin Jokowi juga su­dah melantik kader Gol­kar lainnya, Agus Gumiwang sebagai mensos yang baru.

Meski Idrus berstatus tersangka, asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan. Biarkan KPK menjalankan proses hukum kasus tersebut secara independen dan sesuai dengan peraturan undang-undang. Di sisi lain langkah Idrus mengundurkan diri sebagai mensos bahkan layak diapresiasi karena menunjukkan komitmennya dalam mendukung proses hukum.

Selain itu berhenti jadi menteri juga memberikan kesempatan kepada lembaga yang dipimpinnya untuk tetap fokus menjalankan program kerja tanpa harus terbebani status tersangka pimpinannya.

Namun terlepas dari soal pengunduran dirinya, penetapan Idrus se­ba­gai tersangka korupsi menjadi sebuah preseden buruk. Dia ter­ca­tat sebagai menteri pertama di kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang jadi tersangka korupsi. Ini sekaligus mengirimkan pesan bahwa tantangan pemberantasan korupsi di negeri ini memang bukan pekerjaan mudah.

Terbukti pihak yang kini jadi tersangka justru seorang pejabat tinggi di pemerintahan. Jika dalam setahun terakhir publik menyaksikan kepala daerah yang bergantian di­tang­kap KPK karena kasus suap, kini praktik itu mulai menyentuh pe­jabat Istana.

Kasus tersangkanya seorang menteri ini semakin menunjukkan le­mahnya wibawa pemerintah dalam melakukan penegakan hukum. Di saat jargon antikorupsi terus didengungkan pemerintah saat ini, tersangka korupsi justru berasal dari lingkaran presiden.

Terlepas dari masalah hukum, Presiden Jokowi cukup cermat dalam membaca situasi ini. Penggantian Idrus sebagai mensos dalam wak­tu cepat kemarin bisa dimaknai sebagai langkah politik taktis oleh man­tan Wali Kota Solo tersebut.

Dia ingin pembantunya di kabinet ter­sebut diumumkan sebagai tersangka korupsi di saat tidak lagi men­jabat sebagai menteri. Jokowi perlu melokalisasi kejadian itu sehingga ia tidak perlu terbawa-bawa yang berpotensi menggerus citranya.

Pelajaran lain dari kasus Idrus Marham ini adalah betapa ren­tan­nya kader partai politik terjerat korupsi ketika ia mengemban sebuah jabatan, baik sebagai pejabat eksekutif maupun legislatif. Idrus mengawali karier dari bawah sebagai aka­demisi sebelum kemudian terpilih menjadi anggota MPR RI sebagai wakil unsur pemuda.

Melalui Partai Golkar, ia terpilih sebagai ang­gota DPR tiga periode berturut-turut, yaitu 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014. Idrus pernah memegang jabatan pen­ting di Golkar, yakni sebagai sekjen hingga kemudian diangkat jadi menteri. Idrus mulai bolak-balik di­pe­rik­sa KPK setelah Eni Maulani Saragih terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK di rumah dinas mensos pada 13 Juli 2018.

Sebelum Idrus, puluhan politisi baik anggota Dewan maupun ke­pa­la daerah lebih dulu terjerat korupsi. Melihat kenyataan begitu banyak ka­der partai yang terjerat penyalahgunaan kewenangan, penting kem­bali untuk menagih komitmen parpol dalam pem­be­ran­tasan korupsi. Par­pol harus menerima kritik dan ber­komitmen me­la­kukan pem­be­na­han internal.

Sejatinya parpol didesain untuk ber­juang men­cip­ta­kan kesejahteraan bagi rakyat, bukan malah menjadi produsen ko­rup­tor. Jika parpol tidak juga berbenah dengan ber­upa­ya menihilkan ka­der­nya terlibat korupsi, rakyat bisa makin ke­hi­langan kepercayaan ter­hadap par­pol dan pada akhirnya akan kian apatis dengan proses pem­bangunan demokrasi.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7668 seconds (0.1#10.140)