Nural-Amin, Terdampar di Zona Nol Tanpa Masa Depan

Minggu, 05 Agustus 2018 - 09:48 WIB
Nural-Amin, Terdampar di Zona Nol Tanpa Masa Depan
Nural-Amin, Terdampar di Zona Nol Tanpa Masa Depan
A A A
Nural-Amin hanya bisa meratapi ketidakpastian hidupnya di Cox’s Bazar, wilayah perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar.
Pekerjaan pun tidak ada karena memang tidak ada peluang. Hidupnya digantungkan pada bantuan lembaga kemanusiaan. Padahal Al-Amin menginginkan pekerjaan sehingga dia bisa mendapatkan uang agar kehidupannya lebih pasti.

“Saya bangun subuh, membaca Alquran, dan hanya menunggu bantuan dari lembaga kemanusiaan,” kata Al-Amin, 40. Seperti dilansir aljazeera.com, sebanyak 4.600 pengungsi Rohingya telah terdampar di daerah nol. Wilayah itu kini berada di bawah kekuasaan Myanmar sehingga orang Rohingya tidak lagi disebut pengungsi.

Dengan pagar yang kokoh dan ranjau yang bertebaran, kepulangan ke Rakhine jadi terdengar mustahil. Di seberang sungai berwarna cokelat yang memisahkan kamp pengungsi Rohingya dengan Bangladesh terletak sebuah kota kecil bernama Tambru Konapara.

Dua kali dalam sebulan tim Komite Internasional Palang Merah berkunjung ke sana dengan membawa bantuan makanan, minuman, dan kebutuhan pokok lainnya. Di bawah pengawasan Penjaga Perbatasan Bangladesh (PPB), orang Rohingya diberi izin menyeberangi jembatan kayu dan memasuki kawasan Bangladesh untuk mengambil barang sumbangan.

PPB dan orang Rohingya sudah saling memahami aturan yang harus ditaati dan konsek u ensi yang akan ditanggung. “Jika mereka tidak diperkenankan datang ke sini, bagaimana mereka bisa mengambil barang bantuan? Meski mereka berkewarganegaraan Myanmar, mereka kami perbolehkan bergerak di sekitar wilayah ini asalkan tidak terlalu jauh,” imbuh Komandan PPB di Cox’s Bazar, Letnan Kolonel Monzural Hassan Khan.

Bagi Al-Amin, pelarian kepengasingan ini merupakan pengalaman ketiganya. Petani padi itu pernah melarikan diri dari Myanmar setelah perkampungannya dibantai militer pada 1978. Peristiwa itu terulang pada 1992.

Saat itu dia terpaksa meninggalkan rumahnya dan hidup sebagai pengungsi selama 8 tahun. Pada 27 Agustus tahun lalu, kehidupan normalnya di Rakhine kembali terusik setelah tentara Myanmar melakukan operasi militer pemberantasan pelaku penyerangan pos polisi dan tentara.

Sejauh ini lebih dari 700 .000 orang Rohingya telah mengungsi ke sejumlah wilayah perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar. “Dua anak saya terluka akibat ledakan ranjau darat.

Satu terkena di kepala, sedangkan satu lagi di dada. Saat ini kondisi mereka sudah membaik setelah mendapatkan perawatan panjang di rumah sakit Bangladesh,” kata Al-Amin. Dia patut bersyukur karena dia melihat seorang perempuan 40 tahun harus kehilangan kedua kakinya.

Pemimpin pengungsi Rohingya, Dil Muhammad, dibayang-bayangi kekhawatiran untuk pulang ke perkampungannya m eski hanya berjarak 7 km dari pagar perbatasan. Pasalnya pemerintah Myanmar terus membanjirinya dengan tuduhan sebagai anggota senior kelompok teroris tanpa ada bukti jelas.

Berdasarkan penuturan yang lain, Pemerintah Myanmar sudah sejak lama menuduh dan memprovokasi mereka sebagai teroris. Dil mengatakan, tidak ada manusia yang ingin hidup menderita dan dituduh seperti itu.

“Satu tahun telah berlalu, tapi tidak ada solusi apa pun. PBB telah membuat kami kecewa,” tandas Dil. Mayoritas dari 6.000 warga Tambru Konapara menyambut hangat pengungsi Rohingya layaknya saudara sendiri.

Pemilik Hotel dan Restoran Simanto, Nur Muhammad, mengatakan warga lokal tidak pernah mengalami masalah dengan pengungsi Rohingya. Dia juga salut dengan ketabahan dan keteguhan hati orang Rohingya.
(don)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.1151 seconds (0.1#10.140)