Dunia Itu Melelahkan

Jum'at, 03 Agustus 2018 - 05:55 WIB
Dunia Itu Melelahkan
Dunia Itu Melelahkan
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation

MATTHEW, anak muda berkulit putih, seorang non Muslim, hadir di kelas mualaf yang diadakan setiap Sabtu di New York. Dia tampak gelisah. Wajahnya nampak lelah dan lusuh.

Di akhir kelas dia diam terduduk di ruangan itu. Padahal peserta lainnya sudah meninggalkan ruangan. “Excuse me Sir. We are done”, cara saya memintanya meninggalkan ruangan dengan sopan.

Dia tampak marah. Tapi tidak mengekspresikan kemarahan itu kepada saya. Dia hanya berucap: “I am tired” (saya lelah).

Saya kemudian mendekat dan mencoba mencari tahu apa penyebab kelelahannya. Kenapa anak muda itu nampak seperti hilang semangat? Padahal rata-rata anak muda Amerika adalah pekerja keras dan disiplin.

Setelah berbincang sejenak saya temukan bahwa lelah yang dimaksud adalah bosan. Dia bukan lelah secara fisik. Toh kerjanya di bidang teknologi informasi (IT) tidak terlalu melelahkan. Gajinya juga lumayan dengan gaya hidup yang cukup mewah.

Ternyata lelah itu karena bosan. Dunia dengan segala kemewahannya “gitu-gitu” saja. Tidak kemana-mana. Dunia itu membosankan. Dunia itu melelahkan.

Karenanya manusia yang memiliki orientasi dunia, kerja di dunia, dan untuk tujuan dunia, pasti akan merasakan bosan dan lelah. Karena dunia memang realitanya demikian.

Realita ini yang terangkum dalam kata kesementaraan. Kullu man alaiha faan (semua yang ada di atas dunia ini berakhir). Kemewahan dunia yang diburu itulah yang ketika berakhir mengakibatkan “lelah”.

Kata dunia itu sendiri berasal dari kata danaa-yadnuu (mendekat). Selain berarti dekat atau sekarang juga. Bukan nanti sebagaimana akhirat. Juga disebut dekat karena dekat berakhirnya (fanaa).

Di sinilah pentingnya diketahui bahwa manusia akan selalu merasakan lelah dan bosan ketika hidupnya terculik oleh sempitnya dunia ini. Apalagi memang dunia itu dijadikan sebagai tempat untuk berlelah. Tabiatnya lelah dan karenanya selama masih di dalamnya pasti lelah.

Sebaliknya akhirat adalah tempat memetik hasil. Bahkan secara khusus realitanya disampaikan secara gamblang dalam Alquran: laa yusta’tabuun (mereka penghuni syurga tidak lagi akan dijadikan lelah).

Surga itu semuanya menyenangkan. Semuanya memuaskan. Bagi penghuninya semua tersedia bagi apa saja yang tasytahii al-anfus (yang diinginkan oleh nafsu manusia). Tidak ada yang membosankan. Tidak ada yang melelahkan.

Tentu akan semakin melelahkan jika dunia ini menjadi tujuan perjuangan. Pastilah melelahkan dan mengecewakan. Perjuangan itu adalah proses. Bukan hasil. Dan karenanya hasilnya tidak selalu satisfying (memuaskan).

Yang harus disadari adalah bahwa pastinya proses itu sendiri harusnya memuaskan. Tapi kepuasan apa yang hendak dicapai? Kepuasan relatif yang serba terbatas. Lalu apa solusi dari realita dunia yang membosankan dan (kemungkinan) mengecewakan itu?

Pertama,
hendaknya disadari tentang tabiat kehidupan dunia yang terbatas, fana dan melelahkan. Sehingga tidak perlu menyandarkan harapan sepenuhnya kepada dunia ini. Harus disadari sepenuhnya bahwa dunia itu tidak akan mampu memenuhi syahwat (keinginan) manusia yang realitanya tiada batas.

Kedua, dalam melangkahkan kaki di lorong-lorong kehidupan ini jangan pernah dibatasi oleh dinding-dinding dunia yang sempit. Hidup ini lebih dari sekadar yang sekarang. Hidup itu adalah satu kesatuan proses yang tak terpisah. Hidup dunia dan hidup akhirat. Karenanya hidup dunia hanya akan berwujud hasanah (kebaikan) jika orientasinya akhirat.

Ketiga, tapi yang terpenting adalah harus dibangun kesadaran penuh bahwa jiwa manusia itu rentang menjadi liar dan buas. Yang mampu meredam kebuasan jiwa dan menentramkannya hanya Dia yang mencipta langit dan bumi. “Bukankah dengan mengingat Allah hati-hati merasakan ketenangan?”.

Untuk itu, jangan pernah mencari kepuasan dengan dunia karena engkau akan tidak menemukannya. Jangan pernah mencari pujian manusia karena engkau pasti akan dikecewakan. Jangan juga pernah mencoba memuaskan semua manusia. Karena kebanyakan manusia akan melihat kekurangan dan mencelahmu. Bukan kelebihanmu dan mengapresiasimu.

Carilah kepuasan di balik dari sempitnya dunia ini. Bahwa di seberang sana ada kepuasan yang menunggu. Di sini hanya tempat usaha. Jangan pernah mengharap hasil yang sempurna.

Dan yang terpenting jangan pernah mencari pujian manusia. Ingat, anda menjadi anda bukan karena raja, presiden, atau teman. Bahkan bukan karena orang tua. Anda karena diri anda.

Karenanya jangan terdefenisikan oleh orang lain. Tentukan sendiri defenisi diri anda, dengan kepatuhan kepada yang mengontrol dan memiliki hidupnya.

Be your self dan sadari jika hidup itu dikendalikan oleh Pemilik langit dan bumi. Jalani dengan ceria dan penuh tanggung jawab. Kerikil-Kerikil di tengah perjalanan itu hanya bagian dari tabiatnya. Bukan kesulitan, apalagi penghalang. Insya Allah!

New York, 1 Agustus 2018
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8330 seconds (0.1#10.140)