Keberlanjutan Angkutan Daring
A
A
A
Prima Gandhi
Staf Pengajar Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.
SUDAH empat tahun angkutan daring beroperasi di Indonesia. Ada ekonom menyebut angkutan daring adalah wujud konsep ekonomi berbagi (sharing economy), namun ada pula yang menyatakan wujud konsep ekonomi akses (access economy). Terlepas dari konsep mana yang tepat menggambarkan praktik angkutan daring, kehadirannya mengubah kelembagaan transportasi publik nasional. Perubahan ini menimbulkan dampak positif dan negatif. Menarik untuk menganalisis konsep serta dampak keberadaan angkutan daring, apakah sesuai harapan?
Ekonomi Akses atau Berbagi?
Literatur ilmu ekonomi perilaku (economic behaviour) menjelaskan bahwa ekonomi berbagi merupakan sebuah ekosistem sosioekonomi yang dibangun dari berbagi sumber daya manusia, alam, dan modal. Termasuk di dalamnya berbagi tentang kreasi, produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi barang/jasa dalam satu jaringan (network). Setidaknya ada sepuluh komponen utama dalam praktik ekonomi berbagi: manusia, produksi, distribusi, planet, kekuatan, hukum berbagi, komunikasi, sistem nilai, kultur, dan keberlanjutan.
Kata kunci dari ekonomi berbagi adalah keberlanjutan. Ini berarti praktik ekonomi berbagi merupakan praktik ekonomi dengan pertimbangan cermat pemanfaatan sumber daya existing untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Sementara ekonomi akses adalah model ekonomi yang memaksimalkan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk di antaranya subjek atau objek material, perorangan, sistem, institusi, dan simbol.
Dari sudut pandang ekonomi berbagi, angkutan daring melahirkan optimisme Indonesia dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Terutama SDGs poin tiga, kehidupan sehat dan sejahtera; tujuh, energi bersih, berkelanjutan dan terjangkau; delapan, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan dan pekerjaan yang layak untuk semua.
Dengan adanya berbagi penggunaan kendaraan bermotor diharapkan kepadatan kendaraan bermotor di jalan raya kota besar semakin berkurang. Ada beberapa dampak positif jika kepadatan kendaraan bermotor berhasil ditekan. Pertama, kemacetan akan berkurang. Kedua, menghemat konsumsi BBM. Ketiga, kerugian waktu di perjalanan. Keempat, mengurangi stres pengguna jalan. Dan, kelima mengurangi polusi udara. Bila lima hal ini terwujud maka keberlanjutan hidup manusia akan lebih terjamin.
Fakta di Lapangan
Riset berjudul Inrix Traffic Sorecard yang dilakukan sepanjang 2017 oleh Inrix menemukan bahwa Jakarta berada di peringkat 12 dalam daftar kota-kota termacet di dunia. Peringkat ini naik dibandingkan 2016 (peringkat 22). Lama waktu kemacetan pun meningkat dalam setahun rata-rata mencapai 63 jam dengan porsi 20%. Pada 2016, pengendara menghabiskan waktu 55 jam di jalan saat macet. Inrix mengumpulkan data dari 1.360 kota di 38 negara yang mencakup lebih dari 250.000 kilometer persegi jalan dan berfokus pada kemacetan di seluruh sepanjang hari dan minggu.
Selanjutnya data indeks standar pencemaran udara KLHK (2018) menjelaskan Jakarta, Palembang, Surabaya, Semarang adalah kota dengan tingkat polusi yang tidak baik dari tahun ke tahunnya. Dikatakan tidak baik karena angka PM 2.5 melebihi standar WHO yakni 25µg/m3, dan baku mutu udara ambiens nasional, yakni 65µg/m3. Partikulat (PM 2.5) adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Jika kita bandingkan dengan sehelai rambut manusia, setara dengan 1/30-nya.
Lalu, Kajian Indef (2018) menunjukkan pertumbuhan angkutan daring naik sebesar 8,6% selama triwulan satu 2018 dibanding periode sama pada 2017. Kenyataan ini memupuskan harapan keberadaan angkutan daring akan menghemat konsumsi BBM nasional. Patut diduga angkutan daring ikut berkontribusi menaikkan nilai subsidi BBM dalam APBN sejak 2015.
Berdasarkan paparan di atas, ternyata keberadaan angkutan daring tidak mencerminkan keberlanjutan, walaupun pengemudi dan pemilik angkutan daring kebagian manfaat ekonomi. Memang tidak semua yang kelihatan berbagi, bisa disebut ekonomi berbagi.
Berarti perusahaan angkutan daring di Indonesia adalah entitas kapitalis murni. Mempunyai modal besar. Prinsip dasarnya, keuntungan sebesarbesarnya dengan biaya seminim mungkin. Dengan modal besar, mereka bisa mengambil aneka peluang usaha, termasuk membeli atau mendanai usaha rintisan.
Perkembangan teknologi digital memunculkan kreativitas. Salah satunya adalah creative destruction. Praktik inilah yang dilakukan perusahaan angkutan daring terhadap perusahaan angkutan konvensional. Kreativitas yang menghancurkan kemapanan bisnis sebelumnya. Inilah salah satu ciri evolusi bisnis khas kapitalisme selain motif tumbuh dan menumpuk keuntungan, menurut ekonom, Joseph Schumpeter.
Menguntungkan Konsumen
Bila ditinjau dari perspektif konsumen, angkutan daring memiliki beberapa manfaat seperti: pertama, praktis. Menggunakan angkutan daring memudahkan konsumen. Tak harus berdiri di pinggir jalan, mendatangi pangkalan taksi atau ojek pangkalan. Kedua, transparan. Angkutan daring membuat pelanggan mengetahui dengan pasti, di mana posisi angkutan yang dipesan, berapa lama sampai, jumlah biaya dan siapa nama pengemudi dan nomor kendaraan. Semua muncul di layar gawai konsumen.
Ketiga, tarif murah dan pasti. Setiap perusahaan angkutan daring di Indonesia menetapkan tarifnya berdasarkan harga per kilometer. Tarif ini di bawah angkutan umum berpelat kuning. Bahkan konsumen sering mendapatkan potongan harga pada saat tertentu.
Keempat, terjamin dan terpercaya. Konsumen lebih terjamin keselamatannya karena pengemudi pasti memiliki surat izin mengemudi, terekam data dirinya beserta kelengkapan kendaraan yang digunakan. Kelima, kemudahan. Angkutan daring memberikan kemudahan pembayaran dengan tunai, kartu kredit atau debit. Tak heran, jika layanan seperti ini bisa menjangkau masyarakat lebih luas, baik pengguna maupun pengemudi.
Berdasarkan kajian dan fakta yang terjadi selama empat tahun ini, penulis berkesimpulan bahwa keberadaan angkutan daring tidak memiliki andil dalam mengurangi kemacetan, konsumsi BBM dan polusi udara di Indonesia. Malah kini menambah titik macet baru. Gerombolan angkutan daring di sekitar stasiun kereta, terminal dan tempat umum lainnya memperparah kemacetan. Pemerintah harus cepat tanggap membuat aturan tegas menyikapi hal ini. Terlebih angkutan daring berkontribusi menyerap tenaga kerja dalam empat tahun belakangan sebesar 169.000 orang.
Staf Pengajar Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB.
SUDAH empat tahun angkutan daring beroperasi di Indonesia. Ada ekonom menyebut angkutan daring adalah wujud konsep ekonomi berbagi (sharing economy), namun ada pula yang menyatakan wujud konsep ekonomi akses (access economy). Terlepas dari konsep mana yang tepat menggambarkan praktik angkutan daring, kehadirannya mengubah kelembagaan transportasi publik nasional. Perubahan ini menimbulkan dampak positif dan negatif. Menarik untuk menganalisis konsep serta dampak keberadaan angkutan daring, apakah sesuai harapan?
Ekonomi Akses atau Berbagi?
Literatur ilmu ekonomi perilaku (economic behaviour) menjelaskan bahwa ekonomi berbagi merupakan sebuah ekosistem sosioekonomi yang dibangun dari berbagi sumber daya manusia, alam, dan modal. Termasuk di dalamnya berbagi tentang kreasi, produksi, distribusi, perdagangan, dan konsumsi barang/jasa dalam satu jaringan (network). Setidaknya ada sepuluh komponen utama dalam praktik ekonomi berbagi: manusia, produksi, distribusi, planet, kekuatan, hukum berbagi, komunikasi, sistem nilai, kultur, dan keberlanjutan.
Kata kunci dari ekonomi berbagi adalah keberlanjutan. Ini berarti praktik ekonomi berbagi merupakan praktik ekonomi dengan pertimbangan cermat pemanfaatan sumber daya existing untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Sementara ekonomi akses adalah model ekonomi yang memaksimalkan akses sebagai kemampuan menghasilkan keuntungan dari sesuatu, termasuk di antaranya subjek atau objek material, perorangan, sistem, institusi, dan simbol.
Dari sudut pandang ekonomi berbagi, angkutan daring melahirkan optimisme Indonesia dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals). Terutama SDGs poin tiga, kehidupan sehat dan sejahtera; tujuh, energi bersih, berkelanjutan dan terjangkau; delapan, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan inklusif, lapangan pekerjaan dan pekerjaan yang layak untuk semua.
Dengan adanya berbagi penggunaan kendaraan bermotor diharapkan kepadatan kendaraan bermotor di jalan raya kota besar semakin berkurang. Ada beberapa dampak positif jika kepadatan kendaraan bermotor berhasil ditekan. Pertama, kemacetan akan berkurang. Kedua, menghemat konsumsi BBM. Ketiga, kerugian waktu di perjalanan. Keempat, mengurangi stres pengguna jalan. Dan, kelima mengurangi polusi udara. Bila lima hal ini terwujud maka keberlanjutan hidup manusia akan lebih terjamin.
Fakta di Lapangan
Riset berjudul Inrix Traffic Sorecard yang dilakukan sepanjang 2017 oleh Inrix menemukan bahwa Jakarta berada di peringkat 12 dalam daftar kota-kota termacet di dunia. Peringkat ini naik dibandingkan 2016 (peringkat 22). Lama waktu kemacetan pun meningkat dalam setahun rata-rata mencapai 63 jam dengan porsi 20%. Pada 2016, pengendara menghabiskan waktu 55 jam di jalan saat macet. Inrix mengumpulkan data dari 1.360 kota di 38 negara yang mencakup lebih dari 250.000 kilometer persegi jalan dan berfokus pada kemacetan di seluruh sepanjang hari dan minggu.
Selanjutnya data indeks standar pencemaran udara KLHK (2018) menjelaskan Jakarta, Palembang, Surabaya, Semarang adalah kota dengan tingkat polusi yang tidak baik dari tahun ke tahunnya. Dikatakan tidak baik karena angka PM 2.5 melebihi standar WHO yakni 25µg/m3, dan baku mutu udara ambiens nasional, yakni 65µg/m3. Partikulat (PM 2.5) adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Jika kita bandingkan dengan sehelai rambut manusia, setara dengan 1/30-nya.
Lalu, Kajian Indef (2018) menunjukkan pertumbuhan angkutan daring naik sebesar 8,6% selama triwulan satu 2018 dibanding periode sama pada 2017. Kenyataan ini memupuskan harapan keberadaan angkutan daring akan menghemat konsumsi BBM nasional. Patut diduga angkutan daring ikut berkontribusi menaikkan nilai subsidi BBM dalam APBN sejak 2015.
Berdasarkan paparan di atas, ternyata keberadaan angkutan daring tidak mencerminkan keberlanjutan, walaupun pengemudi dan pemilik angkutan daring kebagian manfaat ekonomi. Memang tidak semua yang kelihatan berbagi, bisa disebut ekonomi berbagi.
Berarti perusahaan angkutan daring di Indonesia adalah entitas kapitalis murni. Mempunyai modal besar. Prinsip dasarnya, keuntungan sebesarbesarnya dengan biaya seminim mungkin. Dengan modal besar, mereka bisa mengambil aneka peluang usaha, termasuk membeli atau mendanai usaha rintisan.
Perkembangan teknologi digital memunculkan kreativitas. Salah satunya adalah creative destruction. Praktik inilah yang dilakukan perusahaan angkutan daring terhadap perusahaan angkutan konvensional. Kreativitas yang menghancurkan kemapanan bisnis sebelumnya. Inilah salah satu ciri evolusi bisnis khas kapitalisme selain motif tumbuh dan menumpuk keuntungan, menurut ekonom, Joseph Schumpeter.
Menguntungkan Konsumen
Bila ditinjau dari perspektif konsumen, angkutan daring memiliki beberapa manfaat seperti: pertama, praktis. Menggunakan angkutan daring memudahkan konsumen. Tak harus berdiri di pinggir jalan, mendatangi pangkalan taksi atau ojek pangkalan. Kedua, transparan. Angkutan daring membuat pelanggan mengetahui dengan pasti, di mana posisi angkutan yang dipesan, berapa lama sampai, jumlah biaya dan siapa nama pengemudi dan nomor kendaraan. Semua muncul di layar gawai konsumen.
Ketiga, tarif murah dan pasti. Setiap perusahaan angkutan daring di Indonesia menetapkan tarifnya berdasarkan harga per kilometer. Tarif ini di bawah angkutan umum berpelat kuning. Bahkan konsumen sering mendapatkan potongan harga pada saat tertentu.
Keempat, terjamin dan terpercaya. Konsumen lebih terjamin keselamatannya karena pengemudi pasti memiliki surat izin mengemudi, terekam data dirinya beserta kelengkapan kendaraan yang digunakan. Kelima, kemudahan. Angkutan daring memberikan kemudahan pembayaran dengan tunai, kartu kredit atau debit. Tak heran, jika layanan seperti ini bisa menjangkau masyarakat lebih luas, baik pengguna maupun pengemudi.
Berdasarkan kajian dan fakta yang terjadi selama empat tahun ini, penulis berkesimpulan bahwa keberadaan angkutan daring tidak memiliki andil dalam mengurangi kemacetan, konsumsi BBM dan polusi udara di Indonesia. Malah kini menambah titik macet baru. Gerombolan angkutan daring di sekitar stasiun kereta, terminal dan tempat umum lainnya memperparah kemacetan. Pemerintah harus cepat tanggap membuat aturan tegas menyikapi hal ini. Terlebih angkutan daring berkontribusi menyerap tenaga kerja dalam empat tahun belakangan sebesar 169.000 orang.
(amm)