Menghadang Parpolisasi DPD

Rabu, 01 Agustus 2018 - 08:30 WIB
Menghadang Parpolisasi DPD
Menghadang Parpolisasi DPD
A A A
Gugun El Guyanie
Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU DIY.
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 atas permohonan constitutional judicial review Pasal 182 huruf l UU Pemilu ibarat kemenangan berharga sebuah tim sepak bola pada saat injury time. Tentu banyak yang menyambut putusan MK tersebut dengan apresiasi setinggi-tingginya demi sebuah idealisme; menyelamatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari hegemoni kepentingan partai politik (parpol).Sebaliknya, tidak sedikit elite parpol yang menyambut putusan lembaga pengawal konstitusi tersebut dengan kemarahan. Mereka yang tidak memberikan apresiasi dipastikan adalah orang-orang yang merasa terancam tidak bisa bermain dua kaki; menjadi pengurus parpol sekaligus menjadi calon anggota DPD pada Pemilu 2019.
Secara teknis putusan tersebut berlaku saat ini juga pada saat tahapan Pemilu 2019 untuk calon anggota DPD belum masuk pada penetapan daftar calon tetap. Ada yang menyebut putusan MK tersebut adalah kemenangan besar. Tetapi, bukan berarti perjuangan merebut "trofi" kemenangan DPD sudah berhenti. Masih ada babak selanjutnya untuk terus menempatkan kedudukan ideal DPD sebagai bagian dari amanat reformasi yang eksplisit tertuang dalam amendemen konstitusi. Walaupun putusan MK tersebut agak terlambat karena sudah hampir dua puluh tahun kehadiran DPD tidak netral dari warna-warni jubah parpol. Menurut catatan Indonesian Parliamentary Centre, hingga akhir 2017 dari 132 anggota DPD, 78 di antaranya berstatus sebagai pengurus parpol baik di tingkatan pengurus pusat maupun daerah.

Fakta tersebut juga yang, menurut penulis, menjadi faktor utama yang menghambat revisi UU Pemilu sebelum diketok menjadi UU Nomor 7 Tahun 2017. Ketika dua tahun lalu terjadi pembahasan mengenai syarat calon DPD tidak boleh dari pengurus parpol, mayoritas fraksi di DPR menolak. Tiga kali pemilu sejak 2004 sampai 2014 memilih anggota DPD, calon anggota DPD selalu menjadi target rebutan pengurus parpol. Hampir setiap provinsi dari 34 provinsi menempatkan calon anggota DPD yang "berbau parpol". Beberapa calon DPD masih menjadi anggota DPR RI dari parpolnya.

Independensi DPD dari parpol harus terus diperjuangkan tanpa kenal menyerah. Revisi UU Pemilu ke depan harus menguatkan independensi DPD. Pertama, tidak cukup mundur dari pengurus parpol, tetapi juga harus ada limitasi waktunya. Kalau mundur dari parpol sehari, sebulan, atau setahun, sebelum mendaftar calon anggota DPD, belum bisa disebut independen. Calon anggota DPD idealnya menyatakan nonaktif dari parpol paling kurang lima tahun sebelum mendaftar. Kedua, tidak memiliki hubungan darah dengan pengurus parpol yang masih aktif, baik pengurus pusat maupun daerah. Batasan kedua ini juga dalam rangka membersihkan kamar kedua dari dinasti parpol yang oligarkis.

Modus "parpolisasi DPD" juga dapat dibaca dari strategi kampanye "satu paket" atau tandem antara caleg DPR dan caleg DPD. Keduanya memiliki konstituen yang sama, dengan dapil yang sama, dengan alat kampanye dan biaya kampanye yang bisa ditanggung bersama. Bahkan terdapat parpol yang secara terstruktur, sistematis, dan masif mengusung calon DPD demi menjaga kepentingan parpol di DPD maupun di MPR. Secara sistematis pula, masuknya anasir parpol dalam DPD semakin memperlemah peran DPD sekaligus menghambat agenda penguatan fungsi legislasi DPD.

Purifikasi Sistem BikameralKekhawatiran menguatnya anasir parpol di DPD harus menjadi kesadaran bersama dalam rangka menyelamatkan sistem bikameral yang diamanatkan oleh reformasi melalui amendemen konstitusi. Konstitusi telah mengatur dengan tegas melalui Pasal 22E ayat (3) yang menyatakan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik. Berbeda dengan ayat selanjutnya, Pasal 22E ayat (4): peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.
Maksud dari frase "perseorangan" adalah bukan parpol sebagaimana penafsiran konstitusional dari putusan MK. Jika dikembangkan lebih ideal, anggota DPD tidak memiliki hubungan politis dan ideologis dengan parpol. Misalnya, dibuktikan dengan mundur dari pengurus parpol setidaknya lima tahun. Tujuannya dalam rangka menghindari conflict of interest antara aspirasi kepentingan daerah yang diwakili DPD dan aspirasi kepentingan parpol yang diwakili DPR.

Membersihkan anasir parpol di DPD utamanya adalah dalam rangka purifikasi sistem bikameral. Dengan sistem bikameral yang sehat dan seimbang, menurut Lord Bryce sebagaimana dikutip oleh CF Strong dalam Modern Political Constitution: An Introduction to The Comparative Study of their History and Existing Form (1975; 177), kamar kedua (second chamber) dapat berfungsi untuk "revision of legislation". Dalam bahasa Dahlan Thaib (2002; 9), second chamber dapat menghindari monopoli proses legislasi oleh kamar pertama (DPR). Selain itu, fungsi pengawasan dari parlemen juga berjalan secara ganda (double check) dalam rangka menghindari praktik conflict of interest antara kekuasaan eksekutif dan kekuatan parpol pendukungnya di DPR.Lahirnya DPD ketika perdebatan amendemen konstitusi dibayangkan akan diisi oleh tokoh-tokoh masyarakat lokal yang benar-benar netral dari partai politik. Jika proses seleksi calon anggota DPR/DPRD melalui pendidikan politik parpol, idealnya seleksi alamiah calon anggota DPD berasal dari sistem masyarakat lokal. Sistem tersebut bisa melalui pintu gerbang ormas sosial keagamaan yang benar-benar tidak memiliki hubungan kultural ideologis dengan parpol.

Organisasi masyarakat sipil memiliki peluang lebih independen dan berintegritas daripada parpol yang sudah rusak oleh sistem oligarki. Harapannya, lahir calon-calon DPD yang benar-benar mewakili masyarakat lokal dengan kompetensi yang teruji. Misalnya calon DPD tersebut memiliki jejak rekam melakukan advokasi persoalan hutan adat, konflik masyarakat adat, hak ulayat, kebudayaan lokal, dan lainnya.

Selama ini produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan aspirasi masyarakat daerah dari lembaga legislatif terkesan tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan kepentingan masyarakat lokal di daerah. Sebaliknya lebih condong kepada kepentingan pasar bebas yang menindas. Demikian juga dengan praktik otonomi daerah yang tak kunjung mendekatkan kesejahteraan dan pelayanan publik bagi masyarakat daerah lantaran lemahnya DPD. Sudah hampir empat kali pemilu untuk memilih anggota DPD digelar, sudah hampir dua puluh tahun pula DPD hadir di parlemen kita, tetapi belum tampak keberpihakannya pada kepentingan masyarakat di daerah. Patut kita bertanya, mungkinkah hal itu disebabkan tidak berfungsinya DPD lantaran disesaki oleh kepentingan parpol yang sudah telanjur tunduk pada oligarki kekuasaan?
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5726 seconds (0.1#10.140)