(K)Asian Games

Senin, 30 Juli 2018 - 08:29 WIB
(K)Asian Games
(K)Asian Games
A A A
Fajar S Pramono
Alumnus Fakultas Pertanian UNS

ASIAN Games 2018 akan menjadi ”Kasian Games 2018” ketika Indonesia gagal menjadi tuan rumah yang baik. Mengapa? Sebab, tuntutan kepada pelaksana Asian Games bukan sekadar bisa menyelenggarakan pertandingan dan perlombaan berbagai cabang olahraga dengan lancar dan tepat waktu, juga harus menjadi ajang pembuktian bahwa Indonesia adalah bangsa maju yang layak diperhitungkan dalam percaturan masyarakat dunia.

Ingat, Asian Games merupakan perhelatan olahraga terbesar kedua setelah Olimpiade. Karena itu, layak jika perhatian dunia akan banyak tertuju kepada event ini, kepada Indonesia. Pada welcome dinner yang bertajuk World Broadcasting Meeting di JCC Senayan, 14 November 2017, Erick Thohir selaku Ketua Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (INASGOC) menargetkan 4-5 miliar pasang mata akan melihat pesta olahraga ini. Mereka tak akan sekadar melihat jalannya pertandingan demi pertandingan semata, tapi dipastikan juga akan melihat berbagai hal tentang pariwisata, kuliner, kekhasan budaya, hingga lifestyle orang Indonesia.

Bukankah demikian, ketika seorang jurnalis media cetak maupun elektronik diterjunkan di sebuah event akbar olahraga, dia tidak sekadar melaporkan update mengenai pelaksanaan dan hasil pertandingan, tapi juga akan membuat feature tentang keragaman dan keunikan budaya negara tempat perhelatan itu diselenggarakan?

Karena itu, kasian negara ini jika kita tidak bisa menunjukkan betapa hebatnya Indonesia. Tak bisa memperlihatkan kebinekaan kita yang guyub dan rukun. Tak mampu mempertontonkan budaya indah dan positif manusia Indonesia. Dan, tak kuasa mengangkat derajat bangsa ini ke arah yang lebih baik. Kasian Indonesia.

Asian Games 2018 juga akan menjadi ”Kasian Games 2018” jika para anggota kontingen olahraga dari mancanegara dan Indonesia sendiri tidak bisa mendapatkan kenyamanan dan kenikmatan selama bertanding dan bertandang di Indonesia. Demi Asian Games, berbagai fasilitas harus dipastikan siap dan available untuk melayani mereka. LRT Jakarta dan Palembang harus bisa segera beroperasi. Stadion dan seluruh venue pertandingan harus berbenah, memastikan standar internasional masing-masing federasi terpenuhi. Athlete village harus rapi dan wangi. Karena itu, sungai yang hitam dan berbau busuk dirasa perlu ditutupi untuk mengurangi evaporasi.

Dari pengalaman para atlet dan ofisial yang hadir inilah akan mengalir cerita tentang keren tidaknya Indonesia, tentang canggih tidaknya fasilitas umumnya. Seperti apa pengelolaan kota-kotanya, dan seperti apa perilaku penduduknya.
Dengan demikian, berlakulah kita semua sebagai warga negara yang baik, yang ramah, helpfull, santun dalam berbicara. Singkirkan ego dan kebiasaan tak sopan dalam bahasa politik, meski mungkin saat itu kita akan gegar sekaligus sinis dengan pengusungan capres dan cawapres beberapa hari sebelum seremoni pembukaan Asian Games pada 18 Agustus 2018.

Mari ingat kekuatan word of mouth (WOM) yang luar biasa. Tak ada artinya kita berkoar-koar tentang kehebatan dan kebaikan Indonesia di seluruh ranah media, jika cerita yang muncul dari peserta rombongan Asian Games adalah fakta kebalikannya. Mereka akan lebih dipercaya. Karena itu, kasian para duta negara itu. Kasian juga reputasi Indonesia jika para atlet dan ofisial mendapat perlakuan tak semestinya sebagai tamu negara.

Asian Games 2018 juga akan menjadi ”Kasian Games 2018” jika kontingen olahraga Indonesia tidak bisa memanfaatkan keuntungan sebagai tuan rumah untuk mendongkrak prestasinya. Sukses sebagai tuan rumah sebuah event olahraga harus menjadi kesuksesan para atletnya juga. Koleksi medali yang lebih banyak daripada sebelumnya, prestasi yang melebihi sekadar target juara, dan naiknya posisi di klasemen akhir menjadi indikator kesuksesan ini.

Banyak sekali keuntungan sebagai tim tuan rumah. Cuaca dan kondisi iklim yang tentu sudah menjadi keseharian mereka, arena laga yang mestinya sudah tak asing lagi karena bisa menjadi tempat latihan dan uji coba sebelum laga sesungguhnya, serta tentu saja bakal gegap gempitanya pendukung mereka yang akan mendominasi tribune pemerhati dan penggembira.

Dengan begitu, jika kontingen Indonesia tidak bisa memanfaatkan segala keuntungan ini menjadi sebuah prestasi yang lebih baik, itu kesia-siaan adanya. Kasian mereka. Kasian para pendukungnya. Dan, kasian Indonesia. Namun, optimisme harus terus dijaga. Meski pemberitaan mengenai kesiapan atlet kita untuk mempersembahkan prestasi tertinggi tidak lebih banyak dibanding berita persiapan Indonesia dalam mempersembahkan venue dan fasilitas terbaik, tak ada alasan bagi kontingen kita untuk tidak tampil dalam performa terhebatnya.

Toh, sesungguhnya kita sudah terbiasa bersiap dalam keminimalan. Inspirasi tentang keberhasilan di tengah keterbatasan banyak bertebaran. Lalu Muhammad Zohri mampu berprestasi dari kesunyian seperti itu. Kita memang patut berterima kasih kepada Zohri karena prestasinya bisa membuka mata petinggi negara untuk lebih memperhatikan keberadaan para atlet kita. Jika tak ada Zohri, siapa akan peduli dengan Fauzan Noor, juara karate di Kejuaraan Waso World Championship 2018. Dia mengaku bahwa baru sekarang ada apresiasi dari pemerintah sejak dia mengukir prestasi pada Januari 2018. Dan, itu karena ”Zohri phenomenon”.

Akhirnya kita menjadi kenal ”anak ajaib” Samantha Edithso yang menjadi juara dunia catur pada FIDE World Championship 2018 U-10 di Belarus. Kita akhirnya juga tahu bahwa ternyata tim wushu Indonesia mampu berbicara banyak di Kejuaraan Dunia Wushu Junior di Brasil.

Kadang memang perlu pemicu untuk tumbuhnya kebiasaan baik. Dengan demikian, apresiasi bagi Zohri dkk menjelang laga Asian Games itu harus bisa menjadi kompor semangat bagi para atlet untuk mendulang prestasi. Bukan demi penghargaan yang akan diterima, melainkan demi pengakuan sebagai pahlawan negara dan kebanggaan membawa nama baik Indonesia di kancah dunia yang harus menjadi landasan motivasi sebenarnya.

Pemerintah tidak boleh lupa akan komitmen itu. Menpora Imam Nahrawi sudah mencanangkan slogan yang cantik: Indonesia adalah ”negara juara”. Namun, jika itu sekadar slogan tanpa pemberian fasilitas, metode latihan, dan apresiasi terbaik kepada atlet dan krunya, kasian mereka. Mereka harus menjadi besar dalam dorongan maksimal, bukan harus mencetak prestasi di dalam kesunyian dukungan.

Presiden pertama kita Soekarno pernah berkata menjelang pelaksanaan Asian Games di Indonesia pada 1962. ”Di mata saya, olahraga merupakan salah satu alat perjuangan bangsa! Dengan berkiprah di dunia olahraga, Indonesia mampu berbicara pada dunia! Kita tunjukkan bahwa Indonesia bangsa yang besar! Yang mampu maju ke depan, memimpin pembebasan bangsa-bangsa dunia menuju dunia barunya!” begitu ujarnya.

Gelora semangat yang disampaikan Soekarno itu harus terus menjadi penyemangat kita untuk memberikan dan menjadi yang terbaik dalam Asian Games 2018 ini. Dus, jangan sampai Asian Games menjadi Kasian Games hanya karena Indonesia dipandang tidak serius mempersiapkan eventnya, masyarakat tidak mendukung penyelenggaraannya, dan pemerintah menutup mata dari prestasi atlet-atletnya.

Kasian Indonesia. Kasian semuanya.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1285 seconds (0.1#10.140)