Politik Rasis Israel Kian Keras

Jum'at, 27 Juli 2018 - 07:08 WIB
Politik Rasis Israel...
Politik Rasis Israel Kian Keras
A A A
Faisal Ismail

Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

KNESSET (Parlemen Israel) pada 19 Juli 2018 menge­sah­kan Rancangan Undang-Undang (RUU) Negara Yahudi (Jewish Nation-State). UU ini secara kasat mata bertujuan me­ne­rap­kan segregasi (pemisahan) antara etnik Yahudi dan etnik Arab. Dalam dunia beradab seperti sekarang ini, praktik segregasi antaretnik seperti itu sangat tercela dan seharusnya tidak boleh terjadi. Etika ke­manusiaan dan moral ke­adab­an dalam pergaulan antaretnik seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, adil, dan beradab.

Tapi justru Knesset melegitimasi praktik segregasi etnik Yahudi dan etnik Arab di negaranya. UU Negara Yahudi itu dinilai sangat kontroversial dan menuai kritik dan kecaman luas dari berbagai kalangan bangsa-bangsa beradab di dunia karena dinilai bersifat rasis dan apartheid. Uni Eropa, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), dan Pemerintah Republik Indo­nesia juga mengkritik UU Negara Yahudi Israel itu karena me­nilainya diskriminatif ter­ha­dap warga negara Israel ke­tu­run­an Arab.

Knesset yang berang­gota­kan 120 orang mengesahkan UU Negara Yahudi itu dan banyak mendapat dukungan dari pe­me­rintah sayap kanan. Sebanyak 62 anggota parlemen mendukung, 55 anggota par­lemen tidak men­dukung, dan 2 anggota parlemen bersikap abstain. Sebelum RUU itu di­sah­kan terjadi perdebatan politik yang menguras pikiran, energi, dan adu argumentasi selama berbulan-bulan. Me­nyusul pengesahan RUU itu, beberapa anggota parlemen dari etnik Arab menyobek naskah ter­sebut sebagai tanda protes.

Sementara di pihak lain, segera setelah RUU itu disahkan, PM Israel Benjamin Netanyahu me­ngata­kan bahwa UU itu merupa­kan”momen yang menentukan dalam sejarah Zionisme dan sejarah negara Israel”. Selanjut­nya Netanyahu mengatakan, selama ini musuh-musuh Israel selalu berusaha menolak eksis­tensi negara Israel, tetapi status Negara Yahudi kini telah secara resmi dicantumkan dalam UU.”Hiduplah Negara Israel!” kata Netanyahu bangga ber­bunga-bunga.

Rasis dan Diskriminatif

Netanyahu mengatakan, kaum minoritas memiliki hak penuh di Israel, tetapi ia mene­gaskan bahwa mayoritas Yahudi juga punya hak penuh. Dia mempertegas pernyata­an­nya dengan menyatakan bahwa tatanan hukum men­jamin ada­nya mayoritas Yahudi dan ke­berlangsungan identitas Yahudi untuk generasi men­datang. Sementara mitra koalisi sayap kanan Netanyahu sangat gem­bira dengan pengesahan RUU Negara Yahudi ini, orang-orang Arab-Israel (yang me­rupa­kan 20% dari penduduk Israel yang berjumlah sembilan juta jiwa) melampiaskan ke­marahan dan german mereka. Anggota parlemen dari etnis Arab, Ahmad Tibi, mengatakan UU Negara Yahudi itu sangat rasis dan diskriminatif. UU itu merupakan tindakan ke­jahat­an yang penuh kebencian. Me­reka, kecam Tibi, sepenuhnya men­diskriminasi warga Arab dan merugikan minoritas Arab.

UU Negara Yahudi diber­laku­kan beberapa saat setelah euforia perayaan 70 tahun berdirinya Negara Israel. UU ini menetapkan bahwa Israel adalah tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi dan mereka mempunyai hak eksklusif untuk menentukan nasib sendiri. Para pengkritik mengatakan, UU Negara Yahudi itu sebenarnya mem­buat kerusakan besar bagi bangsa dan negara Israel yang selama ini citranya di luar negeri sudah sangat negatif dan ter­coreng karena tuduhan me­laku­kan persekusi dan peng­aniaya­an terhadap warga Palestina. Dalam wawancara radio, se­orang pakar politik Israel, Shlomo Avineri, menilai UU Negara Yahudi itu tidak memberikan solusi apa pun kecuali menjadi senjata bagi para pengecam Israel, termasuk mereka yang menuduh negara Yahudi itu melakukan kebijakan apartheid.

Dengan diberlakukannya UU Negara Yahudi ini secara resmi, status bahasa Arab se­bagai bahasa resmi dicabut dan hanya memberikan tempat kepada bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa resmi negara di Israel. Selain itu UU ter­sebut juga akan memar­ginal­­kan 1,8 juta etnik Pales­tina dengan kewarganegaraan Israel atau 20% dari sembilan juta penduduk Israel. Logika dan akal sehat akan menga­ta­kan bahwa UU Negara Yahudi itu tidak diragukan lagi me­rupa­kan politik Israel yang mencerminkan tindakan rasis, diskriminasi, dan marginal­isasi etnik Arab (Palestina) dan bahasa mereka (Arab). Karena itu UU ini mendapat kecaman dari dalam dan luar negeri. Para pengkritik menilai UU tersebut merupakan praktik diskrimi­nasi terhadap etnik Arab-Israel yang selama ini diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.

Negara Apartheid

Sebagian besar penduduk Arab-Israel terdiri atas ke­turunan orang-orang Palestina yang tinggal di tanah mereka selama konflik Arab-Yahudi dalam perang 1948 atau pada masa pembentukan Negara Israel. Akibat konflik ini, ratus­an ribu warga Arab terpaksa me­ninggalkan rumah mereka atau melarikan diri. Di atas kertas, etnis Arab yang me­ne­tap di Israel memiliki hak yang sama di bawah hukum, tetapi dalam praktiknya mereka sering meng­alami perlakuan diskriminatif misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Warga Arab di Ma’alot-Tarshiha (sebuah kota madya di Israel utara) marah atas pengesahan RUU Negara Yahudi itu. Bassam Bisharah, 71, melampiaskan ke­marah­an­n­ya dengan mengata­kan,”Saya pikir UU ini adalah undang-undang rasis oleh pe­me­rintah sayap kanan radikal yang men­ciptakan hukum radikal, dan menanam benih untuk men­­ciptakan negara apartheid.”

Warga Arab lainnya, Yousef Faraj (53 tahun) dari desa Druze di dekatnya, Yanuh, menilai tujuan UU tersebut adalah diskriminasi. Negara Israel ingin menyingkirkan orang-orang Arab secara total. Faraj menuding orang-orang Israel ingin menghancurkan agama orang-orang Arab. Sementara itu Pusat Hukum untuk Hak-Hak Minoritas Arab di Israel, menyebut UU tersebut me­rupa­kan upaya menampilkan superioritas etnis Yahudi de­ngan mempromosikan ke­bijak­an rasis. Versi pertama RUU itu pada mulanya di­introduksi ke publik oleh anggota Partai Likud pada 2011. Pemerintah Israel secara pasti menegaskan bahwa UU itu, yang memiliki status seperti konstitusi, me­lestarikan identitas dan karak­ter bangsa Yahudi menjadi hukum.

Kalau dihitung sejak ber­diri­nya Negara Israel pada tahun 1948, konflik Arab (Palestina)-Israel sudah berlangsung se­lama 70 tahun. Konflik ini terus ber­lanjut sampai sekarang dan belum juga terselesaikan secara final. Pemberlakuan UU Negara Yahudi yang bersifat rasis dan men­diskriminasi warga Arab-Israel ditengarai dapat mem­per­parah ketegangan rasial dan konflik Arab (Palestina)-Israel.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0686 seconds (0.1#10.140)