Politik Rasis Israel Kian Keras
A
A
A
Faisal Ismail
Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
KNESSET (Parlemen Israel) pada 19 Juli 2018 mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Negara Yahudi (Jewish Nation-State). UU ini secara kasat mata bertujuan menerapkan segregasi (pemisahan) antara etnik Yahudi dan etnik Arab. Dalam dunia beradab seperti sekarang ini, praktik segregasi antaretnik seperti itu sangat tercela dan seharusnya tidak boleh terjadi. Etika kemanusiaan dan moral keadaban dalam pergaulan antaretnik seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, adil, dan beradab.
Tapi justru Knesset melegitimasi praktik segregasi etnik Yahudi dan etnik Arab di negaranya. UU Negara Yahudi itu dinilai sangat kontroversial dan menuai kritik dan kecaman luas dari berbagai kalangan bangsa-bangsa beradab di dunia karena dinilai bersifat rasis dan apartheid. Uni Eropa, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), dan Pemerintah Republik Indonesia juga mengkritik UU Negara Yahudi Israel itu karena menilainya diskriminatif terhadap warga negara Israel keturunan Arab.
Knesset yang beranggotakan 120 orang mengesahkan UU Negara Yahudi itu dan banyak mendapat dukungan dari pemerintah sayap kanan. Sebanyak 62 anggota parlemen mendukung, 55 anggota parlemen tidak mendukung, dan 2 anggota parlemen bersikap abstain. Sebelum RUU itu disahkan terjadi perdebatan politik yang menguras pikiran, energi, dan adu argumentasi selama berbulan-bulan. Menyusul pengesahan RUU itu, beberapa anggota parlemen dari etnik Arab menyobek naskah tersebut sebagai tanda protes.
Sementara di pihak lain, segera setelah RUU itu disahkan, PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa UU itu merupakan”momen yang menentukan dalam sejarah Zionisme dan sejarah negara Israel”. Selanjutnya Netanyahu mengatakan, selama ini musuh-musuh Israel selalu berusaha menolak eksistensi negara Israel, tetapi status Negara Yahudi kini telah secara resmi dicantumkan dalam UU.”Hiduplah Negara Israel!” kata Netanyahu bangga berbunga-bunga.
Rasis dan Diskriminatif
Netanyahu mengatakan, kaum minoritas memiliki hak penuh di Israel, tetapi ia menegaskan bahwa mayoritas Yahudi juga punya hak penuh. Dia mempertegas pernyataannya dengan menyatakan bahwa tatanan hukum menjamin adanya mayoritas Yahudi dan keberlangsungan identitas Yahudi untuk generasi mendatang. Sementara mitra koalisi sayap kanan Netanyahu sangat gembira dengan pengesahan RUU Negara Yahudi ini, orang-orang Arab-Israel (yang merupakan 20% dari penduduk Israel yang berjumlah sembilan juta jiwa) melampiaskan kemarahan dan german mereka. Anggota parlemen dari etnis Arab, Ahmad Tibi, mengatakan UU Negara Yahudi itu sangat rasis dan diskriminatif. UU itu merupakan tindakan kejahatan yang penuh kebencian. Mereka, kecam Tibi, sepenuhnya mendiskriminasi warga Arab dan merugikan minoritas Arab.
UU Negara Yahudi diberlakukan beberapa saat setelah euforia perayaan 70 tahun berdirinya Negara Israel. UU ini menetapkan bahwa Israel adalah tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi dan mereka mempunyai hak eksklusif untuk menentukan nasib sendiri. Para pengkritik mengatakan, UU Negara Yahudi itu sebenarnya membuat kerusakan besar bagi bangsa dan negara Israel yang selama ini citranya di luar negeri sudah sangat negatif dan tercoreng karena tuduhan melakukan persekusi dan penganiayaan terhadap warga Palestina. Dalam wawancara radio, seorang pakar politik Israel, Shlomo Avineri, menilai UU Negara Yahudi itu tidak memberikan solusi apa pun kecuali menjadi senjata bagi para pengecam Israel, termasuk mereka yang menuduh negara Yahudi itu melakukan kebijakan apartheid.
Dengan diberlakukannya UU Negara Yahudi ini secara resmi, status bahasa Arab sebagai bahasa resmi dicabut dan hanya memberikan tempat kepada bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa resmi negara di Israel. Selain itu UU tersebut juga akan memarginalkan 1,8 juta etnik Palestina dengan kewarganegaraan Israel atau 20% dari sembilan juta penduduk Israel. Logika dan akal sehat akan mengatakan bahwa UU Negara Yahudi itu tidak diragukan lagi merupakan politik Israel yang mencerminkan tindakan rasis, diskriminasi, dan marginalisasi etnik Arab (Palestina) dan bahasa mereka (Arab). Karena itu UU ini mendapat kecaman dari dalam dan luar negeri. Para pengkritik menilai UU tersebut merupakan praktik diskriminasi terhadap etnik Arab-Israel yang selama ini diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Negara Apartheid
Sebagian besar penduduk Arab-Israel terdiri atas keturunan orang-orang Palestina yang tinggal di tanah mereka selama konflik Arab-Yahudi dalam perang 1948 atau pada masa pembentukan Negara Israel. Akibat konflik ini, ratusan ribu warga Arab terpaksa meninggalkan rumah mereka atau melarikan diri. Di atas kertas, etnis Arab yang menetap di Israel memiliki hak yang sama di bawah hukum, tetapi dalam praktiknya mereka sering mengalami perlakuan diskriminatif misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Warga Arab di Ma’alot-Tarshiha (sebuah kota madya di Israel utara) marah atas pengesahan RUU Negara Yahudi itu. Bassam Bisharah, 71, melampiaskan kemarahannya dengan mengatakan,”Saya pikir UU ini adalah undang-undang rasis oleh pemerintah sayap kanan radikal yang menciptakan hukum radikal, dan menanam benih untuk menciptakan negara apartheid.”
Warga Arab lainnya, Yousef Faraj (53 tahun) dari desa Druze di dekatnya, Yanuh, menilai tujuan UU tersebut adalah diskriminasi. Negara Israel ingin menyingkirkan orang-orang Arab secara total. Faraj menuding orang-orang Israel ingin menghancurkan agama orang-orang Arab. Sementara itu Pusat Hukum untuk Hak-Hak Minoritas Arab di Israel, menyebut UU tersebut merupakan upaya menampilkan superioritas etnis Yahudi dengan mempromosikan kebijakan rasis. Versi pertama RUU itu pada mulanya diintroduksi ke publik oleh anggota Partai Likud pada 2011. Pemerintah Israel secara pasti menegaskan bahwa UU itu, yang memiliki status seperti konstitusi, melestarikan identitas dan karakter bangsa Yahudi menjadi hukum.
Kalau dihitung sejak berdirinya Negara Israel pada tahun 1948, konflik Arab (Palestina)-Israel sudah berlangsung selama 70 tahun. Konflik ini terus berlanjut sampai sekarang dan belum juga terselesaikan secara final. Pemberlakuan UU Negara Yahudi yang bersifat rasis dan mendiskriminasi warga Arab-Israel ditengarai dapat memperparah ketegangan rasial dan konflik Arab (Palestina)-Israel.
Guru Besar Pascasarjana Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
KNESSET (Parlemen Israel) pada 19 Juli 2018 mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Negara Yahudi (Jewish Nation-State). UU ini secara kasat mata bertujuan menerapkan segregasi (pemisahan) antara etnik Yahudi dan etnik Arab. Dalam dunia beradab seperti sekarang ini, praktik segregasi antaretnik seperti itu sangat tercela dan seharusnya tidak boleh terjadi. Etika kemanusiaan dan moral keadaban dalam pergaulan antaretnik seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi demi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, adil, dan beradab.
Tapi justru Knesset melegitimasi praktik segregasi etnik Yahudi dan etnik Arab di negaranya. UU Negara Yahudi itu dinilai sangat kontroversial dan menuai kritik dan kecaman luas dari berbagai kalangan bangsa-bangsa beradab di dunia karena dinilai bersifat rasis dan apartheid. Uni Eropa, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), dan Pemerintah Republik Indonesia juga mengkritik UU Negara Yahudi Israel itu karena menilainya diskriminatif terhadap warga negara Israel keturunan Arab.
Knesset yang beranggotakan 120 orang mengesahkan UU Negara Yahudi itu dan banyak mendapat dukungan dari pemerintah sayap kanan. Sebanyak 62 anggota parlemen mendukung, 55 anggota parlemen tidak mendukung, dan 2 anggota parlemen bersikap abstain. Sebelum RUU itu disahkan terjadi perdebatan politik yang menguras pikiran, energi, dan adu argumentasi selama berbulan-bulan. Menyusul pengesahan RUU itu, beberapa anggota parlemen dari etnik Arab menyobek naskah tersebut sebagai tanda protes.
Sementara di pihak lain, segera setelah RUU itu disahkan, PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa UU itu merupakan”momen yang menentukan dalam sejarah Zionisme dan sejarah negara Israel”. Selanjutnya Netanyahu mengatakan, selama ini musuh-musuh Israel selalu berusaha menolak eksistensi negara Israel, tetapi status Negara Yahudi kini telah secara resmi dicantumkan dalam UU.”Hiduplah Negara Israel!” kata Netanyahu bangga berbunga-bunga.
Rasis dan Diskriminatif
Netanyahu mengatakan, kaum minoritas memiliki hak penuh di Israel, tetapi ia menegaskan bahwa mayoritas Yahudi juga punya hak penuh. Dia mempertegas pernyataannya dengan menyatakan bahwa tatanan hukum menjamin adanya mayoritas Yahudi dan keberlangsungan identitas Yahudi untuk generasi mendatang. Sementara mitra koalisi sayap kanan Netanyahu sangat gembira dengan pengesahan RUU Negara Yahudi ini, orang-orang Arab-Israel (yang merupakan 20% dari penduduk Israel yang berjumlah sembilan juta jiwa) melampiaskan kemarahan dan german mereka. Anggota parlemen dari etnis Arab, Ahmad Tibi, mengatakan UU Negara Yahudi itu sangat rasis dan diskriminatif. UU itu merupakan tindakan kejahatan yang penuh kebencian. Mereka, kecam Tibi, sepenuhnya mendiskriminasi warga Arab dan merugikan minoritas Arab.
UU Negara Yahudi diberlakukan beberapa saat setelah euforia perayaan 70 tahun berdirinya Negara Israel. UU ini menetapkan bahwa Israel adalah tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi dan mereka mempunyai hak eksklusif untuk menentukan nasib sendiri. Para pengkritik mengatakan, UU Negara Yahudi itu sebenarnya membuat kerusakan besar bagi bangsa dan negara Israel yang selama ini citranya di luar negeri sudah sangat negatif dan tercoreng karena tuduhan melakukan persekusi dan penganiayaan terhadap warga Palestina. Dalam wawancara radio, seorang pakar politik Israel, Shlomo Avineri, menilai UU Negara Yahudi itu tidak memberikan solusi apa pun kecuali menjadi senjata bagi para pengecam Israel, termasuk mereka yang menuduh negara Yahudi itu melakukan kebijakan apartheid.
Dengan diberlakukannya UU Negara Yahudi ini secara resmi, status bahasa Arab sebagai bahasa resmi dicabut dan hanya memberikan tempat kepada bahasa Ibrani sebagai satu-satunya bahasa resmi negara di Israel. Selain itu UU tersebut juga akan memarginalkan 1,8 juta etnik Palestina dengan kewarganegaraan Israel atau 20% dari sembilan juta penduduk Israel. Logika dan akal sehat akan mengatakan bahwa UU Negara Yahudi itu tidak diragukan lagi merupakan politik Israel yang mencerminkan tindakan rasis, diskriminasi, dan marginalisasi etnik Arab (Palestina) dan bahasa mereka (Arab). Karena itu UU ini mendapat kecaman dari dalam dan luar negeri. Para pengkritik menilai UU tersebut merupakan praktik diskriminasi terhadap etnik Arab-Israel yang selama ini diperlakukan sebagai warga negara kelas dua.
Negara Apartheid
Sebagian besar penduduk Arab-Israel terdiri atas keturunan orang-orang Palestina yang tinggal di tanah mereka selama konflik Arab-Yahudi dalam perang 1948 atau pada masa pembentukan Negara Israel. Akibat konflik ini, ratusan ribu warga Arab terpaksa meninggalkan rumah mereka atau melarikan diri. Di atas kertas, etnis Arab yang menetap di Israel memiliki hak yang sama di bawah hukum, tetapi dalam praktiknya mereka sering mengalami perlakuan diskriminatif misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Warga Arab di Ma’alot-Tarshiha (sebuah kota madya di Israel utara) marah atas pengesahan RUU Negara Yahudi itu. Bassam Bisharah, 71, melampiaskan kemarahannya dengan mengatakan,”Saya pikir UU ini adalah undang-undang rasis oleh pemerintah sayap kanan radikal yang menciptakan hukum radikal, dan menanam benih untuk menciptakan negara apartheid.”
Warga Arab lainnya, Yousef Faraj (53 tahun) dari desa Druze di dekatnya, Yanuh, menilai tujuan UU tersebut adalah diskriminasi. Negara Israel ingin menyingkirkan orang-orang Arab secara total. Faraj menuding orang-orang Israel ingin menghancurkan agama orang-orang Arab. Sementara itu Pusat Hukum untuk Hak-Hak Minoritas Arab di Israel, menyebut UU tersebut merupakan upaya menampilkan superioritas etnis Yahudi dengan mempromosikan kebijakan rasis. Versi pertama RUU itu pada mulanya diintroduksi ke publik oleh anggota Partai Likud pada 2011. Pemerintah Israel secara pasti menegaskan bahwa UU itu, yang memiliki status seperti konstitusi, melestarikan identitas dan karakter bangsa Yahudi menjadi hukum.
Kalau dihitung sejak berdirinya Negara Israel pada tahun 1948, konflik Arab (Palestina)-Israel sudah berlangsung selama 70 tahun. Konflik ini terus berlanjut sampai sekarang dan belum juga terselesaikan secara final. Pemberlakuan UU Negara Yahudi yang bersifat rasis dan mendiskriminasi warga Arab-Israel ditengarai dapat memperparah ketegangan rasial dan konflik Arab (Palestina)-Israel.
(pur)