Antara Piala Dunia, Defisit Neraca, dan Harga-Harga

Rabu, 18 Juli 2018 - 06:18 WIB
Antara Piala Dunia,...
Antara Piala Dunia, Defisit Neraca, dan Harga-Harga
A A A
Hizkia Respatiadi

Kepala Bidang Riset di Center for Indonesian Policy Studies

RETORIKA neraca per­dagangan yang de­fisit kerap di­takuti. Padahal, tidak se­lamanya defisit neraca ber­dam­pak negatif. Bagi negara ber­kem­bang seperti Indonesia, justru defisit neraca dapat menjadi jalan agar perdagangan internasional turut andil dalam menurunkan harga-harga. Hal ini termasuk bahan makanan di mana harganya di Indonesia cenderung lebih mahal dari­pada di negara-negara tetangga.

Seandainya saja pemenang Piala Dunia 2018 ditentukan oleh neraca perdagangan, maka seharusnya Eden Hazard dan kawan-kawan dari Belgia yang menjadi juara. Bank Dunia men­catat rata-rata neraca per­dagangan Belgia selama 2012-2016 surplus 4,64%, yang jum­lah ekspornya melebihi jumlah impornya. Sebaliknya, neraca perdagangan Inggris tercatat defisit sebesar -36,77%, senasib dengan Prancis dan Kroasia yang mengalami defisit masing-masing sebesar -16,66% dan -65,15%.

Indonesia memang masih jauh dari asa berpartisipasi di Piala Dunia. Tapi jika bicara ne­raca perdagangan, sebenarnya Indonesia memiliki kesamaan dengan keempat negara yang disebutkan di atas. Secara ke­seluruhan, rata-rata neraca Indonesia sejak 2012-2016 sama dengan Belgia, yaitu men­capai surplus—meski dalam persentase yang lebih kecil—sebesar 1,02%. Namun jika kita lihat dari neraca untuk produk pangan, neraca Indonesia sebe­narnya bernasib sama dengan Inggris, Kroasia, dan Prancis—tiga negara semifinalis Piala Dunia lainnya, yaitu defisit hingga sebesar -18,26%.

Apakah defisit neraca itu adalah sesuatu yang buruk? Jika kita tanyakan ini kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tentu jawab­annya adalah “ya”. Bahkan, Amerika Serikat sudah mulai melakukan perang dagang dengan China yang mana kedua negara saling mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap satu sama lain. Kini Negeri Paman Sam mulai melirik Indonesia se­bagai sasaran berikutnya, kare­na defisit neraca Amerika Serikat terhadap negara kita yang rata-rata mencapai 44,98% selama 2012-2016.

Padahal menurut ekonom klasik Adam Smith dalam buku­nya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, selisih antara ekspor dan impor bukanlah yang utama dalam mengukur kemajuan ekonomi suatu negara. Yang terpenting justru dampak apa yang ditimbulkan dari kegiatan perdagangan ekspor dan impor tersebut bagi masyarakat. Oleh karena itu, defisit neraca tidak selalu bu­ruk, tetapi justru dapat ber­dam­pak positif bagi negara ber­kem­bang yang sedang giat mem­bangun seperti Indonesia.

Dengan masuknya barang (dan jasa) dari berbagai penjuru dunia, konsumen akan mem­per­oleh harga yang kompetitif dan lebih terjangkau. Alhasil, daya beli mereka meningkat se­hingga mereka dapat meng­alo­kasikan dana lebih besar untuk membeli bahan makanan ber­kualitas, layanan kesehatan, dan pendidikan. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta mendukung pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.

Mari kita lihat lagi Indonesia dan keempat negara semifinalis Piala Dunia tadi. Negara-negara yang mengalami defisit neraca justru mengalami pertum­buh­an produk domestik bruto (PDB) lebih baik ketimbang yang mengalami surplus. Pada 2016, pertumbuhan PDB Inggris, Prancis, dan Kroasia masing-masing tercatat 1,79%, 1,82%, dan 2,78%. Sementara Belgia, yang memiliki neraca surplus, pertumbuhan PDB-nya hanya tercatat 1,73%. Untuk Indo­nesia, meski neraca perda­gang­an bahan pangannya defisit, PDB-nya justru bertumbuh hingga 5,07%.

Dengan demikian, semes­ti­nya kita tidak perlu terlalu khawatir jika Indonesia masih mengimpor sebagian besar bahan pangannya. Pada saat Ramadan dan Idul Fitri tempo hari (pertengahan Mei-per­tengah­an Juni), Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa inflasi saat itu merupa­kan yang terendah selama beberapa tahun terakhir, yaitu hanya 0,21%. Jumlah ini lebih kecil ketimbang inflasi selama bulan Ramadan 2017 (akhir Mei-akhir Juni) yang mencapai 0,39% dan 2016 (awal Juni-awal Juli) yang berkisar antara 0,66% dan 0,69%.

Harga pangan yang cen­de­rung lebih stabil dinilai turut andil dalam menurunkan ting­kat inflasi selama Ramadan da­lam dua tahun terakhir. Meski­pun kita tetap memberikan apresiasi terhadap kerja keras Satgas Pangan, kita tidak sela­yak­nya melupakan peran impor dalam menjaga kestabilan harga.

Laporan Statistik Impor BPS me­nunjukkan bahwa impor beras—yang merupakan bahan uta­ma untuk membuat ke­tupat—menjelang dan selama bulan Ramadan pada 2016 tercatat 26.193 ton; sedangkan Ramadan 2017, kita meng­impor sekitar dua kali lipat lebih banyak, yaitu 59.586 ton. Daging sapi yang menjadi ba­han baku utama menu rendang juga mengalami hal serupa, yang mana kita hanya meng­impor 16.119 ton selama Ramadan 2016, sedangkan Ramadan 2017 kita mengimpor 22.632 ton atau sekitar 40,4% lebih banyak dibandingkan Ramadan 2016.

Meskipun harga pada Ramadan 2018 ini diklaim lebih terkendali, jika kita mau me­lihat ke luar sedikit maka se­sung­guhnya harga bahan ma­kanan kita masih tergolong lebih mahal dibandingkan negara-negara tetangga kita. Data Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa pertengahan Ramadan 2018, harga beras di pasar swalayan di Jakarta mencapai Rp12.560 per kg, lebih mahal daripada di pasar swalayan di Bangkok (Rp6.065), Kuala Lumpur (Rp9.008) maupun di Singapura (Rp12.375).

Telur ayam di Jakarta har­ga­nya mencapai Rp22.450 per kg, lebih mahal daripada di Singa­pura (Rp17.304) dan Bangkok (Rp18.459). Daging sapi bah­kan lebih mahal lagi, di mana di Jakarta harganya mencapai Rp160.550 per kg, lebih mahal daripada di Manila (Rp88.712), Malaysia (Rp106.368), dan Singapura (Rp144.731).

Tingginya harga bahan pa­ngan di Indonesia menun­juk­kan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Seharusnya kita tidak perlu terjebak pada ketakutan terhadap defisit neraca; tetapi sebaliknya, kita perlu mengoptimalkan peran perdagangan internasional guna menurunkan harga. Tahun ini memang tahun politik, di mana pendekatan dan janji-janji populis seperti menihilkan de­fisit neraca kerap digunakan un­tuk menarik minat para calon pemilih.

Padahal, perlu juga dipikirkan dampak dari hal ini bagi masyarakat selama bebe­rapa tahun ke depan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Apa untungnya bagi mereka ketika neraca perdagangan surplus, tapi harga-harga justru menjadi terlampau mahal untuk mereka jangkau?

Masih ada waktu untuk mem­perbaiki sebelum men­jelang Idul Adha pada Agustus, yang besar kemungkinan harga akan naik lagi.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2494 seconds (0.1#10.140)