Antara Piala Dunia, Defisit Neraca, dan Harga-Harga
A
A
A
Hizkia Respatiadi
Kepala Bidang Riset di Center for Indonesian Policy Studies
RETORIKA neraca perdagangan yang defisit kerap ditakuti. Padahal, tidak selamanya defisit neraca berdampak negatif. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, justru defisit neraca dapat menjadi jalan agar perdagangan internasional turut andil dalam menurunkan harga-harga. Hal ini termasuk bahan makanan di mana harganya di Indonesia cenderung lebih mahal daripada di negara-negara tetangga.
Seandainya saja pemenang Piala Dunia 2018 ditentukan oleh neraca perdagangan, maka seharusnya Eden Hazard dan kawan-kawan dari Belgia yang menjadi juara. Bank Dunia mencatat rata-rata neraca perdagangan Belgia selama 2012-2016 surplus 4,64%, yang jumlah ekspornya melebihi jumlah impornya. Sebaliknya, neraca perdagangan Inggris tercatat defisit sebesar -36,77%, senasib dengan Prancis dan Kroasia yang mengalami defisit masing-masing sebesar -16,66% dan -65,15%.
Indonesia memang masih jauh dari asa berpartisipasi di Piala Dunia. Tapi jika bicara neraca perdagangan, sebenarnya Indonesia memiliki kesamaan dengan keempat negara yang disebutkan di atas. Secara keseluruhan, rata-rata neraca Indonesia sejak 2012-2016 sama dengan Belgia, yaitu mencapai surplus—meski dalam persentase yang lebih kecil—sebesar 1,02%. Namun jika kita lihat dari neraca untuk produk pangan, neraca Indonesia sebenarnya bernasib sama dengan Inggris, Kroasia, dan Prancis—tiga negara semifinalis Piala Dunia lainnya, yaitu defisit hingga sebesar -18,26%.
Apakah defisit neraca itu adalah sesuatu yang buruk? Jika kita tanyakan ini kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tentu jawabannya adalah “ya”. Bahkan, Amerika Serikat sudah mulai melakukan perang dagang dengan China yang mana kedua negara saling mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap satu sama lain. Kini Negeri Paman Sam mulai melirik Indonesia sebagai sasaran berikutnya, karena defisit neraca Amerika Serikat terhadap negara kita yang rata-rata mencapai 44,98% selama 2012-2016.
Padahal menurut ekonom klasik Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, selisih antara ekspor dan impor bukanlah yang utama dalam mengukur kemajuan ekonomi suatu negara. Yang terpenting justru dampak apa yang ditimbulkan dari kegiatan perdagangan ekspor dan impor tersebut bagi masyarakat. Oleh karena itu, defisit neraca tidak selalu buruk, tetapi justru dapat berdampak positif bagi negara berkembang yang sedang giat membangun seperti Indonesia.
Dengan masuknya barang (dan jasa) dari berbagai penjuru dunia, konsumen akan memperoleh harga yang kompetitif dan lebih terjangkau. Alhasil, daya beli mereka meningkat sehingga mereka dapat mengalokasikan dana lebih besar untuk membeli bahan makanan berkualitas, layanan kesehatan, dan pendidikan. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta mendukung pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Mari kita lihat lagi Indonesia dan keempat negara semifinalis Piala Dunia tadi. Negara-negara yang mengalami defisit neraca justru mengalami pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) lebih baik ketimbang yang mengalami surplus. Pada 2016, pertumbuhan PDB Inggris, Prancis, dan Kroasia masing-masing tercatat 1,79%, 1,82%, dan 2,78%. Sementara Belgia, yang memiliki neraca surplus, pertumbuhan PDB-nya hanya tercatat 1,73%. Untuk Indonesia, meski neraca perdagangan bahan pangannya defisit, PDB-nya justru bertumbuh hingga 5,07%.
Dengan demikian, semestinya kita tidak perlu terlalu khawatir jika Indonesia masih mengimpor sebagian besar bahan pangannya. Pada saat Ramadan dan Idul Fitri tempo hari (pertengahan Mei-pertengahan Juni), Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa inflasi saat itu merupakan yang terendah selama beberapa tahun terakhir, yaitu hanya 0,21%. Jumlah ini lebih kecil ketimbang inflasi selama bulan Ramadan 2017 (akhir Mei-akhir Juni) yang mencapai 0,39% dan 2016 (awal Juni-awal Juli) yang berkisar antara 0,66% dan 0,69%.
Harga pangan yang cenderung lebih stabil dinilai turut andil dalam menurunkan tingkat inflasi selama Ramadan dalam dua tahun terakhir. Meskipun kita tetap memberikan apresiasi terhadap kerja keras Satgas Pangan, kita tidak selayaknya melupakan peran impor dalam menjaga kestabilan harga.
Laporan Statistik Impor BPS menunjukkan bahwa impor beras—yang merupakan bahan utama untuk membuat ketupat—menjelang dan selama bulan Ramadan pada 2016 tercatat 26.193 ton; sedangkan Ramadan 2017, kita mengimpor sekitar dua kali lipat lebih banyak, yaitu 59.586 ton. Daging sapi yang menjadi bahan baku utama menu rendang juga mengalami hal serupa, yang mana kita hanya mengimpor 16.119 ton selama Ramadan 2016, sedangkan Ramadan 2017 kita mengimpor 22.632 ton atau sekitar 40,4% lebih banyak dibandingkan Ramadan 2016.
Meskipun harga pada Ramadan 2018 ini diklaim lebih terkendali, jika kita mau melihat ke luar sedikit maka sesungguhnya harga bahan makanan kita masih tergolong lebih mahal dibandingkan negara-negara tetangga kita. Data Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa pertengahan Ramadan 2018, harga beras di pasar swalayan di Jakarta mencapai Rp12.560 per kg, lebih mahal daripada di pasar swalayan di Bangkok (Rp6.065), Kuala Lumpur (Rp9.008) maupun di Singapura (Rp12.375).
Telur ayam di Jakarta harganya mencapai Rp22.450 per kg, lebih mahal daripada di Singapura (Rp17.304) dan Bangkok (Rp18.459). Daging sapi bahkan lebih mahal lagi, di mana di Jakarta harganya mencapai Rp160.550 per kg, lebih mahal daripada di Manila (Rp88.712), Malaysia (Rp106.368), dan Singapura (Rp144.731).
Tingginya harga bahan pangan di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Seharusnya kita tidak perlu terjebak pada ketakutan terhadap defisit neraca; tetapi sebaliknya, kita perlu mengoptimalkan peran perdagangan internasional guna menurunkan harga. Tahun ini memang tahun politik, di mana pendekatan dan janji-janji populis seperti menihilkan defisit neraca kerap digunakan untuk menarik minat para calon pemilih.
Padahal, perlu juga dipikirkan dampak dari hal ini bagi masyarakat selama beberapa tahun ke depan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Apa untungnya bagi mereka ketika neraca perdagangan surplus, tapi harga-harga justru menjadi terlampau mahal untuk mereka jangkau?
Masih ada waktu untuk memperbaiki sebelum menjelang Idul Adha pada Agustus, yang besar kemungkinan harga akan naik lagi.
Kepala Bidang Riset di Center for Indonesian Policy Studies
RETORIKA neraca perdagangan yang defisit kerap ditakuti. Padahal, tidak selamanya defisit neraca berdampak negatif. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, justru defisit neraca dapat menjadi jalan agar perdagangan internasional turut andil dalam menurunkan harga-harga. Hal ini termasuk bahan makanan di mana harganya di Indonesia cenderung lebih mahal daripada di negara-negara tetangga.
Seandainya saja pemenang Piala Dunia 2018 ditentukan oleh neraca perdagangan, maka seharusnya Eden Hazard dan kawan-kawan dari Belgia yang menjadi juara. Bank Dunia mencatat rata-rata neraca perdagangan Belgia selama 2012-2016 surplus 4,64%, yang jumlah ekspornya melebihi jumlah impornya. Sebaliknya, neraca perdagangan Inggris tercatat defisit sebesar -36,77%, senasib dengan Prancis dan Kroasia yang mengalami defisit masing-masing sebesar -16,66% dan -65,15%.
Indonesia memang masih jauh dari asa berpartisipasi di Piala Dunia. Tapi jika bicara neraca perdagangan, sebenarnya Indonesia memiliki kesamaan dengan keempat negara yang disebutkan di atas. Secara keseluruhan, rata-rata neraca Indonesia sejak 2012-2016 sama dengan Belgia, yaitu mencapai surplus—meski dalam persentase yang lebih kecil—sebesar 1,02%. Namun jika kita lihat dari neraca untuk produk pangan, neraca Indonesia sebenarnya bernasib sama dengan Inggris, Kroasia, dan Prancis—tiga negara semifinalis Piala Dunia lainnya, yaitu defisit hingga sebesar -18,26%.
Apakah defisit neraca itu adalah sesuatu yang buruk? Jika kita tanyakan ini kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tentu jawabannya adalah “ya”. Bahkan, Amerika Serikat sudah mulai melakukan perang dagang dengan China yang mana kedua negara saling mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap satu sama lain. Kini Negeri Paman Sam mulai melirik Indonesia sebagai sasaran berikutnya, karena defisit neraca Amerika Serikat terhadap negara kita yang rata-rata mencapai 44,98% selama 2012-2016.
Padahal menurut ekonom klasik Adam Smith dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, selisih antara ekspor dan impor bukanlah yang utama dalam mengukur kemajuan ekonomi suatu negara. Yang terpenting justru dampak apa yang ditimbulkan dari kegiatan perdagangan ekspor dan impor tersebut bagi masyarakat. Oleh karena itu, defisit neraca tidak selalu buruk, tetapi justru dapat berdampak positif bagi negara berkembang yang sedang giat membangun seperti Indonesia.
Dengan masuknya barang (dan jasa) dari berbagai penjuru dunia, konsumen akan memperoleh harga yang kompetitif dan lebih terjangkau. Alhasil, daya beli mereka meningkat sehingga mereka dapat mengalokasikan dana lebih besar untuk membeli bahan makanan berkualitas, layanan kesehatan, dan pendidikan. Pada akhirnya, hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta mendukung pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.
Mari kita lihat lagi Indonesia dan keempat negara semifinalis Piala Dunia tadi. Negara-negara yang mengalami defisit neraca justru mengalami pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) lebih baik ketimbang yang mengalami surplus. Pada 2016, pertumbuhan PDB Inggris, Prancis, dan Kroasia masing-masing tercatat 1,79%, 1,82%, dan 2,78%. Sementara Belgia, yang memiliki neraca surplus, pertumbuhan PDB-nya hanya tercatat 1,73%. Untuk Indonesia, meski neraca perdagangan bahan pangannya defisit, PDB-nya justru bertumbuh hingga 5,07%.
Dengan demikian, semestinya kita tidak perlu terlalu khawatir jika Indonesia masih mengimpor sebagian besar bahan pangannya. Pada saat Ramadan dan Idul Fitri tempo hari (pertengahan Mei-pertengahan Juni), Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa inflasi saat itu merupakan yang terendah selama beberapa tahun terakhir, yaitu hanya 0,21%. Jumlah ini lebih kecil ketimbang inflasi selama bulan Ramadan 2017 (akhir Mei-akhir Juni) yang mencapai 0,39% dan 2016 (awal Juni-awal Juli) yang berkisar antara 0,66% dan 0,69%.
Harga pangan yang cenderung lebih stabil dinilai turut andil dalam menurunkan tingkat inflasi selama Ramadan dalam dua tahun terakhir. Meskipun kita tetap memberikan apresiasi terhadap kerja keras Satgas Pangan, kita tidak selayaknya melupakan peran impor dalam menjaga kestabilan harga.
Laporan Statistik Impor BPS menunjukkan bahwa impor beras—yang merupakan bahan utama untuk membuat ketupat—menjelang dan selama bulan Ramadan pada 2016 tercatat 26.193 ton; sedangkan Ramadan 2017, kita mengimpor sekitar dua kali lipat lebih banyak, yaitu 59.586 ton. Daging sapi yang menjadi bahan baku utama menu rendang juga mengalami hal serupa, yang mana kita hanya mengimpor 16.119 ton selama Ramadan 2016, sedangkan Ramadan 2017 kita mengimpor 22.632 ton atau sekitar 40,4% lebih banyak dibandingkan Ramadan 2016.
Meskipun harga pada Ramadan 2018 ini diklaim lebih terkendali, jika kita mau melihat ke luar sedikit maka sesungguhnya harga bahan makanan kita masih tergolong lebih mahal dibandingkan negara-negara tetangga kita. Data Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menunjukkan bahwa pertengahan Ramadan 2018, harga beras di pasar swalayan di Jakarta mencapai Rp12.560 per kg, lebih mahal daripada di pasar swalayan di Bangkok (Rp6.065), Kuala Lumpur (Rp9.008) maupun di Singapura (Rp12.375).
Telur ayam di Jakarta harganya mencapai Rp22.450 per kg, lebih mahal daripada di Singapura (Rp17.304) dan Bangkok (Rp18.459). Daging sapi bahkan lebih mahal lagi, di mana di Jakarta harganya mencapai Rp160.550 per kg, lebih mahal daripada di Manila (Rp88.712), Malaysia (Rp106.368), dan Singapura (Rp144.731).
Tingginya harga bahan pangan di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk diselesaikan. Seharusnya kita tidak perlu terjebak pada ketakutan terhadap defisit neraca; tetapi sebaliknya, kita perlu mengoptimalkan peran perdagangan internasional guna menurunkan harga. Tahun ini memang tahun politik, di mana pendekatan dan janji-janji populis seperti menihilkan defisit neraca kerap digunakan untuk menarik minat para calon pemilih.
Padahal, perlu juga dipikirkan dampak dari hal ini bagi masyarakat selama beberapa tahun ke depan, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Apa untungnya bagi mereka ketika neraca perdagangan surplus, tapi harga-harga justru menjadi terlampau mahal untuk mereka jangkau?
Masih ada waktu untuk memperbaiki sebelum menjelang Idul Adha pada Agustus, yang besar kemungkinan harga akan naik lagi.
(pur)