Pakta Integritas untuk Garansi Pemimpin Berkualitas
A
A
A
Nurudin
Kepala Pusat Kajian Sosial Politik(PKSP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyodorkan pakta integritas untuk ditandatangani pimpinan partai politik (parpol) sebelum mengajukan bakal calon anggota legislatif. Ini dilakukan sebagai langkah awal menggaransi lahirnya pemimpin berkualitas di masa datang.
Alasan sederhananya, kualitas anggota legislatif akan jadi cerminan kualitas kepemimpinan politik Indonesia. Dampaknya akan dihasilkan lewat keputusan-keputusan politik yang tidak saja berkualitas, tetapi juga memenu hi kemaslahatan umum.
Adapun poin-poin pakta integritas Bawaslu adalah: (1) memegang teguh Pancasila dan UUD 1945, (2) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan NKRI, (3) menyukseskan Pemilu 2019 secara demokratis, jujur, adil, dan bermartabat, (4) tidak meminta imbalan kepada calon anggota DPR dan DPRD serta calon presiden dan wakil presiden, (5) tidak melakukan kampanye hitam dan memproduksi kebencian berdasarkan SARA dalam Pemilu 2019, (6) tidak melakukan praktik politik uang, (7) tidak melakukan suap, memanfaatkan dan/atau memengaruhi penyelenggara pemilu, serta (8) tidak mencalonkan anggota DPR, DPRD atau presiden dan wakil presiden yang melakukan atau terlibat tindak pidana korupsi, obat-obatan terlarang, terorisme dan kejahatan seksual.
Tentu saja usaha Bawaslu dan KPU layak diapresiasi. Tak lain karena kehidupan politik di Tanah Air masih diwarnai perseteruan yang tak kunjung usai seolah saling melenyapkan. Maka salah satu yang menjadi sorotan tajam adalah kualitas para calon legislatif dan kandidat eksekutif lain yang diusulkan parpol.
Kemampuan Absorsi
Asumsi bahwa parpol selama ini hanya berurusan dengan kekuasaan tidaklah salah. Namun banyak pengurus parpol lupa bahwa usaha untuk memperoleh kekuasaan itu harus memperhatikan kapasitas (capacity) dan kapabilitas (capability) atau kemampuan.
Berkaitan dengan kemampuan itu, Kenneth A Bolllen pernah menawarkan apa yang disebut “kapasitas absorsi”. Kapasitas absorsi adalah kemampuan memperoleh kekuasaan untuk memerintah dengan memperoleh dukungan dari anggota masyarakat. Jadi kepercayaan masyarakat menjadi modal utama parpol. Jika tidak ada kepercayaan masyarakat, ibarat manusia tanpa jiwa.
Namun mengapa masih banyak masyarakat yang apriori pada parpol? Proses rekrutmen politik yang dilakukan parpol untuk menuju kapasitas absorsi sering tidak elok. Lihat misalnya banyak kandidat anggota Dewan atau kepala daerah yang tersangkut korupsi masih dijadikan calon. Bahkan ada calon kepala daerah yang tersangkut korupsi justru menang pilkada.
Dari 171 penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, 4 dari 17 provinsi di antaranya diikuti tersangka korupsi dan 5 dari 154 kabupaten/kota di antaranya diikuti tersangka korupsi. Sementara itu tersangka yang memenangi pilkada ada di Maluku Utara (Ahmad Hidayat MusRivai Umar) dan Tulungagung (Syahri Mulyo-Maryoto Bhirowo). Gayung bersambut Medagri Tjahjo Kumolo menyatakan tetap akan melantik kepala daerah tersebut.
Kenyataan di atas tentu sangat mencemaskan bagi garansi kepemimpinan politik Indonesia di masa datang. Bagaimana mungkin seorang tersangka korupsi bisa menjadi pemimpin? Bagaimana kewibawaan mereka di mata rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan dengan baik? Bagaimanapun faktor pemimpin masih menjadi variabel terpenting dalam kemajuan masyarakat kita.
Dari sini terlihat bahwa kapasitas absorsi parpol sangatlah lemah jika dikaitkan dengan modal kepercayaan. Masalah utama sangat terletak pada parpol pengusung sebagai penentu apakah seorang akan menjadi calon atau tidak. Ini memang risiko demokrasi perwakilan yang memberikan tempat bagi parpol untuk menentukan pada siapa mereka berkoalisi dan ini sangat menentukan kandidat.
Limbah
Karut-marutnya kehidupan politik sejak 2014 tak lain karena banyak parpol hanya berurusan dengan kepentingan kekuasaan semata. Akibatnya parpol sering hanya menjadi sekumpulan orang yang punya pikiran pragmatis, yakni meraih kekuasaan.
Jika kondisi parpol sudah seperti itu, ia akan tumbuh menjadi kumpulan orang-orang yang hanya berambisi pada kekuasaan saja sehingga diibaratkan sebagai limbah politik. Sebagai limbah ia hanya menjadi tempat bernaungnya “barang-barang” tidak berharga sebagaimana limbah. Limbah itu kalau tidak bisa dikelola secara baik justru akan menjadi mesin perusak.
Tak mengherankan juga jika soal koalisi parpol pasca-Reformasi tumbuh dan berkembang karena kekentalan kepentingan politiknya. Koalisi selamanya untuk bagi-bagi kekuasaan, apa pun alasannya. Sementara itu koalisi jelas menyakiti hati rakyat yang telah memilih politisi dari parpol tertentu.
Garansi Penting
Berdasarkan beberapa kenyataan di atas, pakta integritas yang harus ditandatangani parpol menjadi penting kiranya bagi terwujudnya Indonesia berkemajuan di masa datang. Setidaknya ada beberapa catatan penting yang layak dikemukakan.
Pertama, pakta integritas adalah garansi awal dan niat baik untuk menyiapkan kader berkualitas dan secara moral bisa dipertanggungjawabkan. Tentu saja niat baik tidak selamanya ditanggapi baik. Parpol yang selama ini menolak usulan tersebut bisa jadi partai yang bermasalah. Bisa jadi karena merasa kepentingan politiknya akan terancam.
Kedua, langkah pakta integritas adalah usaha memupus mata rantai korupsi yang sudah sedemikian akut. Bahkan perilaku korupsi sebenarnya dilegitimasi oleh para pemimpin kita. Saat parpol mengajukan kandidat yang terlibat korupsi, partai itu sebenarnya melegitimasi tindakan korupsi. Seorang pejabat pemerintahan yang menghalangi usaha untuk melawan korupsi tak jauh berbeda.
Kita memang berbeda dengan China yang bisa langsung menghukum mati pelaku korupsi. Ini baik karena tentu akan menimbulkan efek jera para pelakunya. Bukan persoalan itu melanggar HAM, tetapi HAM tidak akan bisa berdiri tegak manakala penegakan hukum tidak bisa dilakukan.
Di Indonesia, budaya malu belum berlaku sehingga orang masih saja berperilaku korup. Maka memutus mata rantai korupsi dengan pakta integritas, entah bagaimana nanti pelaksanaannya, patut kita dukung.
Pakta integritas juga menjadi jaminan munculnya pemimpin yang berintegritas di masa datang. Harapannya, berbagai keputusan negara akan didasarkan pada kepentingan rakyat. Tidak mendukung langkah menegakkan pakta integritas itu mendangkalkan masalah dan membutakan diri pada fakta.
Kepala Pusat Kajian Sosial Politik(PKSP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyodorkan pakta integritas untuk ditandatangani pimpinan partai politik (parpol) sebelum mengajukan bakal calon anggota legislatif. Ini dilakukan sebagai langkah awal menggaransi lahirnya pemimpin berkualitas di masa datang.
Alasan sederhananya, kualitas anggota legislatif akan jadi cerminan kualitas kepemimpinan politik Indonesia. Dampaknya akan dihasilkan lewat keputusan-keputusan politik yang tidak saja berkualitas, tetapi juga memenu hi kemaslahatan umum.
Adapun poin-poin pakta integritas Bawaslu adalah: (1) memegang teguh Pancasila dan UUD 1945, (2) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan NKRI, (3) menyukseskan Pemilu 2019 secara demokratis, jujur, adil, dan bermartabat, (4) tidak meminta imbalan kepada calon anggota DPR dan DPRD serta calon presiden dan wakil presiden, (5) tidak melakukan kampanye hitam dan memproduksi kebencian berdasarkan SARA dalam Pemilu 2019, (6) tidak melakukan praktik politik uang, (7) tidak melakukan suap, memanfaatkan dan/atau memengaruhi penyelenggara pemilu, serta (8) tidak mencalonkan anggota DPR, DPRD atau presiden dan wakil presiden yang melakukan atau terlibat tindak pidana korupsi, obat-obatan terlarang, terorisme dan kejahatan seksual.
Tentu saja usaha Bawaslu dan KPU layak diapresiasi. Tak lain karena kehidupan politik di Tanah Air masih diwarnai perseteruan yang tak kunjung usai seolah saling melenyapkan. Maka salah satu yang menjadi sorotan tajam adalah kualitas para calon legislatif dan kandidat eksekutif lain yang diusulkan parpol.
Kemampuan Absorsi
Asumsi bahwa parpol selama ini hanya berurusan dengan kekuasaan tidaklah salah. Namun banyak pengurus parpol lupa bahwa usaha untuk memperoleh kekuasaan itu harus memperhatikan kapasitas (capacity) dan kapabilitas (capability) atau kemampuan.
Berkaitan dengan kemampuan itu, Kenneth A Bolllen pernah menawarkan apa yang disebut “kapasitas absorsi”. Kapasitas absorsi adalah kemampuan memperoleh kekuasaan untuk memerintah dengan memperoleh dukungan dari anggota masyarakat. Jadi kepercayaan masyarakat menjadi modal utama parpol. Jika tidak ada kepercayaan masyarakat, ibarat manusia tanpa jiwa.
Namun mengapa masih banyak masyarakat yang apriori pada parpol? Proses rekrutmen politik yang dilakukan parpol untuk menuju kapasitas absorsi sering tidak elok. Lihat misalnya banyak kandidat anggota Dewan atau kepala daerah yang tersangkut korupsi masih dijadikan calon. Bahkan ada calon kepala daerah yang tersangkut korupsi justru menang pilkada.
Dari 171 penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, 4 dari 17 provinsi di antaranya diikuti tersangka korupsi dan 5 dari 154 kabupaten/kota di antaranya diikuti tersangka korupsi. Sementara itu tersangka yang memenangi pilkada ada di Maluku Utara (Ahmad Hidayat MusRivai Umar) dan Tulungagung (Syahri Mulyo-Maryoto Bhirowo). Gayung bersambut Medagri Tjahjo Kumolo menyatakan tetap akan melantik kepala daerah tersebut.
Kenyataan di atas tentu sangat mencemaskan bagi garansi kepemimpinan politik Indonesia di masa datang. Bagaimana mungkin seorang tersangka korupsi bisa menjadi pemimpin? Bagaimana kewibawaan mereka di mata rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan dengan baik? Bagaimanapun faktor pemimpin masih menjadi variabel terpenting dalam kemajuan masyarakat kita.
Dari sini terlihat bahwa kapasitas absorsi parpol sangatlah lemah jika dikaitkan dengan modal kepercayaan. Masalah utama sangat terletak pada parpol pengusung sebagai penentu apakah seorang akan menjadi calon atau tidak. Ini memang risiko demokrasi perwakilan yang memberikan tempat bagi parpol untuk menentukan pada siapa mereka berkoalisi dan ini sangat menentukan kandidat.
Limbah
Karut-marutnya kehidupan politik sejak 2014 tak lain karena banyak parpol hanya berurusan dengan kepentingan kekuasaan semata. Akibatnya parpol sering hanya menjadi sekumpulan orang yang punya pikiran pragmatis, yakni meraih kekuasaan.
Jika kondisi parpol sudah seperti itu, ia akan tumbuh menjadi kumpulan orang-orang yang hanya berambisi pada kekuasaan saja sehingga diibaratkan sebagai limbah politik. Sebagai limbah ia hanya menjadi tempat bernaungnya “barang-barang” tidak berharga sebagaimana limbah. Limbah itu kalau tidak bisa dikelola secara baik justru akan menjadi mesin perusak.
Tak mengherankan juga jika soal koalisi parpol pasca-Reformasi tumbuh dan berkembang karena kekentalan kepentingan politiknya. Koalisi selamanya untuk bagi-bagi kekuasaan, apa pun alasannya. Sementara itu koalisi jelas menyakiti hati rakyat yang telah memilih politisi dari parpol tertentu.
Garansi Penting
Berdasarkan beberapa kenyataan di atas, pakta integritas yang harus ditandatangani parpol menjadi penting kiranya bagi terwujudnya Indonesia berkemajuan di masa datang. Setidaknya ada beberapa catatan penting yang layak dikemukakan.
Pertama, pakta integritas adalah garansi awal dan niat baik untuk menyiapkan kader berkualitas dan secara moral bisa dipertanggungjawabkan. Tentu saja niat baik tidak selamanya ditanggapi baik. Parpol yang selama ini menolak usulan tersebut bisa jadi partai yang bermasalah. Bisa jadi karena merasa kepentingan politiknya akan terancam.
Kedua, langkah pakta integritas adalah usaha memupus mata rantai korupsi yang sudah sedemikian akut. Bahkan perilaku korupsi sebenarnya dilegitimasi oleh para pemimpin kita. Saat parpol mengajukan kandidat yang terlibat korupsi, partai itu sebenarnya melegitimasi tindakan korupsi. Seorang pejabat pemerintahan yang menghalangi usaha untuk melawan korupsi tak jauh berbeda.
Kita memang berbeda dengan China yang bisa langsung menghukum mati pelaku korupsi. Ini baik karena tentu akan menimbulkan efek jera para pelakunya. Bukan persoalan itu melanggar HAM, tetapi HAM tidak akan bisa berdiri tegak manakala penegakan hukum tidak bisa dilakukan.
Di Indonesia, budaya malu belum berlaku sehingga orang masih saja berperilaku korup. Maka memutus mata rantai korupsi dengan pakta integritas, entah bagaimana nanti pelaksanaannya, patut kita dukung.
Pakta integritas juga menjadi jaminan munculnya pemimpin yang berintegritas di masa datang. Harapannya, berbagai keputusan negara akan didasarkan pada kepentingan rakyat. Tidak mendukung langkah menegakkan pakta integritas itu mendangkalkan masalah dan membutakan diri pada fakta.
(thm)