Pakta Integritas untuk Garansi Pemimpin Berkualitas

Senin, 16 Juli 2018 - 08:35 WIB
Pakta Integritas untuk...
Pakta Integritas untuk Garansi Pemimpin Berkualitas
A A A
Nurudin
Kepala Pusat Kajian Sosial Politik(PKSP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

BADAN Pengawas Pe­milu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) me­nyo­dorkan pakta integritas un­tuk ditandatangani pimpinan partai politik (parpol) sebelum mengajukan bakal calon ang­gota legislatif. Ini dilakukan se­bagai langkah awal meng­ga­ransi lahirnya pemimpin berkualitas di masa datang.

Alasan sederhananya, kua­litas anggota legislatif akan jadi cerminan kualitas ke­pe­mim­pinan politik Indonesia. Dam­paknya akan dihasilkan lewat keputusan-keputusan politik yang tidak saja berkualitas, te­tapi juga memenu hi ke­ma­s­la­hatan umum.

Adapun poin-poin pakta in­te­gritas Bawaslu adalah: (1) me­me­gang teguh Pancasila dan UUD 1945, (2) memelihara per­sa­tuan dan kesatuan bangsa ser­ta mempertahankan NKRI, (3) menyukseskan Pemilu 2019 se­ca­ra demokratis, jujur, adil, dan bermartabat, (4) tidak me­minta imbalan kepada calon ang­gota DPR dan DPRD serta ca­lon presi­den dan wakil pres­i­den, (5) tidak melakukan kam­pa­nye hitam dan memproduksi kebencian ber­dasarkan SARA dalam Pemi­lu 2019, (6) tidak me­lakukan prak­tik politik uang, (7) tidak me­lakukan suap, memanfaatkan dan/atau me­me­ngaruhi penye­leng­gara pe­mi­lu, serta (8) tidak men­ca­lonkan anggota DPR, DPRD atau presiden dan wakil pre­si­den yang melakukan atau ter­li­bat tindak pidana korupsi, obat-obatan terlarang, tero­ris­me dan kejahatan seksual.

Tentu saja usaha Bawaslu dan KPU layak diapresiasi. Tak lain ka­rena kehidupan politik di Tanah Air masih diwarnai per­se­te­ru­an yang tak kunjung usai s­e­olah saling melenyapkan. Ma­ka salah satu yang menjadi so­rotan tajam adalah kualitas para calon legislatif dan kandidat eksekutif lain yang diusulkan parpol.

Kemampuan Absorsi
Asumsi bahwa parpol se­la­ma ini hanya berurusan dengan ke­kuasaan tidaklah salah. Na­mun banyak pengurus parpol lupa bahwa usaha untuk mem­per­oleh kekuasaan itu harus memperhatikan kapasitas (capacity) dan kapabilitas (capability) atau kemampuan.

Berkaitan dengan kemam­puan itu, Kenneth A Bolllen per­nah menawarkan apa yang di­se­but “kapasitas absorsi”. Ka­pa­si­tas absorsi adalah kemampuan memperoleh kekuasaan untuk memerintah dengan mem­per­oleh dukungan dari anggota ma­syarakat. Jadi kepercayaan masyarakat menjadi modal uta­ma parpol. Jika tidak ada ke­percayaan masyarakat, ibarat manusia tanpa jiwa.

Namun mengapa masih ba­nyak masyarakat yang apriori pada parpol? Proses rekrutmen politik yang dilakukan parpol untuk menuju kapasitas absorsi sering tidak elok. Lihat misal­nya banyak kandidat anggota Dewan atau kepala daerah yang tersangkut korupsi masih di­ja­dikan calon. Bahkan ada calon kepala daerah yang tersangkut korupsi justru menang pilkada.

Dari 171 penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018, 4 dari 17 provinsi di antaranya diikuti tersangka korupsi dan 5 dari 154 kabupaten/kota di anta­ra­nya di­ikuti tersangka korupsi. Sementara itu tersangka yang me­me­nangi pilkada ada di Maluku Uta­ra (Ahmad Hidayat MusRivai Umar) dan Tulung­agung (Syahri Mulyo-Maryoto Bhi­rowo). Gayung bersambut Medagri Tjahjo Kumolo menyatakan te­tap akan melantik kepala daerah tersebut.

Kenyataan di atas tentu sa­ngat mencemaskan bagi ga­ran­si kepemimpinan politik Indo­nesia di masa datang. Ba­gai­ma­na mungkin seorang tersangka korupsi bisa menjadi pe­mim­pin? Bagaimana kewibawaan me­reka di mata rakyat untuk menjalankan roda peme­rin­tah­an dengan baik? Bagaimanapun faktor pemimpin masih men­jadi variabel terpenting dalam kemajuan masyarakat kita.

Dari sini terlihat bahwa ka­pasitas absorsi parpol sangatlah lemah jika dikaitkan dengan mo­dal kepercayaan. Masalah uta­ma sangat terletak pada par­pol pengusung sebagai penentu apakah seorang akan menjadi calon atau tidak. Ini memang risiko demokrasi perwakilan yang memberikan tempat bagi parpol untuk menentukan pada siapa mereka berkoalisi dan ini sangat menentukan kandidat.

Limbah
Karut-marutnya kehidupan politik sejak 2014 tak lain karena banyak parpol hanya berurusan dengan kepentingan kekuasaan semata. Akibatnya parpol sering hanya menjadi sekumpulan orang yang punya pikiran pragmatis, yakni me­raih kekuasaan.

Jika kondisi parpol sudah se­perti itu, ia akan tumbuh men­jadi kumpulan orang-orang yang hanya berambisi pada ke­kua­saan saja sehingga diiba­rat­kan se­ba­gai limbah politik. Se­ba­gai limbah ia hanya menjadi tempat be­r­naungnya “barang-barang” ti­dak berharga sebagai­ma­na lim­bah. Limbah itu kalau tidak bisa dikelola secara baik justru akan menjadi mesin pe­rusak.

Tak mengherankan juga jika soal koalisi parpol pasca-Refor­masi tumbuh dan berkembang karena kekentalan kepenti­ng­an politiknya. Koalisi se­la­ma­nya untuk bagi-bagi kekuasaan, apa pun alasannya. Sementara itu koalisi jelas menyakiti hati rakyat yang telah memilih po­li­tisi dari parpol tertentu.

Garansi Penting
Berdasarkan beberapa k­e­nya­taan di atas, pakta integritas yang harus ditandatangani par­pol menjadi penting kiranya bagi terwujudnya Indonesia ber­kemajuan di masa datang. Se­ti­daknya ada beberapa ca­tat­an penting yang layak di­kem­u­ka­kan.

Pertama, pakta integri­tas adalah garansi awal dan niat baik untuk menyiapkan kader berkualitas dan secara moral bisa dipertanggungjawabkan. Tentu saja niat baik tidak selamanya ditanggapi baik. Parpol yang selama ini menolak usulan tersebut bisa jadi partai yang bermasalah. Bisa jadi ka­re­na merasa kepentingan poli­tiknya akan terancam.

Kedua, langkah pakta inte­gri­tas adalah usaha memupus mata rantai korupsi yang sudah sedemikian akut. Bahkan per­i­la­ku korupsi sebenarnya dile­gi­ti­masi oleh para pemimpin kita. Saat parpol mengajukan kan­di­dat yang terlibat korupsi, partai itu sebenarnya melegitimasi tindakan korupsi. Seorang pe­ja­bat pemerintahan yang meng­ha­langi usaha untuk melawan korupsi tak jauh berbeda.

Kita memang berbeda de­ngan China yang bisa langsung meng­hukum mati pelaku ko­rupsi. Ini baik karena tentu akan menimbulkan efek jera para pe­la­kunya. Bukan persoalan itu me­lang­gar HAM, tetapi HAM tidak akan bisa berdiri tegak manakala penegakan hukum tidak bisa dilakukan.

Di Indo­nesia, budaya ma­lu belum ber­laku sehingga orang masih saja berperilaku korup. Maka me­mu­tus mata rantai ko­rupsi de­ngan pakta integritas, entah ba­gaimana nanti pelak­sa­na­an­nya, patut kita dukung.

Pakta integritas juga men­jadi jaminan munculnya pe­mim­pin yang berintegritas di masa da­tang. Harapannya, ber­bagai ke­putusan negara akan didasarkan pada kepentingan rakyat. Tidak mendukung lang­kah mene­gak­kan pakta in­tegritas itu men­dang­kalkan masalah dan membutakan diri pada fakta.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0785 seconds (0.1#10.140)