Pemalsuan SKTM
A
A
A
DUNIA pendidikan Tanah Air tercoreng dengan terbongkarnya kasus pemalsuan surat keterangan tidak mampu (SKTM) pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini. Ribuan calon siswa SMA dan SMK di Provinsi Jawa Tengah (Jateng) yang mendaftar dengan sistem daring (online) kedapatan memalsukan SKTM. Disebut SKTM palsu karena mereka bukan berasal dari keluarga miskin, tetapi mengurus surat keterangan dan berhasil memperoleh kartu.
SKTM ini dibuat oleh orang tua siswa atau wali murid agar anak mereka bisa diterima bersekolah di tempat yang diinginkan. Untuk diketahui, Pasal 19 ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 14 Tahun 2018 tentang PPDB mewajibkan sekolah negeri memberikan kuota minimal 20% dari daya tampung untuk siswa dari keluarga miskin.
Kasus SKTM palsu di Jateng ini terbongkar setelah muncul protes karena ada sekolah yang kuota siswanya 100% habis untuk siswa miskin pemegang SKTM. Pada Selasa (10/7) Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyebut jumlah siswa yang memegang SKTM palsu sebanyak 78.065. Namun banyak pihak yang memperkirakan jumlah ini masih terus bertambah mengingat ada sekolah yang masih melakukan verifikasi dengan datang langsung ke rumah siswa.
Perilaku memalsukan SKTM ini tentu tidak bisa ditoleransi karena merugikan pihak lain. Pihak yang dirugikan adalah siswa dari keluarga miskin yang bisa saja gagal belajar di sekolah negeri favorit karena kuota siswa habis oleh pemilik SKTM palsu. Selain itu siswa yang bukan kategori miskin juga bisa terampas haknya karena kuota habis oleh pemegang SKTM.
Menyusul terbongkarnya kasus ini pemerintah tetap perlu menyikapinya dengan hati-hati. Pada Pasal 19 ayat 3 Permendikbud tentang PPDB dinyatakan bahwa mereka yang kedapatan menggunakan SKTM palsu akan dikeluarkan dari sekolah. Berkaitan dengan ini perlu dilakukan proses verifikasi yang benar-benar akurat oleh pihak sekolah agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Harus bisa dipastikan bahwa calon siswa yang dicoret dari daftar adalah mereka yang status miskinnya fiktif atau palsu. Adapun pemegang SKTM yang faktanya memang benar-benar berasal dari keluarga miskin harus dijamin bisa bersekolah di tempat di mana dia mendaftar dan dinyatakan lulus.
Aparat kepolisian juga perlu bekerja cepat untuk mengusut kasus dugaan pemalsuan surat ini. Pada Pasal 263 KUHP jelas diatur sanksi bagi siapa pun yang terbukti memalsukan dokumen. Bagi pembuat ataupun pengguna dokumen palsu akan dikenai pidana enam tahun penjara. Jika ditemukan perbuatan pidana dalam kasus ini, sanksi sesuai UU harus diberikan tanpa pandang bulu.
Selain itu pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng perlu segera membuat aturan baru setelah pencoretan ribuan calon siswa pengguna SKTM fiktif ini. Kekosongan ribuan kursi di sejumlah sekolah membutuhkan kebijakan khusus untuk mengaturnya. Kemendikbud perlu pula memastikan di mana saja kasus SKTM palsu ini terjadi. Sebab bukan tidak mungkin kasus serupa juga terjadi di daerah lain di Tanah Air.
Kasus SKTM palsu ini tidak akan terjadi tanpa ada peran dari aparat desa/lurah dan RT yang membuat surat dimaksud. Untuk itu perlu kebijaksanaan dari aparat di tingkat desa dalam menerbitkan surat keterangan miskin. Jangan karena persoalan kekerabatan atau kepentingan politik tertentu lalu SKTM dengan mudah diberikan meskipun sejatinya pemohon tidak berhak memiliki.
Tak kalah penting adalah perlunya kesadaran masyarakat untuk mengedepankan sikap kejujuran. Memanipulasi keadaan dengan mengaku miskin padahal sesungguhnya tidak adalah perbuatan yang tercela. Mental sebagian wali murid yang tidak malu untuk berpura-pura miskin demi mendapatkan akses terhadap fasilitas dari negara, termasuk juga Dana Bantuan Langsung Tunai, seharusnya dihilangkan.
Selain aib bagi wali murid sendiri, sikap berpura-pura miskin ini juga tidak baik untuk perkembangan mental anak. Seorang anak yang dicoret karena kasus SKTM palsu harus ikut menanggung malu oleh kesalahan yang tidak dibuatnya. Wali murid seharusnya mendidik anak untuk memiliki kejujuran dan integritas, bukan sebaliknya mengajarkan kepada anak perilaku tak bertanggung jawab dan menghalalkan segala cara.
SKTM ini dibuat oleh orang tua siswa atau wali murid agar anak mereka bisa diterima bersekolah di tempat yang diinginkan. Untuk diketahui, Pasal 19 ayat 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 14 Tahun 2018 tentang PPDB mewajibkan sekolah negeri memberikan kuota minimal 20% dari daya tampung untuk siswa dari keluarga miskin.
Kasus SKTM palsu di Jateng ini terbongkar setelah muncul protes karena ada sekolah yang kuota siswanya 100% habis untuk siswa miskin pemegang SKTM. Pada Selasa (10/7) Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menyebut jumlah siswa yang memegang SKTM palsu sebanyak 78.065. Namun banyak pihak yang memperkirakan jumlah ini masih terus bertambah mengingat ada sekolah yang masih melakukan verifikasi dengan datang langsung ke rumah siswa.
Perilaku memalsukan SKTM ini tentu tidak bisa ditoleransi karena merugikan pihak lain. Pihak yang dirugikan adalah siswa dari keluarga miskin yang bisa saja gagal belajar di sekolah negeri favorit karena kuota siswa habis oleh pemilik SKTM palsu. Selain itu siswa yang bukan kategori miskin juga bisa terampas haknya karena kuota habis oleh pemegang SKTM.
Menyusul terbongkarnya kasus ini pemerintah tetap perlu menyikapinya dengan hati-hati. Pada Pasal 19 ayat 3 Permendikbud tentang PPDB dinyatakan bahwa mereka yang kedapatan menggunakan SKTM palsu akan dikeluarkan dari sekolah. Berkaitan dengan ini perlu dilakukan proses verifikasi yang benar-benar akurat oleh pihak sekolah agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Harus bisa dipastikan bahwa calon siswa yang dicoret dari daftar adalah mereka yang status miskinnya fiktif atau palsu. Adapun pemegang SKTM yang faktanya memang benar-benar berasal dari keluarga miskin harus dijamin bisa bersekolah di tempat di mana dia mendaftar dan dinyatakan lulus.
Aparat kepolisian juga perlu bekerja cepat untuk mengusut kasus dugaan pemalsuan surat ini. Pada Pasal 263 KUHP jelas diatur sanksi bagi siapa pun yang terbukti memalsukan dokumen. Bagi pembuat ataupun pengguna dokumen palsu akan dikenai pidana enam tahun penjara. Jika ditemukan perbuatan pidana dalam kasus ini, sanksi sesuai UU harus diberikan tanpa pandang bulu.
Selain itu pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng perlu segera membuat aturan baru setelah pencoretan ribuan calon siswa pengguna SKTM fiktif ini. Kekosongan ribuan kursi di sejumlah sekolah membutuhkan kebijakan khusus untuk mengaturnya. Kemendikbud perlu pula memastikan di mana saja kasus SKTM palsu ini terjadi. Sebab bukan tidak mungkin kasus serupa juga terjadi di daerah lain di Tanah Air.
Kasus SKTM palsu ini tidak akan terjadi tanpa ada peran dari aparat desa/lurah dan RT yang membuat surat dimaksud. Untuk itu perlu kebijaksanaan dari aparat di tingkat desa dalam menerbitkan surat keterangan miskin. Jangan karena persoalan kekerabatan atau kepentingan politik tertentu lalu SKTM dengan mudah diberikan meskipun sejatinya pemohon tidak berhak memiliki.
Tak kalah penting adalah perlunya kesadaran masyarakat untuk mengedepankan sikap kejujuran. Memanipulasi keadaan dengan mengaku miskin padahal sesungguhnya tidak adalah perbuatan yang tercela. Mental sebagian wali murid yang tidak malu untuk berpura-pura miskin demi mendapatkan akses terhadap fasilitas dari negara, termasuk juga Dana Bantuan Langsung Tunai, seharusnya dihilangkan.
Selain aib bagi wali murid sendiri, sikap berpura-pura miskin ini juga tidak baik untuk perkembangan mental anak. Seorang anak yang dicoret karena kasus SKTM palsu harus ikut menanggung malu oleh kesalahan yang tidak dibuatnya. Wali murid seharusnya mendidik anak untuk memiliki kejujuran dan integritas, bukan sebaliknya mengajarkan kepada anak perilaku tak bertanggung jawab dan menghalalkan segala cara.
(wib)