Mencegah Korupsi Kepala Daerah

Senin, 09 Juli 2018 - 06:02 WIB
Mencegah Korupsi Kepala...
Mencegah Korupsi Kepala Daerah
A A A
Emerson Yuntho

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch

KEHADIRAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan operasi tangkap tangan yang belakangan gencar dilakukan lembaga ini ternyata tidak membuat kepala daerah berhenti melakukan korupsi. Peristiwa terbaru terjadi di Provinsi Aceh. Tidak tang­gung-tanggung, KPK pada Se­lasa (3/7) lalu menangkap dua kepala daerah, yaitu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Benar Meriah Ahmadi karena dugaan suap. Keduanya pun ditetapkan sebagai tersangka korupsi terkait pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun 2018 ke­pa­da Pemerintah Provinsi Aceh.

Penangkapan Irwandi dan Ahmadi akhirnya menambah panjang deretan kepala daerah yang terlibat dalam kasus ko­rupsi dan diproses KPK. Dalam kurun waktu 2016 hingga 5 Juli 2018, sedikitnya sudah ada 23 orang kepala daerah men­jadi tersangka KPK. Mereka an­tara lain Gubernur Jambi Zumi Zola, Gubernur Bengkulu Rid­wan Mukti, Bupati Kutai Kar­ta­ne­gara Rita Widyasari, Bu­pati Jom­bang Nyono Suharti, dan Bu­pati Ngada Marianus Sae.

Penangkapan kepala dae­rah karena tersangkut korupsi seperti yang terjadi di Aceh dan sejumlah daerah lainnya tentu saja ironis dan menimbulkan keprihatinan. Kepala daerah yang seharusnya menjadi pa­nu­tan justru memberikan con­toh buruk bagi warganya. Se­lain karena persoalan inte­gri­tas khususnya memperkaya diri sendiri, setidaknya ter­da­pat sejumlah faktor pendorong menyebabkan kepala daerah masih melakukan korupsi.

Faktor paling dominan ada­lah untuk membiayai atau me­ngem­balikan ongkos politik bagi kepala daerah yang ber­sang­kutan. Kebutuhan biaya politik yang besar biasanya di­gunakan saat proses pemilihan kepala daerah (pilkada), pe­re­butan jabatan penting di in­ternal partai politik, dan untuk merawat kekuasaannya atau mencegah adanya gangguan se­lama bersangkutan men­ja­bat sebagai kepala daerah mau­pun pimpinan partai politik.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi kepala daerah atau pimpinan partai politik, seorang kan­di­dat bisa mengeluarkan dana hingga puluhan miliar rupiah. Penelitian Kementerian Da­lam Negeri (Kemendagri) 2017 menyebutkan seorang calon bupati atau wali kota mem­bu­tuhkan dana Rp20 miliar hing­ga Rp100 miliar untuk me­me­nangi pilkada. Dana itu dipakai un­tuk mahar atau men­da­pat­kan dukungan dari partai po­li­tik, kepentingan kampanye, biaya tim sukses, dan biaya tak terduga lainnya.

Selain itu, agar semasa ke­pemimpinannya bisa berjalan tanpa gangguan, kepala daerah se­ring kali juga harus me­nge­luarkan biaya yang tidak sed­i­kit untuk menyuap sejumlah elite partai politik, baik dalam kubu koalisi maupun oposisi.

Besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan tentu tidak sebanding dengan pen­da­patan resmi yang diterima ketika menjadi kepala daerah. Pada akhirnya untuk menutup ongkos politik yang sangat be­sar tersebut, maka kepala dae­rah cenderung dituntut kreatif atau nekat mencari sumber pendanaan lain, baik bersifat legal maupun ilegal.

Faktor pendorong lainnya adalah besarnya kewenangan yang dimiliki seorang kepala daerah dan tidak berjalannya fungsi pengawasan dari in­ter­nal pemerintahan daerah mau­pun parlemen daerah. Selaku pimpinan daerah, seorang gu­ber­nur atau bupati maupun wali kota mempunyai ke­we­na­ngan sangat besar dalam pe­ngelolaan anggaran daerah, pro­ses perekrutan pejabat atau pegawai daerah, pemberian izin-izin sektor ekonomi mau­pun sumber daya alam, pe­ng­adaan barang dan jasa, serta pem­buatan peraturan kepala daerah. Semua kewenangan itu kemudian dijadikan peluang bagi oknum kepala daerah un­tuk memperkaya diri melalui praktik korupsi khususnya pe­nerimaan suap dan gratifikasi.

Indonesia Corruption Watch memetakan modus ko­rupsi ke­pala daerah berdasarkan ka­rakteristik wilayahnya. Untuk wi­layah kaya sumber daya alam, maka modus korupsi yang sering dilakukan kepala daerah adalah menerima suap atau gratifikasi untuk pe­ner­bit­an izin-izin usaha, misalnya pertambangan, perkebunan, atau kehutanan. Sedangkan un­tuk daerah yang tidak kaya sumber daya alam, maka mo­dus korupsi yang umumnya ter­jadi adalah menerima suap atau komisi (fee ) dari proyek-proyek didanai Anggaran Pen­da­patan dan Belanja Daerah maupun jual beli jabatan di ling­kungan pemerintah daerah.

Ada dua rekomendasi yang dapat dilakukan untuk men­ce­gah kepala daerah melakukan korupsi. Pertama, menekan bia­­ya politik yang harus di­tang­gung calon kepala daerah. Upa­ya yang bisa dilakukan adalah pemerintah membantu se­ba­gian pendanaan politik dari para kandidat kepala daerah ter­utama untuk keperluan kam­panye selama proses pilk­a­da. Hal ini juga pernah di­usul­kan KPK sebagai upaya men­ce­gah korupsi kepala daerah.

Upaya lain adalah men­do­rong partai politik mem­per­ketat seleksi calon kepala dae­rah dan tidak mensyaratkan ada­nya mahar politik bagi kan­didat kepala daerah yang me­ng­inginkan dukungan dari partai. Agar upaya ini efektif, maka perlu dibuat sebuah re­gulasi yang tegas memberikan ancaman bagi partai politik yang melakukan praktik me­mi­nta mahar politik dari calon kepala daerah.

Kedua, menutup celah atau potensi korupsi yang dapat dilakukan kepala daerah. Lang­kah yang bisa dilakukan antara lain memperkuat fungsi peng­awas­an internal dan mem­ba­ngun zona antikorupsi di ling­kungan pemerintahan daerah. Se­tiap daerah perlu mem­ba­ngun sistem pencegahan ko­rup­si dalam proses anggaran, perizinan, serta pengadaan ba­rang dan jasa.

Cara lain adalah kepala dae­rah atau pemerintah daerah harus membuka diri atas pe­ng­awasan dari eksternal dan me­li­batkan KPK dalam upaya pen­cegahan korupsi di daerah. Da­lam beberapa tahun terakhir, KPK bersama Kemendagri te­lah melakukan sejumlah upaya pencegahan korupsi khu­susnya yang dilakukan kepala daerah. KPK bahkan telah menetapkan sejumlah daerah rawan korupsi sebagai daerah prioritas koordinasi dan su­per­visi dalam bidang pencegahan korupsi.

Upaya koordinasi dan su­per­visi pencegahan korupsi di­la­kukan bertahap. Tahap per­tama dilakukan di enam daerah yang dianggap rawan korupsi, seperti Jambi, Aceh, Sumatera Utara, Banten, Papua, dan Beng­­kulu. Tahap kedua dila­ku­kan di sepuluh provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Yog­yakarta, Jawa Timur, Kali­man­tan Barat, Kalimantan Uta­ra, Sulawesi Selatan, Su­la­wesi Barat, dan Sulawesi Teng­gara.

Ketika upaya-upaya pen­ce­gah­an korupsi sudah dila­ku­kan, tapi masih saja ada kepala daerah tetap nekat melakukan korupsi, maka sudah se­la­yak­nya pelaku dibuat jera. Caranya dengan menghukum pelaku de­ngan penjara secara mak­si­mal dan dicabut hak politiknya agar tidak lagi bisa menjadi kepala daerah.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2039 seconds (0.1#10.140)