Mencegah Korupsi Kepala Daerah
A
A
A
Emerson Yuntho
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
KEHADIRAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan operasi tangkap tangan yang belakangan gencar dilakukan lembaga ini ternyata tidak membuat kepala daerah berhenti melakukan korupsi. Peristiwa terbaru terjadi di Provinsi Aceh. Tidak tanggung-tanggung, KPK pada Selasa (3/7) lalu menangkap dua kepala daerah, yaitu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Benar Meriah Ahmadi karena dugaan suap. Keduanya pun ditetapkan sebagai tersangka korupsi terkait pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun 2018 kepada Pemerintah Provinsi Aceh.
Penangkapan Irwandi dan Ahmadi akhirnya menambah panjang deretan kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi dan diproses KPK. Dalam kurun waktu 2016 hingga 5 Juli 2018, sedikitnya sudah ada 23 orang kepala daerah menjadi tersangka KPK. Mereka antara lain Gubernur Jambi Zumi Zola, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Bupati Jombang Nyono Suharti, dan Bupati Ngada Marianus Sae.
Penangkapan kepala daerah karena tersangkut korupsi seperti yang terjadi di Aceh dan sejumlah daerah lainnya tentu saja ironis dan menimbulkan keprihatinan. Kepala daerah yang seharusnya menjadi panutan justru memberikan contoh buruk bagi warganya. Selain karena persoalan integritas khususnya memperkaya diri sendiri, setidaknya terdapat sejumlah faktor pendorong menyebabkan kepala daerah masih melakukan korupsi.
Faktor paling dominan adalah untuk membiayai atau mengembalikan ongkos politik bagi kepala daerah yang bersangkutan. Kebutuhan biaya politik yang besar biasanya digunakan saat proses pemilihan kepala daerah (pilkada), perebutan jabatan penting di internal partai politik, dan untuk merawat kekuasaannya atau mencegah adanya gangguan selama bersangkutan menjabat sebagai kepala daerah maupun pimpinan partai politik.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi kepala daerah atau pimpinan partai politik, seorang kandidat bisa mengeluarkan dana hingga puluhan miliar rupiah. Penelitian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 2017 menyebutkan seorang calon bupati atau wali kota membutuhkan dana Rp20 miliar hingga Rp100 miliar untuk memenangi pilkada. Dana itu dipakai untuk mahar atau mendapatkan dukungan dari partai politik, kepentingan kampanye, biaya tim sukses, dan biaya tak terduga lainnya.
Selain itu, agar semasa kepemimpinannya bisa berjalan tanpa gangguan, kepala daerah sering kali juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyuap sejumlah elite partai politik, baik dalam kubu koalisi maupun oposisi.
Besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan tentu tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang diterima ketika menjadi kepala daerah. Pada akhirnya untuk menutup ongkos politik yang sangat besar tersebut, maka kepala daerah cenderung dituntut kreatif atau nekat mencari sumber pendanaan lain, baik bersifat legal maupun ilegal.
Faktor pendorong lainnya adalah besarnya kewenangan yang dimiliki seorang kepala daerah dan tidak berjalannya fungsi pengawasan dari internal pemerintahan daerah maupun parlemen daerah. Selaku pimpinan daerah, seorang gubernur atau bupati maupun wali kota mempunyai kewenangan sangat besar dalam pengelolaan anggaran daerah, proses perekrutan pejabat atau pegawai daerah, pemberian izin-izin sektor ekonomi maupun sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, serta pembuatan peraturan kepala daerah. Semua kewenangan itu kemudian dijadikan peluang bagi oknum kepala daerah untuk memperkaya diri melalui praktik korupsi khususnya penerimaan suap dan gratifikasi.
Indonesia Corruption Watch memetakan modus korupsi kepala daerah berdasarkan karakteristik wilayahnya. Untuk wilayah kaya sumber daya alam, maka modus korupsi yang sering dilakukan kepala daerah adalah menerima suap atau gratifikasi untuk penerbitan izin-izin usaha, misalnya pertambangan, perkebunan, atau kehutanan. Sedangkan untuk daerah yang tidak kaya sumber daya alam, maka modus korupsi yang umumnya terjadi adalah menerima suap atau komisi (fee ) dari proyek-proyek didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
Ada dua rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mencegah kepala daerah melakukan korupsi. Pertama, menekan biaya politik yang harus ditanggung calon kepala daerah. Upaya yang bisa dilakukan adalah pemerintah membantu sebagian pendanaan politik dari para kandidat kepala daerah terutama untuk keperluan kampanye selama proses pilkada. Hal ini juga pernah diusulkan KPK sebagai upaya mencegah korupsi kepala daerah.
Upaya lain adalah mendorong partai politik memperketat seleksi calon kepala daerah dan tidak mensyaratkan adanya mahar politik bagi kandidat kepala daerah yang menginginkan dukungan dari partai. Agar upaya ini efektif, maka perlu dibuat sebuah regulasi yang tegas memberikan ancaman bagi partai politik yang melakukan praktik meminta mahar politik dari calon kepala daerah.
Kedua, menutup celah atau potensi korupsi yang dapat dilakukan kepala daerah. Langkah yang bisa dilakukan antara lain memperkuat fungsi pengawasan internal dan membangun zona antikorupsi di lingkungan pemerintahan daerah. Setiap daerah perlu membangun sistem pencegahan korupsi dalam proses anggaran, perizinan, serta pengadaan barang dan jasa.
Cara lain adalah kepala daerah atau pemerintah daerah harus membuka diri atas pengawasan dari eksternal dan melibatkan KPK dalam upaya pencegahan korupsi di daerah. Dalam beberapa tahun terakhir, KPK bersama Kemendagri telah melakukan sejumlah upaya pencegahan korupsi khususnya yang dilakukan kepala daerah. KPK bahkan telah menetapkan sejumlah daerah rawan korupsi sebagai daerah prioritas koordinasi dan supervisi dalam bidang pencegahan korupsi.
Upaya koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi dilakukan bertahap. Tahap pertama dilakukan di enam daerah yang dianggap rawan korupsi, seperti Jambi, Aceh, Sumatera Utara, Banten, Papua, dan Bengkulu. Tahap kedua dilakukan di sepuluh provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Ketika upaya-upaya pencegahan korupsi sudah dilakukan, tapi masih saja ada kepala daerah tetap nekat melakukan korupsi, maka sudah selayaknya pelaku dibuat jera. Caranya dengan menghukum pelaku dengan penjara secara maksimal dan dicabut hak politiknya agar tidak lagi bisa menjadi kepala daerah.
Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
KEHADIRAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan operasi tangkap tangan yang belakangan gencar dilakukan lembaga ini ternyata tidak membuat kepala daerah berhenti melakukan korupsi. Peristiwa terbaru terjadi di Provinsi Aceh. Tidak tanggung-tanggung, KPK pada Selasa (3/7) lalu menangkap dua kepala daerah, yaitu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Bupati Benar Meriah Ahmadi karena dugaan suap. Keduanya pun ditetapkan sebagai tersangka korupsi terkait pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun 2018 kepada Pemerintah Provinsi Aceh.
Penangkapan Irwandi dan Ahmadi akhirnya menambah panjang deretan kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi dan diproses KPK. Dalam kurun waktu 2016 hingga 5 Juli 2018, sedikitnya sudah ada 23 orang kepala daerah menjadi tersangka KPK. Mereka antara lain Gubernur Jambi Zumi Zola, Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Bupati Jombang Nyono Suharti, dan Bupati Ngada Marianus Sae.
Penangkapan kepala daerah karena tersangkut korupsi seperti yang terjadi di Aceh dan sejumlah daerah lainnya tentu saja ironis dan menimbulkan keprihatinan. Kepala daerah yang seharusnya menjadi panutan justru memberikan contoh buruk bagi warganya. Selain karena persoalan integritas khususnya memperkaya diri sendiri, setidaknya terdapat sejumlah faktor pendorong menyebabkan kepala daerah masih melakukan korupsi.
Faktor paling dominan adalah untuk membiayai atau mengembalikan ongkos politik bagi kepala daerah yang bersangkutan. Kebutuhan biaya politik yang besar biasanya digunakan saat proses pemilihan kepala daerah (pilkada), perebutan jabatan penting di internal partai politik, dan untuk merawat kekuasaannya atau mencegah adanya gangguan selama bersangkutan menjabat sebagai kepala daerah maupun pimpinan partai politik.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi kepala daerah atau pimpinan partai politik, seorang kandidat bisa mengeluarkan dana hingga puluhan miliar rupiah. Penelitian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) 2017 menyebutkan seorang calon bupati atau wali kota membutuhkan dana Rp20 miliar hingga Rp100 miliar untuk memenangi pilkada. Dana itu dipakai untuk mahar atau mendapatkan dukungan dari partai politik, kepentingan kampanye, biaya tim sukses, dan biaya tak terduga lainnya.
Selain itu, agar semasa kepemimpinannya bisa berjalan tanpa gangguan, kepala daerah sering kali juga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyuap sejumlah elite partai politik, baik dalam kubu koalisi maupun oposisi.
Besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan tentu tidak sebanding dengan pendapatan resmi yang diterima ketika menjadi kepala daerah. Pada akhirnya untuk menutup ongkos politik yang sangat besar tersebut, maka kepala daerah cenderung dituntut kreatif atau nekat mencari sumber pendanaan lain, baik bersifat legal maupun ilegal.
Faktor pendorong lainnya adalah besarnya kewenangan yang dimiliki seorang kepala daerah dan tidak berjalannya fungsi pengawasan dari internal pemerintahan daerah maupun parlemen daerah. Selaku pimpinan daerah, seorang gubernur atau bupati maupun wali kota mempunyai kewenangan sangat besar dalam pengelolaan anggaran daerah, proses perekrutan pejabat atau pegawai daerah, pemberian izin-izin sektor ekonomi maupun sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa, serta pembuatan peraturan kepala daerah. Semua kewenangan itu kemudian dijadikan peluang bagi oknum kepala daerah untuk memperkaya diri melalui praktik korupsi khususnya penerimaan suap dan gratifikasi.
Indonesia Corruption Watch memetakan modus korupsi kepala daerah berdasarkan karakteristik wilayahnya. Untuk wilayah kaya sumber daya alam, maka modus korupsi yang sering dilakukan kepala daerah adalah menerima suap atau gratifikasi untuk penerbitan izin-izin usaha, misalnya pertambangan, perkebunan, atau kehutanan. Sedangkan untuk daerah yang tidak kaya sumber daya alam, maka modus korupsi yang umumnya terjadi adalah menerima suap atau komisi (fee ) dari proyek-proyek didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun jual beli jabatan di lingkungan pemerintah daerah.
Ada dua rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mencegah kepala daerah melakukan korupsi. Pertama, menekan biaya politik yang harus ditanggung calon kepala daerah. Upaya yang bisa dilakukan adalah pemerintah membantu sebagian pendanaan politik dari para kandidat kepala daerah terutama untuk keperluan kampanye selama proses pilkada. Hal ini juga pernah diusulkan KPK sebagai upaya mencegah korupsi kepala daerah.
Upaya lain adalah mendorong partai politik memperketat seleksi calon kepala daerah dan tidak mensyaratkan adanya mahar politik bagi kandidat kepala daerah yang menginginkan dukungan dari partai. Agar upaya ini efektif, maka perlu dibuat sebuah regulasi yang tegas memberikan ancaman bagi partai politik yang melakukan praktik meminta mahar politik dari calon kepala daerah.
Kedua, menutup celah atau potensi korupsi yang dapat dilakukan kepala daerah. Langkah yang bisa dilakukan antara lain memperkuat fungsi pengawasan internal dan membangun zona antikorupsi di lingkungan pemerintahan daerah. Setiap daerah perlu membangun sistem pencegahan korupsi dalam proses anggaran, perizinan, serta pengadaan barang dan jasa.
Cara lain adalah kepala daerah atau pemerintah daerah harus membuka diri atas pengawasan dari eksternal dan melibatkan KPK dalam upaya pencegahan korupsi di daerah. Dalam beberapa tahun terakhir, KPK bersama Kemendagri telah melakukan sejumlah upaya pencegahan korupsi khususnya yang dilakukan kepala daerah. KPK bahkan telah menetapkan sejumlah daerah rawan korupsi sebagai daerah prioritas koordinasi dan supervisi dalam bidang pencegahan korupsi.
Upaya koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi dilakukan bertahap. Tahap pertama dilakukan di enam daerah yang dianggap rawan korupsi, seperti Jambi, Aceh, Sumatera Utara, Banten, Papua, dan Bengkulu. Tahap kedua dilakukan di sepuluh provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Ketika upaya-upaya pencegahan korupsi sudah dilakukan, tapi masih saja ada kepala daerah tetap nekat melakukan korupsi, maka sudah selayaknya pelaku dibuat jera. Caranya dengan menghukum pelaku dengan penjara secara maksimal dan dicabut hak politiknya agar tidak lagi bisa menjadi kepala daerah.
(pur)